Senin, 20 Desember 2010

IDEALISME MATERI PENDIDIKAN ISLAM (Sebuah Konsep Filosofis Integrasi Pendidikan Islam dan Pendidikan Umum Menuju Pendidikan Monokhotomik-Holistik)

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Di masa sekarang ini, masalah pendidikan selalu saja menjadi diskursus yang menarik. Salah satu diskursus tersebut adalah tentang bagaimana cara membangun konsep pendidikan yang berkesinambungan sehingga didapatkan hasil yang optimal dari proses pendidikan. Indikasi dari pertanyaan tersebut berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul, antara lain: pertama, mana yang lebih dulu diutamakan, pendidikan akhlak atau akademis?. Kedua, mana yang penting untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, akhlak atau nilai akademik?.
Pertanyaan tersebut tentu saja menggelitik kita semua yang berada dalam kancah pendidikan Islam. Berdasarkan pertanyaan di atas, maka diperlukan suatu proses kerja yang cermat untuk dapat membuat sebuah konsep pendidikan Islam yang dapat dijadikan sebagai pijakan sekaligus acuan dalam membentuk fondasi yang dapat dijadikan sebagai pedoman yang kokoh dalam mengembangkan perangkat-perangkat pendidikan Islam, seperti kurikulum, metode, media, dan materi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam sendiri identik dengan dasar ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Hadist. Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep, perumusan atau produk pikiran manusia dalam rangka pelaksaan pembinaan dan pengembangan potensi peserta didik tidaklah bersifat baku dan mutlak, tetapi bersifat dinamis.
Pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk melahirkan suatu generasi baru dengan segala ciri-cirinya yang unggul dan beradab yang telah menjadikannya sebagai Khalifah fil Ardh. Penciptaan generasi ini dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan yang sepenuhnya dan seutuhnya kepada Allah SWT melalui proses pendidikan Islam. Melalui proses pendidikan Islam inilah, Allah SWT telah menampilkan pribadi muslim yang merupakan uswah dan qudwah melalui Muhammad SAW. Kepribadiannya merupakan manifestasi dan jelmaan dari segala nilai dan norma ajaran al-Quran dan Hadist.
Dalam konsep pendidikan Islam dibahas strategi, metode, media, sumber, lingkungan, dan juga materi pendidikan Islam yang bersifat dinamis dalam arti sesuai dengan tuntunan kebutuhan manusia yang selalu tumbuh dan berkembang. Dinamis di sini, tidak berarti proses pendidikan Islam tidak memiliki dasar, tetapi sebagai sebuah proses tentu bukan merupakan suatu harga mati, final, dan tuntas terutama yang berhubungan dengan materi pendidikan Islam.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas bisa diambil rumusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimanakah idealisme materi pendidikan Islam?”

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Materi Pendidikan Islam
Secara bahasa, materi berarti sesuatu yang menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, dikarang, dan sebagainya. Sedangkan secara bahasa, pendidikan berasal dari kata pedagogi yang berarti pendidikan dan kata pedagogia yang berarti ilmu pendidikan, yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata, yaitu paedos dan agoge yang berarti “saya membimbing, memimpin anak”. Dari pengetian tersebut, pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Muhammad Hamid an-Nashir dan Kulah Abd al-Qadir Darwis mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses pengerahan perkembangan manusia (ri’ayah) pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah laku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju kesempurnaan. Sedangkan Omar at-Toumi asy-Syaibani menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan di alam sekitarnya.
Sementara itu, Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil).
Dengan demikian, materi pendidikan Islam adalah seperangkat bahan yang dijadikan sajian dalam aktivitas pendidikan Islam untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Bahan tersebut merupakan unsur inti dari kegiatan belajar mengajar dan bahan tersebutlah yang diupayakan untuk dikuasai oleh peserta didik.
