Rabu, 27 Januari 2010

SERTIFIKASI GURU

SERTIFIKASI GURU
Oleh Novan Ardy Wiyani
I. PENDAHULUAN
Keberhasilan pembangunan nasional akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pendidikan nasional. Sayangnya, mutu pendidikan di Negara kita masih rendah. Hal itulah yang menjadikan pemerintah terus-menerus berupaya untuk memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia.
Diakui ataupun tidak, program-program perbaikan pendidikan selalu bermuara pada guru. Faktor guru merupakan faktor terpenting dalam terwujudnya tujuan pendidikan nasional oleh karena itu diharapkan kinerja guru selalu maksimal sehingga terjadi peningkatan mutu pendidikan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja guru dimana faktor yang paling krusial adalah faktor kesejahteraannya. Jika kesejahteraan guru menjamin kehidupannya maka kinerja gurupun akan maksimal.
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu guru dan mengoptimalkan kinerja guru sehingga diharapkan guru mampu berperan maksimal dalam meningkatkan mutu pendidikan.
II. PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Sertifikasi
Pendidik (guru) adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 ayat 1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Mengacu pada landasan yuridis dan kebijakan tersebut, secara tegas menunjukkan adanya keseriusan dan komitmen yang tinggi pihak Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan penghargaan kepada guru yang muara akhirnya pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Sesuai dengan arah kebijakan di atas, Pasal 42 UU RI No. 20 Tahun 2003 mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Pasal 8 UU RI No 14, 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang meliputi kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui pendidikan tinggi, dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah lulus ujian sertifikasi.
Pengertian sertifikasi secara umum mengacu pada National Commision on Educatinal Services (NCES) disebutkan“Certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach”. Dalam kaitan ini, di tingkat negara bagian (Amerika Serikat) terdapat badan independen yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Badan indepeden ini yang berwenang menilai dan menentukan apakah ijazah yang dimiliki oleh calon pendidik layak atau tidak layak untuk diberikan lisensi pendidik.
Persyaratan kualifikasi akademik minimun dan sertifikasi bagi pendidik juga telah diterapkan oleh beberapa negara di Asia. Di Jepang, telah memiliki Undang-undang tentang guru sejak tahun 1974, dan Undang-undang sertifikasi sejak tahun 1949. Di China telah memiliki Undang-undang guru tahun 1993, dan PP yang mengatur kualifikasi guru diberlakukan sejak tahun 2001. Begitu juga di Philipina dan Malaysia belakangan ini telah mempersyaratkan kualifikasi akademik minimun dan standar kompetensi bagi guru.
Di Indonesia, menurut UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi pendidik. Dalam hal ini, ujian sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai kontrol mutu hasil pendidikan, sehingga seseorang yang dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi pendidik diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik.
B. Tujuan dan Manfaat Sertifikasi
Sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Adapun manfaat ujian sertifikasi guru adalah sebagai berikut:
1. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru.
2. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional.
3. Menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK , dan kontrol mutu dan jumlah guru bagi pengguna layanan pendidikan.
4. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
5. Memperoleh tujangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi.
C. Kompetensi Guru
Kompetensi (competency) didefinisikan dengan berbagai cara, namun pada dasarnya kompetensi merupakan kebulatan penguasan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja, yang diharapkan bisa dicapai seseorang setelah menyelesaikan suatu program pendidikan. Sementara itu, menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002, kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu.
Menurut PP RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, pendidik adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Dalam konteks itu, maka kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi. Keempat jenis kompetensi guru yang dipersyaratkan beserta subkompetensi dan indikator esensialnya diuraikan sebagai berikut:
1. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci setiap elemen kepribadian tersebut dapat dijabarkan menjadi subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
a. Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai pendidik; dan memeliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
b. Memiliki kepribadian yang dewasa. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai pendidik.
c. Memiliki kepribadian yang arif. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
d. Memiliki kepribadian yang berwibawa. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani.
e. Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.
2. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi pedagogik tersebut dapat dijabarkan menjadi subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
a. Memahami peserta didik. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memamahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidenti- fikasi bekal-ajar awal peserta didik.
b. Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidik-an untuk kepentingan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
c. Melaksanakan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
d. Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Subkompe-tensi ini memiliki indikator esensial: melaksanakan evaluasi (assess-ment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
e. Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengem-bangkan berbagai potensi nonakademik.
3. Kompetensi Profesional
Kompetensi professional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum matapelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru. Secara rinci masing-masing elemen kompe-tensi tersebut memiliki subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
a. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau kohe-ren dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antarmata pelajaran terkait; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk me-nambah wawasan dan memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut:
a. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik.
b. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan.
c. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Keempat standar kompetensi, subkompetensi dan jabaran indikator esensial digunakan sebagai acuan untuk menyusun kisi-kisi instrumen ujian sertifikasi.
D. Persyaratan Sertifikasi
Persyaratan ujian sertifikasi dibedakan menjadi dua, yaitu persyaratan akademik dan nonakademik. Adapun persyaratan akademik adalah sebagai berikut:
1. Bagi guru TK/RA , kualifikasi akademik minimum D4/S1, latar belakang pendidikan tinggi di bidang PAUD, Sarjana Kependidikan lainnya, dan Sarjana Psikologi.
2. Bagi guru SD/MI kualifikasi akademik minimum D4/S1 latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi.
3. Bagi guru SMP/MTs dan SMA/MA/SMK, kualifikasi akademik minimal D4/S1 latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
4. Bagi guru yang memiliki prestasi istimewa dalam bidang akademik, dapat diusulkan mengikuti ujian sertifikasi berdasarkan rekomendasi dari kepala sekolah, dewan guru, dan diketahui serta disahkan oleh kepala cabang dinas dan kepala dinas pendidikan.

