Kamis, 30 September 2010

BAB VII POTRET GURU

A. Guru : Terhormat tapi Melarat

Hymne Guru

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Keterangan :
Pahlawan tanda jasa adalah sebutan bagi para guru.

Guru merupakan profesi yang mengalami pasang surut dalam percaturan dunia keprofesian. Kalaulah dulu guru dianggap profesi sakral, membanggakan yang terlihat ketika dengan bangganya seorang yang bermantukan seorang guru, tapi saat ini disinyalir menjadi profesi yang termarginalkan. Ini terlihat dari banyaknya generasi penerus yang sedikit bercita-citakan menjadi seorang guru. Mereka cenderung menjadikan dokter, insinyur, pilot sebagai pilihan profesi di masa depan. Ada berbagai macam alasan yang dikemukakan akibat ketidakmauan mereka, namun yang jelas kesejahteraanlah yang menempati urutan pertama bagi seseorang untuk tidak memilih guru sebagai profesinya.
Sungguh memprihatinkan nasib guru kita (guru, ustad kyai), terlebih jika kita melihat nasib guru di lembaga pendidikan swasta. Peserta didik mereka kini ada yang menjadi politisi, pejabat, polisi, tentara dan banyak profesi lainnya, tapi nasib guru swasta tetaplah sama seperti dulu, mereka hidup terhormat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tapi mereka sekalligus melarat.
Kenyataan ini diperkuat dengan berita yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu dari tujuh negara yang dinilai oleh organisasi guru internasional tidak memperdulikan bidang pendidikan. Cermin ketidak pedulian tersebut terlihat dari rendahnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan untuk pendidikan. Selain itu, pemerintah Indonesia juga dinilai kurang memberikan perhatian pada kesejahteraan guru, di samping juga pendidikan di negeri kita juga dinilai masih bersifat diskriminatif. Batas waktu bagi peringatan ini adalah tahun 2002. Jika peringatan itu tidak digubris maka bantuan luar negeri sangat mungkin akan dihentikan.
Pada 2009, APBN yang dialokasikan untuk pendidikan dinaikkan persentasenya. Ini merupakan perkembangan yang cukup menggembirakan. Meski demikian, kekhawatiran masih kuat, khususnya bagi guru di lembaga pendidikan swasta yang masih didiskriminasi dan belum ada tanda-tanda kemajuan. Tunjangan bagi guru dari pemerintah yang berasal dari APBN dan APBD merupakan bentuk pemerataan kemiskinan bagi guru, tunjangan yang mereka terima besarnya hampir sama dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan oleh warga negara Indonesia yang tergolong miskin.
Bagi bangsa Indonesia teguran tersebut bukanlah hal baru dan aneh karena kesejahteraan sebagian besar guru masih jauh di bawah standar layak. Terlebih bagi para guru agama di TPQ, madrasah diniyah dan pesantren yang semenjak Indonesia merdeka hingga kini belum terjamah oleh tangan sakti negara ini menuju ke arah kesejahteraan hidup mereka.
Tanggung jawab guru sebenarnya berat, terlebih para guru agama di TPQ, madrasah diniyah, dan pesantren. Oleh karena itu pemerintah juga harus memperhatikan kepada lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut dan juga para pendidiknya.

B. Guru : Antara Profesi dan Kewajiban Agama
Ada pemikiran yang patut diperbincangkan di sini berkaitan dengan guru. Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 merupakan legalitas formal yang mengakui guru sebagai jabatan profesional dan bermartabat. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Jika guru merupakan jabatan profesional maka harus ada kualifikasi dan kode etik yang baku yang harus ditaati oleh semua guru dan masyarakat. Implikasinya, tidak semua orang bisa menjadi guru. Setiap orang yang menjadi guru harus melalui jalur pendidikan khusus yang mencetak guru-guru profesional atau paling tidak mereka harus lulus training di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang diakui.
Ada beberapa alasan rasional dan empirik yang menjadikan guru sebagai sebuah profesi, antara lain :
1. Bidang tugas guru memerlukan perencanaan yang mantap dan pengendalian yang baik.
2. Bidang pekerjaan mengajar memerlukan dukungan ilmu teoritis pendidikan dan pengajaran.
3. Bidang pendidikan ini memerlukan waktu lama dalam masa pendidikan dan latihan, sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tenaga keguruan.
Syarat suatu profesi adalah sebagai berikut :
1. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dari pada kepentingan pribadi.
2. Seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan spesialisasi yang mendukung keahliannya.
3. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut dan mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
4. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap, serta cara kerja.
5. Menuntut suatu tata aktivitas intelektual yang tinggi.
6. Membentuk organisasi yang dapat meningkatkan standar profesi, disiplin diri dalam profesi serta kesejahteraan anggotanya.
7. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian.
8. Memandang profesi sebagai suatu karakter hidup dan memandang keanggotaan dalam profesi sebagai sesuatu yang permanen.
Berkaitan dengan penjelasan di atas maka karakteristik profesi bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Jabatan yang memerlukan pendidikan yang panjang dan menyangkut pengetahuan dan keterampilan khusus.
2. Adanya sistem ujian yang berkaitan dengan kemampuan teoritis dan praktis sehingga benar-benar memilki otoritas dan kewenangan dalam tugasnya.
3. Adanya organisasi profesi yang memelihara kepentingan, kewenangan, dan mutu profesi.
4. Adanya kode etik dan sumpah jabatan yang menjadi pegangan anggota profesi dalam bertugas.
5. Adanya standar pengetahuan dan keterampilan khusus yang terus dipelihara, dikembangkan, dan membedakannya dengan profesi lain.
Sedangkan kualifikasi utama profesi antara lain :
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan radiks dalam bidang yang dikerjakan.
2. Memiliki kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan bidangnya.
3. Memiliki karakter atau kepribadian yang membuatnya dihargai, dibanggakan, dan diterima kliennya.
Upaya mewujudkan guru profesional bukan masalah yang sederhana. Mewujudkan guru profesional terkait dengan banyak faktor yang sangat kompleks. Upaya mewujudkan guru profesional dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain:
1. Perbaikan sistem pendidikan dan pembinaan guru.
2. Perbaikan kesejahteraan guru.
3. Peningkatan peran organisasi profesi
Namun secara teknis dan akademis memberlakukan pendidik sebagai jabatan profesi tampaknya agak sulit direalisasikan. Sampai saat ini masih banyak guru tidak berasal dari latar belakang studi kependidikan, tetapi hanya karena mereka merasa terpanggil untuk mengabdi pada bangsa atau sekedar bekerja sambilan sebelum ada pekerjaan lain yang lebih tepat dan layak.
Secara teologis juga diyakini bahwa mengajar merupakan bagian dari tugas keagamaan di samping juga tugas kemanusiaan yang harus diemban oleh siapapun juga. Setiap muslim diberi tugas menyampaikan ilmu walaupun satu disiplin keilmuan saja sebab jika tidak mereka justru akan terbelenggu dengan api neraka. Di sisi lain seorang muslim juga diwajibkan mencari ilmu dan sekaligus memahaminya, termasuk ilmu sosial dan ekonomi yang terkait erat dengan kehidupannya. Ibadah akan ditolak jika seorang muslim tidak mengetahui ilmunya. Dengan demikian ilmu merupakan kebutuhan umat yang harus dikejar walau ke negei China sekalipun, namun demikian ada kewajiban bagi yang memilikinya untuk menyebarluaskannya.
Dengan demikian dalam Islam keilmuan bersifat populis dan elitis. Penyebaran dan pencarian ilmu merupakan keniscayaan yang melekat dalam kehidupan setiap insan tanpa dibatasi oleh struktur sosial-politik dan ekonomi. Oleh karena itu, wacana yang berkembang tentang mutu guru adalah integrasi antara penguasaan substansi ajar dan didaktik-metodiknya agar dapat menembus setiap kalangan dan status sosial-ekonomi.

C. Kualifikasi Akademik, Kompetensi, dan Sertifikasi Guru
1. Kualifikasi akademik guru
Salah satu aktor pendidkikan adalah guru karena guru adalah orang yang langsung berinteraksi dengan anak didik, memberikan keteladanan, motivasi, dan inspirasi untuk terus bersemangat dalam belajar, berkarya, dan berprestasi. Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 pasal 9 disebutkan bahwa kualifikasi akademik guru adalah S1 atau D IV baik bagi guru yang mengajar di TK, SD, SMP, maupun SMA.
Pendidik yang memiliki kualifikasi tinggi dapat menciptakan dan mendesain materi pembelajaran yang lebih dinamis dan konstruktif. Mereka juga akan mampu mengatasi kelemahan materi dan subjek didiknya dengan menciptakan suasana lingkungan yang kondusif dan strategi mengajar yang aktif dan dinamis. Dengan adanya guru yang memiliki kualifikasi tinggi maka kompetensi lulusan (output) pendidikan akan dijamin sehingga mereka mampu mengelola potensi diri dan mengembangkannya secara mandiri untuk menatap masa depan gemilang yang sehat dan produktif.
Secara umum tugas guru menurut Islam ialah mengupayakan perkembangan potensi seluruh peserta didik. Guru tidak saja mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga menstransfer nilai-nilai ajaran Islam. Guru menentukan kepribadian peserta didik bahkan juga dapt mengangkat dan meluhurkan martabat suatu umat. Allah memerintahkan kepada umat manusia agar sebagian di antara mereka ada yang berkenan memperdalam ilmu dan menjadi pendidik (QS. At-taubah : 122) guna meningkatkan derajat diri dan peradaban dunia, dan tidak semua bergerak ke medan perang.
2. Kompetensi guru
Guru membawa amanah ilahiyah untuk mencerdaskan kehidupan umat manusia dan mengarahkannya untuk senantiasa taat beribadah kepada Allah dan berakhlak mulia. Oleh karena tanggung jawabnya, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesional, pedagogik, sosial, maupun kepribadian. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
a. Kompetensi profesional
Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secar luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan.
b. Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik meupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi :
1) Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan.
2) Pemahaman terhadap peserta didik.
3) Pengembangan kurikulum dan silabus.
4) Perancangan pembelajaran.
5) Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis.
6) Pemanfaatan teknologi pembelajaran.
7) Evaluasi hasil belajar.
8) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
c. Kompetensi sosial
Kompetensi sosial ialah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, wali peserta didik, dan masyarakat. Kompetensi ini sekurang-kurangnya meliputi :
1) Berkomunikasi secara lisan, tulisan, dan isyarat.
2) Menggunakan teknologi informasi komunikasi secara fungsional.
3) Bergaul secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, wali peserta didik, dan masyarakat.
4) Bergaul secara santun dengan mastarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku.
5) Menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
d. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, serta menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Tanpa mengabaikan kompetensi yang lainya, menurut Zakiyah Daradjat, kompetensi sosial dan kepribadian merupakan kompetensi yang terpenting. Dalam hal ini ada korelasi yang erat antara kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Dari kompetensi kepribadian, guru dapat dievaluasi apakah ia seorang guru yang baik atau tidak. Kepribadian yang utuh meliputi tingkah laku maupun tata bahasanya. Sebab, kepribadian guru akan mudah diperhatikan dan ditiru oleh peserta didiknya, termasuk budi bahasanya. Oleh karena itu menurut Imam Zarnuji, guru seharusnya adalah seorang yang alim, wara’, dan lebih tua (dewasa). Persyaratan ini penting dipenuhi oleh guru sebab guru menjadi simbol personifikasi bagi subjek didiknya.
Lebih lanjut, Athiyah al-Abrasyi memberikan syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut :
a. Zuhud dan ikhlas.
b. Bersih lahir dan batin.
c. Pemaaf, sabar, dan mampu mengendalikan diri.
d. Bersifat kebapakan atau keibuan (dewasa)
e. Mengenal dan memahami peserta didik dengan baik.
Ternyata tidaklah mudah dalam menjadi guru. Kepribadian guru harus merupakan refleksi dari nilai-nilai Islam yang dianutnya. Guru yang baik tetap berproses untuk meningkatkan kualitas ilmu, strategi pembelajaran, maupun kepribadiannya. Guru yang merasa sudah baik berarti ia bukan guru yang baik karena hal tersebut merupakan pertanda bahwa ia enggan berproses menjadi lebih baik. Guru yang ideal adalah guru yang pada saat bersamaan siap menjadi peserta didik yang baik, yang senantiasa menuntut ilmu dan keterampilan sundul langit. Ini merupaka sikap mandiri dalam belajar, yang berarti tetap belajar meski telah menjadi pengajar.
3. Sertifikasi guru
a. Latar Belakang Sertifikasi
Guru adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 ayat 1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Mengacu pada landasan yuridis dan kebijakan tersebut, secara tegas menunjukkan adanya keseriusan dan komitmen yang tinggi pihak Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan penghargaan kepada guru yang muara akhirnya pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Sesuai dengan arah kebijakan di atas, Pasal 42 UU RI No. 20 Tahun 2003 mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Pasal 8 UU RI No 14, 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang meliputi kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pengertian sertifikasi secara umum mengacu pada National Commision on Educatinal Services (NCES) disebutkan “Certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach”. Dalam kaitan ini, di tingkat negara bagian (Amerika Serikat) terdapat badan independen yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Badan indepeden ini yang berwenang menilai dan menentukan apakah ijazah yang dimiliki oleh calon pendidik layak atau tidak layak untuk diberikan lisensi pendidik.
Persyaratan kualifikasi akademik minimun dan sertifikasi bagi pendidik juga telah diterapkan oleh beberapa negara di Asia. Di Jepang, telah memiliki Undang-undang tentang guru sejak tahun 1974, dan Undang-undang sertifikasi sejak tahun 1949. Di China telah memiliki Undang-undang guru tahun 1993, dan PP yang mengatur kualifikasi guru diberlakukan sejak tahun 2001. Begitu juga di Philipina dan Malaysia belakangan ini telah mempersyaratkan kualifikasi akademik minimun dan standar kompetensi bagi guru.
Di Indonesia, menurut UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi pendidik. Dalam hal ini, ujian sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai kontrol mutu hasil pendidikan, sehingga seseorang yang dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi pendidik diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik.
b. Tujuan dan Manfaat Sertifikasi
Sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Adapun manfaat ujian sertifikasi guru adalah sebagai berikut:
1) Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru.
2) Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional.
3) Menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK , dan kontrol mutu dan jumlah guru bagi pengguna layanan pendidikan.
4) Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
5) Memperoleh tujangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi.
c. Persyaratan Sertifikasi
Persyaratan ujian sertifikasi dibedakan menjadi dua, yaitu persyaratan akademik dan nonakademik. Adapun persyaratan akademik adalah sebagai berikut:
1) Bagi guru TK/RA , kualifikasi akademik minimum D4/S1, latar belakang pendidikan tinggi di bidang PAUD, Sarjana Kependidikan lainnya, dan Sarjana Psikologi.
2) Bagi guru SD/MI kualifikasi akademik minimum D4/S1 latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi.
3) Bagi guru SMP/MTs dan SMA/MA/SMK, kualifikasi akademik minimal D4/S1 latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
4) Bagi guru yang memiliki prestasi istimewa dalam bidang akademik, dapat diusulkan mengikuti ujian sertifikasi berdasarkan rekomendasi dari kepala sekolah, dewan guru, dan diketahui serta disahkan oleh kepala cabang dinas dan kepala dinas pendidikan.
Persyaratan nonakademik untuk ujian sertifikasi dapat didentifikasi sebagai berikut:
1) Umur guru maksimal 56 tahun pada saat mengikuti ujian sertifikasi
2) Prioritas keikutsertaan dalam ujian sertifikasi bagi guru didasarkan pada jabatan fungsional, masa kerja, dan pangkat/golongan.
3) Bagi guru yang memiliki prestasi istimewa dalam nonakademik, dapat diusulkan mengikuti ujian sertifikasi berdasarkan rekomendasi dari kepala sekolah, dewan guru, dan diketahui serta disahkan oleh kepala cabang dinas dan kepala dinas pendidikan.
4) Jumlah guru yang dapat mengikuti ujian sertifikasi di tiap wilayah ditentukan oleh Ditjen PMPTK berdasarkan prioritas kebutuhan.

