Kamis, 29 Juli 2010

TUGAS ON-LINE SISWA-SISWI SMA BUSTANUL ULUM NU BUMIAYU KELAS : X1, X2, dan X3



Selamat datang di tugas On-Line dan bapak ucapkan selamat berproses, semoga pembelajan kali ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Tugas On-Line kali ini adalah dalam bentuk information research, dimana anak-anakku sekalian menjawab beberapa pertanyaan dengan bantuan search engine, seperti Google.

Tulislah jawaban-jawaban tersebut pada buku tulis kalian sebagai nilai tugas dan sebagai bahan material review pertemuan kita minggu depan. Waktu mengerjakan adalah 70 menit, jika sudah selesai atau waktu telah habis, maka kumpulkan buku tersebut kepada bapak.

Akhirnya bapak ucapkan selamat belajar, semoga hari ini lebih baik lagi dari pada hari kemarin.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan bantuan mbah Google!
1. Apakah pengertian komputer secara bahasa? Yuk jawab
2. Apakah pengertian komputer secara istilah? Apa coba!
3. Apa sih ENIAC (Electronic Numerical Integrator Analyzer Computer) itu?
4. Apa sih fungsi dari transitor itu? .......Penasaran deh!
5. Ada 3 komponen komputer, yaitu hardware, brainware, dan software. Emmmmm apa sih pengertian dari hardware, software dan brainware?
6. Ndu,...macam-macam hardware komputer iitu apa aja yah?
7. Bagaimana yah cara mengaktifkan komputer yang sesuai dengan prosedur?
8. Trus bagaimana kalau cara mematikan komputer yang sesuai dengan prosedur? Apa dibanting aja yah komputernya?
9. Emmm pasti pas diwarnet sering ngalamin komputer yang ngeheng-kan, itu tuh terjadi karena proses tidak merespon, biasanya tertulis Not Responding. Nah...bagaimanakah caranya untuk menutup program tersebut?
10. Soal terakhir nih, gampang banget. Gini, sebutkan 10 saja kegunaan dari komputer, he he he 10 saja cukup kan? Met mengerjakan dan ingat........

JAGA KESEHATAN, DAN MAKAN YANG BANYAK MUMPUNG BELUM PUASA LHO!!!!!!!!!!