Perumusan tentang materi pendidikan Islam didasarkan atas konsep dasar dan tujuan pendidikan Islam, yaitu terbentuknya manusia yang mampu berperan sebagai Khalifah fil Ardh, yang beriman dan bertaqwa, berakhlak, menguasai iptek, profesional, dan beretos kerja tinggi.
2. Landasan Konseptual Materi Pendidikan Islam
Untuk menumbuh-kembangkan atau merancang-bangun materi pendidikan Islam yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, maka menurut penulis acuan pokok materi pendidikan Islam secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga bidang, yaitu Pertama, sumber daya ilahiyah (wahyu) yang mengacu kepada al-Quran sebagai landasan konseptual dan Sunnah Rasul sebagai landasan operasionalnya. Kedua, sumber daya alami, yang mengacu kepada alam, sebagai sanggar budaya. Ketiga, Sumber daya insani, yang mengacu kepada manusia sebagai makhluk budaya.
a. Al-Qur’an sebagai Landasan Konseptual
Al-Quran adalah wahyu dalam arti ilmu dari Allah, yang disampaikan kepada manusia melalui Nabi Muhammad, guna dijadikan pedoman dalam menata hidupnya di alam. Kepribadian yang qurani terbentuk seiring dengan penguasaan makna al-Quran. Objektifitas pemahaman seseorang tentang makna al-Quran akan menentukan objektifitas keimanannya. Atas dasar itu dalam rangka fungsionalisasi al-Quran, pengenalan bahasa dan makna serta wawasan tentang al-Quran merupakan materi pokok dalam pendidikan Islam.
Telah disepakati oleh umat Islam bahwa al-Quran adalah kalam Allah. Kalam artinya ucapan atau bahasa. Kalam Allah berarti bahasa Allah. Karena pada hakikatnya al-Quran adalah bahasa yang dipakai Allah dalam mengemukakan petunjuk-petunjuk-Nya kepada manusia. Tanpa menguasai bahasa al-Quran manusia tidak akan mengetahui petunjuk yang diberikan oleh Allah. Karena itu bahasa al-Quran merupakan materi dalam pendidikan Islam, dengan tujuan peserta didik dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya. Bahasa adalah alat makna. Tidak mengenal bahasa tidak akan mengenal makna. Penguasaan bahasa al-Quran merupakan upaya dalam rangka memfungsikan al-Quran sebagai bacaan ilmiah. Desain materi pengajaran bahasa al-Quran minimal meliputi pengenalan lambang bahasa yaitu bentuk huruf dan bunyi huruf, tata bahasa yang meliputi sharaf dan nahwu, serta balaghah sastranya.
b. Sunnah Rasul Sebagai Landasan Operasional Al-Qur’an
Para rasul adalah figur objektif dalam mengembangkan konsepsi ilahiah. Sunnah mereka, dalam arti sikap dan tingkah lakunya adalah pola konkret dalam operasionalisasi misi ilahiah yang tepat, dan telah terbukti dalam pentas sejarah. Karena itu dalam upaya menumbuh-kembangkan sumber daya ilahiah di muka bumi, Sunnah para Rasul sampai kapanpun merupakan landasan operasional.
Hadis Rasul pada intinya adalah catatan atau data tentang Sunnah Rasul yang kini telah diabadikan. Sunnah para Rasul sebelum Nabi Muhammad datanya dikemukakan oleh Allah dalam wahyu-Nya.
c. Sumber Daya Alami
Manusia dalam hidupnya tidak terlepas dari alam sekitar. Ketanggapan dan kesigapan manusia terhadap alam akan membawa manfaat bagi kepentingan kehidupan manusia. Bumi dengan seluruh isinya, baik flora maupun fauna, baik yang hidup di darat maupun di laut, benda-benda alam, baik dalam bentuk padat, cair maupun gas yang terdapat di permukaan maupun di perut bumi, sebagai barang tambang, diciptakan oleh Allah untuk manusia. Alam sebagai sumber daya sangat tergantung kepada manusia. Dalam upaya pemanfaatan alam sebagai sumber daya, diperlukan konsentrasi studi bidang kealaman. Pendidikan kealaman yang objektif akan menumbuh-kembangkan daya tarik manusia terhadap alam secara objektif pula. Dengan pengetahuannya yang objektif tentang kealaman manusia akan mampu beradaptasi dengan alam sekitar, dapat menjinakkan alam yang ganas dan mengganaskan alam yang jinak sesuai dengan kodrat alami.