D. Kewibawaan Guru
1. Pengertian kewibawaan
Kewibawaan berasal dari kata wibawa yang berarti kekuasaan. Secara istilah wibawa berarti pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Menurut Abu Ahmadi, kewibawaan adalah suatu daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan sukarela menjadi tunduk dan patuh kepadanya. Jadi seseorang yang memiliki kewibawaan akan dipatuhi secara sadar, dengan tidak terpaksa, dengan tidak merasa/diharuskan dari luar, dengan penuh kesadaran, keinsyafan, tunduk, patuh, menuruti semua yang dikehendaki oleh pemilik kewibawaan itu.
Kewibawaan juga disebut dengan gezag, berasal dari kata zeggen yang berarti berkata. Siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain berarti dia mempunyai kewibawaan. Kewibawaan tersebut ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Kewibawaan yang ada pada orang tua adalah natural dan orisinal, hal ini dikarenakan orang tua langsung diperintahkan oleh Allah untuk mendidik anak-anaknya. Adapun kewibawaan orang tua sebagai pendidik memiliki dua sifat, yaitu :
a. Kewibawaan pendidikan
Ini berarti bahwa kewibawaan orang tua bertujuan memelihara keselamatan anak-anak agar mereka dapat hidup mandiri dan sehat jasmani serta rohaninya. Perbawa pendidikan ini berakhir jika anak sudah dewasa.
b. Kewibawaan keluarga
Orang tua merupakan kepala suatu keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga harus patuh terhadap peraturan-peraturan di keluarga yang sesuai dengan norma-norma di masyarakat dan norma agama. Kewibawaan keluarga ini bertujuan untuk pemeliharaan dan keselamatan keluarga.
Berbeda dengan orang tua, kewibawaan guru berasal dari jabatannya sebagai seorang guru. Kewibawaan guru memiliki dua sifat, yaitu :
a. Kewibawaan pendidikan
Guru sebagai pendidik telah diserahi sebagian dari tugas orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Kewibawaan yang dimiliki oleh guru terbatas oleh banyaknya anak-anak yang diserahkan kepadanya.
b. Kewibawaan memerintah
Dengan jabatannya sebagai seorng pendidik, guru mempunyai kekuasaan untuk memimpin anak-anak dalam proses pendidikan.
2. Macam-macam kewibawaan
Ditinjau dari mana daya mempengaruhi yang ada pada seseorang ini ditimbulkan, maka kewibawaan dapat dibedakan menjadi :
a. Kewibawaan lahir
Kewibawaan lahir merupakan kewibawaan yang timbul karena kesan-kesan lahir seseorang, misalnya bentuk tubuh yang tinggi besar, pakaian yang lengkap dan rapih, tulisan yang bagus, suara yang lantang, dan lain-lain.
b. Kewibawaan batin
Kewibawaan batin ini ditimbulkan oleh :
1) Adanya rasa cinta
Kewibawaan ini dapat dimiliki seseorang apabila hidupnya penuh dengan kecintaan kepada orang lain.
2) Adanya rasa demi kamu
Demi kamu/you attitude adalah sikap yang dapat dilukiskan sebagai suatu tindakan, perintah atau anjuran bukan untuk kepentingan orang yang memerintah, tetapi untuk kepentingan orang yang diperintah. Misalnya seorang guru yang memerintahkan peserta didiknya untuk rajin belajar untuk menghadapi ujian bukan agar dirinya mendapatkan nama baik karena peserta didiknya lulus semua, tapi agar anak didiknya lulus dengan nilai yang bagus dan dapat melanjutkan di sekolah favorit.
3) Adanya kelebihan batin
Seorang guru yang menguasai bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya bisa berlaku adil dan objektif dan bijaksana. Sikap-sikap tersebut dapat menimbulkan kewibawaan pada dirinya.
4) Adanya ketaatan kepada norma
Kewibawaan ini timbul karena tingkah laku seorang guru selalu mematuhi norma-norma yang berlaku.
3. Fungsi kewibawaan dalam pendidikan
Ada dua sikap anak terhadap kewibawaan seorang guru, antara lain :
a. Sikap menurut atau mengikuti, yaitu mengakui kekuasaan orang lainyang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menurut yang sebenarnya.
b. Sikap tunduk atau patuh, yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa terikat untuk memenuhi perintah itu.
Di sikap yang terakhir inilah tampak fungsi kewibawaan dalam pendidikan, yaitu membawa pesertas didik ke arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankanya juga. Dalam menggunakan kewibawaannya, hendaknya guru:
a. Menggunakan kewibawaan didasarkan atas perkembangan peserta didik.
b. Menerapkan kewibawaannya didasari rasa kasih sayang kepada peserta didiknya.
c. Kewibawaan digunakan untuk kepentingan peserta didik.
d. Kewibawaan hendaknya digunakan dalam suasana pergaulan antara guru dan peserta didik yang sehat.
4. Belajar dari kewibawaan kyai
Di kalangan masyarakat santri, figur kyai secara umum dipersepsikan masyarakat sebagai pribadi yang integratif dan merupakan cerminan tradisi keilmuan dan kepemimpinan, ‘alim, menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan mengedepankan penampilan perilaku berbudi yang patut diteladani umatnya. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu kyai maka akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan masyarakat kepadanya.
Sebaliknya, derajat penghormatan umat kepada kyai akan berkurang seiring dengan minimnya penguasaan ilmu dan rendahnya rasa tawadlu’ pada dirinya, sehingga tampak tak berwibawa lagi di hadapan umatnya. Konsepsi kewibawaan ini telah mendefinisikan fungsinya menjadi etika normatif dunia pesantren, yang sering disebut sebagai tipe kewibawaan tradisional.
Ciri pertamanya adalah, penggunaan kekuasaan pribadi yang dihimpun melalui peranan masa lampau dari seseorang sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai-nilai, dan status unggul dari mereka yang memiliki hubungan ketergantungan yang mapan dengan orang tersebut. Adapun indikasi yang lain, bahwa sumber-sumber kewibawaan tradisional tersebut terletak pada posisinya menjadi sesepuh (orang yang dituakan), sebagai sosok ayah, orang yang dapat dipercaya, orang yang dihargai, berkedudukan resmi, memiliki penguasaan ilmu pengetahuan agama, dan posisinya sebagai pemangku lembaga agama (pesantren).
Derajat kewibawaan-kharismatik ini dalam bentuk penghormatan serta ketaatan massa yang bersifat total dan bahkan ada ciri taqlid buta, sehingga terhadap penilaian suatu perkara tertentu tak lagi perlu ada pertanyaan, gugatan atau diperdebatkan secara kritis. Hal ini diperoleh kyai atas konsekuensi logis dari segi penguasaan yang mumpuni terhadap ilmu-ilmu agama yang juga diimbangi oleh budi pekerti mulia yang menyebabkan kyai, di mata umatnya, dipandang bukan semata teladan ilmu, melainkan juga sebagai teladan tingkah laku, suatu elemen keteladanan yang bersifat sangat fundamental. Unsur berkah keteladanan yang membawa implikasi pada kecintaan, dan kepatuhan atau ketaatan mutlak kepada sang pemimpin kharismatik sehingga dianggap memiliki karomah.
Oleh karenanya, secara otomatis pada dirinya dinilai sebagai orang berotoritas. Fenomena kewibawaan spiritual kharismatik ternyata telah melintas batas rasionalitas. Apapun yang dikatakan orang, diabaikan. Demikian adalah prinsip yang dipegang kuat-kuat di kalangan santri tradisional meskipun kadang kala ia telah berada di luar habitatnya. Atas dasar inilah maka kemudian muncul pola hubungan patron-klien antara kyai dan santri yang bersifat unik.
Sebagai ilustrasi, menurut keyakinan santri mencium tangan kyai merupakan berkah dan dinilai ibadah, meski orang-orang yang berpandangan puritan mengejeknya sebagai “kultus” individu, dan karena itu syirik. Mereka tetap tak peduli, sebab mereka beranggapan tidak mencium “tangan” yang sebenarnya, karena perbuatan tersebut sedang memberikan penghormatan yang dalam kepada suatu “otoritas”, yaitu kyai.
Dengan demikian, predikat nilai ke-kyai-an yang berotoritas dan menyandang kewibawaan spiritual kharismatik bukanlah sangat bergantung pada garis keturunan atau karena dari faktor nasabiah, melainkan harus pula ditempuh dengan cara-cara yang rasional, karena tergantung kepada derajat kealiman juga diimbangi oleh teladan perilaku berbudi (akhlak al-karimah). Dalam arti, secara teoritik dan formal bahwa seorang pengasuh pesantren memang harus memiliki kompetensi yang memadai dan telah pula memiliki religious commitment yang kuat. Yaitu penampilan sosok pribadi yang integratif antara ilmu dan amaliahnya.
Aspek-aspek komitmen religius yang kuat itu meliputi, aspek keyakinan (the belief dimension), ritual peribadatan beserta aurad-dzikirnya (religious practice: ritual and devotion), pengalaman keagamaan (the experience dimension), pengalaman batiniah/rohaniah (spiritual dimension), pengetahuan agamanya maupun konsekuensi-konsekuensi amaliah seorang Muslim yang terbentuk secara baik. Maka tidak mengherankan dengan potensi dan kompetensi tersebut kalau seorang kyai pesantren menduduki posisi puncak yang kukuh dalam struktur sosial terutama dalam lingkaran komunitas pesantren.
Kita ketahui bahwa sebagai pewaris Nabi, apa yang dilakukan kyai adalah semata-mata karena dilandasi doktrin ikhlas-lillahi ta’ala, demi mengharap ridlo Allah Swt dan derajat darul akherat. Ia mengabdikan hidupnya di pesantren karena untuk merealisasikan sabda Rasul Saw; “Sampaikan dariku meskipun cuma satu ayat”. Juga perintah Rasulallah Saw yaitu, “Barangsiapa menyimpan suatu ilmu (agama) maka ia karena ulahnya itu besok di akherat akan disiksa dengan cemeti dari api neraka”. Pendek kata, tugas mengampu pesantren, mendidik dan membimbing santri adalah kewajiban agama yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab seorang kyai sebagai penjaga tradisi pesantren.
Sementara di pihak lain, kepatuhan dan penghormatan yang diberikan santri kepada kyainya adalah karena demi mendapatkah berkah (kebaikan) dari Allah Swt, juga berharap agar ilmunya nanti bermanfaat. Ritus yang mereka jalani itu termasuk bagaian dari mengamalkan ajaran tradisi agama. Disebutkan dalam korpus resmi pesantren, yaitu dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim karangan Syaikh Zarnuji, sebagai berikut: “Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya. Hormat kepada guru/kyai bukan hanya sekedar patuh. Dikatakan pula oleh Imam Ali ra, “Saya ini adalah hamba dari orang yang mengajari saya (Rasulallah), walaupun hanya satu kata saja.”
Lebih lanjut, Syaikh Zarnuji mengatakan, menurut ajaran Islam, murid (santri) harus menganggap guru/kyai seperti ayah kandungnya sendiri, sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits Nabi Saw:“Dan sesungguhnyalah, orang yang mengajarmu walaupun hanya sepatah kata dalam pengetahuan agama adalah ayahmu menurut ajaran Islam”. Hadits ini memberikan justifikasi bahwa apabila santri tidak taat dan patuh pada kyainya berarti secara terang-terangan telah menyalahi apa yang telah dianjurkan oleh baginda Rasul Muhammad Saw.
Berdasarkan korpus resmi ala pesantren, seperti dijabarkan dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan kitab-kitab sejenisnya yang memberikan kontribusi pada sistem nilai yang dianut warga pesantren, kemudian diintrodusir sedemikian rupa dalam praktek-praktek kehidupan santri baik dalam bentuk konvensi-konvensi atau menjadi teknik-teknik disipliner sehingga menjadi tatanan etis yang mengatur hubungan kyai dan santri yang terus dipelihara (reproduksi), kemudian disosialisasikan dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi berikutnya dan akhirnya terinternalisasi pada diri setiap santri.
Melalui cara itulah tertib sosial (social order) di lingkungan pesantren bisa ditegakkan. Sedangkan tindakan apapun yang mencoba menyimpang darinya akan dicap indisipliner, mbalelo dan pantas mendapatkan sangsi (ta’zir) atau dikenakan denda. Adapun sangsi yang ada bisa dalam bentuk sangsi moral, sosial ataupun berupa sangsi fisik, seperti cukur rambut, membersihkan selokan, dan untuk kasus pelangaran yang parah bisa dipulangkan kepada orang tua.
Kendati demikian, haruslah diakui bahwa ketaatan mutlak kepada sang kyai, adalah satu disiplin yang keras dalam pengamalan tradisi sehari-hari, kebersamaan dan persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan pesantren. Mungkin inilah gaya indoktrinasi model pesantren. Dapat pula dikatakan sebagai ruh yang semestinya menopang keberlangsungan hidup pesantren sehingga bisa dipertahankan sampai sekarang. Bahkan dampak pengaruh dari aturan-aturan tersebut membentuk kebiasaan yang terus melekat dan mewarnai perilaku santri hingga berpengaruh pada kehidupan setelah masa-masa tinggal di pondok dulu.
Menelusuri lebih jauh dunia pesantren, maka lazim kita temukan, bahwa pada umumnya setiap santri yang ingin belajar mengaji akan mengatakan kalau tujuan belajar ke pesantren tidak lain karena untuk tabarukan kepada kyai. Berkah yang dimaksud itu adalah nikmat Allah Swt berupa kesuksesan dalam menuntut ilmu, yang menurut keyakinan mereka dapat diperoleh lantaran atas budi baik serta do’a-do’a yang diberikan oleh sang guru, selain berkah do’a kedua orang tua di rumah.
Menurut tradisi pesantren, untuk memperoleh berkah itu pada umumnya santri akan menempuhnya melalui dua cara, yaitu; pertama, melakukan riyadhah (olah rohani). Orang Jawa menyebutnya tirakat atau laku keprihatinan (asketisisme). Pada umumnya santri yang melakukan riyadhah akan memperbanyak amalan puasa sunah, sholat-sholat sunah (qiyamul-lail) atau bacaan wirid tertentu. Hal ini dilakukan selain sebagai upaya mensucikan kondisi rohaniah-spiritual (batin) selain sebagai upaya memperoleh berkah dari Allah Swt. Dengan riyadhah santri berupaya menapaki tangga spiritualitas untuk menjalin hubungan yang lebih dekat kepada Sang Khalik.
Kedua, melakukan pengabdian (khidmah) kepada kyai dan pesantren. Bila santri hendak menempuh cara berkhidmah maka mereka akan berusaha membantu meringankan tugas-tugas kyai/ustadz, misalnya bertindak sebagai khadam atau membantu di rumah kyai seperti, menangani pekerjaan di dapur, menjaga kebersihan rumah, merawat anak kyai, membantu pekerjaan di sawah, atau menangani pekerjaan lainnya. Atau dengan melakukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan urusan pesantren, seperti membantu mengurusi administrasi dan keuangan pesantren, menjadi badal mengajar dan menangani tugas-tugas pondok lainnya.
Berbeda dengan keadaan yang biasa terjadi di luar arena pesantren, di dalam lingkungan pesantren, menjadi khadam kyai di mata penilain para santri merupakan suatu kehormatan tersendiri. Karena bermula dari sinilah ia bisa dekat dengan kyai. Artinya mudah diingat dalam do’a kyai, sehingga kebanyakan para santri ‘tradisional’ tetap berkeyakinan; dengan mendapat barokah do’a dari kyai berarti semakin terbuka lebar pintu barokah Tuhan baginya dan bertambah mudahlah untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Dari sudut pandang yang lain, kita dapat menganalisis bahwa munculnya tradisi penghormatan (pemuliaan) terhadap sang guru/kyai sejak awal bisa dirunut dari gagasan tentang “ilmu” yang khas dalam pandang masyarakat santri. Ilmu di dalam khazanah pesantren dipahami sebagai “limpahan karunia ketuhanan” (al-athaf rabbaniyyah) yang mengandung berkah. Sumber ilmu adalah Allah Swt, dan tujuan utama daripada pengamalan ilmu juga dalam rangka pendekatan diri kepada-Nya. Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an (al-Baqarah: 269) yang menjelaskan; “wa man yu’ta al-hikmata faqat u’tiya khairan katsira”, barang siapa dikaruniai Allah suatu hikmah atau kebijaksanaan, maka dia memperoleh kebaikan yang banyak. Dijelaskan pula dalam surat al-Mujadalah, ayat 11;“…, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Syaikh Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim, salah satu kitab klasik yang menjadi referensi utama pesantren tradisional berkomentar; “adapun sebabnya ilmu itu mulia karena ia merupakan alat (wasilah) untuk bertaqwa, yang dengan itu orang akan memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan kebahagian abadi dalam kehidupan di akherat kelak”. Itulah sebabnya, orang yang berilmu disebut orang alim (Arab; ‘alim) serta menempati kedudukan atau derajatnya yang tinggi dalam pandangan Islam yang kemudian hal ini juga sangat mempengaruhi pandangan masyarakat pesantren. Pola indoktrinasi ini pula yang sekiranya membentuk struktur berpikir (social stok of knowledge) dalam mindset santri sehingga memiliki corak pandangan yang berbeda dengan para sarjana atau akademisi dari kalangan kampus.
Dengan demikian kewibawaan spiritual kharismatik yang muncul pada diri kyai bukan diperoleh dengan tanpa usaha yang sungguh-sungguh, tetapi derajat itu diperoleh justru setelah melewati proses “dialektika kepatuhan” dalam koridor rasionalitas yang terbilang unik. Pada dasarnya hal itu muncul lantaran karena terbentuknya pola relasi kyai-santri yang besifat reprosikal dan mutualistik.
Belajar dari kewibawaan seorang kyai di pesantren dan masyarakat hendaknya seorang guru :
a. Memiliki jiwa kepemimpinan.
b. Memiliki akhlaqul karimah.
c. Bersikap toleran terhadap keberagaman peserta didiknya dan masyarakatnya.
d. Ikhlas dalam mentransformasikan ilmunya.
e. Mampu berperan sebagai problem solver di lingkungan keluarga, sekolah dan di masyarakat.
f. Mendoakan agar peserta didiknya sukses di dunia dan akherat.
Dengan demikian guru sebagai sebuah profesi akan menjadi profesi yang bermartabat dan berwibawa di mata masyarakat, tidak seperti beberapa profesi yang telah rusak citranya di mata masyarakat.