Jumat, 23 Juli 2010

KEBENARAN PENGETAHUAN

BAB I
LAHIRNYA PENGETAHUAN BENAR

Pada dasarnya manusia selalu ingin mengetahui (Aristoteles dalam tulisannya Metafisika), yaitu mengetahui segala sesuatu yang ada di sekeliling dirinya. Ini merupakan langkah awal manusia untuk memperoleh pengetahuan. Banyak hal terlibat pada saat manusia mengenal sesuatu baik dirinya sendiri maupun hal-hal di luar dirinya. Hal yang terlibat itu minimal adalah alat yang ada pada dirinya sendiri, alat itu adalah indera, rasio, intuisi, dan keyakinan (faith). Di samping itu juga ada hal yang melekat pada diri subjek yaitu kepercayaan (believe). Sesuatu yang mempengaruhi subjek, karena ia datang dari luar yaitu revelasi (wahyu) dan pengetahuan yang di sampaikan oleh pemegang otoritas (misalnya orang tua terhadap anak-anaknya, guru terhadap muridnya, pejabat terhadap bawahan dan rakyatnya dan seterusnya). Selain itu, hal yang melekat pada diri subjek adalah kesadaran. Kesadaran adalah aktivitas kejiwaan yaitu interaksi akal, rasa, dan kehendak yang mengolah semua informasi yang masuk ke dalam diri subjek,
Pengetahuan lahir dari aktivitas subjek yang sadar terhadap semua informasi yang masuk dalam diri subjek atau yang dikenal dan ingin dikenal oleh subjek. Pengetahuan yang lahir di dalam dirinya sudah terdapat kebenaran, dan memang setiap pengetahuan yang di kuak oleh seseorang di dalamnya telah terkandung kebenaran. Hospers menyatakan pangetahuan mesti benar (1967) Jadi isi pengetahuan selalu benar, atau dengan kata lain pengetahuan adalah pengetahuan yang benar. Kesalahan terjadi dan hanya terjadi karena informasi yang diterima melalui otoritas sudah mengandung kesalahan—misalnya, informasi dari orang tua tidak lengkap, dari guru kurang memadai, dari pejabat tidak sesuai dengan fakta, dan lain-lain—atau, indera subjek tidak normal —misalnya buta warna, gangguan pendengaran dan lain-lain—. Atau, penalaran seseorang itu tidak mengikuti norma-norma logika yang benar —tidak mengikuti hukum penyimpulan logika, dan aturan berpikir runtut lainnya.
Di dalam diri subjek di samping alat-alat (tools) yang melekat pada diri subjek, terdapat sikap yang melekat pada subjek, pada saat subjek menghadapi objek pengeta-huan. Terdapat sikap realistik terhadap objek yang di amati, sikap ini bertolak pada paham realisme metafisis yang berpendapat bahwa objek metafisika dan pengetahuan metafisika berpangkal pada objek ada yang real (actual being). Objek demikian haruslah konkret keberadaannya, objek itu di cerap atau dipersep oleh indera. Objek cerapan indera berupa objek konkret secara langsung atau tidak langsung melalui empiri (dapat berupa pengalaman indera dan atau pengalaman bathin). Paham epistemologi yang bertumpu pada sikap terhadap objek sebagaimana dikemukakan adalah paham realisme epistemologis atau paham empirisme—dapat empirisme lunak seperti John Locke atau empirisme keras sebagaimana dikemukakan oleh Ayer.
Sikap subjek yang lain adalah sikap idealistik yang bertolak pada paham idealisme metafisika. Objek yang bertolak pada sikap ini keberadaannya abstrak, sehingga untuk menangkap atau memahami objek itu melalui reason atau rasio. Objek diandaikan hadir dalam kesadaran subjek (bahkan objek telah hadir dalam diri subjek sejak manusia lahir —innate ideas—). Sikap subjek yang bertumpu pada sikap yang demikian melahirkan paham rasionalisme epistemologis. Paham ini dikembangkan oleh Réne Descartes, Spinoza, Bradley dan lainnya.
Sikap subjek yang lainnya adalah sinergi antara indera dan rasio, sehingga objek dipahami sebagai objek yang fenomenal. Objek demikian dapat dicerap oleh indera atau dicerap rasio atau juga dicerap secara bersamaan antara indera dan rasio. Immanuel Kant dan para penganut paham fenomenologi melihat objek sebagaimana dikemu-kakan.
Bertolak dari uraian di atas, terdapat tiga jenis pengetahuan dalam aktifitas manusia yang mengetahui, yaitu pengetahuan indera dan atau pengetahuan empirik, pengetahuan rasional (nalar), dan pengetahuan yang sifatnya fenomenalistik, seimbang antara kegiatan indera dan kegiatan penalaran. Pertama, pengetahuan empirik. Pengetahuan ini telah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles. Plato menjelaskannya melalui teori the allegories of the cave. Plato membagi jenis pengetahuan menjadi 4 macam yaitu pengetahuan eikasia atau pengetahuan khayali atau pengetahuan ilusi. Pengetahuan ini adalah pengetahuan orang kebanyakan atau biasa disebut juga sebagai pengetahuan keseharian (ordinary knowledge). Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan substantif pengetahuan faktual yang dapat diinderai secara langsung. Aristoteles mengatakannya objek pengetahuan yang demikian adalah objek yang common sensible atau sensus comunis. Pengetahuan ketiga adalah pengetahuan matematis, pengetahuan ini adalah abstraksi dari objek faktual, pengetahuan ini semacam sketsa secara terukur dari objek yang dihadapi. Pengetahuan keempat adalah pangetahuan yang sesungguhnya atau pengetahuan essoterik, yaitu pengetahuan abstrak tentang sesuatu objek. Pengetahuan semacam ini terdapat di dalam dunia ide atau dunia pikiran semata pengetahuan ini disebut noesis atau episteme. Keempat macam pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh Plato bertolak pada objek konkret. Pengetahuan yang ada dalam dunia ide hanya ada manakala subjek pernah mempersep objek dalam pengalamannya, artinya pengetahuan ide lahir karena subjek telah memiliki kesan tentang objek, sebagai contoh seseorang (subjek) memiliki pengetahuan tentang kuda, setelah subjek mempersep kuda sebagaimana adanya apakah kuda poni, kuda sumba, kuda cowboy dan lainnya. Teori Plato mempengaruhi persepsi murid-muridnya termasuk Aristoteles. Aristoteles di dalam tulisanya On the Soul dan On Remember berpendapat bahwa objek adalah objek yang dapat dicerap secara langsung (direct comprehension menurut Moore) dan dapat diketahui oleh banyak orang. Itu sebabnya, objek yang demikian oleh Aristoteles disebut sebagai objek yang common sensible atau communis sensus. Pengetahuan yang diperoleh sifatnya explanatory principle harus dibuktikan secara logis melalui logika deduktif dibuktikan dengan mengacu kembali kepada objek pengetahuan yang common sensible.
Pada Jaman Modern lahir teori pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke dan David Hume yang bertolak pada empiri. Di samping Locke lahir pula pengetahuan yang bertumpu pada rasio sebagaimana dikembangkan oleh Réne Descartes. Dan, yang berikutnya adalah Immanuel Kant yang berusaha menyelesaikan dua pendapat yang berbeda, yaitu bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan akal murni dan akal praktis. Pada Jaman Kontemporer kelahiran teori pengeta-huan sangat pesat dan beragam.