Keberadaan alam selain manusia, diatur berdasarkan hukum kauniah, yang bersifat pasti. Dengan hukum kauniah tersebut objektivitas tentang alam akan diketahui oleh manusia melalui pendekatan empiris, yaitu melalui pengamatan langsung. Lingkungan pendidikan kealaman secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pengetahuan tentang benda-benda mati yang lazim dikenal dengan fisika, dan pengetahuan tentang makluk hidup yang lazim disebut dengan biologi. Pengetahuan tentang biologis manusia merupakan modal dasar bagi seseorang dalam memperhatikan dirinya. Berbagai unsur yang dibutuhkan, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal adalah materi pokok dalam pendidikan biologi. Begitu pula pengetahuan tentang hewan dan tumbuhan yang diperlukan oleh manusia. Pengetahuan tentang kesehatan, yang meliputi pertumbuhan, perawatan dan pengembangan organis biologis, merupakan modal bagi manusia dalam memfungsikan dirinya sebagai pemangku amanat Allah di muka bumi. Dengan menguasai pengetahuan bidang kesehatan, seseorang akan menjadi sigap dan tanggap terhadap gejala-gejala fisiknya, sehingga tidak cepat panik dalam menghadapi gangguan seperti penyakit.
Prinsip pokok dalam pendidikan kealaman dalam bidang hewan dan tumbuhan, bahwa setiap yang diperlukan oleh manusia akan habis jika manusia tidak merawat atau memeliharanya. Benda-benda alam baik padat, cair, maupun gas merupakan sumber daya alam fisik yang tidak terhitung nilainya bagi manusia. Pengetahuan tentang benda-benda padat dengan struktur atomnya; benda gas dengan kandungannya; air dengan berbagai unsurnya, merupakan sumber yang bermanfaat bagi manusia jika manusia mau memanfaatkannya. Semua yang terhampar di persada dunia dan di angkasa menuntut perhatian manusia yang mau memanfaatkannya. Sebaliknya ketidak pedulian terhadap semuanya itu akan menimbulkan berbagai malapetaka bagi manusia, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Ragam alam yang terhampar di persada dunia demikian banyak, tidak mungkin setiap orang mempunyai kemampuan untuk menjangkau secara menyeluruh. Karena itu dalam kaitannya dengan studi bidang kealaman menuntut spesialisasi.
Perumusan tentang materi pendidikan kealaman didasarkan atas prinsip sesuai dengan kebutuhan. Skala prioritas yang primer dan yang sekunder merupakan asas dalam menentukan kebijakan studi tentang kealaman. Studi kealaman yang tidak mendasar atas prinsip kebutuhan hanya akan menghabiskan biaya, tenaga dan waktu. Studi Kealaman yang selama ini dkembangkan di Indonesia kurang mempertimbangkan asas skala kebutuhan. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya kurikulum tentang materi kealaman yang seragam baik peserta didik yang hidup di lingkungan perkotaan maupun pedesaan. Padahal, kondisi alam di lingkungannya tidak sama. Akibatnya, antara pengetahuan yang dimiliki peserta didik dengan kenyataan alam yang ada di sekitarnya tidak menunjukkan korelasi.