BAB VI PENDIDIKAN DI MASYARAKAT

A. Tanggung Jawab dan Peran Pendidikan Oleh Masyarakat
Masyarakat bila dilihat dari konsep sosiologi adalah sekumpulan manusia yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi sesamanya untuk mencapai tujuan tertentu. Bila dilihat dalam konteks pendidikan, masyarakat adalah sekumpulan banyak orang dengan berbagai ragam kualitas diri mulai dari yang tidak berpendidikan sampai kepada yang berpendidikan tinggi.
Masyarakat merupakan lingkungan pendidikan yang ketiga setelah lingkungan pendidikan keluarga dan lingkungan pendidikan sekolah. Di dalam suatu masyarakat mudah sekali dijumpai keanekaragaman suku, agama, ras, agama, adat istiadat, dan budaya. Keanekaragaman tersebut merupakan anugerah dari Tuhan, di mana dalam Islam keanekaragaman tersebut merupakan rahmat dari Allah.
Hubungan baik dengan masyarakat diperlukan karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup tanpa bantuan masyarakat. Lagi pula, hidup bermasyarakat sudah merupakan fitrah manusia. Dalam QS. Al-Hujurat : 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling kenal mengenal.
Tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan sebenarnya masih belum jelas, tidak sejelas tanggung jawab pendidikan di lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Hal tersebut dikarenakan masyarakat merupakan suatu entitas yang sangat kompleks dan beraneka ragam. Walaupun demikian, masyarakat mempunyai peranan yang besar dalam pelaksanaan pendidikan nasional.Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa masyarakat adalah sekelompok warga negara Indonesia non pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Peran tersebut antara lain :
1. Ikut menyelenggarakan pendidikan non pemerintah (swasta).
Demokratisasi pendidikan yang sedang digalakkan di Indonesia harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pendidikan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 54 ayat 1)
2. Membantu pengadaan tenaga pendidik.
Dalam hal ini masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pendidikan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 54 ayat 2)
3. Membantu pengadaan biaya, sarana dan prasarana pendidikan.
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat bersumber dari masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan masyarakat secara langsung telah membantu dalam pengadaan biaya, sarana dan prasarana pendidikan.
Secara sederhana dapat digagas bahwa kewajiban masyarakat dalam memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 9) dapat dilakukan dengan memberikan sumbangan atau infaq dan sedekah untuk pendidikan.
4. Menyediakan lapangan kerja.
Lulusan sekolah (output) nantinya akan terjun ke masyarakat. Masyarakat merupakan penyedia sekaigus penyerap lapangan kerja. Jika lulusan sekolah (output) sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan menerima mereka (outcomes)
Cara-cara yang cerdas, kreatif, dan elegant para tokoh pendidikan pada pesantren di Indonesia dapat dijadikan sebagai bahan komparasi yang berharga dalam pelibatan masyarakat dalam hal membantu pendanaan pendidikan. Misalnya, penguasaha yang memiliki lahan pertanian atau peternakan atau perikanan diserahkan kepada pimpinan pesantren untuk dikelola dan dikembangkan dengan sistem bagi hasil. Dengan kerja sama itu, semua pihak memperoleh keuntungan ganda.
Sebaiknya pengelola dan penyelenggara pendidikan di kota-kota besar, kiranya secara arif dapat juga belajar dari cara-cara tokoh pendidikan di pesantren dalam mengelola dan menyelenggarakan pendidikan secara mandiri dan berkelanjutan tanpa memberi beban yang berlebihan kepada peserta didik atau orang tuanya. Para pengusaha juga harus bijak dan mau melakukan kerja sama yang saling menguntungkan dengan para pengelola dan penyelenggara pendidikan. Kerja sama di antara mereka tersebut tentu saja harus di dasari dengan prinsip kemaslahatan bersama. Hal ini merupakan kekayaan ilmiah Indonesia yang harus diangkat menjadi paradigma baru pendidikan nasional. Bukan saja kita selalu mengambil perbandingan di negara lain dalam hal mencari dana secara mandiri.