BAB II
MAKNA PENGETAHUAN BENAR

Manakala seseorang mempertanyakan dan hendak menegaskan apakah pengetahuan yang ia peroleh memiliki kebenaran ataukah tidak. Menurut para ahli epistemologi dan para filusuf umumnya untuk membuktikan bahwa pengetahuannya bernilai benar, maka orang yang memiliki pengetahuan itu harus melihat dan memeriksa terlebih dahulu bagaimana ia membentuk, memperoleh, atau memiliki pengetahuan itu. Apakah ia memperolehnya dengan melihat atau menginderai atau ia melalui kewibawaan seseorang (melalui otoritas) atau melalui keyakinannya. Atau mungkin juga ia memperolehnya melalui penalaran baik pemikiran deduktif maupun induktif. Kemudia harus diperiksa juga sikap subjek pada saat ia membangun pengetahuan itu. Sikap ini adalah sikap ontologis terhadap objek yang dihadapinya. Apakah ia bertumpu pada paham spiritualisme metafisik ataukan ia bertolak pada paham materialisme metafisik. Lain daripada itu, juga harus memeriksa sarana apa yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan itu. Apakah subjek menggunakan indera, rasio, intuisi, keyakinan atau percaya pada pemegang kewibawaan. Sebagaimana dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, tampak bahwa terjadinya pengetahuan dapat karena aktivitas indera, rasio, intuisi, atau keyakinan, serta dari revelasi atau melalui otoritas seseorang (Hospers,1967). Atau, dapat juga karena subjek sangat terikat pada objek (Empiristik), atau objek yang masuk atau diandaikan ada dalam kesadaran subjek (Rasionalistik), atau menempatkan keseimbangan antara subjek dan objek (Fenomenalisme dan Fenomenologi). Masing-masing cara memperoleh pengetahuan itu memerlukan cara pembuktian kebenaran yang berbeda pula. Bahkan, jika Anda termasuk seorang yang meragukan alat, sumber, dan cara untuk memperoleh pangetahuan sebagaimana Pyrrho dan Sextus Empiricus serta para penganut Shopisme dan Skeptisisme baik yang keras atau yang lunak tak ada kebenaran kecuali keraguan.
Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret dan yang abstrak. Perlu diperhatikan bahwa manakala seseorang ingin membuktikan penge-tahuan maka ia perlu memahami apakah realitas pengeta-huan itu. Pengetahuan adalah hasil aktivitas manusia—subjek yang sadar—(karena ada hubungan) dengan objek yang ingin dikenal. Pengetahuan dalam realitas sebagai benda yang actual being dapat berupa pernyataan (statement), atau benda budaya (hasil aktivitas budaya), atau perilaku subjek mengetahui. Maka pada saat subjek hendak membuktikan pengetahuan apakah pengetahuan itu mengandung kebenaran atau sebaliknya kekhilafan, Subjek harus memahami dulu realitas pengetahuan itu. Kandungan pernyataan, makna budaya, serta perilaku subjek yang mengetahui dalam suatu proposisi. Proposisi adalah kandungan makna yang tersirat dalam pengetahuan (pernyataan, budaya, dan perilaku subjek).
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah kualitas pengetahuan (apakah pengetahuan kita itu penge-tahuan keseharian dan non ilmiah, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, atau pengetahuan relijius). Masing-masing pengetahuan itu memiliki cara dan sifat kebenaran sendiri sesuai dengan karakter pengetahuan itu. Atau juga, sifat pengetahuan itu apakah empiristik, rasionalistik, atau fenomenalistik, serta fenomenologik. Serta, hubungan dan nilai pengetahuan itu terfokus pada subjek, objek, atau seimbang antara subjek dan objek. Hal itu dapat dipahami, karena sesungguhnya suatu atau nilai kebenaran pengeta-huan amat tergantung pada atau berkaitan erat dengan kualitas, sifat, dan hubungan itu, sehingga pengetahuan tak dapat begitu saja melepaskan diri.
Di dalam hal kualitas pengetahuan, kita dapat melihat arasy pengetahuan apakah pengetahuan keseharian (ordinary knowledge) dapat berupa pengetahuan biasa atau pengetahuan non ilmiah, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuian filsafati (philosophical knowled-ge), dan pengetahuan relijius (religious knowledge). Masing-masing pengetahuan memiliki sifat kebenaran dan cara membuktikannya secara mandiri.
Pengetahuan non ilmiah memiliki sifat dan cara pembuktiannya sendiri. Sifatnya amat terikat kepada subjek yang mengetahui dan pembuktian atau pengyaannya dengan mengacu secara langsung terhadap objek dan subjek yang mengetahui. Hal ini, sangat berbeda dengan pengetahuan ilmiah, dimana pengetahuan ini baik ilmu sosial (social sciences) maupun ilmu kealaman (natural sciences) akan mengejar objektivitas empirik. Dengan demikian, suatu kebenaran pengetahuan ditunjukkan oleh objek nyata secara empirik, walaupun demikian pasti memiliki perbedaan, karena masing-masing ilmu menggu-nakan metoda yang satu dengan lainnya berbeda. Berbeda dengan pengetahuan filsafati yang memiliki sifat intersub-jektif, karena dalam bidang filsafat sangat sulit untuk menunjukkan hakikat pada ujud yang konkret, sehingga memerlukan kesepakatan di antara para pemikir itu. Sebagai contoh teori Aristoteles memerlukan pengyaan (assertion) dari pemikir-pemikir yang memiliki cara persepsi yang sama atau hampir sama, dan tak mungkin di yakan oleh pengguna metodologi berpikir yang berbeda apalagi bertentangan. Lain halnya, jika membicarakan kebenaran pengetahuan keagamaan. Sikap panatisme dan dogmatisme agama akan mempengaruhi sifat kebenaran pengetahuan keagamaan yang dimiliki oleh subjek tertentu. Satu subjek dengan subjek lain yang berbeda keyakinan keagamaan tak perlu mengadakan pembenaran secara universal.
Manakala melihat pengetahuan dari sifat kebenaran, maka perlu dipilahkan terlebih dahulu apakah sifat pengetahuan itu sifatnya kemestian, keharusan, atau kebetulan. Sifat ini amat tergantung pada sifat metafisis keberadaan objek yang diketahui. Misalnya rakyat dan wilayah merupakan sifat yang harus ada pada eksistensi suatu negara. Apabila kita tahu ada negara X misalnya, maka kita dapat memikirkan bahwa ada rakyat dan wilayah dari negara X tersebut, oleh karena itu, tiada negara tanpa rakyat dan wilayah dimana rakyat itu berada. Tetapi, pemerintahan adalah sifat mesti pada suatu negara, serta bentuk negara apakah republik atau lainnya adalah merupakan sifat kebetulan. Atau contoh lain, semula jumlah tiga sudut suatu segi tiga 180'. Pada saat pendapat bahwa bumi ini datar sebagaimana terjadi pada masa Yunani kuno, maka pendapat itu merupakan sifat mesti. Akan tetapi, setelah pendapat tentang bumi itu berubah maka konsep jumlah tiga sudut pun berubah pula menjadi sifat kebetulan. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan yang sifatnya objektif perlu mendapat pembenaran dari mereka yang memiliki latar belakang ilmu yang sebidang. Ini merupakan konvensi di antara para ahli yang sebidang.