Lembaga-lembaga pendidikan yang secara formal mencantumkan identitas Islam, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta, yang berafiliasi di bawah Kementrian Agama maupun Kementrian Pendidikan Nasional, atau Departemen lainnya, baik dalam bentuk sekolah maupun pesantren, kurang memperhatikan sektor materi bidang kealaman. Hal semacam ini sudah tentu akan membawa dampak negatif terhadap umat Islam.
d. Sumber Daya Insani
Telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa al-Quran adalah petunjuk Allah untuk manusia dalam hidup di alam, yang berarti bahwa manusia sebagai fokus yang menjadi dua bagian besar, yaitu struktur kesadaran dan struktur gerak dalam berbagai aspeknya. Pokok materi pendidikan yang berkaitan dengan sumber daya insani adalah kesadaran.
Kata sadar secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu shadrun yang artinya pangkal atau pokok. Dalam arti organis biologis shadrun berarti bagian tubuh yaitu dada. Dari pengertian ini muncul anggapan bahwa penentu kesadaran manusia adalah hati yang terletak di dalam dada manusia, bukan di kepala. Kata shadrun di dalam al-Quran erat kaitannya dengan manusia.
Faktor yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya adalah faktor hati. Hati, seperti dinyatakan dalam al-Quran berperan sebagai organ manusia berkaitan dengan keilmuan. Manusia yang tidak mendayagunakan hatinya untuk memahami ilmu yang diajarkan oleh Allah diibaratkan binatang. Dengan demikian maka hati identik dengan akal. Pendidikan kesadaran berarti pendidikan intelektual atau penalaran yang mengacu kepada kreativitas berpikir dalam berbagai lingkupnya. Kesadaran seseorang dibentuk oleh pengaruh yang diamatinya. Jika stimulan yang diamati dari hari ke hari hanya alam materi atau dunia kebendaan, maka kesadaran yang terbentuk adalah kesadaran materialis, dan jika yang mempengaruhinya lebih didominasi oleh faktor intuisi maka kesadaran yang terbentuk adalah kesadaran idealis. Kesadaran yang diharapkan tumbuh dan berkembang di dalam pendidikan Islam adalah kesadaran ilmiah yang qur’ani, bukan kesadaran alamiah yang materialis, atau kesadaran batiniah yang idealis. Kesadaaran qur’ani akan tumbuh dan berkembang jika seeorang memahami makna al-Quran. Karena itu materi pendidikan kesadaran dalam konsep pendidikan Islam adalah al-Quran dalam arti ilmu.
Refleksi kesadaran seseorang akan berwujud menjadi sikap dan tingkah lakunya. Perlakuan terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan alam yang ada di sekitarnya, merupakan respon dari kesadaran seseorang. Informasi tentang dirinya, keluarga, dan masyarakatnya serta lingkungan alam yang ada di sekitarnya merupakan bahan dalam membina dan menata diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan alam.
3. Ruang Lingkup Materi Pendidikan Islam
Dari landasan konseptual materi pendidikan Islam, maka menurut penulis bisa disimpulkan bahwa materi pendidikan Islam antara lain :
a. Materi pendidikan keagamaan (Spritual Learning)
Pendidikan keagamaan merupakan usaha awal untuk membangkitkan potensi spiritual anak. Disamping itu, pendidikan agama merupakan usaha pembekalan pengetahuan dan kebudayaan Islam. Hal terpenting dalam usaha ini adalah menanamkan keyakinan bahwa tiada tuhan selain Allah, keimanan kepada para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul dan hari akhir.
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pendidikan keagamaan antara lain : ilmu tauhid, ilmu fiqih, al-Qur’an, Hadist, akhlaq, dan tarikh Islam.

b. Materi pendidikan rasional (Intelectual Learning)
Yang dimaksud dengan materi pendidikan rasional ialah membekali anak sejak dini cara berpikir jernih supaya anak terbiasa menyelesaikan setiap masalah dengan menggunakan pertimbangan akal sehat. Pendidikan dasar-dasar sains dan teknologi harus dimulai sejak dini sebagai bekal dasar agar anak di kemudian hari dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi modern, agar anak menjadi anggota masyarakat yang berperadaban maju, bukan peradaban yang miskin dan terbelakang. Itulah sebabnya Islam sangat menekankan pentingnya mencari ilmu pengetahuan sebab hanya dengan ilmu pengetahuan manusia akan dapat mencapai kemajuan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.