B. Pembinaan Kerjasama antara Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
Terdapat beberapa unsur pokok yang terdapat dalam suatu masyarakat, antara lain :
1. Adanya unsur kelompok manusia yang bertempat tinggal di daerah tertentu.
2. Mempunyai tujuan yang sama.
3. Mempunyai norma-norma yang ditaati bersama.
4. Mempunyai perasaan baik suka maupun duka.
5. Mempunyai organisasi yang ditaati.
Keluarga dan sekolah merupakan bagian dari masyarakat, sehingga keluarga dan sekolah pun dituntut untuk membina hubungan kerja sama dengan sekolah.
Keluarga, sekolah, dan masyarakat pada dasarnya mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pendidikan, yaitu kesamaan rasa tanggung jawab. Mereka secara langsung maupun tak langsung telah mengadakan pembinaan yang erat di dalam praktek pendidikan. Kerja sama tersebut adalah sebagai berikut :
1. Orang tua melaksanakan kewajibannya mendidik anak di dalam keluarga.
2. Oleh karena keterbatasan orang tua dalam mendidik anaknya, akhirnya proses pendidikan anak diserahkan ke sekolah. Di mana sekolah merupakan produk masyarakat.
3. Orang tua dan masyarakat menilai hasil pendidikan di sekolah dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Kemudian masyarakatpun menjadi fasilitator bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilannya.
Dengan demikian jika kerja sama antara keluarga, sekolah dan masyarakat bisa dibina dengan baik, maka masyarakat bagi keluarga dan sekolah mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Sebagai arah dalam menentukan tujuan pendidikan bagi suatu keluarga dan sekolah.
2. Sebagai sumber belajar.
3. Sebagai pihak yang mengontrol jalannya proses pendidikan.
4. Sebagai wahana bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan nilainya.

C. Pendidikan Seumur Hidup (Life Long Education)
Ide pendidikan seumur hidup yang telah lama ada dalam sejarah pendidikan dipopulerkan kembali dengan diterbitkannya buku Paul Langrend An Introduction to Life Long Education. Ada beberapa pemikiran yang menyatakan bahwa pendidikan seumur hidup ini sangat penting. Dasar pendidikan tersebut ditinjau dari beberapa segi, antara lain :
1. Ideologis
Semua manusia yang dilahirkan di dunia ini mempunyai hak yang sama, khususnya hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan yang berlangsung seumur hidup akan menjadikan seseorang dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang berubah-ubah.
2. Ekonomis
Cara yang paling efektif untuk keluar dari kemiskinan yang disebabkan oleh kebodohan dan menyebabkan kebodohan pula ialah melalui proses pendidikan. Pendidikan seumur hidup bagi individu berfungsi untuk :
a. Meningkatkan produktivitas kerja individu.
b. Memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimiliki.
c. Menjadikan lingkungan keluarga lebih menyenangkan dan sehat.
d. Memotivasi orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya secara tepat sehingga peranan pendidikan keluarga menjadi sangat besar dan penting.
3. Sosiologis
Para orang tua di negara berkembang kerap kurang menyadari pentingnya pendidikan di sekolah bagi anak-anaknya. Hal tersebut menjadikan anak-anak sering kurang dalam mendapatkan perhatian, putus sekolah, bahkan tidak bersekolah sama sekali. Dengan demikian, pendidikan seumur hidup bagi orang tua merupakan pemecahan atas masalah tersebut.
4. Politis
Di negara demokrasi hendaknya seluruh rakyat menyadari pentingnya hak milik dan memahami fungsi pemerintah (DPR, MPR, dan lain-lain). Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diberikan kepada setiap orang. Dengan demikian, maka inilah yang menjadi tugas pendidikan seumur hidup.
5. Teknologis
Di era globalisasi dunia semakin menyempit dan informasipun mudah diakses yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu cepat. Agar tidak tertinggal, maka manusia dituntut untuk selalu menumbuhkembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka sehingga pendidikan seumur hiduppun diperlukan bagi mereka.
6. Psikologis dan pedagogis
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai pengaruh besar terhadap pendekatan, metode, dan teknik pendidikan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang juga telah menjadikan materi pendidikan semakin luas dan kompleks. Sebagai respon terhadap fenomena tersebut, pendidik dituntut untuk mampu mengajarkan bagaimana cara belajar dan menanamkan motivasi yang kuat dalam diri anak untuk belajar terus sepanjang hidupnya, memberikan keterampilan kepada peserta didik secara cepat dan tepat, serta mengembangkan daya adaptasi yang besar dalam diri peserta didik. Untuk itu semua, perlu diciptakan kondisi yang merupakan penerapan atas pendidikan seumur hidup.
Di dalam masyarakat kita terdapat ungkapan “belajar terus sundul langit.” Jika analogi pencapaian pendidikan adalah langit yang tiada terbatas, maka ungkapan tersebut bermakna bahwa belajar tidak mengenal henti. Selama manusia masih hidup dan bergerak, maka pendidikan juga tetap harus berjalan. Jika demikian halnya, maka pertanyaannya sekarang adalah kapankah manusia mulai menempuh proses pendidikan? Dan kapankah proses pendidikan bagi manusia berakhir?
Dalam ajaran Islam sendiri, spirit pendidikan seumur hidup telah dikenal sejak lama, yakni sejak munculnya Islam itu sendiri. Nabi Muhammas saw bersabda “Uthlubul ilma minal mahdi ila al-lahdi” (tuntutlah ilmu sejak dari ayunan (ibu) sampaik ke liang lahat. Saat ini, pendidikan dalam kandungan ibu dikenal dengan pendidikan pra natal (pendidikan sebelum anak dilahirkan). Sementara pendidikan pada masa kanak-kanak dikenal dengan pendidikan anak usia dini (PAUD), kemudian anak menempuh pendidikan di TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Pendidikan di PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi pada hakikatnya merupakan rentang waktu pendidikan dalam arti riil yang memungkinkan manusia menangkap materi pendidikan secara inderawi. Pada kurun waktu itulah seperangkat indera manusia dapat berfungsi untuk mengenal lingkungannya. Akan tetapi dalam Islam, batas waktu belajar bagi seseorang memiliki rentang waktu yang lebih luas dan panjang, tidak sebatas pada hidup manusia saja, tetapi sejak jauh sebelum anak dilahirkan, bahkan sejak kedua orang tuanya menikah hingga akhri zaman.
Menuntut ilmu sejak anak dalam ayunan (semenjak anak masih dalam kandungan ibu), sampai ia meninggal dunia merupakan suatu kebutuhan bagi setiap muslim untuk memenuhi kebutuhannya. Nabi Muhammad saw bersabda bahwa wajib hukumnya bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan untuk mencari ilmu. Dengan demikian belajar juga berdimensi teologis, maka upaya muslim untuk merealisasikannya sudah barang tentu akan lebih tinggi dan semangat karena ada harapan pahala dan kebahagiaan akhirat. Proses keilmuan tersebut berpengaruh terus hingga dia menghadap Tuhan. Sebab, ilmu akan tetap berproses dan merupakan amal baik yang tidak terputus walaupun seseorang sudah meninggal dunia
Konsep pendidikan yang dimulai semenjak sebelum pernikahan juga dapat dipahami dari hadist Nabi yang menganjurkan agar laki-laki maupun perempuan ketika memilih calon pasangan suami/istri dianjurkan agar memilih pasangan yang taat beragama. Nabi Muhammad saw bersabda :
“Sesungguhnya perempuan itu dinikahi karena 4 (empat) hal, yakni : karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama (yang kuat), niscaya kamu selamat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jika dinilai dengan angka, harta, keturunan, dan kecantikan bernilai 0 (nol) karena semuanya tidaklah abadi. Sedangkan agama bernilai 1 (satu) karena kekal dan angka 1 (satu) merupakan awal dari angka-angka. Jika seseorang menikah karena melihat harta, keturunan, maupun kecantikan/ketampanan seseorang maka dia akan mendapat nilai 0 (nol). Namun jika dia menikah karena pertimbangan agama maka akan mendapatkan nilai 1 (satu). Jika dia menikah karena agama dan harta maka dia akan mendapatkan nilai 10 (sepuluh). Jika dia menikah karena agama, harta, dan keturunan maka dia akan mendapatkan nilai 100 (seratus). Dan jika dia menikah karena pertimbangan agama, harta, keturunan, dan kecantikan/ketampanan maka dia akan mendapatkan nilai 1000 (seribu). Perumpamaan tersebut bermakna bahwa jika seseorang memilih agama sebagai pertimbangan dalam menikah dengan seseorang maka dia juga akan mendapatkan harta yang barokah, keturunan yang baik, dan suami atau istrinya serta anak-anaknya tetap sehat dan tampan/cantik karena kebutuhan materi dan spiritualnya terpenuhi.
Dengan demikian pada hakikatnya pernikahan memiliki nilai yang transenden dan masa depan yang panjang. Pernikahan tidak menyangkut kedua pihak suami-istri saja, tetapi juga terkait dengan generasi penerus yang lahir sebagai akibat dari pernikahan tersebut. Kualitas generasi yang dilahirkan sebagian besar tergantung pada kualitas keagamaan pasangan orang tuanya.
Mengenai kapan pendidikan berakhir, Islam menetapkan bahwa proses pendidikan baru akan berakhir ketika seseorang meninggal dunia. Secara fisik, mencari ilmu akan berakhir pada saat seseorang meninggal dunia, tetapi proses yang terkandung di dalamnya berlangsung terus sampai pada batas tak terhingga. Sebab, pendidikan dalam Islam bernilai transendental, tidak hanya berproses di dunia saja tetapi tetap ada maknanya hingga di kehidupan akhirat. Oleh karena itu, pendidikan dalam perspektif Islam menjadi tak terbatas (no limit to learn).