Persyaratan nonakademik untuk ujian sertifikasi dapat didentifikasi sebagai berikut:
1. Umur guru maksimal 56 tahun pada saat mengikuti ujian sertifikasi.
2. Prioritas keikutsertaan dalam ujian sertifikasi bagi guru didasarkan pada jabatan fungsional, masa kerja, dan pangkat/golongan.
3. Bagi guru yang memiliki prestasi istimewa dalam nonakademik, dapat diusulkan mengikuti ujian sertifikasi berdasarkan rekomendasi dari kepala sekolah, dewan guru, dan diketahui serta disahkan oleh kepala cabang dinas dan kepala dinas pendidikan.
4. Jumlah guru yang dapat mengikuti ujian sertifikasi di tiap wilayah ditentukan oleh Ditjen PMPTK berdasarkan prioritas kebutuhan.
E. Prosedur Sertifikasi
Penyelenggaraan ujian sertifikasi guru melibatkan unsur lembaga, sumberdaya manusia, dan sarana pendukung. Lembaga penyelenggara ujian sertifikasi adalah LPTK yang terakreditasi dan ditunjuk oleh Pemerintah, yang anggotanya dari unsur lembaga penghasil (LPTK), lembaga pengguna (Ditjen Didasmen, Ditjen PMPTK, dan dinas pendidikan provinsi), dan unsur asosiasi profesi pendidik.
Sumber daya manusia yang diperlukan dalam ujian sertifikasi adalah pakar dan praktisi dalam berbagai bidang keahlian dan latar belakang pendidikan yang relevan. Sumber daya manusia tersebut berasal dari anggota penyelenggara di atas.
Sarana pendukung yang diperlukan dalam penyelenggaraan ujian sertifikasi adalah sarana akademik, praktikum dan administratif. Sarana pendukung ini disesuaikan dengan bidang keahlian, bidang studi, rumpun bidang studi yang menjadi tujuan ujian sertifikasi yang dilaksanakan.
Adapun prosedur dalam penyelenggaraan ujian sertifikasi yang diselenggarakan oleh Ditjen PMPTK sebagai berikut:
1. Mempersiapkan perangkat dan mekanisme ujian sertifikasi serta melakukan sosialisasi ke berbagai wilayah (provinsi/ kabupaten/ kota).
2. Melakukan rekrutmen calon peserta ujian sertifikasi sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan, baik persyaratan administratif, akademik, maupun persyaratan lain.
3. Memilih dan menetapkan peserta ujian sertifikasi sesuai dengan persyaratan, kapasitas, dan kebutuhan.
4. Mengumumkan calon peserta ujian sertifikasi yang memenuhi syarat untuk setiap wilayah.
5. Melaksanakan tes tulis bagi peserta ujian sertifikasi di wilayah yang ditentukan.
6. Melaksanakan pengadministrasian hasil ujian sertifikasi secara terpusat, dan menentukan kelulusan peserta dengan ketuntasan minimal yang telah ditentukan.
7. Mengumumkan kelulusan hasil tes uji tulis sertifikasi secara terpusat melalui media elektronik dan cetak.
8. Memberikan bahan (IPKG I, IPKG II, instrumen Self-appraisal da portofolio, format penilaian atasan, dan format penilaian siswa) kepada peserta yang dinyatakan lulus tes tulis untuk persiapan uji kinerja.
9. Melaksanakan tes kinerja dalam bentuk real teaching ditempat yang telah ditentukan.
10. Mengadministrasikan hasil uji kinerja, dan mentukan kelulusannya berdasarkan akumulasi penialian dari uji kinerja, self-appraisal, portofolio dengan ketuntasan minimal yang telah ditentukan.
11. Memberikan sertifikat kepada peserta uji sertifikasi yang dinyatakan lulus.
F. Instrumen Sertifikasi
Instrumen ujian sertifikasi terdiri atas kelompok instrumen tes dan kelompok instrumen nontes. Kelompok instrumen tes meliputi tes tulis dan tes kinerja. Tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda yang meliputi kompetensi pedagogik dan profesional. Tes kinerja dalam bentuk real teaching dengan menggunakan IPKG I dan IPKG II, yang mencakup juga indikator untuk mengukur kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
Kelompok instrumen nontes meliputi self-appraisal dan portofolio. Instrumen self-appraisal dan portofolio memberi kesempatan guru untuk menilai diri sendiri dalam aktivitasnya sebagai guru. Setiap pernyataan dalam melakukan sesuatu atau berkarya harus dapat dibuktikan dengan bukti fisik berupa dokumen yang relevan. Bukti fisik tersebut menjadi bagian penilaian portofolio.
G. Problematika Sertifikasi
Apa yang menjadi daya tarik para guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik saat ini? Kita pasti semua sepakat bahwa hal itu dikarenakan dengan proses sertifikasi. Dengan sertifikasi, seakan menjadi magnet dari para kaum pendidik. Guru berlomba-lomba mendapatkan nilai maksimal demi mencapai suatu taraf hidup yang layak.
Semenjak lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mewajibkan seorang pendidik memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi, maka guru seakan terpacu untuk mengembangkan kreativitasnya, kualitasnya, dan bahkan tenaga serta pikiran guru yang selama ini hanya vakum, kini seperti berburu pacu demi mendapatkan gaji yang pemerintah janjikan, yakni sebesar dua kali dari gaji pokok yang ada sekarang.
Sangat fantastis memang. Apalagi di saat perekonomian belum dalam kondisi stabil terutama untuk ukuran kantong guru, pemerintah memberikan angin segar, bahwa guru yang telah melalui proses sertifikasi akan mendapatkan gaji yang akan setara dengan berbagai profesi lainnya. Terlepas dari itu, banyak terjadi problematika yang perlu dicatat dan direnungkan oleh semua pihak, baik itu tim asesor maupun guru, antara lain :
1. Sertifikat
Jika kita mencermati penjelasan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ginandjar Kartasasmita, seperti yang dilansir salah satu media harian beberapa waktu lalu, bahwa persoalan sertifikasi seakan sudah mulai mendapat kekhawatiran dari berbagai kalangan. Menurut Ginandjar, sertifikasi guru jangan sampai dikejar sebagai kebutuhan persyaratan administrasi saja, tetapi harus dijalankan sungguh-sungguh untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Menurutnya, kalau kualitas bangsa ini ingin lebih baik, maka kualitas guru harus ditingkatkan.
Dia pun mengakui bahwa sebagai salah satu instrument dalam meningkatkan kesejahteraan guru, maka kebutuhan sertifikasi bukanlah satu tujuan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah guru seakan tidak peduli apakah sertifikasi itu sebuah tujuan untuk mencapai kesejahteraan atau sertifikasi merupakan prasyarat administrasi dalam portofolio.
Saat ini guru berlomba-lomba mengembangkan dirinya demi melengkapi berkas portofolio. Dari 10 item penilaian dalam portofolio, hanya dua item yakni keikutsertaan dalam forum ilmiah dan pendidikan dan pelatihan yang paling laku keras dan diminati oleh para guru. Bukan apanya, pada kedua item tersebut guru diwajibkan untuk berperan aktif dalam kegiatan ilmiah, seperti seminar, workshop, pelatihan atau kegiatan penataran lainnya.
Bahkan saat ini tim asesor lebih tegas dalam memeriksa berkas instrument portofolio dari para guru. Untuk kuota 2008, para guru mesti melampirkan sertifikat asli dari berbagai kegiatan yang diikuti. Dan ini tentunya memerlukan keuletan tersendiri, apalagi untuk kuota 2006 dan 2007 ada peserta yang mendapatkan sertifikat dengan cara “scan” dari berbagai tempat rental komputer.
Yang menjadi masalah sekarang adalah kadang sertifikat yang didapatkan oleh peserta atau guru, itu tidak sesuai dengan kondisi kegiatan dilapangan. Misalnya ada sebuah lembaga yang mengadakan seminar atau workshop. Pada saat dipublikasikan di media, lembaga itu melansir bahwa seminar atau workshop yang dilaksanakan hanya berlangsung selama sehari. Masalahnya adalah saat peserta menerima sertifikat pasca pelaksanaan kegiatan itu, di dalam keterangan sertifikat tidak lagi dicantumkan bahwa kegiatan tersebut berlangsung selama satu hari tetapi terhitung tiga hari. Jadi sebuah kelucuan bahwa kegiatan hanya satu hari, sementara di sertifikat tertera selama tiga hari dengan melampirkan jumlah 35 jam pelaksanaan kegiatan.
Kita tidak tahu juga dari mana dasar dan filosofi sehingga beberapa lembaga yang intens melakukan kegiatan seminar atau workshop, memberikan contoh dan image buruk kepada para peserta atau guru. Semestinya adalah berapapun jumlah hari dan jam pelaksanaan sebuah kegiatan, tetap jujur dilampirkan dalam selembar sertifikat. Tetapi kemungkinan sistem tersebut dilakukan dengan tujuan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh lembaga tersebut, dapat dibanjiri dan diminati oleh para guru yang notabene sangat haus dan lapar dengan selembar sertifikat. Persoalannya adalah guru sudah diberikan pembelajaran yang kurang mendidik dari sebuah lembaga dengan mencantumkan kebohongan dan itu tidak berlangsung hanya satu kegiatan saja, tetapi kegiatan berikutnya kita bisa mendapati sertifikat dengan modus yang sama.
Kalau begini kasusnya, bagaimana sistem penilaian tim asesor dalam memberikan sebuah kredit poin terhadap sebuah sertifikat. Tim asesor pun pasti tidak peduli dengan masalah ini. Yang terpenting adalah sertifikat yang dikumpulkan adalah asli. Artinya adalah kita semua hanya mengejar sebuah kuantitas bukan kualitas. Tidak pernahkan terpikir bahwa banyak guru yang mengikuti seminar atau kegiatan lainnya, bukan ilmu dari kegiatan itu, tetapi bagaimana guru mendapatkan sertifikat kendati kegiatan tersebut tidak sempat dilaksanakan. Disinilah maksud dari penjelasan Ginandjar bahwa guru jangan hanya mengejar sertifikasi dengan menafikan kompetensi guru.
Masalah tidak berhenti disini. Saat sertifikat dikumpulkan ada lagi kewajiban yang mesti dipatuhi oleh para pencari sertifikasi, yakni bahwa semua kegiatan ilmiah yang sudah diikuti oleh para guru, maka diwajibkan untuk melampirkan surat tugas atau surat keterangan dari kepala sekolah.
Dari beberapa kegiatan yang sudah diikuti oleh penulis, pemberian surat tugas diberikan hanya pada skala kegiatan besar dan sumber pendanaan kegiatan itu berasal dari pemerintah. Artinya adalah peserta kegiatan yang dibayar oleh lembaga tersebut. Misalnya ada panggilan kegiatan workshop dari sebuah lembaga dan itu dilakukan secara resmi disampaikan kepada sekolah.
Sementara kegiatan seminar yang lagi tren saat ini, sangat jarang guru membawa surat tugas karena kegiatan itu merupakan inisiatif dari para guru sendiri. Kalaupun kepala sekolah mengetahui bahwa si A mengikuti seminar, itu hanya sebatas penyampaian bahwa guru tersebut mengikuti kegiatan seminar.
Pemberian surat keterangan juga tidak dibenarkan dan menjadi pembodohan lagi. Misalnya kegiatan seminar sudah diikuti lima tahun lalu. Berhubung karena disertifikasi, maka guru pun harus membuat beberapa surat keterangan kendati kegiatan itu berlangsung beberapa tahun lalu. Artinya adalah ada lagi manipulasi berbagai keterangan dalam kasus ini.
2. Pengembangan Profesi
Sebenarnya kalau guru berpikir dan membaca secara keseluruhan instrument portofolio, maka pengumpulan berbagai sertifikat dengan mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit, itu tidak perlu terjadi. Padahal jika kita melihat item lain seperti Karya Pengembangan Profesi, guru pun tidak mesti berburu sertifikat.
Di dalam item ini ada banyak cara yang mesti ditempuh oleh guru untuk mendapatkan skor penilaian. Misalnya guru membuat buku. Kalau guru membuat satu buku saja yang berskala nasional dan relevan dengan bidang yang digeluti, maka itu mendapatkan nilai 50. Nilai tersebut sama harganya jika guru mengikuti lima kegiatan seminar. Kalau ada guru yang membuat buku, maka sesungguhnya sudah relevan dengan pernyataan dari Ginandjar yakni sertifikasi akan menghasilkan suatu kompetensi guru. Tetapi faktanya adalah kompetensi guru diabaikan dengan memenuhi kebutuhan administrasi belaka.
Bukan hanya dalam pembuatan buku, ada juga penilaian dalam bentuk penulisan artikel, menjadi penulis soal UN, membuat modul, membuat media pembelajaran, membuat laporan penelitian atau karya pengembangan lainnya. Yang terjadi saat ini adalah sangat jarang kita mendapati guru melengkapi portofolio dengan melampirkan karya pengembangan profesi. Di dalam kenaikan pangkat saja, hampir semua guru tidak melampirkan, padahal nilainya sangat besar dan bisa mencukupi untuk pengalihan pangkat.
Dari beberapa uraian diatas, dapatlah kita memberikan sebuah deskripsi bahwa guru yang selama ini aktif dalam kegiatan ilmiah, hanya untuk memenuhi kebutuhan sertifikasi. Setelah berkas terkumpul, maka guru sudah mulai malas mengikuti seminar dan kegiatan lainnya. Padahal tidak ada yang sia-sia dalam mengikuti suatu kegiatan karena semuanya akan berguna, baik untuk pengembangan dan wawasan guru, maupun digunakan pada saat kenaikan pangkat. Semoga proses sertifikasi yang sudah menjadi proyek politik dari para elit, tidak meninggalkan kesan dan cerita miring, bahwa sistem sertifikasi hanyalah menghasilkan kualitas dan kompetensi guru yang dadakan.
III. KESIMPULAN
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya yang dilakukakan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Jika proses tersebut diimplementasikan sesuai dengan prosedur maka idealnya tujuan dan fungsi dari sertifikasi akan tercapai. Kemudian perlu ditekankan pada semua pihak yang terkait dalam pelaksanaan sertifikasi bahwa muara akhir sertifikasi adalah peningkatan mutu pendidikan di Indonesia bukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahtaraan guru. Guru yang telah bersertifikat pendidik dan mendapatkan tunjangan profesi diharapkan bisa memainkan perannya seoptimal mungkin untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kajian Tematis : Hadis Tentang Bersikap Keras Terhadap Anak

A. Latar Belakang Masalah
Plakkk! Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi Rio (bukan nama sebenarnya), bocah berumur 9 tahun itupun meringis kesakitan. Iapun menangis tersedu-sedu hingga tubuh mungilnya terguncang-guncang. Batinnya berguncang mempertanyakan apa yang salah pada dirinya, sehingga harus diperlakukan seperti itu. Perlakuan itu ia dapatkan hanya karena ia tidak dapat mengerjakan tugas matematika yang diberikan oleh gurunya. Begitulah nasib si Rio dan mungkin ribuan anak di Indonesia yang masih mendapatkan perlakuan yang sama.
Kekerasan dalam dunia pendidikan anak di Indonesia memang marak terjadi. Ia menjadi satu problem dari sekian probelamatika yang melilit dunia pendidikan kita. Posisi anak didik dalam sekolah belum mendapatkan porsi yang proporsional. Ia masih diibaratkan obyek yang pantas diperlakukan sekehendak guru. Dengan dalih mencerdaskan, guru berhak untuk memaksa, menghardik, bahkan kalau perlu menyakiti dengan tindakan kekerasan.
Gambaran di atas bukanlah satu-satunya kasus kekerasan yang dialami anak di Indonesia. Ada sederet kasus serupa yang kerap kali mewarnai dunia pendidikan mereka. Dalam catatan KNPAI (Komite Nasional Perlindungan Anak Indonesia) ada sekitar 221 kekerasan fisik yang dilakukan guru terhadap muridnya di berbagai tempat di Indonesia, belum lagi kekerasan psikis dan seksual..
Dalam konsep pendidikan Islam, kekerasan juga telah menjadi tema yang menarik diperbincangkan. Di satu sisi, memang terdapat hadis nabi tentang pendidikan yang jika pahami secara tekstual menimbulkan persepsi diharuskannya kekerasan dalam pendidikan. Hadis itu berbunyi :

Memberikan kabar kepada kami Ibnu Isa, yakni Ibnu Toha, memberikan kabar kepada kami Ibrahim Ibn Said dari Abdul Malik Ibn Rabi’ Ibn Sabrah dari bapaknya, dari kekeknya, berkata : Rasululloh SAW bersabda “Perintahkanlah olehmu kepada anak-anakmu untuk mengerjakan solat apabila telah sampai (umurnya) 7 tahun. Dan apabila sampai 10 tahun maka pukullah dia agar mau mengerjakan solat.”


Memberikan kabar kepada kami Muhammad Ibn Hisyam, yakni Yasykuri, memberi kabar kepada kami Ismail dari Sawar Ibn Hamzah. Berkata Abu Daud : Dan dia itu Sawar Ibn Daud Ibn Hamzah al Muzanni al Shoyrofi, dari Amr Ibn Daud Abu Hamzah Muzani al Shoyrofi. Dari Amru Ibn Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya berkata : “Telah bersabda Rasululloh SAW “Perintahkanlah olehmu sekalian anak-anakmu untuk mengerjakan solat yaitu mereka anak-anak yang berusia 7 tahun, dan pukullah olehmu anak-anakmu yang usianya 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka olehmu.”


Mengabarkan kepada kami Ali Ibn Hujri, memberi kabar kepada kami Harmalah Ibn Abdul Aziz Ibn Robi’ Ibn Sabrah al Juhani dari pamannya Abdul Malik Ibn Robi Ibn Sabrah dari kakeknya berkata : Rasululloh SAW bersabda “Ajarilah olehmu anak-anakmu untuk mengerjakan solat yaitu anak yang berumur 7 tahun, dan pukullah olehmu untuk mengerjakan solat anak yang berumur 10 tahun.”
Hadis-hadis tersebut seakan menjadi justifikasi keyakinan masyarakat awam dalam mendidik anaknya. Karena itulah harus ada perubahan paradigma dengan cara membongkar dan melakukan reinterpretasi terhadap hadis tersebut.