Banyak sekali Hadits yang menegaskan pentingnya mencari ilmu. Di antaranya, ditegaskan di dalam sebuah Hadits bahwa siapa saja yang menginginkan kebahagiaan dunia maupun akhirat mestilah “dibeli” dengan ilmu pengetahuan. Allah pun berjanji bahwa Dia akan mengangkat martabat orang beriman dan berilmu (QS. 58:11). Bahkan lima ayat pertama dalam al-‘Alaq adalah tentang keharusan mencari ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat pendidikan. Turunnya Surat pertama yang memuat pesan keharusan menuntut ilmu ini merupakan isyarat nyata bahwa kemajuan setiap orang (nabi sekalipun) ditentukan dengan keilmuannya, bukan dengan nasab keturunannya, harta kekayaannya maupun predikat sosialnya. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw. menekankan bahwa pendidikan atau pembekalan keilmuan harus dimulai sejak sedini mungkin: “Didiklah anak-anak kalian sebab mereka itu merupakan generasi yang akan menghadapi zaman yang berbeda dari zaman kalian” (HR. Tirmidzi).
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pendidikan rasional antara lain : matematika, fisika, biologi, kimia, serta teknologi informasi dan komunikasi.
c. Materi pendidikan jasmani (Physical Learning)
Hadits-hadits seperti dikutip di bawah ini dapat dijadikan pedoman bagi pendidikan jasmani. “Orang mukmin yang kuat adalah lebih berharga dari pada mukmin yang lemah.” Disebutkan lagi: “Kebersihan itu merupakan bagian dari keimanan” Juga dikatakan: “Bersuci itu merupakan pangkal keimanan.” Sabda beliau lagi: “Bergerak jalanlah kalian supaya kalian sehat.” Sabda Nabi lagi: “Kesehatan itu terdapat di udara terbuka.” Maksudnya, udara yang bersih dapat menjamin kesehatan tubuh. Kesehatan mental tidak dapat dipisahkan dari kesehatan jasmani. Makanan, minuman, tempat tinggal dan lingkungan yang sehat menentukan lahirnya kepribadian anak yang sehat. Kebiasaan bergaya hidup sehat harus dimulai sejak dini. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan merupakan contoh pendidikan kesehatan jasmani yang sederhana tetapi sangat penting bagi anak-anak. Demikian pula menggosok gigi sebelum tidur. Ini harus dibiasakan sejak kanak-kanak. Makanan yang halal dan bergizi baik juga mesti dijadikan perhatian utama bagi orang tua (pendidik). Itu sebabnya Islam mengharamkan bangkai, darah, arak dan daging babi. Etika makan dan minum juga patut diperhatikan dan dibiasakan sejak dini. Misalnya, makan dan minum tidak boleh berlebihan (QS. 7:31). Itu sebabnya Islam menganjurkan puasa. Bila minum, tidak boleh dilakukan dengan sekali teguk seperti unta, tetapi harus dua sampai tiga kali tegukan (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Bergaya hidup bersih, baik badan, pakaian maupun tempat tinggal dan lingkungan sekitar, harus dibiasakan sejak kanak-kanak sebab Allah mencintai orang-orang yang bergaya hidup bersih (QS. 2:222).
Di samping itu, untuk kesehatan anak, pendidikan Islam sangat menekankan pentingnya berolahraga. Nabi Muhammad saw. menganjurkan agar anak kita dididik berolahraga sejak dini seperti berenang, berlari, memanah dan pacuan kuda (HR. Thabrani).
Sekurang-kurangnya, ada tiga tujuan utama dari pendidikan kesehatan jasmani, yaitu:
1) Untuk menjaga dan memelihara kesehatan badan seperti alat pernapasan, peredaran darah, pencernaan, otot dan sistem saraf, serta untuk melatih keterampilan dan ketangkasan.