BAB III
TEORI KEBENARAN PENGETAHUAN

Di dalam pemikiran epistemologi terdapat penge-lompokkan teori kebenaran. Pengelompokkan ini berdasar-kan pada sifat terjadinya pengetahuan atau berdasarkan sumber pengetahuan dan sifat kelahiran teori pengetahuan itu yaitu karena adanya faham baru yang melatarbelakangi munculnya pengetahuan itu. Hal ini dapat terjadi disebab-kan oleh faham lama yaitu empirisme (realisme) dan rationalisme (idealisme) serta faham baru yang berlan-daskan antara lain pada bahasa yaitu faham analitika bahasa, faham pragmatis dan lainnya. Dengan demikian, maka sedikitnya terdapat 8 faham atau bentuk teori kebenaran yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi sebagai teori kebenaran yang bertolak pada faham lama atau tradisional; dan, teori kebenaran pragmatisme, teori kebenaran logis berlebihan, teori kebenaran non-deskripsi, teori kebenaran semantik, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran konsensus, serta teori kebenaran otoritarianis, teori-teori itu adalah teori baru atau teori mutakhir.
Seorang yang mempelajari ilmu filsafat ada baiknya memahami teori-teori ini, dengan demikian, diharapkan mampu memiliki pandangan yang cukup luas atas problema pengetahuan yang setiap filusuf memiliki cara dan sikap yang khas untuk memperoleh pengetahuan itu sehingga berimplikasi terhadap munculnya kebenaran pengetahuan yang khas pula.

1. Teori Kebenaran Korespondensi

Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradisional atau teori yang paling tua(Hornie,1952). Teori ini bertolak dari pernyataan Aristoteles yaitu “..... to say of what is that it is or of what is not that it is not, is true”. Menurut teori ini pengetahuan benar adalah pengetahuan dengan berdasar pada asas logik bahwa “..... that it is true that p, if and only if p”. Sehingga, menurut teori korespon-densi ini sebagaimana dikemukakan White (1970) bahwa “..... since p is true if and only it p, then when what is said e.g. p is true’ pernyataan ini mengikuti filsafat Moore (1953) bahwa pengetahuan terjadi karena adanya pema-haman langsung terhadap objek (direct apprehension), maka pengetahuan tentang objek tertentu mesti dipercaya keberadaan dan kebenarannya. Hal demikian disetujui pula oleh Marhenke bahwa “..... to see a physical object is to see”.(Marhenke dalam Schlipp, 1953). Moore secara tegas menjelaskan bahwa Pengetahuan benar manakala cerapan indera atau data indera memiliki hubungan dan saling berkesesuaian (correspondence) dengan objek atau benda-benda material. Lebih jauh ia menyatakan bahwa harus ada kesamaan antara “ada penginderaan yang kita alami” secara khas menyatakan bahwa “When the belief is true, it certainly does correspond to a fact, and when it corresponds to a fact it certanily true. And similarly when it is false, it certainly does not correspond to any fact; and when it does not correspond to any fact, then certainly false” (Moore,1952).
Hornie (1952) menyatakan secara jelas bahwa “.... it affirms that our thoughts or ideas are true or false according as they agree (correspond), or do not agree, with a fact such as I think it to be”. Hal demikian juga sesuai dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan faktanya (fakta yang actual being)
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengetahuan atau yang tercermin dalam proposisi yang benar dapat dibuktikan langsung pada fakta atau objek yang diinderai, atau yang dapat dijabarkan langsung pada dunia empirik atau pengalaman langsung yang dapat diamati indera. Pengetahuan inderawi atau pengetahuan yang berdasar pada pengalaman indera kebenarannya dapat dibuktikan dengan mengacu pada objek pengetahuan itu. Kekhilafan atau kesalahan dapat terjadi karena kesalahan penginderaan atau kurang cermatnya menginderai dan atau indera sudah tidak normal.

2. Teori Kebenaran Koherensi

Teori ini dibangun oleh oleh para epistemolog yang bertolak pada sikap ontologis bahwa objek berupa hal abstrak sehingga diandaikan ia hadir dalam kesadaran subjek. Paham ini dianut pula oleh mereka yang mengembangkan paham logika positivisme. Menurut teori ini bahwa “.....to say that what is said (ussually called judment, belief, or proposition) is true or false is to say that it cohere with a system of other thing which are said; that it is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the element in a system of pure mathematics are related’(White, 1970) Atau dapat dikemukakan juga bahwa proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan dari proposisi terdahulu yang bernilai benar dalam suatu sistem pemikiran yang saling berhubungan secara logik-sistematik. Sebagai contoh jika kita ingin membuktikan bahwa runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 atau 1400 Çaka dengan candra sangkala Sirna Ilang Kertaning Bumi. Maka dalam pembuktikan kebenaran itu kita tak dapat melihat langsung seperti para epistemolog realis tetapi harus melalui proposisi-proposisi terdahulu yang mewartakan tentang runtuhnya Majapahit. Proposisi itu dapat ditemukan dalam catatan sejarah atau catatan lain yang menguak kejadian itu. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah atau data-data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan,
Begitu pula bila yang akan diuji itu adalah proposisi logika dan atau matematik. Maka, pengujiannya juga harus kembali kepada logika yang digunakan dan matematik yang dibangun. Teori kebenaran koheren di anut oleh paham rasionalisme dan atau paham idealisme ontologis.

3 Teori Kebenaran Pragmatik

A.R. White (1970) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan bahwa teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatik. Paham Pragmatisme sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filusuf besar Amerika yaitu C.S.Pierce, William James dan John Dewey. White menjelaskan bahwa menurut paham ini “..... an idea —a term used loosely by these philosophers to cover any opinion, belief, statement, or what not”— is an instrument with a particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not.”
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini yaitu bahwa penganut pragma-tisme meletakan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman. Pernyataan itu adalah benar.
Jadi menurut teori ini bahwa suatu pengetahuan atau proposisi bernilai benar manakala proposisi itu memiliki konsekuensi praktis sebagaimana yang melekat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Hal ini karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu dikarenakan bahwa dalam praktiknya apa yang diang-gap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain, bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja —pengetahuan atau proposisi— dapat dimanfaatkan secara praktis.