B. Pembahasan Masalah
1. Penyebab Kekerasan dalam Pendidikan
Kekerasan pada anak tidaklah terjadi begitu saja, ada beberapa faktor yang melatar belakanginya. Di antara faktor-faktor tersebut antara lain adalah akibat orang tua yang dibesarkan dalam kekerasan sehingga mereka cenderung meniru pola asuh yang telah mereka dapatkan sebelumnya, stres dan kemiskinan, isolasi sosial, lingkungan yang mengalami krisis ekonomi, tidak bekerja (pengangguran), kurangnya pengetahuan tentang pendidikan anak, serta minimnya pengetahuan agama orang tua.
Penyebab seseorang melakukan kekerasan memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun, ketika kekerasan dilakukan oleh orang yang terpelajar, seperti guru terhadap siswa, antar siswa dan mahasiswa pelaksanaan pendidikan yang kita lakukan patut dikritisi dan diintrospeksi. Hal itu bisa dilihat dari tiga lembaga pendidikan yang amat penting, yaitu lembaga formal (sekolah), informal (keluarga), dan nonformal (masyarakat).
Di sekolah misalnya, kekerasan bisa terjadi secara terstruktur dan mengkultur, atau warisan dari pendidikan yang pernah diterima seorang guru dari gurunya pada masa lalu, atau bisa terjadi karena senioritas yang sudah bisa terjadi di sekolah tersebut. Kekerasan ini akan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai bentuk pelampiasan dan balas dendam.
Selain itu, kekerasan di sekolah sadar atau tanpa sadar bisa tertanam dalam kepribadian peserta didik ketika proses pembelajaran. Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru, baik secara fisik maupun melalui kata-kata yang kasar lagi menyakitkan, jelas akan mempengaruhi perkembangan kepribadian siswa. Siswa yang biasa dimarahi cenderung bersifat pendendam, mudah memberontak, dan bersifat emosional. Meskipun ia tidak melawan dan diam ketika menerima kekerasan di lingkungan sekolahnya, tetapi dalam hatinya akan memendam rasa tidak senang. Dalam kondisi tertentu dengan peluang yang ada, rasa dendam dan tidak senang itu bisa mereka lampiaskan dengan tindakan-tindakan kekerasan dalam bentuk yang beragam.
Dalam keluarga, kasus kekerasan juga sering terjadi yang biasanya dikenal dengan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Ketika ayah dan ibu bertengkar secara psikologis mental anak-anaknya jelas akan terganggu. Apalagi dalam pertengkaran itu akan keluar kata-kata yang kasar, bahkan kekerasan fisik, niscaya akan membuat anak berkepribadian keras dan sulit mendengarkan nasehat. Begitu juga dalam lingkungan masyarakat, ketika supremasi hukum tidak tegak, tindakan kriminal semakin marak, hingga kepada tayangan kekerasan yang relatif ramai di televisi, semuanya secara tidak langsung akan mengajarkan anak yang sedang mencari identitas dirinya cenderung bertindak serupa. Dengan demikian, persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat semakin kompleks dan dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian setiap orang.
Namun, keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama memiliki peranan penting untuk mengawal perkembangan kepribadian seseorang. Begitu pula sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal tidak hanya sekedar memindahkan suatu ilmu dari guru ke siswa (transfer of knowledge), akan tetapi yang tidak kalah penting adalah menanamkan nilai (internalization of values) kepada peserta didik sehingga mereka memiliki kepribadian yang baik sesuai dengan fitrah aslinya.
2. Kekerasan Terhadap Anak dalam Pandangan Hukum Konvensional
Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak (KHA) PBB dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990. Tetapi, mulai diberlakukan di Indonesia tanggal 5 Oktober 1990. Pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia telah membuat UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Pengertian kekerasan dalam Pasal 3 UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak adalah meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran.
3. Kekerasan Terhadap Anak dalam Pandangan Islam
Hadis yang penulis tulis di latar belakang masalah pada makalah ini merupakan hadis yang cukup populer yang mengesankan bahwa pendidikan Islam itu mendukung kekerasan. Hadis tersebut mesti dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual dan perlu dilakukan reinterpretasi kembali terhadap hadis tersebut.
a. Penafsiran hadis secara tekstual
Asy Syafi’i dalam al Mukhtashar berpendapat bahwa sudah lazim atas ibu-bapak mendidik anak-anaknya dan memberikan pelajaran yang berkenaan dengan thaharah dan solat. Bahkan wajib mendera mereka jika enggan menuruti bila mereka telah mumayyiz (10 tahun).
Menurut An Nawawi orang yang tidak dibebani kewajiban solat, tidak diwajibkan bagi kita untuk menyuruhnya mengerjakan solat baik yang dasarnya wajib maupun yang dasarnya sunah kecuali terhadap anak kecil laki-laki dan perempuan. Anak kecil yang telah mencapai umur 7 tahun disuruh mengerjakan solat atas dasar sunah. Dan jika telah berumur 10 tahun wajiblah diperintahkan kepada mereka mengerjakan solat, dan dipukul jika mereka enggan mengerjakan solat. Pukulan itu harus dengan tangan, jangan dengan kayu.
Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik di sini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja), pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan), tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh, tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada, tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali, tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).
Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak.
Ada juga yang berpendapat bahwa hadis di atas memang boleh dipahami dengan memukul fisik anak/peserta didik, tetapi pada bagian tubuh tertentu, harus dilakukan dengan penuh kasih sayang, bukan bercampur kemarahan dan kebencian. Sebab hal itu akan membuat psikologis anak semakin memberontak. Itu pun dilakukan sebagai alternatif terakhir setelah berbagai upaya dilakukan. Ini disebut dengan pukulan yang bersifat educatif.
Hukuman fisik berupa memukul baru bisa dikenakan pada anak ketika ia memasuki usia 10 tahun, alasan pemberian hukuman ini pada hadis tersebut adalah karena anak tidak melakukan solat dan pukulan itu adalah sebagai hukuman. Ini bukanlah suatu tindakan yang kejam (kekerasan fisik). Jumhur ulama berpendapat bahwa pemukulan itu dilakukan dengan tidak membawa penderitaan pada tubuh anak. Dan dihindari pemukulan yang diikuti oleh pukulan berikutnya.
Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan tentang metode influentif terhadap pendidikan anak yang terdapat dalam lima tahapan, antara lain :
1. pendidikan dengan keteladanan;
2. pendidikan dengan adat kebiasaan;
3. pendidikan dengan nasihat;
4. pendidikan dengan memberikan perhatian;
5. pendidikan dengan memberikan hukuman.
Artinya pemberian hukuman hanya akan diberikan setelah melewati satu persatu metode di atasnya yang dimulai dengan keteladanan, adat kebiasaan, nasihat, dan memberikan perhatian, baru yang terakhir adalah pemberian hukuman.
Panduan fiqh klasik ini sering disalahartikan oleh beberapa pendidik sebagai sebuah legitimasi untuk mendidik anak dengan cara kekerasan. Seakan sudah menjadi kewajiban bagi seorang guru apabila melihat anak yang nakal, maka tangan sang guru sebagai pelajarannya. Karenanya, tidak jarang para pendidik yang lebih menekankan hasil dari proses yang dijalankan. Asal anak bisa paham cara apapun bisa dilakukan meskipun dengan ancaman, intimidasi bahkan sampai tindakan kekerasan.
b. Penafsiran hadis secara kontekstual
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan wadhribuu (dan pukulah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.
Titik tekan dari pemukulan yang dianjurkan seperti dalam hadis tersebut adalah pada sisi mendidiknya, bukan memukulnya. Memukul bukan suatu cara paten yang dianjurkan oleh Islam. Dengan kata lain, hadis tersebut mengandung pengertian betapa pentingnya mendidik anak sebagai tanggung jawab orang tua.
Kata wadhribuuu (dan pukullah) tidak harus dipahami memukul fisik si anak secara kasar dan keras lalu menyakitinya. Akan tetapi kata memukul bisa dipahami dengan memberikan sesuatu yang berbekas kepada anak sehingga ia berubah dari tidak shalat menjadi shalat, dari perilaku yang buruk menjadi baik. Misalnya, dengan memberikan nasehat yang tulus secara khusus. Atau memberikan sesatu yang mengejutkan mentalnya sebagai sockterapy tetapi dengan sikap penuh kasih sayang. Seorang ibu, misalnya, menesehati anaknya dengan linangan air mata dan mengajaknya berdialog dari hati ke hati. Hal itu bisa membuat hati si anak berbekas sehingga ia meninggalkan kebiasaan buruknya.
Sedangkan menurut penulis titik tekan murru (perintahkanlah) adalah perintah untuk mendidik, sedangkan pada kata wadhribuu (dan pukullah) penekanannya adalah sebuah bentuk hukuman dalam proses pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah pada masa sekarang ini pemukulan sebagai sebuah bentuk hukuman ini masih relevan dan efektif digunakan dalam mendidik anak? Tentu saja karakter anak-anak pada masa Nabi Muhammad hidup dengan anak-anak sekarang berbeda, sehingga menurut penulis hukuman dengan memukul ini sudah tidak relevan dan efektif lagi. Hal tersebut dikarenakan anak pada masa sekarang ketika berumur 10 tahun sudah bisa berpikir logis atau nalar.
Walaupun demikian, hukuman dalam proses pendidikan harus tetap ada dan hukuman yang diberikan bukan berupa pemukulan tetapi harus hukuman yang bernuansa educatif.

C. Kesimpulan dan Penutup
Pendidikan awal anak sangat menentukan bagi perkembangan mental dan jiwa di masa yang akan datang. Setiap orang harus mengetahui bahwa anak memiliki hak yang sama sehingga bisa menjadi dasar perubahan untuk kehidupan yang lebih baik.
Cita-cita di atas dapat terlaksana dengan merubah paradigma para pendidik kita. Merubah dari pendidikan berbasis kekerasan menuju pendidikan berbasis kasih sayang. Perlu disosialisasikan secara transformatif dan menyeluruh tentang hadis-hadis maupun ayat-ayat yang masih mempunyai peluang mempunyai arti melegitamasi tindak kekerasan dalam pendidikan, termasuk hadist yang telah penulis bahas melalui makalah ini.

Daftar Pustaka
Abu Daud Sulaiman Ibn al-As’af al-Sijistani al-Azdi, Juz 1 (Kairo : Dar al Hadist : 1999), hlm. 242.
At Tirmidzi, Juz 3, (Kairo : Dar al-Hadist, 2005), hlm. 20.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2, (Jakarta : Karya Unipress, 2002), hlm. 37.
Herlini Amran, Antara Hukuman Pemukulan dan Kekerasan Fisik pada Anak, disampaikan pada Seminar Online Kharisma Woman & Education Ke-3, 13-19 September 20
Kompas/26/02/2007
http://cfssyogya.wordpress.com/2007/03/15/mendidik-anak-tanpa-kekerasan/
http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=4&id=480
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/03/20/kekerasan-terhadap-anak/
http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=4&id=480
UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Review Perkuliahan Studi Qur'an Buat Teman-teman

Tugas : Review Perkuliahan
Mata Kuliah : Studi al-Qur’an : Teori dan Metodelogi
Program Studi : Pendidikan Islam
Konsentrasi : Manajemen Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Islam
Semester : 1 (satu)
Dosen : Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag

A. Pendahuluan
1. Deskripsi Mata Kuliah
Mata kuliah ini didesain untuk mengacu pada sasaran akhir dari perkuliahan ini, yaitu meliputi empat hal : 1) menyegarkan kembali pengetahuan tentang al-Qur’an dan ilmu-ilmunya, 2) mengarahkan untuk memahami al-Qur’an sebagai sumber utama pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Islam, 3) mengkaji bagaimana mufassir memahami dan memproduksi tafsir, dan 4) belajar dari mufassir, baik klasik maupun modern, melakukan penafsiran al-Qur’an dengan tema-tema tertentu, sesuai dengan minat dan isu kontemporer yang berkembang.
Langkah-langkah yang akan ditempuh antara lain :
a. Refreshing tentang ilmu al-Qur’an dan atau tafsir. Dalam hal ini, ada kemungkinan akan terjadi pengulangan dengan materi yang telah diberikan di S1. Untuk itu perlu pendalaman dan penjelajahan terhadap kajian al-Qur’an, termasuk Ulumul Qur’an agar tidak menjenuhkan.
b. Penjelajahan terhadap beberapa kitab tafsir dan studi kritis terhadap karya mufassirin atau ahli Ulumul Qur’an, baik klasik maupun modern.
c. Memberikan respon terhadap tema atau isu kontemporer.
Untuk melakukan langkah a, peserta mengulas kembali tema-tema dalam Ulumul Qur’an, tentu dalam kerangka kritis seperti Asbabun Nuzul dan sejarah sosial masyarakat Arab, Makki-Madani : perubahan dan pergeseran orientasi al-Qur’an, Qiro’ah dan pengaruhya terhadap istimbath hukum, Atasrul Lughah fi Ikhtilafi Mujtahidun, Rasmul Qur’an, Qosos : antara fakta dan metode, dan lain-lain. Termasuk dalam langkah a adalah bagaimana para pemikir kontemporer memikirkannya. Dengan cara seperti ini diharapkan dapat menemukan konsep-konsep dasar yang dikembangkan dalam studi al-Qur’an, antara lain : dekonstruksi dan rekonstruksi, pluralitas ma’na, konsep tekstualitas ma’na, konsep tekstualitas al-Qur’an, differensiasi antara ma’na dan maghza, tanda, penanda dan petanda, ideal-moral dan legal formal, dialektika teks dan konteks, tsabat al-nash-sh wa taghayyurul muhtawa, dan lain-lain.
Masih dalam ruang lingkup langkah a adalah mengkaji lebih jauh beberapa pendekatan dalam kajian al-Qur’an seperti tafsir pendekatan sastra, double movement dan tematik, pendekatan antropologis dan historis, tafsir realis dan metode tematik, tekstualitas al-Qur’an, ma’na dan maghza, hermeneutika pembebasan, teori hudud, ta’wil dan ijtihad, dekonstruksi, tafkik, dekonstruksi dan teori naskh, analisis gender, sosio-teologis dan gender, tematik, dan ushul fiqh.
Sementara untuk langkah b dilalui ketika peserta melakakun langkah c. Dengan demikian, paper bukan saja hasil ijtihad sendiri tapi juga hasil diskusi dengan para mufassir tersebut. Dengan cara ini diharapkan ada pertautan dan jaringan yang tak terputus antara pemikiran baru dengan pemikiran lama.
Adapun isu-isu yang direspon antara lain demokrasi, HAM, civil society, negara dan khilafah, pluralisme, sains dan teknologi, gender, toleransi agama, dan perkawinan beda agama. Sedang tokoh-tokoh mufassir dan Ulumul Qur’an kontemporer antara lain Amin Khuli, Aisyah bintu al-Sya’ni, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Farid Esack, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Ali Harb, Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah al-Na’im, Amina Wadud, Asma Barlas, Nasaruddin Umar, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, Muhammad al-Ghazali, Wahbah Zuhaili, Yusuf al-Qaradlawi, Ibnu ’Asyur, Muhammad Husain Thabathaba’i, Murtadla Muthahari, Nurcholish Madjid, M. Quraish Shihab, Siti Musdah Mulia, Dawam Raharjo, Abdullah Yusuf Ali, Maurice Bucaile, Toshihiko Izutsu, dan Mahmoud Ayoub.
2. Kompetensi
Peserta program studi mamiliki pengetahuan dan wawasan keilmuan tentang al-Qur’an, baik secara teoritik maupum metodelogis yang di dalamnya meliputi asumsi-asumsi dasar, latar belakang, metodelogi, konsep-konsep dasar, sumber-sumber penafsiran, karakteristik, dan tokoh-tokohnya. Di samping itu mahasiswa diharapkan memiliki sikap terbuka, kritis, dan responsif terhadap perkembangan pemikiran tafsir al-Qur’an, kemudian mampu mengaktualisasikan dalam merespon problem-problem kontemporer.
3. Strategi Pembelajaran
Perkuliahan diarahkan pada kerja mandiri (independent study) dan menekankan pada reading ability. Jadi jangan berharap peserta akan menjadi pendengar setia di bangku kuliah dengan ceramah satu arah, kemudian siap ujian. Untuk itu tugas terjun research perpustakaan, menulis paper, dan presentasi menjadi ciri utamanya. Dengan ini diharapkan muncul dan berkembang skill yang baik.
4. Evaluasi
Evaluasi terdiri dari tiga komponen; a) diskusi kelas (30%), b) paper dan presentasi (40%), dan c) final exam (bisa perbaikan paper atau take home exam yang baru, 30%).
5. Daftar Pustaka
Daftar pustaka dalam perkuliahan ini terdiri dari referensi yang wajib dipakai dan juga referensi pendukung.