2) Memupuk solidaritas sosial seperti gemar tolong-menolong dan setia kawan yang umumnya dapat diwujudkan melalui permainan dan olah raga berkelompok (seperti sepak bola).
3) Memupuk perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan seperti kecerdasan, ingatan, kemauan, kerajinan, ketekunan, kegigihan, keteguhan, dll.
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pendidikan jasmani seperti Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (PJOK).
d. Materi Pendidikan akhlak (Emosional and Spiritual Learning)
Di dalam sistem pendidikan Islam, pendidikan ahlak tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Para ahli filsafat pendidikan Islam sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah ruh pendidikan Islam sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik manusia supaya memiliki jiwa dan akhlak mulia. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada pemberian yang lebih berharga dari orang tua kepada anaknya selain dari pendidikan budi pekerti yang baik” (HR. Tirmidzi). Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah berpesan agar orang tua memuliakan anaknya dengan cara menanamkan budi pekerti yang baik (HR. Ibnu Majah). Bahkan pemberian nama yang baik kepada anak secara implisit merupakan pesan moral bahwa orang tua menghendaki anaknya menjadi manusia yang berakhlak baik. Contoh lain, membiasakan anak mengucapkan ungkapan “Mohon maaf!” dan “Terima kasih” merupakan kebiasan sederhana namun terpuji yang dapat mencetak kepribadian bermoralitas tinggi.
Dalam konteks ini, pakar pendidikan Athiyah al-Abrasyi menyatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi membina mental dan akhlak mereka dengan cara memanamkan kegemaran melakukan kebajikan, membiasakan diri bersikap sopan, mencetak mental yang ikhlas dan jujur. Singkatnya, tujuan utama pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembinaan mental.
Tidak diragukan lagi bahwa akhlak mulia merupakan buah dari keimanan yang merasuk ke dalam kehidupan keagamaan anak. Karena itu, bila anak sejak dini tumbuh dan berkembang dengan dasar iman kepada Allah, maka dia akan memiliki kemampuan untuk mencintai kebajikan dan keutamaan. Tegasnya, dia akan terbiasa berperilaku dengan akhlak mulia karena dia menyadari bahwa iman akan membentengi dirinya dari berbuat dosa dan kebiasaan buruk. Memperjelas hal ini, Abdullah Nasikh ‘Ulwan mengatakan bahwa pendidikan iman akan dapat mengendalikan perilaku menyimpang, memperbaiki jiwa manusia. Tanpa iman, moralitas tidak akan tegak. Ini berarti bahwa moralitas manusia (yang dibina sejak anak kecil) mesti dilandasi iman.
Para filusuf Muslim sepakat mengenai pentingnya periode kanak-kanak dalam pembinaan budi pekerti. Dalam konteks ini, Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa pembinaan akhlak yang paling tepat adalah dimulai sejak masa kanak-kanak. Bila suatu kejelekan sudah menjadi kebiasaan sejak kecil, itu akan sulit memperbaikinya.
Senada dengan al-Jauzi, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa anak adalah amanah bagi orang tuanya. Hati anak kecil itu masih suci bagaikan permata yang mahal harganya. Maka bila anak dibina sejak dini dengan kebiasaan yang baik, bila dia sudah dewasa akan tumbuh menjadi orang yang memiliki sipat-sipat terpuji.