4 Teori Kebenaran Semantik

Kebenaran pengetahuan di dalam teori ini bahwa proposisi dianggap benar dalam hubungan atau mengacu pada arti atau makna yang dikandung oleh proposisi atau pengetahuan. Oleh karenanya, teori ini memiliki tugas untuk menguak keabsyahan (validitas) proposisi terhadap referensi yang diacunya (dapat mengacu pada pengalaman atau pada idea) si pemilik pengetahuan.
Di dalam teori ini dibedakan antara arti dalam bentuk sintaksis atau menurut struktur sintaksis atau tata bahasa atau gramatika. Artinya, bahwa proposisi itu memiliki arti dan bahkan memiliki kebenaran dalam hubungannya dengan syarat tata bahasa. Jadi apabila pernyataan itu tak mengikuti dan memenuhi syarat gramatika atau bahkan ke luar dari hal yang di syaratkan tata bahasa maka proposisi itu tak memiliki arti dan makna sama sekali. Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara para filusuf analitika bahasa terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Freiederich Schleiermacher (1768-1834) Menurut Schleiermacher sebagaimana dikemukakan oleh Poespo-projo (1987) bahwa pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi itu diung-kapkan. Disini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
Di samping teori sintaksis terdapat pula teori semantik. Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu mempunyai nilai kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu menunjukkan makna yang sesung-guhnya dengan menunjuk pada referensi atau mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Juga, arti yang dikemukakan itu adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan esoterik yaitu arti yang sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam pernyataan itu dengan mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran ini dianut oleh para filusuf analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca Bertrand Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa.
Teori kebenaran semantik sebenarnya berpangkal pada pendapat Aristoteles yang bertolak bahwa pengetahuan selalu bertolak pada objek yang common sensible. White (1970) menyatakan “..... To say of what is that it is or of what is not, is true” atau bahkan mengacu pada teori kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan bahwa “ ..... that truth consists in correspondence of what is said and what is fact” Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi) yaitu objek konkret yang common sensible.
Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu memiliki arti esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi secara praktis. Arti yang terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap pemakai makna pernyataan itu. Sikap itu antara lain adalah sikap episte-mologis skeptis, sikap ini adalah kebimbangan taktis atau sikap ragu untuk mencapai kepastian (certainty) dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan agar dicapai makna yang esoterik yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi mengandung keraguan di dalamnya. Sikap lain adalah sikap epistemologik yakin dan ideologik. Di dalam sikap ini dikandung makna bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur, dan tidak memiliki sifat pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada kepercayaan yang ada pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini menghasilkan makna pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi. Akibat sematiknya adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan itu. Artinya apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi pengguna pernyataan itu.

5. Teori Kebenaran Non-Deskripsi

Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut filsafat fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu pernyataan akan memiliki nilai benar amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan bahwa “..... to say, it is true that not many people are likely to do that, is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the sentence used to express the opinion”. Menilik pernyataan ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa “The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.
Sebagai contoh di dalam budaya Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa istilah yang maknanya diketahui secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan deskripsi arti yang dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti tetapi arti itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya. Contoh lain, istilah “bulan”.

6. Teori Kebenaran Logis Berlebihan (Logical-superfluity of truth)

Teori ini dikembangkan atau dianut oleh kaum logika positivistik yang di awali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang hendak dibuktikan kebenarannya telah memiliki derajat logik yang dapat dipertanggungjawabkan, dan, bahasa yang digunakan mengandung kebenaran logis yang di dalamnya telah saling melingkupinya (atau tanpa di jelaskan maknanya telah ditunjukkan oleh eksistensi objek, objek adalah object given (yang sifatnya actual being), dengan demikian, sesungguhnya semua orang telah memberikan informasi yang maknanya telah disepakati bersama. Dan apabila, akan dibuktikan lagi kebenarannya itulah suatu perbuatan yang sifatnya logis berlebihan. Sebagai contoh, pernyataan “salju putih” pernyataan ini tak perlu dibuktikan secara logis karena semua orang sepakat demikian. Atau, pernyataan “orang gundul tak berambut” semua orang sepakat bahwa orang gundul mesti tak berambut, sehingga apabila dibuktikan lagi kandungan kebenarannya maka itu tindakan logis berlebihan. Hal demikian, sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya itu telah mengacu pada fakta yang actual being atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1971).

7. Teori Kebenaran Konsensus

Teori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Kriteria kebenaran menurut teori ini adalah persepakatan atau persetujuan yang dianggap rasional dari suatu perbincangan tertentu. Oleh karena itu, kebenaran yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku mutlak satu kali perbincangan untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun harus terbuka untuk diperbincangkan kembali.
Untuk dapat sampai pada suatu kebenaran yang bersifat kesepakatan atau konsensus harus dipenuhi syarat-syarat situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghin-darkan kesulitan yang mungkin timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa yang diperbincangkan situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles yang actual being/factual). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah (1) Semua peserta perbincangan harus diberi kesempatan yang sama untuk bicara seperti apa yang diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang sama untuk menafsirkan, menganjurkan, membenarkan, dan juga mempersoalkannya, (3) Semua peserta dituntut agar mengambil sikap komunikatif yang wajar yakni mengutarakan apa yang dipikirkannya dan betul-betul bermaksud menyampaikan pikiran-pikirannya kepada peserta lain; Dan, (4) Di antara peserta perbincangan tidak dibolehkan ada perbedaan wewenang atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi jalannya perbincangan.
Teori kebenaran konsensus ini pada tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori demokrasi pada saat melakukan perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak di anatara peserta perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan bersama dengan tidak memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena setiap hasil perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang publik yang terbuka.