B. Jalannya Perkuliahan
Perkuliahan pada mata kuliah ini menggunakan sistem team teaching, ada dua dosen yang mengampu perkuliahan tersebut namun pada akhirnya dosen yang mengampu hanya satu orang, yaitu Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag.
Dalam proses pembelajaran, dosen memberikan tugas berupa pembuatan makalah secara kelompok kemudian masing-masing kelompok mempresentasikannya. Setelah makalah dipresentasikan dan didiskusikan dengan peserta dan juga masukan dari dosen, mahasiswa merevisi makalah yang telah dibuat.
Setelah mahasiswa menyelesaikan revisi makalahnya kemudian dosen memberikan tugas berupa book review di mana tugas kali ini merupakan tugas individu. Mahasiswa mereview buku yang ditulis berangkat dari hasil penelitian dalam bentuk disertasi yang berhubungan dengan kajian keilmuan studi al-Qur’an dan tafsir al-Qur’an, setelah itu mahasiswa mempresentasikannya dan terjadilah diskusi antara presenter dengan peserta dan dosen pengampu. Di akhir perkuliahan, sebagai bentuk evaluasi kemudian dosen menugaskah kepada mahasiswa untuk membuat review terhadap jalannya perkuliahan sebagai ganti Ujian Akhir Semester 1.

C. Manfaat Perkuliahan
Bagi penulis ada beberapa manfaat yang telah penulis peroleh dari jalannya perkuliahan ini, antara lain:
1. Mereview kembali tentang pengetahuan Ulumul al-Qur’an yang telah diperoleh oleh penulis pada saat studi di program S1.
2. Menciptakan mainset baru dalam benak penulis tentang kedudukan dan fungsi al-Qur’an.
3. Memantapkan keyakinan penulis bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang harus selalu diinterpretasikan berdasarkan konteks kekinian oleh semua orang walaupun sebatas tafsir tematik (maudhi’i) dan kemudian hasilnya diamalkan sehingga al-Qur’an benar-benar bisa menjadi pedoman hidup penulis dan al-Qur’an pun benar-benar menjadi kitab yang shahih li kulli makan wa zaman.
4. Mengetahui metodelogi tafsir yang digunakan oleh para mufassir dalam menginterpretasikan al-Qur’an sehingga penulis mampu memberikan respon dan kritis terhadap perkembangan pemikiran tafsir al-Qur’an..
5. Mampu menafsirkan al-Qur’an dengan tema-tema tertentu sehingga penulis mampu merespon problem-problem kontemporer.
6. Menambah wawasan penulis tentang al-Qur’an yang multi tafsir sehingga penulis memiliki sikap terbuka dan toleran.

D. Kritik dan Saran
1. Materi Perkuliahan
Materi dalam perkuliahan ini menurut penulis sudah comprehensif namun pada saat dosen memberikan perkuliahan tentang studi tafsir al-Qur’an, dosen cenderung membahas dan mengkritisi materi pada review buku dan hanya sedikit menyinggung tentang metodelogi penafsiran dalam buku yang direview mahasiswa tersebut. Menurut hemat penulis nampaknya hal ini dikarenakan pada saat mereview buku mahasiswa lebih banyak mereview isi bukunya tidak mereview metodelogi penafsiran dalam buku tersebut.
Melihat hal di atas, maka menurut penulis dosen harus memberikan penekanan terhadap mahasiswa agar review buku yang dibuat lebih menitik beratkan pada metodelogi penafsirannya kemudian barulah isinya agar mahasiswa lebih banyak mengetahui tentang materi studi tafsir al-Qur’an.
2. Metodelogi Pembelajaran
Dalam menyampaikan materi, dosen lebih banyak menggunakan metode diskusi dan ceramah interaktif. Untuk membangun mainset pada mahasiswa tentang materi perkuliahan yang sedang diikuti, dosen menggunakan metode asking question. Metode-metode yang digunakan oleh dosen tersebut menurut saya sudah bagus karena mampu membuat mahasiswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran, namun pada saat memberikan materi dengan berbagai metodenya dosen nampaknya lupa jika dosen harus senantiasa memotivasi dan mensupport mahasiswanya.
Menurut penulis motivasi dan support dari dosen sangat diperlukan oleh mahasiswa sehingga saya berharap dosen juga mampu memberikan materi dengan metode yang bisa membuat mahasiswa termotivasi untuk belajar lebih lanjut.
3. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi yang terdiri dari tiga komponen seperti yang telah penulis paparkan pada pendahuluan menurut penulis sudah tepat. Namun ada satu hal yang diabaikan oleh dosen, yaitu dosen tidak meminta mahasiswa untuk merevisi hasil review bukunya.
Sepintas bagi mahasiswa hal di atas bukanlah masalah karena itu meringankan beban pikiran mahasiswa namun akan lebih bagus lagi jika dosen tetap menugaskan kepada reviewer untuk merevisi hasil revisinya agar mahasiswa tahu kekurang tepatan pada hasil reviewnya. Menurut penulis, revisi dari suatu tugas merupakan an evaluation tool yang efektif bagi mahasiswa untuk memperbaiki dirinya.

E. Penutup
Manfaat yang bisa penulis dapatkan dari perkuliahan ini bisa penulis rasakan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari penulis. Penulis berharap agar ilmu yang telah diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah studi al-Qur’an bernilai amal yang barokah, yang kemanfaatannya bisa dirasakan oleh semua pihak.
Demikian review perkuliahan ini penulis susun dengan harapan mampu meningkatkan mutu perkuliahan studi al-Qur’an.

Kamis, 21 Januari 2010

Islamisasi di Afrika sub-Sahara

Islamisasi di Afrika sub-Sahara
Oleh
Novan Ardy Wiyani

A. Latar Belakang
Afrika adalah tempat bermacam-macam bangsa dan kebudayaan yang banyak sekali. Afrika adalah negeri dengan pertentangan yang sangat mencolok dan keindahan yang liar. Di sana juga terdapat banyak masalah termasuk perang, kelaparan, kemiskinan, dan masalah penyakit. Di Afrika terdapat gurun Sahara yang merupakan gurun pasir terbesar di dunia. Gurun itu terbentang mulai dari samudra Atlantik di barat hingga laut merah di sebelah timur. Sahara meliputi seperempat dari seluruh benua itu.
Di Sahara Utara, sebagian besar penduduknya adalah keturunan Arab. Di Sahara Selatan, sebagian besar penduduknya adalah orang Afrika kulit hitam. Bagian selatan Sahara adalah Afrika yang berkhatulistiwa dimana terdapat hutan-hutan tropis yang subur dan padang rumput tropis yang disebut Sabana. Bagian selatan Sahara inilah yang disebut sebagai Afrika sub-Sahara, suatu istilah yang dipergunakan guna menggambarkan negara-negara sekitarnya.
Sejak zaman es, wilayah Afrika Utara dan Afrika sub-Sahara telah dipisahkan oleh iklim yang luar biasa keras di daerah Sahara yang jarang penduduknya membentuk sebuah rintangan alami yang dilalui hanya oleh sungai Nil. Sungai Nil merupakan jalan utama yang menghubungkan Afrika Utara dan Afrika sub-Sahara yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara utara dan selatan.
Kini penduduk di Afrika sub-Sahara mayoritas beragama Islam. Lalu bagaimanakah Islamisasi di Afrika sub-Sahara?

B. Pembahasan
1. Negara-negara di Afrika sub-Sahara
Afrika sub-Sahara adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan negara-negara di benua Afrika yang tidak dianggap termasuk bagian Afrika Utara. Pada abad ke-19, di Eropa dan Dunia Barat wilayah ini kadang-kadang disebut sebagai Black Africa atau Afrika Hitam. Afrika secara keseluruhan umumnya dahulu dikenal sebagai "benua Hitam", sebuah istilah yang sebetulnya biasanya dimaksudkan untuk menyebut wilayah sub-Sahara. Pemakaian istilah ini sebagian disebabkan oleh warna kulit penduduk pribumi di sana, dan sebagian lagi terutama disebabkan oleh karena benua itu belum sepenuhnya dipetakan atau dijelajahi oleh orang-orang Barat. Istilah-istilah ini pada masa sekarang sudah menjadi istilah yang usang atau kuno, dan malah sering dianggap sebagai istilah yang melecehkan. Lebih lanjut, istilah ini seringkali menyesatkan, karena banyak orang Afrika yang berkulit hitam juga merupakan pribumi di Afrika Utara.
Sejak akhir zaman es, wilayah Afrika utara dan sub-Sahara telah dipisahkan oleh iklim yang luar biasa keras di daerah Sahara yang jarang penduduknya, membentuk sebuah rintangan alami yang dilalui hanya oleh Sungai Nil. Istilah masa kini untuk "sub-Sahara" digunakan untuk memperlihatkan gambaran umum bahwa Utara sebagai bagian atas dan Selatan sebagai bagian bawah. Afrika Tropis adalah sebuah alternatif nama modern, yang digunakan untuk ekologi tropis dari wilayah tersebut. Namun demikian, jika dipergunakan secara seksama, istilah ini akan mencakup juga Afrika Selatan, yang sebagian besar wilayahnya ada di luar wilayah Tropis garis katulistiwa bumi.
Pada umumnya, Afrika sub-Sahara adalah wilayah termiskin di dunia, yang diakibatkan oleh warisan penjajahan kolonial, neokolonialisme, konflik antar-etnis, dan perselisihan politik. Wilayah ini terdiri dari banyak negara-negara paling terbelakang di dunia. Afrika sub-Sahara, khususnya Afrika Timur, dinyatakan oleh ahli ilmu genetika sebagai tempat kelahiran ras manusia. Mitokondria Eve, jenis wanita nenek moyang seluruh umat manusia, kemungkinan masih ada pada masa kini di Ethiopia atau Tanzania. Afrika sub-Sahara merupakan situs dari banyak kekaisaran dan kerajaan, termasuk Nubia, Axum, Wagadugu (Ghana), Mali, Nok, Songhai, Kanem-Bornu, Benin, dan Zimbabwe Raya.