BAB V MADRASAH, MASJID, DAN PESANTREN

A. Potret Pendidikan di Madrasah
Sejatinya madrasah dalam peta dunia pendidikan di Indonesia bukanlah suatu lembaga yang indegenous (pribumi). Setidaknya hal ini dapat dilihat dari kata ”madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia, yakni ”sekolah”, (kata ini juga sebenarnya bukanlah kata asli Indonesia melainkan bahasa Inggris ”school”, namun kata ini dialihkan dan dibakukan menjadi bahasa Indonesia.
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya adalah, di madrasah inilah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madsarah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madarasah ini mempunyai konotasi spesifik. Yakni sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya menitikberatkan pada persoalan agama. Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak peserta didiknya, madrasah dalam kegiatan pembelajarannya mulai menambah dengan mata pelajaran umum yang tidak melepaskan diri dari makna asalnya yang sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
1. Madrasah dalam perspektif historis
Madrasah lahir pada kurun awal abad 20 M, yang saat itu dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Memasuki abad 20 M, banyak orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda dan penetrasi Kristen terhadap muslim pribumi. Munculnya kesadaran kritis tersebut di kalangan umat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kiprah kaum terdidik lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah yang telah banyak menyerap semangat pembaruan (modernisme) di sana, sekembalinya ke tanah air mereka melakukan pengembangan pendidikan baru yang lazim disebut madrasah dengan menerapkan metode dan kurikulum baru.
Munculnya madrasah menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis awal kemunculan madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Dari sini dapat diartikan bahwa munculnya madrasah mengandung kritik pada lembaga pendidikan sebelumnya, yakni pondok pesantren. Dapat dikatakan munculnya madrasah sebagai usaha untuk pembaruan dan menjembatani hubungan antara sistem tradisional (pesantren) dengan sistem pendidikan modern. Dan hal ini juga merupakan upaya penyempurnaan terhadap sistem pendidikan di pondok pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah yang umum. Maka tak heran belakangan banyak bermunculan madrasah dilingkungan pondok pesantren.
Selain bentuk dari kritikan atas pesantren, Berdirinya madrasah pada lingkungan pondok pesantren ini awal mulanya adalah untuk menampung keinginan dari para santri yang tidak hanya ingin mengaji semata namun juga ingin sekolah pada lembaga pendidikan formal yang kemudian pada akhirnya mendapatkan ijazah. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari beberapa wilayah di pulau jawa, madura, sumatera dan kalimantan yang banyak sekali bermunculan madrasah pada lingkungan pondok pesantren.
Banyaknya madrasah yang bermunculan pada lingkungan pondok pesantren ini, kemudian oleh Mukti Ali sering disebut dengan Madrasah dalam Pesantren. Kemudian dalam perkembanganya model madrasah yang seperti ini sering di istilahkan sebagai Madrasah Berbasis Pesantren. Maraknya madrasah pada lingkungan pesantren menurut Steenbrink tidak serta merta kemudian menghapus tradisi pesantren yang sudah ada dan bertahan lama, hal ini setidaknya dapat dilihat dari tradisi-tradisi keagamaan, tradisi intelektual dan tradisi kepemimpinan khas pesantren masih banyak di temukan pada madrasah yang berada di lingkungan pesantren.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui Badan Pekerja Nasional Pusat (BPNIP) sebagai badan legislatif pada saat itu, dalam pengumumannya tertanggal 22 Desember 1945 (berita RI tahun II No. 4 dan 5 halaman 20 kolom 1) berbunyi, ”Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran di lamggar-langgar dan madrasah tetap berjalan terus dan di perpesat”. Setelah pengumuman dibacakan, BPNIP memberi masukan kepada pemerintah saat itu agar madrasah dan pondok pesantren mendapatkan perhatian dan bantuan materil dari pemerintah guna memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga tersebut, karena madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya.
Guna merespon apa yang telah diumumkan dan masukan dari BPNIP kepada pemerintah yang terbentuk, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah membentuk kementerian Agama, kementrian yang baru ini dalam sturktur organisasinya pada bagian C memuat tentang tugas pada bagian pendidikan adalah mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dan masalah-masalah pendidikan di sekolah agama (madrasah dan pondok pesantren). Dan tidak lama kemudian Menteri Agama yang pada saat itu di jabat oleh K.H. Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1946 tentang pemberian bantuan kepada madrasah yang kemudian di sempurnakan dan terakihr dengan peraturan Mentri Agama no. 3 tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada Perguruan Agama Islam. Kemudian guna mengantisipasi adanya dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, maka Menteri Agama pada saat itu mengajurkan kepada semua madrasah untuk memasukan tujuh mata pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu, pelajaran membaca dan menulis, ilmu hitung, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olah raga.
Untuk memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan di madrasah dan mengembangkan sistem pendidikan nasional yang integral, kementrian Agama yang saat itu dijabat oleh Mukti Ali pada tahun 1975 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 037/U/1975 dan No. 36 Tahun 1975 pada tanggal 24 Maret 1975 beserta Instruksi Presiden no. 15 Tahun 1974 pada sidang kabinet terbatas tertanggal 26 November 1974. Adapun substansi dari SKB tersebut adalah:
a. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
b. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
c. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah. Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku bagi madrasah.
Kalau kita lihat dari sejarah sosial pendidikan, dinamika munculnya madrasah adalah merupakan manifestasi dari perubahan tuntutan sosial umat Islam dari waktu ke waktu untuk menuntut adanya kualitas pendidikan yang baik dan bermutu dengan tidak melepas pada akarnya yakni sistem pendidikan pondok pesantren. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah yang ada untuk peduli dan memperhatikan eksistensi dari lembaga pendidikan yang asli pribumi (Pondok Pesantren) dengan lembaga yang merupakan hasil dialektika antara pendidikan tradisional dengan pengaruh pendidikan modern barat, yakni madrasah Kita perlu jujur bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam ini sampai sekarang masih tergolong kelas rendahan dengan mutu dan kualitas yang jauh berbeda dengan lembaga pendidikan umum. Ia harus mendapat dukungan penuh dari pelbagai sumber, terutama pemerintah yang dalam pemberian dukungannya harus steril dari aroma politik dan ekonomi, agar lembaga pendidikan Islam ini bisa terus eksis mendampingi dan mengawal perjalanan bangsa pada kemudian harinya.
2. Dinamika madrasah
Dalam konteks keIndonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah.
Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini masing-masing mempunyai ciri khas. Di tengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit di antara lembaga pendidikan yang ada terjadi persaingan. Kenyataan di lapangan perebutan dan kompetisi memang benar terjadi, dan tidak jarang juga kita temukan di lapangan kompetisi antar lembaga pendidikan yang ada sering tidak fair dan menimbulkan kecemburuan satu sama lainnya.
Bentuk ketidak fair-an antar lembaga pendidikan yang ada juga diwujudkan dalam bentuk ketidak obyektifan dalam menilai lembaga pendidikan yang ada. Dahulu pondok pesantren sering mendapatkan stigma negatif dari sebagian masyarakat, lembaga pendidikan kolot, kumuh, ndeso, tidak maju, dan lembaga akhirat adalah beberapa stigma yang sering dinisbatkan pada lembaga pendidikan murni pribumi ini, tentunya hal ini menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan Pondok Pesantren, banyak masyarakat yang kemudian ragu menempatkan anak-anaknya menuntut ilmu di Pondok Pesantren, padahal sejatinya stigma-stigma negatif yang bermunculan di masyarakat tidaklah benar semua, kalapun ada itu hanya seberapa yang tidak cukup mewakili dari sekian banyak Pondok Pesantren yang ada di Indonesia.
Sekolah dan madrasah pun tak luput dari stigma negatif yang muncul pada sebagian masyarakat. Sekolah sering mendapatkan pandangan sebagai lembaga pencetak kader kapitalis, mementingkan kehidupan sekuler dan masih banyak lainnya. Kualitas tidak jelas, berpikir mundur, banyak beban pelajaran dan sekolahnya anak desa adalah beberapa stigma negatif yang muncul terhadap madrasah. Dari sekian banyak stigma negatif yang bermunculan di masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tugas para pendidik termasuk pemerintah untuk membenahinya sedikit demi sedikit, jika hal ini tidak segera ditindak lanjuti akan menimbulkan sikap apriori dan masa bodoh masyrakat terhadap beberapa lembaga pendidikan yang ada, yang kemudian berakibat enggannya masyarakat untuk mencari ilmu dan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang ada.
Dalam sejarahnya, madrasah akhir-akhir ini telah berkembang dan menjadi pendidikan alternatif yang menjadi rujukan dan model bagi pendidikan lain di Nusantara. Madrasah dalam arti formal, yaitu MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah) merupakan pengembangan dari madrasah diniyah atau sekolah keagamaan yang cenderung seperti lembaga pengajian. Secara umum, potensi dan kelemahan yang dimiliki madrasah antara lain :
a. Madrasah memiliki potensi besar sebagai sekolah umum bercorak Islam yang berusaha memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum yang kemudian disebut dengan Sekolah Dasar (SD) plus.
b. Upaya tersebut mengalami kendala besar, khususnya terkait dengan ketersediaan SDM profesional dan fasilitas yang memadai.
c. Karena belum memiliki ketersediaan SDM profesional dan fasilitas yang memadai maka masyarakat dan pemerintah pun belum memberikan apresiasi yang cukup kepada madrasah.
d. Madrasah yang ada selama ini masih bisa eksis di tengah gelombang perubahan gaya hidup dan peradaban modern disebabkan karena masih ada guru dan pengurus madrasah yang istiqomah untuk melestarikan madrasah.
e. Sikap konsisten ini sebagian besarnya didasarkan pada komitmen perjuangan untuk kemajuan umat dan ibadah. Meskipun demikian, ada juga pihak yang mau berpartisipasi dalam madrasah karena faktor kasihan dan keterpaksaan.
f. Komitmen yang pertama, yaitu istiqomah merupakan potensi yang luar biasa untuk kemajuan madrasah jika dikelola dengan baik. Sedangkan komitmen yang kedua dan ketiga merupakan bagian dari motivasi ekstrinsik yang bisa berimplikasi pada kualitas kerja yang rendah dan mudah berputus asa.

B. Menjadikan Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Alternatif
Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Sedangkan sajadah dari kata sajjadatun mengandung arti tempat yang banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut artinya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk salat orang per orang. Oleh karena itu karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi tidak disebut sajadah. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriahyang paling nyata dari makna-makna di atas. itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud."
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Quran. Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut menjadi, masjid yang digunakan untuk salat Jum'at disebut Masjid Jami’, karena salat Jum`at diikuti oleh orang banyak maka masjid Jami’ biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk salat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan keperluan, disebut musholla, artinya tempat salat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi nama langgar atau surau.
1. Masjid dalam perspektif historis
Dalam konteks sejarah dakwah, masjid merupakan tempat pertama yang dibangun Rasulullah untuk menunjang aktivitas dakwahnya. Membangun masjid merupakan langkah pertama untuk membangun masyarakat madani. Masjid bukan hanya sebagai tempat solat, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah) tertentu tetapi masjid merupakan majlis untuk mengendalikan seluruh masyarakat (pusat kendali masyarakat).
Masjid pertama yang dibangun oleh Rasululloh adalah masjid Quba, kemudian disusul dengan masjid Nabawi di Madinah. Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai:
a. Tempat ibadah (shalat, zikir).
b. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya).
c. Tempat pendidikan.
d. Tempat santunan sosial.
e. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
f. Tempat pengobatan para korban perang.
g. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
h. Aula dan tempat menerima tamu.
i. Tempat menawan tahanan, dan
j. Pusat penerangan atau pembelaan agama.
2. Fungsi edukasi masjid
Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas,disebabkan antara lain oleh:
a. Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama.
b. Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah). Keadaan itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil-alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan di dalam hal-hal tersebut. Setidaknya ada tiga fungsi masjid, yaitu fungsi religi, fungsi sosial, dan fungsi pendidikan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memakmurkan dan mengembalikan masjid kepada fungsinya sebagai pusat pemberdayaan dan pengembangan kaum muslim, antara lain :



a. Mengintensifkan Kajian-kajian Keislaman (Majelis Ta’lim)
Dewasa ini, masyarakat melihat bahwa keberadaan majelis ta’lim merupakan salah satu alternatif bagi pembinaan mental keagamaan, sesuatu yang selama ini kurang dapat diberikan oleh lembaga pendidikan formal melalui kurikulum yang bersifat intrakurikuler. Pada saat lembaga-lembaga pendidikan formal, baik umum maupun agama, yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta mulai dirasa kurang mampu membina mental keagamaan dan penguasaan terhadap tuntutan praktis dan ajaran agama secara memuaskan. Lembaga-lembaga pendidikan umum dan agama, sulit menghasilkan lulusan yang betul-betul memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama dengan baik. Mereka tidak dapat membaca ayat-ayat al-Quran dengan baik, melaksanakan ibadah shalat dengan baik, kurang giat melakukan ibadah ritual, kurang dapat menjiwai ajaran dan nilai-nilai ajaran agama serta mulai merosot akhlaknya.
Munculnya fenomena tersebut telah banyak dicarikan akar penyebabnya. Di antaranya, kurangnya jam pelajaran agama, kurangnya perhatian dan waktu pembinaan yang dilakukan orang tua di rumah, tidak sebandingnya bekal agama yang dimiliki para peserta didik dengan tantangan arus budaya global yang berdampak negatif, lingkungan yang kurang sehat, dan bergesernya konsep pendidikan menjadi konsep pengajaran yang lebih menekankan pada pengisian otak si anak dengan berbagai pengetahuan.
Sejumlah alasan tersebut memberikan peluang sangat luas dan terbuka bagi majelis taklim untuk menampilkan keberadaannya sebagai wahana dan metode pembelajaran agama yang dinamis dan demokratis, di tengah-tengah keformalan dan keterbatasan metode pembelajaran agama secara klasikal dan konvensional di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan formal lainnya.



b. Melibatkan para pemuda
Tidak diragukan lagi bahwa para pemuda memiliki peran yang sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia secara umum dan masyarakat kaum muslimin secara khusus, karena jika mereka pemuda yang baik dan terdidik dengan adab-adab Islam maka merekalah yang akan menyebarkan dan mendakwahkan kebaikan Islam serta menjadi nakhoda umat ini yang akan mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan Allah telah memberikan kepada mereka kekuatan badan dan kecemerlangan pemikiran untuk dapat melaksanakan semua hal tersebut.
Masjid dalam hal ini tentu saja juga memiliki peran dan posisi yang strategis guna mengawal golongan generasi muda tersebut melewati masa peralihannya yang penuh gejolak itu dengan baik, yaitu utamanya dalam wadah organisasi remaja masjid. Tercatat, saat ini telah mulai banyak berdiri organisasi remaja masjid di banyak masjid dan menjadi bagian resmi dari struktur organisasi kepengurusan masjid. Di dalam organisasi ini, para anggota remaja Islam dibina dan dibentuk karakter kepribadian dan kecerdasannya sehingga kelak mampu menjalani kehidupan yang lebih Islami. Caranya, lewat berbagai macam metode dan kegiatan, di mana minat, bakat, dan kemampuan positif yang dimiliki para remaja tetap dapat diakomodasi dan disalurkan.
Bagi masjid sendiri, keberadaan organisasi remaja masjid sejatinya juga penting dalam mendukung tercapainya kemakmuran masjid yang dicita-citakan. Pasalnya, kendati tanpa remaja kegiatan masjid tetap bisa berjalan, namun secara jangka panjang tidak ada jaminan hal tersebut akan terus berlangsung, bahkan menjadi lebih baik dan bermutu. Bagaimanapun, keadaan masjid pada sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun mendatang, salah satu tolok ukurnya adalah bagaimana kondisi remajanya pada masa sekarang. Bila tidak ada pembinaan dan proses pengkaderan yang terstruktur, berjenjang, dan berkesinambungan sejak dini, bisa dipastikan masa depan masjid bersangkutan akan suram.
Hal demikian kiranya yang masih kurang dipahami oleh sementara kalangan pemimpin masjid. Tidak heran, kalaupun terdapat organisasi remaja masjid, proses awal pembentukkannya tidak melibatkan kalangan remaja secara aktif dan luas. Sementara, dalam praktiknya pun organisasi ini hanya ditempatkan sekadar “pelengkap penderita”, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi atau digerakkan oleh kalangan tua untuk membantu merealisasikan aneka kegiatan masjid. Semisal, yang kerap terjadi, dalam penyelenggaraan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) dan kerja bakti di masjid
c. Membangun perpustakaan masjid
Salah satu faktor penyebab mundurnya peradaban dan umat Islam adalah jauhnya umat Islam dari ilmu pengetahuan (baca: buku). Pembinaan umat yang selama ini berjalan cenderung hanya menggunakan pendekatan komunikasi lisan satu arah yang justru membuat para jamaah terbiasa dengan budaya dengar. Pembinaan terpusat pada dai, ustadz, atau juru dakwah semata. Alhasil, jamaah tidak termotivasi, tidak mandiri, dan menjadi pasif dalam mendalami ajaran Islam.
Membaca merupakan bagian paling penting dari proses menuntut ilmu. Dengan membaca kita jadi tahu apa yang selama ini tidak kita ketahui. Dengan membaca inilah ilmu kita dapatkan, amal bisa kita tegakkan, dan dakwah bisa kita suarakan, Perpustakaan masjid sebagai perpustakaan komunitas bisa menjadi sebuah alternatif yang sangat bagus jika dikelola dengan baik. Bayangkan, jika setiap masjid di kampung dan desa mempunyai perpustakaan, tentu akan semakin mudah bagi masyarakat untuk mengakses bahan-bahan bacaan, Perpustakaan masjid akan menjadi sumber bacaan yang lebih merakyat karena tidak membutuhkan birokrasi yang rumit. Namun kenyataannya, praktek di lapangan sering berbeda dengan kondisi ideal yang diinginkan




C. Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Indigenous Indonesia
Mengenai asal-usul pondok pesantren terdapat dua pandangan yang saling melengkapi, antara lain :
1. Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat tinggal para santri. Menurut profesor Johns, santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan menurut C.C. Berg istilah santri berasal dari bahasa India yaitu shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
2. Pondok pesantren adalah gabungan dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab yaitu funduq, yang berarti pesanggrahan atau penginapan bagi para musafir. Kemudian pondok ini merupakan tempat tinggal para santri.
Pesantren dapat survive sampai hari ini. Hal ini dikarenakan ada tradisi lama yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan. Disamping itu, bertahannya pesantren karena ia tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous).
Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaaan seperti kita lihat sekarang.
Dari keterangan sederhana ini saja kita dapat menarik garis linear tentang apa peranan pesantren dan dimana letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia merdeka. Untuk bangsa yang lebih berkepribadian. Gambaran konkretnya dapat dianalogikan sebuah pesantren Indonesia (ambil sebagai misal Krapyak) sebagai sebuah kelanjutan pesantren di Amerika Serikat (ambil sebagai missal "pesantren" yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston): Krapyak menghasilkan apa yang dapat dilihat oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dan pesantrennya Pendeta Harvard telah tumbuh menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika modern.
Kini di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang selalu berubah-rubah dalam jeda waktu yang tidak lama, apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based Institusion kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung, Cilangkap. Atau misalnya pesantren yang muncul pada tahun 1980-an seperti Pesantren Darun Najah, Cianjur, dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul hakim, al-Kautsar, Darul Arafah di Medan, Mustafawiyyah Purba Baru di Mandiiling-Natal dan ada di sekitarnya sekarang, Darul Hadits Hutabaringin, Darul Ikhlas di Dalan-lidang, dan Pesantren Muara Mais, Darul Hikmah di Pekan Baru dll

D. Potret Pendidikan di Pesantren
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para peserta didiknya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para peserta didik tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang disebut pondok. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak.
Dari potret pendidikan pesantren di atas, maka terdapat minimal lima varian yang teramat penting dalam perjalanan pesantren sebagai lembaga pendidikan, antara lain kyai, pondok, masjid, santri, dan proses pembelajaran kitab-kitab klasik atau yang biasa dikenal dengan kitab kuning.
1. Kyai
Kyai sebenarnya istilah lain dari kata ulama, namun orang jawa dan madura khususnya sering mengistilahkan dan menyebut orang yang mengasuh pondok pesantren dan sangat mendalam ilmu agamanya (Islam) disebut dengan kyai. Sosok Kyai merupakan sosok yang sangat berpengaruh, kharismatik, berwibawa dan peduli dengan derita umatnya. Selain kriteria tersebut kyai sebagian besar di daerah jawa dan madura adalah pendiri dari pondok pesantren yang berada di tengah-tengah masyarakat. Maka tak heran sosok kyai di masyarakat sangat dihormati, dikagumi dan dicintai oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena tidak sedikit para kyai selalu peduli, bermasyarakat dan memperhatikan umat atau rakyat kecil. Dan banyak juga kyai dalam masyarakat sering dijadikan tempat curhat segala persoalan yang terjadi pada masyarakat, dimulai dari masalah minta nama anaknya, pertanian, ekonomi, sosial, politik, budaya, agama hingga persoalan jodoh atau nasib.
Dapat dikatakan sosok Kyai dalam strata sosial masyarakat termasuk berada pada strata sosial yang tinggi hal ini terjadi tidak lepas dari peranannya yang sangat besar untuk memberdayakan masyarakat pada lingkungannya.
Sejak Islam mulai tersebar di pelosok jawa, terutama sejak abad 13 dan 14 Masehi, para kyai sudah mendapatkan status sosial yang tinggi. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, sosok kyai mempunyai bargaining position yang tinggi. Walaupun sebagian besar kyai itu tinggal di desa yang jauh dari pusat kekuasaan dan pemerintahan, namun mereka merupakan bagian dari kelompok elite masyarakat yang disegani sekaligus berpengaruh baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Tidak jarang suara kritis dari kyai dianggap sebagai tindakan makar terhadap Belanda.
Menurut asal muasalnya, sebagaimana telah dirinci oleh Zamakhsyari Dhofier, perkataan atau istilah kyai dalam bahasa jawa sering dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan kramat, misalnya kyai tombak pleret atau Kyai Garuda Kencana yang dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di kraton Yogyakarta. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren. Pada jenis ketiga inilah maksud dari kyai yang terdapat dari pondok pesantren atau dalam bahasa arab sering diistilahkan dengan ulama.
Dalam pandangan al-Qur’an, ulama dlihat sebagai bagian dari umat yang memegang peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan masyarakat yang mardhatillah. Ulama berasal dari bahasa Arab; ’alima, ya;lamu, ;alim yang artinya orang yang mengetahui. Kata ’alim bentuk jamaknya adalah ’alimun. Sedangkan ulama adalah bentuk jamak dari ’alim yang merupakan bentuk mubalaghah, berarti orang yang sangat mendalam pengetahuannya.
Adapun ulama menurut arti terminologi ialah seorang yang ahli ilmu agama Islam, baik menguasai ilmu Fiqh, ilmu tauhid atau ilmu agama lainnya, dan mempunyai integritas kepribadian yang tinggi, berakhlak mulia serta berpengaruh di dalam masyarakat. Namun, pengertian ulama dalam perkembangannya, yaiut berarti orang yang mendalam ilmu pengetahuan , baik ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah SWT. Yang kemudian disebut ’ulum al-din, maupun ilmu pengetahuan yang bersumber dari hasil penggunaan potensi akal dan indera manusia dalam memahami ayat kauniyah yang kemudian disebut dengan ulum al-insaniyah atau al-’ulum atau sains.
Pemahaman yang lebih mudah tentang ulama adalah seorang yang memahami, menguasai dan mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Islam, seperti Tafsir Al Qur’an, Fiqh, tauhid, Nahwu, Shorof, Tasawuf di dalam lembaga pesantren. Banyak ragam dalam menyebut istilah ulama, Orang jawa dan madura sering menyebutnya Kyai, jawa barat sering menyebutnya ajengan, lombok tuan guru dan sumatera barat buya. Jadi sebenarnya kyai yang sering diistilahkan oleh orang jawa dan madura adalah tidak jauh beda dengan istilah Ulama yang terdapat dalam bahasa Arab (Qur’an).
2. Pondok
Salah satu kekhasan dari pondok pesantren adalah semua murid (santri) yang mencari ilmu tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang kyai dengan model menginap. Tempat tinggal sesaat untuk para santri ini yang kemudian oleh orang jawa dipopulerkan dengan istilah pondok.
Pondok, atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas dari tradisi dan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan serupa lainnya baik di dalam ataupun di luar negeri. Seperti halnya yang dilakukan pada negara Afganistan, para murid dan guru yang belum menikah mereka semua tinggal di masjid.
Istilah pondok dengan asrama menurut Saefudin Zuhri berbeda, beliau secara tegas membedakan bahwa pondok bukanlah ”asrama” atau internaat, menurutnya jika asrama telah disiapkan bangunanya sebelum calon penghuninya datang, dan biasanya asrama di bangun oleh kalangan berada dengan keadaan ekonomi yang mapan. Sedangkan pondok justru didirikan atas dasar gotong royong dari santri yang telah belajar di pesantren dengan dibantu oleh masyarakat yang nota bene mereka termasuk kategori ekonomi yang pas-pasan. Maka tak heran hubungan santri atau masyarakat dengan pesantren mempunyai ikatan yang sangat erat, karena adanya rasa memiliki pada lembaga pesantren tersebut, hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Terdapat beberapa sebab mengapa lembaga pendidikan pesantren harus menyediakan pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santri dalam mencari ilmu. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, hal ini merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga untuk keperluan hal itulah seorang santri harus tinggal menetap. Kedua, hampir sebagian besar pesantren berada di desa-desa yang jauh dari keramaian dan kekuasaan serta tidak rersediannya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan demikian diperlukan adanya pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara santri dengan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus.
Selain itu kelebihan dari model pondok ini adalah, terciptanya suasana lingkungan belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara santri dengan santri, juga antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian, tanggung jawab dan pengawasan 24 jam baik dari antar santri ataupun dari kyai, serta masih banyak lagi keunggulan dari pendidikan model pondok. Maka tak heran pada akhir-akhir ini kemudian banyak bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru dengan lembaga pesantren yang didirikan oleh para kyai, hal ini setidaknya dapat dilihat dari munculnya istlilah boarding school (kelas asrama) pada beberapa lembaga pendidikan formal baik yang negeri ataupun swasta.
3. Masjid
Kedudukan msajid sebgai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi univesalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses yang berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya. Dimanapun kaum muslimin berada masjid sebagai pilihan ideal bagi tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan kultural, bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling representatif untuk menyelenggarakan pendidikan.
Posisi Masjid di kalangan pesantren mempunyai makna sendiri. Menurut KH. Abdurahman Wahid, masjid sebagai tempat untuk mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, keberadaannya di tengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada pegunungan. Hal ini sebagai indikasi bahwa nilai-nilai kultural masyarakat setempat dipertimbangkan untuk dilestarikan oleh pesantren.
4. Santri
Santri adalah istilah lain dari murid atau peserta didik yang mencari ilmu pada lembaga pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren. (Adapun Asal muasal kata santri dapat dilihat pada halaman sebelumnya). Dalam dunia pesantren istilah santri terbagi menjadi dua kategori.
Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang hendak bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim, santri tidak perli disibukan dengan membawa perlengkapan tidur seperti layaknya dirumah. Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan tanggungjawab. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren terebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga bertanggung jawab mengajar santri-santri yunior tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Mereka bolak-balik (ngelaju) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim dari pada santri kalong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Dan sebaliknya, pesantren kecil memliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.