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pokok pendidikan akhlak antara lain Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama Islam (seperti yang terdapat di sekolah umum).
e. Materi pendidikan sosial (Social Learning)
Materi pendidikan sosial bagi anak-anak adalah pembiasaan sejak dini di dalam mematuhi norma-norma sosial. Dalam kata lain, pendidikan sosial di masa dini merupakan usaha untuk membiasakan anak bergaul di masyarakat secara sopan. Ini dapat menjamin keberadaan anak sebagai mahluk sosial yang mampu berinteraksi dengan sesamanya secara rukun dan damai. Usaha seperti inilah yang dapat menjamin terciptanya apa yang disebut solidaritas sosial. Dengan demikian, akan terciptalah kesatuan masyarakat yang bulat dan utuh sehingga kesatuan ini dapat dilukiskan sebagai satu tubuh. Nabi Muhammad saw. menggambarkannya sebagai satu jasad sehingga di mana ada salah satu organ yang sakit, maka semua organ lainnya akan merasa sait pula. Inilah wujud nyata solidaritas sosial yang dikehendaki Islam. Solidaritas seperti ini hanya akan terwujud bila individu-individu dalam suatu masyarakat memiliki rasa tanggungjawab dan kepedulian sosial.
Sikap saling menyayangi, saling menghargai dan menghormati merupakan wujud nyata rasa tanggungjawab tersebut. Kegiatan saling berkunjung ke rumah atau berkirim makanan merupakan contoh usaha menanamkan solidaritas sosial yang kelihatannya sederhana namun sangat berharga. Demikian pula kerja bakti dalam melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti perbaikan saluran air, operasi kebersihan lingkungan, penghijauan lingkungan, pembuatan apotek hidup, dll.
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pokok pendidikan sosial antara lain Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia dan ilmu pengetahuan sosial (sosiologi, ekonomi, antropologi, sejarah).

4. Integrasi Materi Pendidikan Islam ke dalam Materi Pendidikan Umum
Penyelenggaraan pendidikan keimanan dan ketakwaan (imtak) itu adalah tugas sekolah, bukan tugas guru agama saja. Tujuan pendidikan imtak itu tidak akan tercapai bila hanya dilakukan oleh guru agama saja. Karena itu kepala sekolah, semua guru, semua karyawan, dan orang tua murid harus ikut menyelenggarakan pendidikan imtak itu. Sub bab ini membicarakan sebagian yang harus dilakukan oleh guru umum dalam rangka membantu terselenggaranya pendidikan imtak agar pendidikan imtak itu lebih maksimal hasilnya. Yang dimaksud dengan guru umum ialah guru yang mengajarkan mata pelajaran umum, seperti guru Matematika, guru Biologi, guru Olah Raga, dan lain-lain, pokoknya guru selain guru agama. (Penyebutan guru umum ini sudah tepat; itu bukan pertanda kita menganut dikotomi. Umum itu lawannya khusus, bukan agama. Sering orang mengatakan umum-agama sebagai tanda penganut dikotomi).
Bagaimana cara guru umum melaksanakan pendidikan imtak, sementara ia bukan guru agama? Caranya ialah dengan mengintegrasikan ajaran agama ke dalam pembelajarannya. Pengintegrasian itu dapat dilakukan pada:
a. Pengintegrasian materi pelajaran
Pengintegrasian materi, maksudnya ialah mengintegrasikan konsep atau ajaran agama ke dalam materi (teori, konsep) pengetahuan umum yang sedang diajarkan. Ini terbagi menjadi beberapa kemungkinan, antara lain:
1) Pengintegrasian filosofis, bila tujuan fungsional mata pelajaran (umum) sama dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama. Misalnya: Islam mengajarkan perlunya hidup sehat, sementara mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan juga mengajarkan perlunya hidup sehat. Matematika mengajarkan ketelitian dalam menghitung, Islam juga mengajarkan ketelitian dalam membaca al-Qur’an.
2) Pengintegrasian karena konsep agama berlawanan dengan konsep pengetahuan umum. Misalnya (jika benar) guru Biologi mengajarkan manusia berasal dari monyet (mungkin mengacu pada teori Darwin) sementara guru agama Islam mengajarkan bahwa manusia berasal dari Adam, dan Adam dari tanah. Yang berlawanan ini harus diselesaikan: mungkin guru agama Islam (GAI) yang salah mungkin juga guru Biologi yang keliru. Yang penting, konsep yang berlawanan itu jangan diajarkan seperti itu. Misalnya, GAI mengajarkan bahwa bunga bank, betapapun kecilnya, haram; sementara guru Ekonomi mengajarkan bahwa bunga bank boleh. Ini pun harus diselesaikan. Murid tidak boleh diajari konsep yang berlawanan.