8. Teori Kebenaran Otoritarianis

Bertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, kita dapat memilahkan bahwa masing-masing pernyataan memiliki nilai benar dengan bertumpu pada kewibawaan yang dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2) “saya percaya bahwa informasi yang disampaikan oleh pejabat Q adalah benar, serta (3) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh Ketua Suku saya adalah benar”. Ketiga pernyataan itu disampaikan kepada subjek, dan subjek menerimanya begitu saja tanpa kritis atau menggunakan logika yang rumit, karena pada dasarnya subjek menerima ke-3 informasi itu bertumpu pada kewibawaan yang melekat pada masing-masing subjek yang menyampaikan informasi kepada subjek mengetahui lain. Subjek pertama (1) adalah pemegang otoritas karena subjek memiliki kewibawaan material atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima informasi dari subjek pemegang otoritas material pada umumnya diterima karena subjek percaya pada kemampuan material yang melekat pada dirinya. Atau subjek menge-tahui; (2) mendapat informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas formal apakah ia pejabat formal atau subjek pemegang jabatan formal (struktural), dan (3) subjek memperoleh pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki kekuasaan untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat 3 macam otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik, contohnya Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang Ilmunya. (2) otoritas formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas fungsional, contoh, tetua suku, atau key person di dusun (tradisional). Subjek yang memperoleh pengetahuan demikian dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya —walaupun mungkin subjek ragu terhadap informasi yang disampaikannya itu, namun pada umumnya subjek penerima berita dari salah satu atau ketiganya pemegang kewibawaan baik material, formal maupun fungsional.









DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hamami M, 1983, Epistemologi, Yayasan Pem-binaan fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Aristoteles.
Gallagher, K.T.,1971, Philosophy of Knowledge, disadur oleh Hardono Hadi, 1994, Epistemologi, Kanisius, Yogyakarta.
Habermas ........................................................
Hoernie,R.F.A., 1952, Studies in Philosophy, George Allen&Unwin Ltd, London
Hospers,J., 1967, An Introduction to Philosophical Analisys, Englewood Cliffs
Kattoff, L.O., 1954, Element of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, 1986, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Plato,
The Liang Gie, 1977, Suatu Konsepsi ke arah Penertiban Filsafat, Karya Kencana, Yogyakarta.
White, A.R. 1970, Truth; Problem in Philosophy, Doubleday&Co, New York.

PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM (General Review Perkuliahan)

I. Pendahuluan
Islam sebagai sebuah agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir pada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan berbagai keyakinan, tradisi-tradisi, dan praktik-praktik kehidupan. Masyarakat yang hidup pada saat itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, tapi sebaliknya inheren di dalam diri mereka standar nilai dan moralitas. Namun demikian, moralitas dan standar nilai tersebut pada beberapa tataran dianggap telah mengalami penyimpangan (deviation) dan perlu diluruskan oleh moralitas baru. Dalam konteks masyarakat seperti ini Islam datang memberikan koreksi dan perbaikan terhadap praktik-praktik, nilai-nilai dan moralitas mereka. Hadist Nabi berikut memberikan justifikasi tentang hal tersebut :
“Innama bu’ithtu li utammima makarima al-akhlaq”
Kelahiran Islam dalam konteks geografis terjadi pada kalangan Arab, sebuah masyarakat yang dalam literatur sejarah Islam disebut Jahiliyah (time of ignorance). Sebagian mereka hidup berpindah-pindah (nomads) dengan profrsi penggembala ternak, atau kelompok yang disebut Badui Tradisional dan sebagian yang lain pedagang dan seniman di kota-kota perdagangan kecil, serta sebagian sisanya menjalani hidupnya dengan tidak terbatas pada satu usaha. Pada masyarakat Arab Badui Tradisional, mereka hidup dalam kelompok keluarga (kinshin group) dengan tradisi patriarkal. Kelompok-kelompok keluarga itu kemudian mengelompok dalam sebuah suku dengan seorang kepala suku yang diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk menegakkan konstitusi kesukuan.
Konteks sosiologis yang dihadapi Islam seperti di atas membuktikan bahwa agama yang beresensi kepasrahan dan ketundukan secara total kepada Dzat Yang Maha Kuasa tersebut keberadaannya tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang telah ada dalam masyarakat. Namun demikian, dalam perjalanannya Islam selalu berdialog dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti halnya dengan masyarakat Arab saat diturunkannya Islam tersebut.
Islam sebagai sebuah agama memiliki akar tradisi yang sangat kuat dan terus berkembang dibandingkan agama lain. Di dalam jantung tradisi itu terdapa al-Qur’an yang memiliki daya gerak keluar (sentrifugal) yang merasuki dan mampu berdialog dengan berbagai budaya yang dijumpainya. Sebaliknya, umat Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai asuhan budaya baru berusaha mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama (sentripetal). Arus gerak sentrifugal dan sentripetal ini senantiasa diwarnai oleh berbagai usaha pembaruan dan penyegaran secara kontinu. Oleh Amin Abdullah dalam perkuliahan pendekatan dalam pengkajian Islam, mengibaratkan pentingnya pembaruan seperti kebutuhan menemukan “ventilasi” untuk seuah ruangan agar tidak terjadi “kepengapan”.
Upaya yang terkait dengan kebutuhan untuk menemukan pemahaman baru terhadap Islam tidak dapat dipidahkan dari karakteristik Islam sendiri sebagai agama yang terbuka untuk didekati dengan berbagai macam pendekatan.