5. Kitab kuning
Kitab kuning adalah ungkapan dari beberapa kitab klasik yang sering dikaji dan dipelajari oleh para santri dan kyai. Biasanya kertas-kertas pada kitab yang dikaji sudah lama usianya akan berubah menjadi kuning, oleh karenanya istilah kitab kuning ini muncul. Yang biasanya dikaji dalam dunia pesantren adalah kitab-kitab klasik madzhab syafi’i dalam bentuk bahasa arab tanpa disertai harakat, kitab ini juga sering disebut dengan kitab gundul. Hal ini adalah merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia khususnya Jawa dan Madura.
Sebagian besar pondok pesantren yang terdapat di daerah Jawa dan Madura masih menggunakan dan melestarikan pendalaman Kitab Kuning, walaupun pada perkembangannya banyak juga pondok pesantren yang menambah atau merubah kurikulum dengan tidak melulu mengkaji dan mempelajari kitab kuning. Kitab-kitab kuning yang sering diajarkan pada pondok pesantren secara garis besar dapat dibagi menjadi delapan (8) kelompok :
a. Nahwu dan Sharaf (sering diistilahkan dengan ilmu alat).
b. Fiqh.
c. Ushul Fiqh.
d. Hadis.
e. Tafsir.
f. Tauhid.
g. Tasawuf dan etika
h. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Terdapat dua model yang digunakan dalam pengkajian kitab kuning. Model pertama adalah sorogan, santri satu persatu secara bergantian mengaji atau membaca kitab tertentu dengan kyai secara langsung. Dimana peran kyai dalam model ini sebatas hanya menyimak bacaan yang dibacakan oleh santri dengan disertai penjelasan, di sini peran santri harus aktif dalam proses pembelajaran. Kedua, bandongan, pada model kedua ini peran kyai sangat aktif dalam proses pembelajaran, di sini kyai membaca salah satu kitab disertai dengan penjelasan dengan diikuti oleh sebagian besar santri yang ikut menerjemahkan kitab yang dibaca oleh kyai. Dan biasanya bahasa yang sering digunakan dalam menerjemahkan kitab adalah bahasa Jawa.
Selain kedua model di atas yang digunakan dalam proses belajar di pondok pesantren, terdapat satu lagi model pembelajaran yang juga sering digunakan oleh sebagian besar pondok pesantren di Jawa dan Madura, yakni musyawarah. Dalam kelas musyawarah sistem pembelajarannya sangat jauh berbeda dengan sistem sorogan dan bandongan. Disini Para santri harus mempelajari kitab yang ditunjuk. Dalam memimpin kelas musyawarah peran kyai seperti dalam seminar dan lebih banyak dalam bentuk dialog atau tanya jawab, biasanya keseluruhan prosesnya menggunakan bahasa Arab, dan ini adalah merupakan ajang latihan bagi para santri untuk menguji keterampilanya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi kitab-kitab Islam klasik. Dan biasanya dalam kelas atau forum musyawarah ini, sebelum menghadap kyai para santri mendiskusikan terlebih dahulu beberapa persoalan antar mereka sendiri dengan menunjuk salah satu menjadi juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang akan disodorkan ke kyainya. Setelah itu baru terjadi forum diskusi bebas.
Setelah kita memahami lebih jauh tentang pondok pesantren, sangat terasa betapa hebat dan luar biasanya para kyai dalam mencoba mendesain lembaga pendidikan yang sesuai dengan keadaan Nusantara (Indonesia), yang tentunya lembaga pondok pesantren ini berbeda dengan lembaga pendidikan formal lainnya yang berkembang di masyarakat kita. Sebagian besar lembaga pendidikan formal yang berkembang di masyarakat adalah mengadopsi pada sistem pendidikan barat (Belanda) sebagai salah satu peninggalan yang diwariskan oleh Belanda pada masa penjajahan.
Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam. Menurutnya dalam sejarah tradisi intelektual Islam pada mulanya adalah melahirkan pakar-pakar ilmu agama, seperti Ibn Abbas dalam tafsir, Abdullah ibn Mas’ud dalam fiqh dan lain sebagainya.

BAB IV EKSISTENSI SEKOLAH

A. Panduan dalam Memilih Sekolah
Telah dijelaskan bersama-sama bahwa orang tua sebagai pendidik anak di keluarga memiliki beberapa keterbatasan yang membuat mereka menyerahkan proses pendidikan anaknya pada sekolah. Dalam dunia pendidikan sekolah merupakan tempat bagi anak untuk belajar dan juga mempelajari banyak hal. Sekolah adalah sebuah rumah yang memberikan kemudahan dan fasilitas bagi anak didik dalam melahirkan sekian bentuk kreativitas. Sekolah mengantarkan anak untuk tumbuh menjadi manusia-manusia dengan segala bentuk harapan dan impian. Oleh karena itu, orang tua harus pandai-pandai dalam memilih sekolah bagi anak-anaknya.
Beberapa hal yang setidaknya harus diperhatikan oleh orang tua dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya antara lain:
1. Memilih sekolah yang memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas.
Visi, misi, dan tujuan sekolah tersebut diharapkan bisa mewujudkan harapan orang tua kepada anak setelah bersekolah di situ.
2. Memilih sekolah yang biaya pendidikannya terjangkau.
Efisiensi biaya pendidikan yang dibutuhkan bagi anak dalam proses pendidikan di sekolah tentunya lebih murah karena pendidikan dilaksanakan secara klasikal-kolektif. Namun kadang yang terjadi adalah sebaliknya, biaya pendidikan di sekolah menjadi sangat mahal. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan adanya asumsi pada masyarakat bahwa sekolah yang bermutu adalah sekolah yang mahal yang tidak terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah.
Masyarakat harus jeli dalam menanggapi fenomena tersebut, jangan sampai terjebak dan memaksakan diri untuk masuk di dalamnya jika memang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Sebagai alternatif-solusinya masyarakat bisa memilih sekolah yang biaya pendidikannya terjangkau yang sudah diakreditasi oleh pemerintah.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa akreditasi sekolah merupakan kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan (sekolah) berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Dengan demikian sekolah yang telah terakreditasi telah mendapat jaminan menjadi sekolah yang bermutu.
3. Memilih sekolah yang mempunyai fasilitas pendidikan memadai.
Pendidikan bagi anak di sekolah akan berjalan lebih efektif didukung dengan adanya fasilitas pendidikan yang memadai. Hal itu seyogyanya dijadikan sebagai pertimbangan bagi orang tua untuk memilih mana sekolah yang tepat untuk anak-anaknya.
4. Memilih sekolah yang memiliki lingkungan sesuai dengan budaya masyarakat.
Sekolah pada dasarnya tumbuh dari nilai-nilai budaya masyarakat dan untuk menumbuhkembangkan budaya kepada anak didik agar mereka hidup sesuai dengan nilai dan budayanya. Sekolah memegang peranan penting dalam proses sosialisasi anak walaupun sekolah hanya suatu lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan anak.
Di sekolah, anak mengalami perubahan dalam tingkah laku sosialnya setelah mereka masuk sekolah. Proses perubahan tingkah laku tersebut tentu saja juga dipengaruhi oleh lingkungan sekolah. Dengan demikian akan lebih bijak jika orang tua memilih sekolah untuk anaknya yang memiliki lingkungan yang sesuai dengan budaya masyarakat.
5. Memilih sekolah yang memiliki guru yang berkualitas
Pada proses pendidikan, peran pendidik sangatlah besar dan strategis sehingga corak dan kualitas pendidikan secara umum dapat diukur dengan mellihat kualitas para pendidiknya. Pendidik yang memiliki kualifikasi tinggi dapat menciptakan dan mendesain materi pendidikan yang lebih dinamis dan konstruktif. Mereka juga akan mampu mengatasi kelemahan materi dan subjek didiknya dengan menciptakan suatu lingkungan yang kondusif dan menciptakan strategi yang aktif dan dinamis.
Dengan adanya pendidik yang berkualitas tinggi, maka kompetensi lulusan (output) pendidikan akan dapat dijamin sehingga mereka mampu mengelola potensi diri dan mengembangkannya secara mandiri untuk menatap masa depan gemilang yang sehat dan prosprektif. Sekolah yang dipilih oleh orang tua pun hendaknya memiliki pendidik yang berkualitas untuk mewujudkan harapan-harapan mereka.
6. Memilih sekolah yang mengharmonisasikan pendidikan umum dan agama.
Setiap terjadi kasus-kasus yang berhubungan dengan dekadensi moral di masyarakat, maka semua pihak akan segera menoleh pada sekolah dan seakan menuduhnya tidak becus dalam mendidik anak bangsa. Akhirnya tuduhan tersebut terfokus pada pendidik yang dianggap alpha dan tidak profesional dalam menjaga gawang moralitas bangsa, tuduhan juga difokuskan pada materi pendidikan yang cenderung cognitif oriented sehingga pendidikan hanya dapat menghasilkan anak didik yang memiliki intelektualitas tinggi tapi miskin akan nilai-nilai moral.
Sekolah pun mulai merespon fenomena tersebut dengan memasukan dan mengharmonisasikan pendidikan umum dan pendidikan agama secara seimbang-seirama dengan harapan dapat mengatasi berbagai dekadensi moral yang terjadi di masyarakat, sehingga muncullah seperti SD Islam Terpadu, SMP Islam Terpadu, SMA Islam Terpadu dan lain sebagainya. Dengan harmonisasi tersebut juga diharapkan tidak terjadi lagi dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis Nabi yang menyuruh umat muslim untuk mencari ilmu sampai ke negeri Cina mengandung spirit bagi umat muslim untuk tidak hanya mempelajari ilmu agama saja di Madinah tapi juga untuk mempelajari teknologi di negeri Cina, sebuah negeri yang memang pada saat itu sudah menjadi negeri yang berperadaban tinggi.
Sekolah yang mengharmonisasikan pendidikan umum dan pendidikan agama adalah sekolah yang layak dipilih oleh para orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya agar mereka menjadi anak yang soleh dan solehah yang menjadi investasi bagi orang tua setelah mereka wafat.

B. Pembinaan dan tanggung jawab pendidikan oleh sekolah
1. Tanggung Jawab dan Kewajiban Sekolah
Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah diri dan membentuk nalar berfikir yang kuat. Di sekolah, anak belajar menata dan membentuk karakter. Sekolah merupakan wahana yang mencerdaskan dan memberikan perubahan kehidupan anak-anak didik. Dengan kata lain, sekolah mampu memberikan warna baru bagi kehidupan anak ke depannya, sebab di sekolah mereka ditempa untuk belajar berbicara, berfikir, dan bertindak. Yang jelas, sekolah mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Tingkat keberhasilan sebuah bangsa dalam konteks kehidupan manusia yang sangat luas diukur dari bagaimana sekolah berperan dalam membangun kemandirian dan kecerdasan anak didik.
Sekolah bertanggung jawab menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Dengan demikisn, peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan. Anak didik memiliki kebebasannya untuk menentukan kebebasannya melalui sekolah.
Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya si anak didik, yang berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Dengan sekolah, organisasi atau partai mendidik kader-kadernya untuk meneruskan dan memperjuangkan cita-cita dari organisasi atau partainya.
Dengan sekolah pula, umat manusia yang berperadaban dan beragama mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi sebagai bekal untuk melanjutkan dan memperjuangkan agamanya.
Orang tua yang memiliki keterbatasan dalam mendidik anak-anaknya telah menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dengan maksud utama agar di sekolah itu anak-anak mereka menerima ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan sebagai bekal hidupnya kelak di kehidupan dunianya dan kehidupan akheratnya. Sekolah berkewajiban dan bertanggung jawab atas hasil transformasi nilai-nilai dan pengetahuan yang telah diberikan kepada anak-anak.
2. Kerja Sama antara Keluarga dan Sekolah
Untuk mendapatkan hasil pendidikan yang baik, maka sekolah perlu mengadakan kerjasama yang erat dan harmonis antara sekolah dan keluarga atau orang tua. Dengan adanya kerja sama itu, orang tua akan mendapatkan :
a. Pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya.
b. Mengetahui berbagai kesulitan yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah.
c. Mengetahui tingkah laku anaknya selama di sekolah, seperti apakah anaknya rajin, malas, suka membolos, suka mengantuk, nakal dan sebagainya.
Sedangkan bagi guru, dengan adanya kerja sama tersebut guru akan mendapatkan :
a. Informasi-informasi dari orang tua tentang kehidupan dan sifat-sifat anaknya. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi guru dalam memberikan pendidikan sebagai anak didiknya.
b. Bantuan-bantuan dari orang tua dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi anak didiknya di sekolah.
Sayangnya, masih banyak orang tua yang masih belum menyadari akan urgensi kerja sama antara orang tua dan sekolah. Hal tersebut dikarenakan kesibukan orang tua dan asumsi dari orang tua yang beranggapan bahwa kewajiban sekolah hanya untuk mengajarkan pengetahuan dari buku saja supaya anak-anaknya lulus. Kelulusan anak tersebut sudah cukup dan memuaskan bagi orang tua. Selain itu keengganan orang tua dalam menjalin kerja sama dengan sekolah juga bisa dikarenakan orang tua yang merasa minder, malu, dan takut karena mungkin merasa anak-anaknya tertinggal dengan anak-anak yang lain.
Oleh karena itu, sekolah dengan dipelopori oleh kepala sekolah bersama guru-guru mencari alternatif-solusi untuk mempererat hubungan antara keluarga dan sekolah. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempererat hubungan antara keluarga dan sekolah, antara lain :
a. Mengadakan pertemuan dengan orang tua di awal tahun pelajaran, khususnya di hari penerimaan anak didik baru.
Pertemuan tersebut diadakan untuk :
1) Mempromosilkan sekolah.
2) Mendeskripsikan tentang visi, misi, dan tujuan sekolah.
3) Mendapatkan informasi tentang harapan-harapan orang tua terhadap anaknya yang dididik di sekolah tersebut.
4) Mendapatkan informasi tentang karakter anak didik yang baru.
5) Menyampaikan informasi tentang program sekolah
b. Mengadakan surat-menyurat antara sekolah dan keluarga.
Surat-menyurat itu perlu diadakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan progran-program sekolah serta berbagai hal yang terkait dengan proses pendidikan di sekolah.
c. Menyampaikan prestasi belajar anak didik dalam bentuk buku rapot.
Prestasi belajar anak didik dalam bentuk rapot ini selain sebagai laporan pertanggungjawaban terhadap pendidikan yang dilakukan oleh guru terhadap anak didik juga berfungsi untuk mengkomunikasikan perkembangan anak didik terhadap orang tua mereka.
d. Mengadakan buku penghubung akhlak anak didik.
Buku penghubung tersebut dipegang oleh orang tua untuk mencatat perkembangan akhlak anak didik selama berada di rumah kemudian hasilnya disampaikan kepada guru di sekolah untuk mendapatkan bimbingan dan pendidikan terhadap anak lebih lanjut.