Peta Negara-negara di Afrika sub-Sahara
Sumber : http://www.idrc.ca/uploads/user-S/11184166631Map_-_Africa_LRG.jpg

Ada 42 negara yang berlokasi di daratan Afrika sub-Sahara. Ada 6 negara kepulauan termasuk Madagaskar, Seychelles, Komoro, Tanjung Verde, dan Sao Tome dan Principe. Mauritius pada umumnya tidak dianggap sebagai bagian dari kepulauan Afrika sub-Sahara dikarenakan suku bangsa yang membentuk negara itu didominasi oleh kaum India Timur, Suku Han (Tiongkok), dan Perancis. Menurut skema klasifikasi ini, negara-negara Afrika sub-Sahara adalah sebagai berikut:
Afrika Tengah
• Republik Demokratik Kongo
• Republik Kongo
• Republik Afrika Tengah
• Rwanda
• Burundi
Afrika Timur
• Kenya
• Tanzania
• Uganda
• Djibouti
• Eritrea
• Ethiopia
• Somalia (termasuk Somaliland)
• Sudan
Afrika Selatan
• Angola
• Botswana
• Lesotho
• Malawi
• Mozambique
• Namibia
• Afrika Selatan
• Swaziland
• Zambia
• Zimbabwe
Afrika Barat
• Benin
• Burkina Faso
• Kamerun
• Chad
• Côte d'Ivoire
• Republik Guinea Khatulistiwa
• Gabon
• Gambia
• Ghana
• Guinea
• Guinea-Bissau
• Liberia
• Mali
• Mauritania
• Niger
• Nigeria
• Senegal
• Sierra Leone
• Togo
Negara-negara kepulauan Afrika
• Tanjung Verde (Afrika Barat)
• Komoro (Afrika Selatan)
• Madagaskar (Afrika Selatan)
• Mauritius (Afrika Selatan)
• São Tomé dan Príncipe (Afrika Barat)
• Seychelles (Afrika Timur)
2. Islamisasi di Afrika Utara sebagai gerbang Islamisasi di Afrika sub-Sahara
a. Pra Islamisasi di Afrika Utara
Pada masa pra Islam di Afrika Utara telah bermukim bangsa Berber. Sebutan Berber dalam proses sejarah dipergunakan sebagai penamaan jenis bangsa yang bertebaran di daratan Eropa sejak abad ke 3 M. Bangsa ini dari tengah-tengah Asia bahkan ada yang menyebut dari daerah Caucaus, Asia Tengah. Di antara mereka ini juga terdapat suku Nordik di Jerman, salah satu ras yang kuat di antara suku-suku Jerman adalah suku Goth yang berkuasa saat Islam menakhlukkan semenanjung Iberia (711-715 M). Adapun suku Berber yang terkenal Vandal dari Iberia yang datang dari Bayern (Jerman) terkenal sebagai Vandal dan merubah nama Iberia menjadi Vandalusia. Mereka bersaing dan kalah politik dengan Goth dan terusir ke Afrika Utara di bawah pimpinan Geiserik (Vandal) yang berhasil mengalahkan Bizantium dan berhasil menguasai Carthage, Tunisia, Afrika Utara. Sejak itu penduduk Afrika Utara terkenal sebagai bangsa Berber.
b. Islamisasi di Afika Utara dari masa ke masa
1) Pada masa nabi Muhammad
Pada masa Nabi Muhammad pertama kali ada kontak Islam di Afrika yaitu setelah beberapa sahabatya hijrah ke Habsy dan di sana mereka mendapat perlakuan baik dari masyarakat maupun dari penguasa, yaitu raja Najjasyi atau Negus.
2) Pada masa Khalifah Umar ibn Khatab
Pada masa ini Panglima Amr ibn Ash menguasasi Mesir (639-644 M) setelah mengalahkan tentara Bizantium di mana sepuluh tahun sebelumnya Mesir berada di bawah kekuasaan Sasanta. Kota Fustat dijadikan sebagai ibu kota Islam pertama di bumi Afrika.
3) Pada masa Usman ibn Affan
Khalifah ke tiga ini mengirim Abdullah ibn Sa’ad ibn Abi Sarah yang berhasil mengalahkan tentara Romawi di Laut Tengah dan mengalahkan tentara Bizantium lalu terus maju sampai ke Barqah dan Tripoli yang jatuh di tangannya. Kemudian pasukan Abdullah maju ke arah Carthage, ibu kota Romawi di Afrika Utara waktu itu. Hal ini menjadikan Raja Constantine III sangat marah dan dia menginginkan untuk merebut kembali wilayah kekuasaannya dari tangan kaum muslim. Pada saat itu situasi politik di Madinah kurang mendukung untuk melanjutkan perang yang akhirnya Khalifah Usman terbunuh dan keadaan kacau sampai Khalifah Ali juga terbunuh.
4) Dinasti Umayyah
Pada masa Muawiyah ibn Abi Sofyan, diutuslah seorang yang bernama Uqbah ibn Nafi menjadi gubernur di Afrika pada 666 M dengan ibu kota di Fustat. Ia memimpin pasukan menghadapi tentara musuh yang mengacau di Fezzaan (sekarang daerah Libya Selatan) dan Wardan. Uqbahlah yang pertama kali menembus padang pasir Sahara, menembus wilayah-wilayah Sudan termasuk Ghana dan membuka jalan sampai ke kota Awdaghost bahkan Uqbah dapat menembus daerah-daerah sampai ke Kawar dan beberapa wilayah Negro antara 666-671 M. Namun, ia dipecat dari jabatan gubernur dan diganti dengan Abul muhajir.
Uqbah kembali ke Damaskus dan melakukan protes terhadap Muawiyah namun Muawiyah tidak meresponnya, kemudian Muawiyah memberikan alasan bahwa diberhentikannya Uqbah adalah atas kemauan Maslamah sebagai penguasa seluruh daerah Afrika. Oleh karena itu Muawiyah tidak berhak campur tangan. Muawiyah tidak dapat berbuat sesuatu untuk Uqbah karena ia memiiki perjanjian rahasia dengan Maslamah dan Abul muhajir. Muawiyah telah berjanji kepada Maslamah dan Abul muhaji jika mereka berdua berhasil menggulungkan Muhammad ibn Abi Bakar sebagai pengusa Mesir semasa Khalifah Ali dan dapat menganeksasi kembali Mesir sebagai wilayah kekuasaan Umayyah maka mereka akan diberi hadiah yang istimewa. Maslamah sudah diangkat menjadi penguasa Mesir kemudian kini giliran Abul muhajir yang diberi kekuasaan sebagai penguasa Ifriqiyah tanpa mengindahkan sama sekali jasa-jasa Uqbah. Kemudian Abul Muhajir menghancurkan masjid Qayrawan dan kota yang telah dibangun oleh Uqbah kemudian membangunnya kembali agar sejarah mencatat namanya sebagai pendiri kota dan masjid Qayrawan.
Setelah wafatnya Muawiyah, putranya yaitu Yazid menjadi khalifah. Uqbah membuka kembali gugatannya dan berhasil merebut hati Yazid. Yazid memihak Uqbah dan Abul Muhajir pun menjadi bawahannya, kemudian Uqbah menghancurkan kota dan msjid Qayrawan lalu membangunnya kembali.
Pada periode kedua masa Yazid I, Uqbah memperluas wilayah kekuasaannya sampai Maroko. Berarti seluruh Ifriqiyah dan daerah al-Maghrib al-Aqsa jatuh di tangannya dengan amat cepat dalam waktu yang sangat singkat, maka Uqbah dijuluki sebagai Alexander Muslim. Setelah berhasil dalam penakhlukkan terakhir, ketika dalam perjalanannya ke Qayrawan Uqbah gugur dalam pertempuran dengan kepala suku Berber, Kusaila di Tahuza (juga disebut Ahuza). Selain sebagai penakhluk, Uqbah hidup abadi dengan bangunan kota dan masjid Qayrawan. Sampai sekarang masjid bersudut lima tersebut (satu-satunya di dunia) yang ia bangun pada 681 M masih ada dengan nama masjid Sidi Uqbah dan masih utuh bentuk keasliannya.
Setelah meguasai Tahuza, Kusaila menguasai Qayrawan yang menyebabkan sebagian tentara Arab lari ke Mesir. Walaupun Kusailah telah masuk Islam tapi di mata orang-orang Arab, bangsa Berber jauh lebih rendah. Hal ini menyebabkan mereka bersatu dengan musuh utama Arab yaitu Bizantium yang ada di Sisillia dan orang Berber pun berhasil menghalau kaum muslim dari seluruh al-Maghrib dan Ifriqiyah.
Setelah Abd al-Malik ibn Marwan memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Umayyah, ia mengutus Zuhair ibn Qais al-Balawi, yaitu wakil setia Uqbah ibn Nafi sebagai penguasa Afrika Utara sebagai panglima baru menggantikan Uqbah. Ia berhasil mengalahkan dan membunuh Kusailah dan memukul mundur pasukan gabungan Berber dan Bizantium dari Qayrawan. Panglima kembali ke Barqah untuk mempertahankan kota itu dari serangan Bizantium . Akhirnya Zuhair gugur dalam serangan Bizantium.
Khalifah Abd al-Malik sangat cemas atas gugurnya Zuhair di Barqah, maka lebih terdorong untuk cepat memulihkan kembali keunggulan dan kewibawaan Arab di sana maka ia pun mengirim Hasan ibn Nu’man sebagai pengganti Zuhair. Sementara di Timur orang Arab disibukkan dengan perang saudara yang menyebabkan pemerintahan pusat kurang memperhatikan Afrika, di samping itu orang Berber yang telah menguasai wilayah Ifriqiyah, muncul Kusailah II, Kahina (pendeta wanita, yakni ahli nuzum). Kisah-kisah pada periode ini kurang jelas baik secara fakta dan urut-urutan kejadiannya belum dipastikan. Setelah musuh-musuh politik di Timur dapat dikikis, khalifah segera menoleh kembali ke Afrika. Selanjutnya, Musa ibn Nusair diangkat menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Hasan (709 M). Sebagai catatan, pada akhir kekuasaan dua penguasa Afrika Utara itu, anak turunan dari Kahina banyak konversi Islam yang dalam sejarahnya disebut Mawali.
5) Pada masa dinasti-dinasti kecil di Afrika Utara
a) Dinasti Idrisiyah di Maroko
Dinasti Idrisiyah di Maroko didirikan oleh cucunya Hassan ibn Ali, yaitu Idris ibn Abdullah yang kalah dalam pemberontakannya terhadap Abbasiyah pada 786 M. Ia lari ke Maroko dan mendirikan dinasti Idrisiyah dengan ibu kota Fezz. Dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah pertama dalam sejarah Islam. Karena dinasti ini terletak antara kekuatan Islam besar yaitu Umayyah di Andalusia dan Fatimiah di Afrika Utara, akhirnya panglima dari Hakam II di Andalusia, yaitu Ghalib Billah melakukan aneksasi wilayah Idrisiyah. Setelah itu, maka berakhirlah Dinasti Idrisiyah.