II. General Review Perkuliahan
Harun Nasution melihat bahwa agama pada dasarnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui Rosulnya kepada manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan tersebut diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama asalah kelompok kedua.
Kelompok pertama karena merupakan wahyu dari Tuhan, maka bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Agama di kelompok ini mempunyai dimensi normatif-dokrinal. Kelompok kedua karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama maka pada hakekatnya tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Lihat diagram di bawah ini untuk menggambarkan kelompok yang pertama yang ditunjukkan oleh skripture, dan kelompok yang kedua yang ditunjukkan oleh author :
Skripture



Author Reader
Agama bergerak di wilayah normatiof-dokrinal karena lahir dari nilai atau sumber ketuhanan (divinity). Sedangkan keagamaan merupakan aktivitas pemaknaan dan perwujudan dari agama yang normatof itu ke dalam wilayah historis-kultural oleh pemeluknya. Dengan demikian agama dan keagamaan jelas berbeda secara signifikan dan tidak seharusnya disamakan meskipun dalam beberapa kasus, istilah agama juga bisa bersifat meliput (including) terhadap makna keagamaan di samping maknanya sendiri.
Oleh karena itu, dalam kaitan ini perlu dipahami secara jelas perbedaan antara penelitian agama (research on religion) dan penelitian keagamaan (religious research). Penelitian agama lebih menekankan pada materi agama sebagai sasarannya adalah agama sebagai dokrin dengan tiga elemen pokok : ritus, mitos, dan magik. Penelitian jenis ini mengarahkan aktivitasnya pada dokrin atau teks agama yang notabene bersifat normatif. Namun demikian, penelitian ini tidak harus dilaksanakan oleh pemeluk agama itu sendiri (insider), melainkan bisa juga dilaksanakan oleh komunitas lain yang notabene bukan pemeluk agama itu (outsider).
Adapun penelitian keagamaan mengkaji aspek-aspek sosial dan budaya dari agama yang pada umumnya menggunakan pendekatan-pendekatan dari ilmu sosial. Penelitian ini tekanannya lebih pada agama sebagai sistem keagamaan (religion system) dan memandang agama sebagai fenomena atau fakta sosial, yaitu agama sebagaimana yang sudah mengejawantah dalam masyarakat nyata. Berbagai pendekatan dalam penelitian agama dan keagamaan ini dipelajari pada perkuliahan pendekatan dalam pengkajian Islam (Studi Islam).
Dalam perkuliahan, mahasiswa menggunakan buku primer dengan buku yang disunting oleh Richard C Martin yang berjudul Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama. Dalam buku ini disajikan berbagai pendekatan (muatan metodologi) yang digunakan para Islamis (insider) dan sarjana Barat (outsider) dalam mendekati materi-materi Islam; mulai dari pendekatan terhadap teks kitab suci (filologi) dan Nabi, ritual Islam, Islam dan masyarakat, hingga pendekatan interpretasi dan problem insider dan outsider.
Buku tersebut terdiri dari sepuluh tulisan kontributor yang masing-masing mempunyai pendekatan tersendiri dalam Islamic studies tetapi dalam satu kesatuan bahasan. Kesepuluh nama kontributor tersebut sudah cukup akrab di telinga para pemerhati dan peminat kajian-kajian Islam seperti Fazlur Rahman, Charles J Adams, Andrew Rippin, William A Graham, Marilyn R Waldman, Richard M Eaton, Azim Nanji, dan lain-lain.
Richard C Martin, diawal bab menjelaskan tentang Islam dan posisinya dalam studi agama. Dikatakan olehnya bahwa pemahaman tentang Islam sebagai agama dan pemahaman tentang agama dari sudut pandang Islam merupakan persoalan yang perlu dielaborasi dalam diskusi dan pembahasan para sarjana di bidang studi agama. Selama ini studi akademik tentang agama dan Islam dibentuk oleh komunitas ahli yang mengalami kesulitan serius dalam berhubungan dengan akademisi lainnya. Sebagai pewaris bagi Religionswissenchaft abad ke-19, para sejarawan agama-agama secara halus diabaikan oleh para sarjana humaniora dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Para Islamisis yang berdiri dalam tradisi orientalisme, dalam beberapa tahun terakhir semakin mendapatkan serangan karena provinsialisme akademik dan distorsi citra tentang masyarakat Islam yang mereka ciptakan. Posisi orang yang ingin bertanya “bagaimana” mempelajari Islam sebagai agama, dibingungkan oleh kecenderungan pada kompartementalisasi di dalam pendidikan tinggi. Para sarjana di sebuah universitas yang sama, yang mempelajari berbagai aspek peradaban Islam (bahasa, sejarah, politik, sosiologi dan lain-lain) tidak memberikan perhatian serius terhadap karya orang lain, kecuali jika karya itu berasal dari disiplin atau departemen yang sama (hlm 1-2).
Dalam studi akademik, “kitab suci” (scripture) menjadi salah satu kategori taken for granted yang digunakan setiap orang sebagai sumber utama penelitian. William A Graham membahas peran penting Al Quran dan bacaannya dalam kehidupan Muslim. Baginya, Al Quran tidak sama mempertahankan tradisi tulisnya dalam bentuk kitab, tetapi lebih penting dari itu, Al Quran merupakan tradisi oral yang selalu terjaga melalui tilawah qira’ah, nadwah dan bahkan tahfidz (hlm 41 dan 44). Tradisi pembacaan semacam ini dapat dijumpai di belahan dunia Muslim mana pun. Di mana pun juga Al Quran secara khusus tidak hanya menjadi nama formal bagi bacaan Al Quran dan disiplin yang berhubungan dengannya di satu sisi, namun juga secara lebih umum dipraktikkan dalam ibadah dan kehidupan penghambaan Muslim di sisi lain.
Mengkaji tentang Islam dapat pula dilihat dari sisi Nabi Muhammad SAW. Titik berangkat yang lebih jujur adalah mengakui bahwa Muhammad tidak dapat ditempatkan pada satu “pesawat” apa pun, apakah sosial, politik, psikologi atau pun agama. Dalam istilah sejarah agama-agama, ia adalah figur paradigmatik dalam memahami Islam dalam lintasan sejarah (hlm 61). Pendekatan ini diwakili oleh Earle H Waugh yang menerapkan teori model biografi Muhammad dan cara-cara biografi Nabi ditulis dan dipahami dalam berbagai momen sejarah yang berbeda-beda (hlm 80).
Pada bagian lain, Frederik M Denny menawarkan pendekatan yang berkaitan dengan interpretasi atas perilaku seseorang. Tafsir atas perilaku ritual ini tidak dapat dilepaskan dari teori semiotik yakni suatu hermeneutika yang memandang ekspresi keagamaan dalam kata dan perbuatan sebagai bermakna dalam sistem tanda (icon) dan simbol budaya. Bagi partisipan, ritus adalah upaya menghidupkan kembali kebenaran terdalam (hlm 89).
Studi Islam juga memanfaatkan pendekatan fenomelogi; yakni suatu pendekatan yang memandang manifestasi budaya dari suatu agama dapat direduksi menjadi esensi pengalaman keagamaan. Untuk itu, manifestasi agama harus dipandang menurut bahasanya sendiri oleh sang peneliti. Peneliti harus meninggalkan sementara waktu keyakinan-keyakinan agamanya sendiri agar sampai pada kebenaran agama lain. Seorang sarjana harus menjadi tamu dalam alam spiritual orang-orang yang dikajinya dan membuat alam itu menjadi miliknya (hlm 189). Pendekatan ini digunakan oleh Charles J Adams untuk menguji karya Henri Corbin tentang Islam Iran.
Bahasan selanjutnya, Andrew Rippin memaparkan metodologi John Wansbrough dalam menafsirkan pembentukan literatur suci Islam (khususnya Al Quran, tafsir, dan sirah). Inti metodologi Wansbrough mempertanyakan persoalan utama yang tidak bisa dipaparkan dalam kajian Islam, misalnya: apa buktinya bahwa teks Al Quran secara keseluruhan tidak lengkap atau final hingga awal abad 3/9 M? Atau mengapa kita tidak harus mempercayai sumber-sumber Muslim? (hlm 205). Rippin memunculkan dua persoalan untuk melakukan thick description dalam studi agama, yaitu bagaimana kita memandang dan mendekati sejumlah data yang akan diinterpretasi?.
Problem outsider dan insider juga menjadi bahasa akademik tentang agama. Siapa yang paling kompeten untuk bicara pada orang lain mengenai Islam, sarjana muslim sendiri (insider) atau sarjana Barat dan para orientalis (outsider)? Menjawab persoalan ini, Muhammad Abdul Rauf mencoba membangun jembatan penghubung antara pengkaji Islam dari Barat dan dari kalangan Muslim sendiri. Rauf memberikan catatan bahwa banyak prasangka dan bahaya dalam studi Islam yang dilakukan oleh Barat (hlm 245).
Berbeda dengan Rauf, Fazlur Rahman ingin menjelaskan maksud pendirian Abdul Rauf secara lebih tepat. Rahman berpendapat bahwa laporan outsider tentang pernyataan insider mengenai pengalaman agamanya sendiri bisa sebenar laporan insider sendiri. Yang paling penting adalah kejujuran akademis dalam memahami Islam (hlm 253).
Selain mahasiswa mengetahui berbagai pendekatan yang digunakan dalam mengkaji Islam dari buku tersebut, mahasiswa juga mempelajari buku-buku hasil penelitian agama yang lain, seperti buku josef Van Ess, Khalid Abu El Fadl, Aminah Wadud, Issa J Baulata dan lain-lain.
Bagi penulis sendiri pendekatan-pendekatan dan berbagai wacana yang terdapat di dalam buku-buku yang dibahas semakin memperkaya intelektualitas penulis dalam keilmuan Islam. Bisa diibaratkan perkuliahan tersebut juga telah memperbaiki kacamata penulis dalam memandang dan memahami Islam dengan berbagai pendekatan.