e. Mengunjungi orang tua murid.
Tentu saja sangat sulit bagi suatu sekolah untuk mengunjungi setiap orang tua. Untuk efektifitas dan efisiensi, sekolah bisa mengunjungi orang tua yang sedang melaksanakan hajatan, sedang terkena musibah, serta orang tua yang anaknya sedang mengalami kesulitan dalam proses pendidikannya di sekolah. Mengunjungi orang yang sedang hajatan atau sedang terkena musibah ini sangat dianjurkan dalam Islam.
f. Mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan dan kesiswaan yang dihadiri oleh para orang tua.
Kegiatan tersebut bisa digunakan oleh pihak sekolah untuk beramah tamah dengan orang tua murid.
g. Membentuk perkumpulan orang tua, seperti komite sekolah.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa komite sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
Hubungan yang harmonis antara keluarga dan sekolah ini selain diharapkan dapat memaksimalkan keberhasilan pendidikan juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah SWT (QS. An Nisa : 1, QS. Ar Rad : 21)
3. Sekolah sebagai Wahana Sosialisasi
Di sekolah, anak mengalami perubahan dalam tingkah laku sosialnya. Proses perubahan tingkah laku dalam diri anak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan kebudayaan yang tertuang dalam kurikulum. Kurikulum pendidikan yang dilaksanakan oleh guru salah satunya berfungsi untuk membentuk tingkah laku menuju kepribadian yang dewasa secara optimal.
Di sekolah berlangsung proses sosialisasi anak melalui pendidikan. Pendidikan merupakan kata kunci dari proses sosialisasi yang ada di sekolah. Guru menjadi transformer nilai-nilai budaya kepada semua anak didik untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya.
Fungsi sosialisasi yang dilaksanakan oleh sekolah mencangkup lima dimensi, antara lain :
a. Pendidikan tidak hanya mencangkup pengetahuan dan keterampilan semata tetapi juga sikap, nilai, dan kepekaan pribadi.
b. Peran seleksi sosial (mencangkup tidak hanya pemberian sertifikat, tetapi juga melakukan seleksi terhadap peluang kerja).
c. Fungsi indokrinasi.
d. Fungsi pemeliharaan anak.
e. Aktivitas kemasyarakatan.
Jadi sekolah memiliki fungsi pendidikan, peran sosial, indokrinasi, pemeiliharaan, dan aktivitas kemasyarakatan.
Sekolah sebagai wahana sosialisasi anak akan menentukan corak berfiki rdan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma yang diyakini dan dimiliki masyarakat. Pada gilirannya, kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan akar budayanya dengan kemampuan merespon perubahan di masyarakat.

C. Sekolah di Era Teknologi Informasi dan Komunikasi
1. Fenomena Masyarakat Informasi
Pada abad ke 21 kencangnya arus globalisasi semakin terasa, menghantam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Tofler, pada saat ini sedang terjadi pergeseran kekuasaan (powershift) yang menggerogoti setiap pilar sistem kekuasaan lama yang secara mendasar telah dan akan mengubah kehidupan keluarga, bisnis, politik, negara-negara, dan struktur kekuasaan global itu sendiri. Kekuatan, kekayaan, dan pengetahuan menjadi tiga dasar kekuasaan yang mementukan kompetisi global.
Dalam era Informasi, eksistensi keluarga sebagai bagian dari masyarakat juga memberikan implikasi penting bagi sistem baru pendidikan. Menurut Reigeluth dan Garfinkel, model karakteristik masyarakat informasi tersebut antara lain :
a. Tujuan dan model berkisar pada proses pengorganisasian iptek mengenai informasi dan pengembangan pengetahuan.
b. Dasar kekuatannya adalah perluasan kekuatan kognitif dengan teknologi tinggi.
c. Paradigmanya adalah berfikir sistemik, munculnya hubungan sebab akibat (causality), kompleksitas yang dinamis, orientasi ekologi.
d. Berkembangnya teknologi; proses pengumpulan, pengorganisasian, penyimpanan informasi, jaringan komunikasi, sistem perencanaan dan rancangan.
e. Komoditi pokok; informasi dan pengetahuan sebagai kunci produk, manusia profesional dan pelayanan teknik adalah komoditi utamanya.
f. Pola konsumsi lebih kecil dan lebih efisien.
g. Karakteristik organisasi; terpadu, sinergi, perubahan, dan fleksibilitas.
2. Tantangan dan Peluang Sekolah di Era Teknologi Informasi dan Komunikasi
Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan berubah semakin cepat dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan. Sekolah menghadapi tantangan serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada di garda depan perubahan global tersebut.
Proses pendidikan di sekolah pada era teknologi informasi dan komunikasi ini harus berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemanfaatan berbagai teknologi informasi dan komunikasi menjadi hal yang fundamental bagi kemajuan dunia pendidikan di sekolah dewasa ini. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan diskusi jarak jauh dengan salah satu pendidik atau pakar pada suatu wilayah atau negara dengan pihak-pihak yang membutuhkannya di wilayah yang lain.
Pemanfaatan komputer, internet, multi media untuk pendidikan harus sudah dimulai sejak dari sekolah dasar (SD). Sudah saatnya sejak dini diperkenalkan dunia teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan untuk memasuki dunia global. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi akan memudahkan peserta didik untuk mengakses informasi apapun yang dibutuhkannya dalam proses pendidikan.
Namun dibalik peluang tersebut, terdapat beberapa tantangan yang terdapat di dalamnya, antara lain :
a. Proses pendidikan cenderung cognitif oriented.
Hal tersebut merupakan salah satu dari karakteristik masyarakat di era informasi seperti yang telah dijelaskan di atas.
b. Munculnya persaingan antar sekolah dalam ranah material.
Sekolah membutuhkan berbagai fasilitas untuk mendukung pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, tiap sekolah pun berusaha untuk memenuhinya bahkan terjadi persaingan antar sekolah dalam pemenuhannya yang menjadikan sekolah mengabaikan pembangunan karakter peserta didiknya.
c. Mengikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik.
Transformasi pendidikan yang terjadi melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi cenderung cognitif oriented sehingga transformasi nilai pun terabaikan. Ketidakseimbangan tersebut dapat menjadikan terkikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik. Salah satu contoh konkretnya misalnya pada kasus pengggunaan fasilitas Facebook. Facebook sebagai alat jejaring sosial bisa dimanfaatkan sebagai media transformasi pengetahuan dan sosial namun dalam penggunaannya banyak pemakainya yang mengabaikan waktu solat, mengabaikan pekerjaan, mengabaikan belajar, dan mengabaikan kewajibannya yang lain dan lebih mementingkan diri untuk ber-facebook ria.
Namun di balik majunya teknologi informasi dan komunikasi, kemajuannya tidak dapat menggantikan peran guru dalam pendidikan. Secanggih apapun teknologi yang digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, peserta didik masih tetap membutuhkan sosok guru sebagai pemandunya. Peran strategis guru tersebut harus bisa dimanfaatkan dengan optimal untuk meminimalisir efek negatif yang berasal dari tantangan-tantangan di atas. Sebagai seorang fasilitator dalam transformasi pengetahuan, guru juga hendaknya mampu mentransformasikan nilai-nilai kebajikan pada peserta didik agar moral mereka tidak terkikis oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

D. Demokratisasi di Sekolah
Kelas merupakan salah satu elemen sekolah yang memiliki peran tersendiri dalam proses pendidikan. Kelas sebagai ruang kecil yang berisikan sejumlah anak didik memberikan andil bagi pembentukkan kepribadian, kecerdasan, emosi anak didik, dan lain sebagainya. Kelas merupakan ruang bagi mereka untuk mencurahkan banyak hal yang dapat dikerjakan.
Guru seyogyanya menenpatkan kelas sebagai ruang belajar yang mampu memotivasi untuk belajar, memberikan kepuasan tersendiri, dan menghasilkan praktek pendidikan yang bermutu. Hal tersebut dikarenakan selama ini kelas bukan lagi ruang yang mendidik. Ketika masuk ke ruang kelas, kadang anak didik merasa malas karena adanya beberapa faktor, antara lain :
1. Pola pembelajaran di kelas yang otoriter.
Pada saat pembelajaran di dalam kelas, anak didik harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh guru. Jika keadaan tersebut berlangsung secara terus menerus maka akan menjadikan anak didik merasa dirinya seperti robot yang selalu harus patuh dan mengikuti gurunya, alhasil anakpun menjadi bosan di kelas.
2. Proses transformasi pengetahuan yang teacher centered.
Guru menganggap dirinya yang paling pintar dan mengetahui materi pelajaran yang disampaikan sehingga anak didik harus menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh gurunya. Filosofi yang menganalogkan anak didik seperti sebuah gelas dan guru seperti sebuah poci yang akan digunakan untuk menuangkan air (pengetahuan) di dalam gelas tersebut merupakan salah satu bentuk dokrin arogansi pendidik, yang menjadikan anak didik mutlak sebagai objek didik (gelas) yang tidak mempunyai daya apa-apa di hadapan gurunya. Lebih tepatnya, arogansi tersebut dikarenakan guru memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada anak didik.
3. Penggunaan metodelogi mengajar yang monoton dan searah.
Kemungkinan lain yang menjadikan anak malas dan bosan di dalam kelas adalah karena penggunaan metodelogi mengajar yang monoton dan searah. Guru sekonyong-konyong koder menyampaikan materi pelajaran hanya dengan metode ceramah satu arah. Guru menyampaikan materi dan anak didik hanya mendengarnya tanpa memberikan ruang bagi anak untuk menyampaikan pendapatnya mengenai persoalan yang sedang dibicarakan oleh guru.
Oleh karena itu, demokratisasi di dalam kelas sebagai wujud demokratisasi di sekolah perlu ditumbuhkembangkan. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan cratein yang berarti memerintah. Definisi yang populer mengenai demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi memiliki beberapa unsur penting, yaitu asas kemerdekaan, asas persamaan, dan asas persaudaraan.
Jika asas-asas demokrasi tersebut dilaksanakan dalam proses pendidikan di sekolah maka semangat tersebut akan menciptakan kelas yang demokratis pula. Setiap anak didik harus mendapatkan ruang yang sama dalam kelas dan menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan dalam pelayanan pendidikan. Demokratisasi di dalam kelas bertujuan untuk melahirkan komitmen bersama bahwa pendidik dan anak-anak didik memiliki posisi yang sedang belajar bersama, mencari pengetahuan baru, dan mendapatkan hal yang baik.
Demokratisasi di dalam kelas menuntut tersedianya ruang selebar-lebarnya pada setiap anak didik untuk mengaktualisasikan dirinya. Dengan kata lain, pihak sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru, dan staf harus mengupayakan ruang bagi setiap anak didik dalam mengembangkan kreativitasnya.
Oleh sebab itu, guru sebagai orang penting yang menjalankan mesin demokratisasi dalam kelas harus memiliki jika demokratis dan mampu menerima segala perbedaan setiap anak didik dalam berbagai aspek. Guru menjembatani seluruh kegiatan yang bisa membangun kerja sama di antara anak didik sehingga mereka saling membangun kebersamaan yang kondusif dan dinamis. Mereka mendapatkan upaya pendidikan yang sama, tidak ada yang merasa disingkirkan sedemikian rupa.
Demokratisasi di dalam kelas yang mendendangkan komitmen saling menerima perbedaan pendapat dalam kehidupan anak-anak didik akan membawa pola pendidikan yang berada dalam konteks mencerdaskan. Demokratisasi di dalam kelas juga berperan dalam mengembangkan budaya berfikir kritis anak didik yang saling mendukung menuju kebersamaan hidup, saling melengkapi, dan tidak saling menjatuhkan. Ending-nya,demokratisasi di sekolahpun diharapkan mampu memperkuat jati diri anak didik yang berkarakter kuat dan siap menerima segala bentuk perubahan hidup. Demokratisasi di sekolahpun akan menjadikan pendidikan lebih humanis.