b) Dinasti Aghlabiyah
Khalifah Harun al-Rasyid mengutus Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah. Mereka berkuassa secara independen dengan penguasa yang bergelar Amir dan mempengaruhi kawasan Laut Tengah. Dinasti Aghlabiyah (800-909 M) berpusat di Sijimasa, berdiri ketika Khalifah Harun al-Rasyid mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah (Tunisia) pada 800 M. Kedua dinasti ini sama-sama mengekspansi ke al-Maghribi. Periode ini membawa Afrika Utara dan kawasan pesisir Laut Tengah dalam banyak kemajuan. Dinasti ini dilenyapkan oleh Dinasti Fatimiyah ketika menguasai ibu kota Sijilmasa dengan mengalahkan penguasa terakhir Ziadatul al-Aghlabi III pada 909 M.
c) Dinasti Ibn Toulun
Di Syiria dan Mesir berdiri Dinasti Toulunia (828 M), pendiri dinasti ini adalah Ahmad ibn Toulun yang semula ditugaskan oleh penguasa Abbasiyah sebagai penguasa Mesir. Pada periode ini kegiata intelektual dan arsitektur, berkembang dan maju. Banyak rumah sakit, masjid, dan menara didirikan di antaranya Masjid ibn Toulun di Mesir yang sangat popular gaya arsitekturnya dalam sejarah. Putera Ibn Toulun, Syaiban (904-905 M) mengembalikan Mesir dalam kekuasaan Abbasiyah.
d) Dinasti Ikhshid
Muhammad ibn Tughuz mendirikan dinasti Turki yang ia mendapatkan restu dan nama dinasti ini dari Khalifah al-Razy, menggunakan nama Ikhsid (gelar kehormatan yang biasa digunakan raja-raja Sasania sebelum Islam), tidak lama kemudian ia menguasai Syam, Palestina, dan kedua kota suci Islam, Mekah-Madinah serta masjidnya. Penguasa terakhir dari dinasti ini adalah Abul Fawaris. Ia dikalahkan oleh Jawhar, panglima perang dari Dinasti Fatimiah.
e) Dinasti Fatimiah
Dinasti Fatimiah berdiri pada 909 M di Afrika Utara setelah mengalahkan Dinasti Aghlabiyah di Sijilmasa. Dalam sejarahnya, kejayaan Dinasti Fatimiah datang setelah pusat kekuasaannya dipindahkan dari Tunisia ke Mesir. Kekuasaan Syi’ah tersebut berakhir pada 1171 M. Kekhalifahan Fatimiah lahir sebagai manifestasi dari idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah. Kekuasaan ini lahir antara dua kekuatan politik kekhalifahan, Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah II di Cordova.
Pada saat iu di Sudan, Negara-negara di sub-Sahara yang berkulit hitam ditemukan tambang emas, kemudian dari sana emas mengalir ke Cordova dan Kairo. Hasil penambangan emas di Sudan tersebut banyak dijadikan dana untuk pembangunan masjid dan dijadikan pula tujuan-tujuan urbanisasi seperti pembuatan istana, masjid dan pasar-pasar. Pada masa al-Aziz (976-996 M), masjid al-Azhar mengalami perubahan mendasar menjadi universitas yang sampai sekarang masih berdiri sebagai salah satu perguruan tinggi Islam yang paling terkenal di dunia.
3. Islamisasi di Afrika sub-Sahara
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian Islamisasi di Afrika Utara, bahwa Islam telah mencapai wilayah sub-Sahara pada masa kepemimpinan Uqbah, saat Bani Umayyah berkuasa di Damaskus. Dialah yang berperan cukup besar dalam menembus padang pasir Sahara, termasuk wilayah-wilayah Sudan. Ia juga berhasil membuka jalan ke Awdagost. Sebagai wali Ifriqiyah pertama, Uqbah telah menembus daerah-daerah itu bahkan sampai ke Kawar dan beberapa wilayah Negro (666-671 M) dan pada periode kedua (semasa Yazid ibn Muawiyah) ia memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Maroko. Masuknya Islam secara formal dan besar-bearan di wilayah bilad al-Sudan terjadi pada masa Dinasti al-Murabithun dan al-Muwahidun.
a. Islamisasi pada masa Dinasti Marabithun (1091-1147 M)
Sebelum Islam menakhlukkan Afrika Utara, ± 500 tahun wilayah Afrika Utara dijajah Bizantium. Mereka tidak dapat menembus sub-Sahara saat itu karena kondisi alam yang sangat tidak bersahabat. Di penghujung periode Bizantium di Afrika Utara diintrodusir pengguanaan unta sebagai alat transportasi yang mendorong aktivitas Berber dalam bidang lalu lintas kafilah. Akhirnya berkembanglah kota-kota dagang di Sahil yang memberi peluang untuk kontak dengan peradaban Laut Tengah (peradaban Islam di Afrika Utara) di Afrika Barat, maka Islam mulai masuk dan tersebar di Sudan tidak terkecuali di Afrika Barat yang dilakukan oleh para pedagang Berber muslim.
Orang Murabithun secara khusus mengorganisasi orang bersenjata yang terdiri dari orang Berber dari suku Sanhaja dan Lamtuna yang bermayoritas Syi’ah. Akhirnya mereka menjadikan Awdaghost sebagai kota muslim yang kharismatis.
Tarsina (pemimpin Lamtuna) setelah naik haji mengadakan perang Jihad terhadap Negro dan wafat pada 1020 M. Menantunya, yaitu Yahya ibn Ibrahim menggantikan posisi Tarsina. Yahya kemudian naik haji bersama para kepala suku termasuk kepala suku Sanhaja. Dalam perjalanan pulang, Yahya singgah di Qayrawan, kemudian mengajak seorang ulama bernama Abu Imram Musa ibn Isa (W.1038 M) untuk mengajar di negerinya. Meskipun ia tidak dapat memenuhi ajakannya, namun Abu Imran menyarankan agar Yahya menjumpai pemimpin pesantren Dar al-Murabithun di Nafis yang dipimpin Wajjaj ibn Zalwi yang kemudian menugaskan Abdullah ibn Yasin untuk berangkat. Abdullah dapat reaksi keras atas pembaruannya dari kalangan tradisional masyarakat Sanhaja. Akhirnya setelah yahya wafat, Abdullah tidak begitu berhasil menyebarkan agama Islam di sana, maka ia dengan para pengikut setia Yahya pindah ke wilayah Sudan. Kemudian mereka mendirikan Ribath (pondok sufi) di pantai Atlantik (Mauritania). Kemudian lahirlah sebagai kelompok militant yang dinamakahn al-Murabithun (1056-1146 M). Kemudian pada 1040 Abdullah mengangkat Yahya ibn Umar sebagai juru dakwah bersama 1000 pengikut datang ke Lamtuna. Mereka adalah anak cabang dari suku Sanhaja di Maroko Selatan lalu mengarungi Gurun Sahara sampai daerah Sungai Niger sambil mengislamkan orang yang berkulit hitam. Pada saat itu penduduk wilayah tersebut (Afrika bagian Barat) berpaham animisme dan banyak menyembah berhala. Gerakan orang-orang Murabithun berhasil mengislamkan daerah tersebut.
Abdullah ibn Yasin mengajarkan ajaran Islam atas permintaan dari kepala suku Lamtuna. Ia mengumpulkan suku Lamtuna dan bertempat tinggal bersama di daerah Senegal. Mereka melatih para pengikutnya di Ribath tersebut. Setelah mendapatkan pengikut yang relatif banyak, mereka mulai menyerang kerajaan Ghana yang tidak mau tunduk dan hanya menindas rakyatnya. Gerakan ini mengindikasikan adanya pemikiran politik di kalangan mereka untuk membela ajaran Islam.
Setelah orang Murabithun menakhlukkan daerah selatan termasuk merebut Awdaghost, pemimpin mereka Yahya ibn Umar wafat dan digantikan Abdullah. Ia kembali ke Maroko pada 1056-1057 M. Sewafatnya Abdullah digantikan Abu Bakat ibn Umar sebagai panglima di sub-Sahara yang diangkat oleh Yusuf ibn Tasfin.
b. Islamisasi pada masa Dinasti al-Muwahidun (1147-1228)
Dinasti al-Muwahhidun juga mengislamkan daerah-daerah sub-Sahara. Orang Muwahidun menuduh al-Murabithun sebagai orang kafir sehingga mereka memerangi al-Murabithun sebagai kewajiban agama. Abdul Mu’min (penguasa Muwahhidun mengahncurkan suku Sanhaja. Sejak saat itu wilayah al-Muwahhidun meliputi Afrika Utara sampai Samudra Atlantik. Mereka, yaitu al-Murabithun dan al-Muwahhidun juga cukup lama berkuasa di Andalusia saat al-Muluk al-awaf sudah lemah. Karena wilayah kekuasaanya melebihi dari wilayah kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Pada saat itu para khalifah di Baghdad sangat lemah, maka Abdul Mu’min resmi memakai gelar Khalifatullah. Setelah 1212, Dinasti al-Muwahhidun terbelah menjadi beberapa dinasti yang mandiri dan menyatakan kemerdekaannya.
4. Pengaruh Islam dalam Kehidupan Masyarakat di Afrika sub-Sahara
Selain Islamisasi dilakukan secara formal oleh al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Islamisasi juga dilakukan dengan cara kultural. Islamisasi tersebut dilakukan melalui media perdagagan. Mereka membangun pemukiman pedagang muslim di wilayah Sudan. Sambil melakukan proses perekonomian mereka juga melakukan dakwah Islamiah. Di sepanjang bagian barat Afrika sub-Sahara Islam dapat diterima dengan mudah oleh suku Soninke dan nenek moyangnya suku Tokolor. Dari sini pentiaran Islam ke timur sampai ke lembah Senegal. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa proses Islamisasi di Sub-Sahara persis seperti di Nusantara, yaitu melalui jalur perdagangan.
Sebelum kedatangan warga Arab Berber, Sudan merupakan sebuah wilayah pertanian dan masyarakat bernegara yang memusat. Sudan menjalin hubungan dagang dengan beberapa wilayah di Afrika dan di laut tengah, biasanya melalui perantaraan warga Berber. Sudan juga mengekspor emas bahkan produksi emas Sudan telah menopang perekonomian Dinasti Aghlabiah, Fatimiah, dan Umayyah di Spanyol.
Sejak bangsa Arab menakhlukkan Afrika Utara, bangsa Arab meningkatkan intensitas jalur perdagangan ke Afrika sub-Sahara dan menguatkan hubungan antara bangsa Arab, Berber dan suku-suku di Afrika sub-Sahara. Pada akhir abad ke 10 dan abad ke 11 sebagian besar kota perdagangan di Sudan telah memiliki sebuah perkampungan muslim dan warga muslim menjalankan peran penting sebagai penasehat dan beberapa jabatan lainnya di beberapa kerajaan lokal. Untuk mendapatkan dukungan administratif, legitimasi, dan hubungan dagang para penguasa Kawkaw, Takrur, Ghana, dan Bornu memeluk Islam pada akhir abad ke 10 dan ke 11.
Pengaruh Islam akhirnya menjadikan hampir seluruh penduduk di Afrika sub-Sahara menjadi penduduk yang mayoritas muslim. Muncul banyak negara-negara di Senegal, imperium Srinke di Ghana, dan negara-negara di bawah wilayah imperium Mali yang sangat berperan aktif dalam Islamisasi di sana. Sejak abad ke 18-19 M negara-negara muslim di Afrika sub-Sahara semuanya menjadi jajahan negara-negara Eropa. Walaupun negara-negara tersebut sudah merdeka namun wilayahnya yang memproduksi seperempat kakayaan dunia tersebut secara politik dan ekonomi masih terbelenggu oleh Barat. Sementara dapat dikatakan di daerah Afrika sub-Sahara meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun pengaruh adat masih tampak dominan dibandingkan dengan agama kecuali ada beberapa daerah atau kota seperti Kano di Nigeria Utara dan di Niger.
5. Ibrah dari Sejarah Islamisasi di Afrika sub-Sahara.
Dari pemaparan di atas kita bisa mengetahui jika islamisasi di Afrika sub-Sahara dilakukan melalui beberapa jalan, antara lain :
a. Melalui ekspansi militer.
Islamisasi melalui ekspansi militer di Afrika sub-Sahara bertujuan untuk membebaskan penduduk pada masa itu dari belenggu kesewenang-wenangan penguasa setempat seperti yang dilakukan oleh Uqbah, Dinasti al-Murabithun, dan al-Muwahidun. Satu hal yang perlu kita catat dalam Islamisasi dengan ekspansi militer ini adalah setelah daerah tersebut dikuasasi kemudian terjadi perebutan kekuasaan antar muslim, seperti perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Abul Muhajir terhadap Uqbah serta perebutan kekuasaan Dinasti al-Muwahhidun terhadap kekuasaan Dinasti al-Murabithun.
Perebutan kekuasaan tersebut telah mengurangi esensi dari tujuan ekspansi militer yang dilakukan oleh kaum muslim, yaitu untuk membebaskan penduduk dari kesewenang-wenangan penguasa lokal. Hal tersebut akhirnya telah menciptakan mindset bahwa yang terpenting dari Islamisasi dengan model ini adalah bagaimana mendapatkan pengaruh dan kekuasaan tanpa memperhatikan dampak negatifnya terhadap perkembangan Islamisasi itu sendiri. Ada dua indikator yang menguatkan statement tersebut, antara lain :
1) Abul Muhajir menghancurkan masjid Qayrawan dan semua bangunan-bangunan yang dibangun oleh Uqbah semata-mata agar sejarah mencatat bahwa Abul Muhajir lah yang membangun kota Qayrawan bukan Uqbah. Abul Muhajir telah melaksanakan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip Islam, bahkan bertentangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW pada saat menakhlukkan Mekah, Rasulullah SAW tidak menghancurkan Ka’bah yang pada saat itu dijadikan sebagai tempat untuk mengukuhkan paganisme oleh kaum kafir Quraisy. Secara individu, bagi Abul Muhajir sendiri kebijakan tersebut menguntungkan namun bagi umat Islam pada umumnya penghancuran masjid Qayrawan beserta bangunan-bangunan yang dibangun Uqbah bisa menghambat dakwah Islam. Hal ini dikarenakan umat Islam membutuhkan sarana dalam berdakwah dan salah satu sarana tersebut adalah masjid.
2) Mudahnya orang al-Muwahhidun menyebut orang al-Murabithun sebagai orang kafir tanpa alasan yang jelas dan harus diperangi. Hal tersebut semakin menguatkan jika pada akhirnya Islamisasi dengan cara ekspansi militer untuk membebaskan penduduk setempat dari kesewenang-wenangan penguasa lokal pada akhirnya ternodai oleh berbagai kepentingan untuk memperebutkan kekuasaan. Selain itu tuduhan tersebut tentunya bisa membingungkan penduduk setempat yang akan dan baru memeluk agama Islam dan hal ini bisa menghambat Islamisasi di Afrika sub-Sahara.
Nampaknya kekuasaanlah yang menjadi tujuan akhir bagi dinasti-dinasti yang muncul pada masa itu bukan kemajuan Islam itu sendiri sehingga yang mereka dapatkan adalah kehancuran. Dari hal itu bisa kita ambil ibrah jika dalam dakwah Islam tujuan utamanya bukanlah kekuasaan namun kemajuan Islam itu sendiri, baik kemajuan secara kualitas maupun kemajuan secara kuantitas.
b. Melalui jalur dakwah.
Islamisasi melalui jalur dakwah ini telah dilakukan oleh Yahya ibn Ibrahim yang meminta kepada Abdullah ibn Yasin untuk berdakwah di kalangan Suku Sanhaja dan lamtuna. Namun kemudian dakwah yang dilakukan oleh Abdullah ibn Yasin ditentang oleh kalangan tradisional karena dakwahnya yang radikal.
Sepeninggal Yahya, Abdullah ibn Yasin bersama pengikut setia Yahya pindah ke daerah pantai Atlantik (Mauritania) kemudian mendirikan Ribath (pondok sufi) yang malahirkan pengikut yang militan yang kemudian dikenal dengan gerakan al-Murabithun yang mampu berdakwah dan mengislamkan penduduk-penduduk negro.
Ada dua hal yang bisa kita simpulkan, pertama dakwah yang dilakukan oleh Abdullah ibn Yasin dilakukan secara radikal sehingga mendapat pertentangan dari kaum tradisionalis; kedua, akhirnya dakwah yang dilakukan oleh orang-orang al-Murabithun bernuansa politis sehingga mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan.
Dari dua hal di atas kita bisa mengambil ibrah bahwa kegiatan dakwah akan berhasil dengan maksimal jika kita berdakwah dengan sikap yang toleran terhadap budaya setempat tanpa mengurangi esensi dari ajaran-ajaran Islam yang sedang kita sebarkan, kita menyampaikan ajaran Islam dan juga membimbing masyarakat untuk mengamalkan ajaran Islam secara bertahap. Kemudian dakwah Islam juga akan lebih maksimal lagi jika kita ketika berdakwah tidak terkontaminasi oleh politik.
c. Melalui jalur perdagangan.
Islamisasi di Afrika sub-Sahara menjadi model Islamisasi yang efektif dibandingkan dengan model yang telah penulis bahas di atas. Model Islamisasi ini minim akan terjadinya konflik pertumpahan darah. Namun kemudian model Islamisasi melalui jalur berdagangan telah menciptakan kesan elitis dimana pedagang muslim yang melakukan Islamisasi melalui perdagangan membuat pemukiman sendiri dan tidak bercampur dengan penduduk setempat.
Elitisme tersebut tentunya bisa menciptakan jarak antara mereka dengan penduduk setempat padahal di lain sisi penduduk setempat membutuhkan uswah secara langsung dari mereka. Sisi inilah yang nampaknya telah mereka abaikan, yaitu transmisi nilai-nilai keislaman dengan memberikan uswah kepada penduduk setempat. Islamisasi melalui jalur perdagangan ini akan lebih efektif lagi jika mereka tidak elitis dengan memisahkan tempat tinggal mereka dengan penduduk setempat serta lebih intens untuk memberikan uswah kepada penduduk setempat.