III. Implikasi untuk Penulisan Tesis
Perkuliahan pendekatan dalam Pengkajian Islam memberikan konstribusi yang signifikan terhadap penulis, salah satunya memberika konstribusi berupa metodelogi keilmuan yang berimplikasi terhadap penuliasn tesis penulis. Judul tesis penulis yaitu “MANAJEMEN PEMBELAJARAN PAI DALAM MENUMBUHKAN ETIKA KERJA PESERTA DIDIK DI SMK NEGERI 1 TONJONG.
Berbagai tindak kriminal seperti pencurian dan termasuk korupsi yang terjadi di Indonesia menjadi bukti konkret akibat tidak terintegrasikannya nilai-nilai agama, yang tidak dipahami dan direalisasikan dalam kehidupan dimana aspek tersebut sangat terkait dengan aspek agama dan pendidikan. Sekolah, termasuk di dalamnya adalah SMK mempunyai andil besar untuk menampilkan wajah pendidikan Islam yang inklusif dan humanis serta membentuk peserta didik yang berkarakter melalui materi, metode, dan evaluasi pembelajarannya.
Pendidikan Agama Islam (PAI) selama ini hanya memfokuskan pada aspek kognitif. Sementara untuk aspek afektif dan psikomotorik justru masih kurang. Hal itu yang mengakibatkan hubungan kajian keislaman dengan persoalan kemanusiaan dan kemasyarakat menjadi semacam ada jarak. Salah satu persoalan kemanusiaan dan masyarakat tersebut adalah etika kerja. PAI diharapkan bisa menjadi mata pelajaran yang mampu menumbuhkan etika kerja peserta didik.
Etika sendiri merupakan bentuk aktualisasi keberagamaan seseorang, dan untuk mengetahuinya maka salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Dalam penelitian tersebut nantinya peneliti menjadi observasi partisipan yang meleburkan dirinya serta menanggalkan pakaiannya sebagai seorang pengajar ke dalam dunia peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA
Lapidius, Ira M. A History of Islamic Society. (New York : Warner Books).
Suparlan, Parsudi (ed). 1982. Pengetahuan Budaya Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-masalah Agama. (Jakarta : Pusat penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Balitbang Agama)
Martin, Richard. C. 1985. Approaches to Islam in religion Studies. (Tucson : The University of Arizona).