C. Kesimpulan
Islamisasi di Afrika sub-Sahara diawali dengan Islamisasi di Afrika Utara yang dilakukan oleh kaum muslim terhadap penduduk setempat. Setelah itu barulah Islamisasi di di Afrika sub-Sahara dilakukan. Islamisasi di Afrika sub-Sahara menggunakan 3 jalur, yaitu melalui ekspansi militer, melalui jalur dakwah, dan melalui jalur perdagangan. Dengan demikian bisa dikatakan jika Islamisasi di Afrika sub-Sahara mirip dengan Islamisasi di Indonesia, yaitu melalui jalur dakwah dan jalur perdagangan.
Uqbah ibn Nafi merupakan tokoh yang paling berjasa dalam sejarah Islamisasi di Afrika sub-Sahara. Kini negara-negara di Afrika sub-Sahara penduduknya mayoritas beragama Islam, namun keberagamaan mereka masih dipengaruhi oleh budaya setempat seperti praktek-praktek paganisme, animisme, dan dinamisme.







Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Sub-Sahara
Karim, M. Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.

Lapidius, Ira. M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam : Bagian ke Satu dan Dua, Terjemahan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Pasaribu, Saut. 2008. Sejarah Kebudayaan Dunia. Magelang : Pustaka Horizona.

Robinson, David. Muslim Societies in African History. United States of America.

Selasa, 05 Januari 2010

INOVASI PEMBELAJARAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL (Konsep dan Implementasi Pembelajaran PAI berbasis TI)

INOVASI PEMBELAJARAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL
(Konsep dan Implementasi Pembelajaran PAI berbasis TI)
Oleh Novan Ardy Wiyani, S.Pd.I

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam dewasa ini menghadapi banyak tantangan yang berusaha mengancam keberadaannya. Tantangan tersebut merupakan bagian dari sekian banyak tantangan global yang memerangi Islam dan kadang-kadang tampak dalam kedok politik, invasi militer, dan perang kebudayaan. Semuanya seperti terjalin dalam satu kesatuan yang berupaya memperdaya Islam dan pemeluknya.
Tantangan pertama yang dihadapi ialah kebudayaan Islam vis a vis kebudayaan barat abad ke-20 dan 21. Tantangan ini apabila tidak direspon oleh para pemikir dan pendidik muslim dapat meningkat menjadi ancaman bagi kebudayaan Islam mengingat kebudayaan barat disupport dengan buku-buku, radio, bioskop, televisi, surat kabar bahkan situs-situs yang tersebar melalui jaringan internet ke berbagai negara berpenduduk muslim, termasuk Indonesia.
Tantangan kedua, kebudayaan yang dimiliki sebagian pemuda muslim yang sedang belajar di negara asing. Apabila mereka kembali ke negeri asalnya, mereka bisa meniru kebudayaan asing secara buta dan membawa filsafat barat yang tidak sesuai dengan realitas dan warisan budaya mereka, khususnya kebudayaan Islam.
Tantangan ketiga yang dihadapi ialah sistem pendidikan Islam di sebagian negara muslim termasuk Indonesia masih terpaku pada metode tradisional dan kurang merespon perkembangan zaman.
Guru PAI mempunyai peran yang sangat strategis dalam menghadapi tiga tantangan di atas, terutama tantangan yang pertama dan ketiga dimana kedua tantangan tersebut mempunyai korelasi dengan proses pembelajaran. Pada dasarnya kedua tantangan tersebut merupakan imbas dari kemajuan teknologi di era global yang dapat masuk dan bisa diakses dengan mudah oleh semua kalangan.
Dampak positif dari kemajuan teknologi sampai kini ialah bersifat fasilitatif (memudahkan). Memudahkan kehidupan manusia yang sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin kompleks. Namun nampaknya dampak negatif dari teknologi juga telah menampakkan diri di depan mata kita yang pada prinsipnya bisa melemahkan daya mental-spiritual atau jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilan dan gayanya.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kemajuan teknologi mempunyai ranah positif dan ranah negatif. Untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan ranah negatif tersebut, maka guru PAI harus mampu memaksimalkan fungsi teknologi sebagai alat yang fasilitatif, salah satunya adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran PAI berbasis TI (Teknologi Informasi) sebagai sebuah inovasi pembelajaran dalam menghadapi tantangan zaman.

B. Pembahasan
1. Pengertian Pembekajaran PAI Berbasis TI
Konsep pembelajaran terkait erat dengan konsep belajar. Setidaknya terdapat empat hal yang menjadi unsur penyusunan definisi belajar, yaitu:
a. Adanya perubahan dalam perilaku, pengetahuan, sikap, dan kemampuan bereaksi.
b. Perubahan yang terjadi bersifat relatif dan tetap.
c. Perubahan yang terjadi bukan karena kematangan atau kondisi sesaat.
Dalam UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 1 Ayat 30 disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sedangkan TI merupakan akronim dari kata teknologi dan infromasi. Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu technologos. Technie berarti seni, keahlian, atau sains, dan logos berarti ilmu. Teknologi menurut Galbraith dapat diartikan sebagai penerapan sistematik dari pengetahuan ilmiah atau yang terorganisasikan dalam hal-hal yang praktis. Dalam konteks pendidikan, kita mengenal istilah teknologi pendidikan. Teknologi pendidikan dalam arti sempit dapat disamakan dengan media pendidikan, yaitu hasil teknologi yang digunakan sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran agar lebih berhasil guna atau efisien dan efektif. Kemudian kata informasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu information yang berarti fakta atau gambaran dari suatu objek (fact or details about something).
Jadi, pembelajaran PAI berbasis TI adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber serta media pembelajaran berbasis TI pada pelajaran PAI di sekolah.
2. Tujuan dan Fungsi Pembekajaran Berbasis TI
a. Tujuan Pembelajaran PAI Berbasis TI
PAI di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa tujuan pembelajaran PAI berbasis TI adalah untuk mewujudkan tujuan PAI di sekolah melalui sumber dan media pembelajaran PAI berbasis TI.
b. Fungsi Pembelajaran PAI Berbasis TI
Kurikulum PAI untuk sekolah berfungsi sebagai berikut :
1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
2) Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan di dunia dan di akherat.
3) Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
4) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan, dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
5) Pencegahan, yaitu menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
6) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum, sistem, dan fungsionalnya.
7) Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Dari fungsi PAI untuk sekolah di atas, maka fungsi pembelajaran PAI berbasis TI antara lain :
1) Memfasilitasi guru PAI dalam mewujudkan fungsi kurikulum PAI untuk sekolah melalui sumber dan media pembelajaran berbasis TI.
2) Meminimalisir dampak negatif kemajuan teknologi dan informasi.
3) Mengarahkan peserta didik untuk memaksimalkan manfaat atau fungsi teknologi sebagai sumber pengetahuan.
3. Sumber dan Media Pembelajaran Berbasis TI
a. Sumber Pembelajaran PAI Berbasis TI
Sumber pembelajaran PAI berbasis TI yaitu internet. Pada masa sekarang ini, internet hampir menjadi kebutuhan bagi sebagian besar pendudk dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Internet menyediakan berbagai macam informasi sehingga bisa digunakan sebagai sumber pembelajaran. Oleh karena itu, dalam konteks pembelajaran orang sering menyebut istilah e-learning yang merupakan teknologi Berbasis Internet.
Informasi yang dicari internet memerlukan waktu yang sangat lama tanpa adanya alat bantu yang canggih dan andal, untuk mengatasi masalah tersebut maka kita bisa menggunakan search engine. Salah satu search engine yang bisa digunakan adalah Google. Google tidak hanya dikenal sebagai mesin pencari tetapi juga penterjemah, pengumpul berita, pengelola e-mail, peta dan aplikasi lainnya.
b. Media Pembelajaran PAI Berbasis TI
Kata media berasal dari bahasa Latin yang merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media yang digunakan dalam media pembelajaran PAI berbasis TI dibagi menjadi dua, antara lain :
1) Media berupa perangkat keras (hardware)
Antara lain :
a) LCD projector sebagai alat bantu visual
b) Speaker sebagai alat bantu audio
c) Personal Computer (PC)
Ketiga alat di atas bisa digunakan secara bersamaan sehingga menghasilkan media pembelajaran yang bersifat audio visual.
2) Media berupa perangkat lunak (software)
Antara lain :
a) Internet
b) Program Windows
4. Strategi Pembelajaran Berbasis TI

RISET DAN PENGEMBAGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMA BUSTANUL ULUM NU BUMIAYU

RISET DAN PENGEMBAGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI SMA BUSTANUL ULUM NU BUMIAYU
Oleh Novan Ardy Wiyani
I. PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia banyak mengalami persoalan, antara lain yang menonjol saat ini adalah mengenai mutu pendidikan yag dirasakan masih kurang, manajemen pendidikan, dan dana pendidikan yang sangat kurang mengingat negara ini begitu luas ditambah lagi dengan banyaknya jumlah penduduk.
Banyak faktor yang menyebabkan mutu pendidikan kita masih kurang tinggi, antara lain kualitas guru yang belum semuanya professional dalam bidangnya, sarana dan prasarana yang belum lengkap, serta rendahnya minat belajar siswa.
Manajemen pendidikan, baik di level bawah maupun pusat juga masih banyak mengalami persoalan. Kadang masih banyak urusan birokrasi yang tidak begitu penting bagi pengembangan mutu pendidikan, tetapi harus dilakukan sehingga menghambat proses kemajuan pendidikan itu sendiri.
Problematika tersebut juga menjadi problematika dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Agama Islam belum sepenuhnya berhasil, hal ini ditujukan dengan indikator-indikator sebagai berikut :
1. hasil belajar Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah belum sesuai dengan tujuan-tujuan Pendidikan Agama Islam;
2. kegagalan Pendidikan Agama Islam disebabkan pembelajaran Pendidikan Agama Islam lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaanya;
3. penyampaian materi akhlak di sekolah oleh guru-guru yang diberikan kepada siswa hanya sebatas teori padahal yang diperlukan adalah suasana keagamaan;
4. proses pembelajaran sampai sekarang ini lebih banyak hanya sekedar mengejar pencapaian target kurikulum yang telah ditentukan;
5. pendidikan Agama Islam di sekolah mengalami masalah metodologi.
Di sinilah kemudian manajemen berperan untuk mengatasi problematika di atas, namun sayangnya peran manajemenpun belum sepenuhnya maksimal.
Berangkat dari hal itu maka kiranya perlu dimulai proses pembaruan dan pengembangan Pendidikan Agama Islam dari lapangan, yaitu dari kelas, sekolah, serta dari pelaku pendidikan sendiri, seperi kepala sekolah, guru, dan siswa bahkan perlu juga melibatkan wali murid. Usaha pengembangan inilah yang dapat dilakukan dengan menggunakan riset atau penelitian. Lalu bagaimanakah riset dan pengembangan manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu?
II. PEMBAHASAN
A. Riset Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
1. Pengertian Riset Manajemen Pendidikan Agama Islam
Riset secara bahasa berasal dari bahasa Inggris, yaitu research yang berarti penelitian, sedangkan secara istilah riset adalah penelitian yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pekerjaanya, dimana penelitian itu digunakan sebagai pengembangkan pekerjaan itu sendiri. Dalam oxford Eglish dictionary, research diartikan sebagai the systematic investigation into and study of materials and source in order to establish fact and reach new conclisions.
Secara istilah dalam oxford Eglish dictionary kata management diartikan dengan the process of managing. Manajemen pada hakikatnya berkenaan dengan cara-cara pengelolaan suatu lembaga agar lembaga tersebut efisien dan efektif.
Kemudian Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.
Dari berbagai definisi di atas bisa disimpulkan bahwa riset manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu adalah penelitian yang dilakukan oleh lembaga Litbang di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu terhadap pengelolaan serta pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu.
2. Tujuan dan Fungsi Riset Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
a. Tujuan Riset Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
Tujuannya antara lain :
1) Untuk melakukan perubahan atau peningkatan praktik pendidikan yag diteliti secara lebih langsung.
2) Untuk mendekatkan hasil penelitian dengan praktik guru di lapangan sehingga berdasarkan hasil riset, guru dapat memperbaiki kinerjanya.
3) Mengembangkan profesionalitas para pendidik dalam lingkup kerjanya.
(Hasil wawancara dengan Kepala Litbang SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu).
b. Fungsi Riset Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
Fungsinya antara lain :
1) Menilai program, prosedur, dan bahan-bahan untuk menunjukkan hasil Pendidikan Agama Islam yang telah dicapai.
2) Membentuk suatu badan informasi tentang usaha Pendidikan Agama Islam yang bermanfaat dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan.
3) Menyediakan pandangan, rangsangan dan penyuluhan yang keberhasilannya digunakan untuk pengembangan Pendidikan Agama Islam.
(Hasil wawancara dengan Kepala Litbang SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu).
3. Kegiatan Riset Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
Kegiatan Riset Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu dilakukan dalam bentuk :
a. Penelitian dasar (Basic research) dan penelitian terapan (Applied research)
Basic research adalah suatu kegiatan penyelidikan yang dilakukan untuk mengembangkan suatu bentuk ilmu pengetahuan teoritis. Hal ini karena suatu ciri pokok dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan harus bersifat heuristic, artinya yang mengandung kemungkinan-kemungkinan untuk dikembangkan lagi melalui riset lebih lanjut.
Sedangkan Applied research adalah kegiatan penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang perlu diterapkan dengan segera. Jadi lebih menitikberatkan pada masalah-masalah praktis (pelaksanaan). Oleh karena itu bentuk riset ini dapat disebut juga practical research karena riset ini berusaha untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran dalam bidang praktis.
Kedua riset ini saling berhubugan dalam usaha pengembahan hasil riset tersebut. Contoh kedua riset ini terhadap kasus berikut : Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Solat dapat menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar. Dari hasil survai yang dilakukan oleh lembaga litbang, 85% siswa SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu selalu menunaikan kewajiban solat 5 waktu, dengan demikian bisa dikatakan bahwa hampir secara keseluruhan siswa memenuhi kewajibannya, tentu saja dalam dataran teoritis etika dari para siswa tergolong baik karena solat mereka dapat mencegah mereka dari perbuatan yang keji dan mungkar. Namun dalam dataran praktis, ternyata berlawanan dengan apa yang diharapkan, indikator dari masalah ini adalah dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh siswa terhadap peraturan sekolah. Kemudian lembaga litbang melakukan penelitian dengan dibantu guru PAI untuk memecahkan masalah tersebut kemudian hasilnya dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut.
(Hasil wawancara dengan Kepala Litbang SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu).
b. Penelitian analitis, deskriptif, dan eksperimen
Penelitian analitis adalah suatu kegiatan riset yang bertujuan untuk mencari hubungan-hubungan dalam suatu sistem deduktif. Riset ini mempergunakan cara-cara analisis yang bersifat matematis, historis, dan filosofis. Contohnya penelitian tentang religiusitas siswi yang berjilbab di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Penelitian deskriptif bertujuan untuk menunjukkan kenyataan-kenyataan atau kondisi-kondisi yang ada tanpa terpengaruh oleh anasir subjektif dari si penyelidik. Riset ini menggunakan beberapa teknik penyelidikan, salah satunya adalah case study. Dalam riset ini analisis sangat berguna sebagai tingkat permulaan investigasi. Melalui investigasi peneliti dapat mengetahui problem-problem yang dihadapi untuk dicarikan-penyelesaian-penyelesaianya. Contohnya penelitian case study tentang bagaimana pengaruh penggunaan handphone terhadap perilaku siswa. Penelitian ini dilakukan karena banyak siswa yang menggunakan handphone untuk
Penelitian eksperimen bertujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat dari suatu variabel penelitian. Eksperimental research ini dibagi menjadi dua, antara lain laboratory eksperimental research dan field eksperimental research. Laboratory eksperimental research lebih tepat digunakan dalam ilmu pengetahuan alam, sedangkan Pendidikan Agama Islam dapat digunakan dengan field eksperimental research. Contoh penelitian eksperimental seperti hubungan antara pelaksanaan kegiatan tadarus Qur’an dan solat berjamaah di sekolah dengan pengamalan ibadah siswa di lingkungan keluarganya.
(Hasil wawancara dengan Kepala Litbang SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu).
B. Pengembangan Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
1. Pengertian Pengembangan Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
Pengembangan Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu adalah suatu usaha tindak lanjut dari hasil riset yang telah dilakukan oleh lembaga litbang SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu yang digunakan untuk mengatasi problematika pengelolaan dan pelaksanaan proses pembelaran di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu.
2. Tujuan dan Fungsi Pengembangan Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
Tujuan dari Pengembangan Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu adalah sebagai usaha tindak lanjut dari hasil riset yang telah dilakukan oleh lembaga litbang SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu.
Sedangkan fungsi dari Pengembangan Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu yaitu mengolah hasil riset yang telah dilakukan kemudian digunakan untuk mengambil suatu keputusan atau kebijakan.
3. Macam-macam Pengembangan Manajemen Pendidikan Agama Islam di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu
a. Pengembangan Sumber Daya Manusia
1) Urgensi Pengembangan SDM
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial dimana secara naluri manusia ingin hidup brkelompok. Manifestasi dari kehidupan kelompok di antaranya adalah timbulnya banyak organisasi sosial atau lembaga-lembaga pendidikan.
SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu sebagai lembaga pendidikan terdiri dari berbagai individu yang berupaya utuk memenuhi kebutuhannya, dengan menunjukkan peran dan fungsinya masing-masing. Pengembangan SDM di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu juga diharapkan bisa memiliki kemampuan menyesuaika diri dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan SDM
Pengembangan SDM secara makro adalah penting untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan secara efektif. Pengembangan SDM yang terarah dan terencana disertai pengelolaan yang baik akan dapat menghemat dana, atau setidak-tidaknya pengolahan dan pemakaian dana dapat lebih efisien dan efektif. Demkian pula pengembangan SDM di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu sangat penting untuk mencapai hasil pendidikan yang optimal. Dapat dikatakan bentuk pengembangan SDM merupakan bentuk investasi.
Dalam pelaksanaan pengembangan SDM ini perlu mempertimbangkan faktor-faktor berikut :
a) Visi, misi, dan tujuan sekolah
b) Kebijakan pemerintah
c) Faktor sosio-kultural di masyarakat
d) Perkembangan iptek
3) Perencanaan SDM
Perencanaan merupakan inti manajemen karena semua kegiatan di SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu didasarkan atas rencana itu. Dengan perencanaan akan memugkinkan para pengambil keputusan untuk menggunakan SDM mereka secara efisien dan efektif. Perencanaan SDM merupakan inti dari manajemen SDM karena dengan perencanaan maka kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan SDM bisa lebih terarah.
Sekurang-kurangnya ada empat kegiatan perencanaan SDM yakni persediaan SDM saat ini, perkiraan pemenuhan dan permintaan SDM, rencana untuk menambah tenaga kerja yang bermutu, serta evaluasi untuk memberikan umpan balik pada sistem.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dan harus diperhitungkan dalam membuat prkiraan kebuthan SDM yang akan datang antara lain :
a) faktor eksternal, meliputi faktor ekonomi, sosial, politik, dan budaya, hukum dan peraturan-peraturan, perkembangan iptek, dan keberadaan sekolah lain;
b) faktor internal, meliputi rencana-rencana pengembangan, anggaran atau pembiayaan, desain organisasi sekolah, dan perluasan usaha;
c) persediaan personalia, meliputi mereka yang akan pension, mereka yang akan mengundurkan diri, mereka yang meninggal, dan sebagainya.
b. Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Perkembangan yang mencolok selama beberapa dasawarsa ini ditandai dengan semakin pentingnya informasi dan pengelolaan data di dalam banyak aspek kehidupan manusia. Dengan tersedianya berbagai bentuk media komunikasi dan informasi, kini masyarakat memiliki pilihan lebih variatif bagi informasi yang ingin mereka dapatkan.
Kemajuan teknlogi informasi dan komunikasi seolah-olah membuat semua orang mengetahui apa saja yang ingin mereka ketahui segera. Sementara itu, seiring dengan laju pesatnya gerak pembangunan, organisasi public maupun swasta semakin banyak yang mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menunjang efektifitas, produktifitas, dan efisiensi mereka.
Penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan manajemen Pendidikan Agama Islam agaknya dapat diidentikkan dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan, yaitu dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
c. Pengembangan Lembaga
Paling tidak ada empat unsur yang mendorong atau mempengaruhi pengembangan lembaga, antara lain :
1) Manusia dan perilaku
2) Teknologi
3) Tugas individu dalam suatu lembaga
4) Struktur organisasi
(Hasil wawancara dengan Kepala Litbang SMA Bustanul Ulum NU Bumiayu).
III. KESIMPULAN
Riset dan pengembangan manajemen Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu upaya yang bisa digunakan untuk memperbaiki pengelolaan penyelenggaraan pendidikan maupun pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Hasil riset yang telah dilakukan bisa memberikan informasi-informasi kepada kita tentang berbagai problematika yang sedang melanda, kemudian hasil dari riset tersebut dikembangkan melalui suatu upaya tindak lanjut untuk mengatasi problematika tersebut.
Daftar Pustaka
Arifin, Muzayyin. 2007. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Halim, Abdul, dkk. 2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta : LKiS.
Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2005. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Oxford Engish Dictionary , Eleventh Edition
Suparno, Suparno. 2008. Action Research. Jakarta : Grasido.
Tilaar,H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Bandung : Rineka Cipta.