3) Pengintegrasian dapat dilakukan jika konsep agama saling mendukung dengan konsep pengetahuan (umum). Misalnya guru pendidikan jasmani dan kesehatan sedang mengajarkan konsep bahwa kebanyakan penyakit berasal dari makanan; lantas ia mengajarkan bahwa diet itu perlu untuk kesehatan. Guru tersebut dapat meneruskan bahwa puasa adalah diet yang sangat baik. Cukup begitu saja, tidak usah menuliskan dalil atau uraian lebih banyak. Misalnya lainnya. Guru fisika sedang menerangkan benda angkasa, bahwa benda angkasa itu beredar pada garis edarnya masing-masing. Lantas ia mengatakan bahwa ada ayat al-Qur`an yang menjelaskan bahwa memang benda-benda di langit itu beredar pada garis edarnya masing-masing karena diatur Allah demikian. Cukup sebegitu, tidak usah pakai dalil atau uraian lain.



b. Pengintegrasian proses pembelajaran
Pengintegrasian perlu dilakukan juga dalam proses pembelajaran. Konsepnya jangan ada proses pembelajaran yang berlawanan dengan ajaran agama Islam. Misalnya: guru pendidikan jasmani dan kesehatan laki-laki mengajari murid perempuan berenang. Penyelesaiannya ialah mengganti guru lelaki tersebut dengan guru perempuan. Dengan demikian proses berjalan sesuai dengan ajaran Islam. Demikian juga pada proses yang lain seperti pengajaran menari dan lain sebagainya.
c. Pengintegrasian dalam memilih bahan ajar
Pengintegrasian perlu juga dilakukan dalam memilih bahan ajar. Misalnya guru Bahasa Indonesia dapat memilih bahan ajar yang memuat ajaran Islam untuk dibahas, misalnya dalam memilih puisi-puisi atau juga dalam memilih bahan bacaan lainnya. Di sini, guru Bahasa Indonesia itu memang berniat hendak meningkatkan imtak siswa melalui pengajaran Bahasa Indonesia.
d. Pengintegrasian dalam memilih media pembelajaran.
Pengintegrasian juga dapat dilakukan dalam memilih media. Misalnya, tatkala guru Matematika memilih sosok, ia menggunakan sosok masjid untuk mengganti rumah. Ia mengajarkan bahwa satu masjid ditambah dua masjid sama dengan tiga masjid. Tentu itu hanya dilakukan sekali-sekali saja. Pengintegrasian itu dilakukan secara selintas, seperti tidak disengaja, tidak formal, tidak ditulis dalam lesson plan (persiapan mengajar), tidak dievaluasi baik pada post-test mapun pada ulangan umum, tidak mengurangi waktu efektif pengajaran umum.
Usaha pengintegrasian materi ini, di samping untuk membantu tercapainya tujuan PAI juga berdaya dalam menghilangkan pandangan dikotomis yang menganggap bahwa pengetahuan (pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat, pengetahuan mistik) merupakan pengetahuan bebas nilai. Demikian pula agama dipandang sebagai sesuatu yang tidak memiliki kaitan dengan pengetahuan itu. Keduanya tidak dapat dipertemukan, bahkan agama dapat dianggap penghambat perkembangan pengetahuan. Pandangan tersebut merupakan akibat dari cara pandang yang keliru, baik terhadap agama maupun terhadap pengetahuan umum. Jika integrasi agama dengan pengetahuan umum berhasil dengan baik, maka salah satu hasilnya ialah agama itu akan memandu pengetahuan umum.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Materi pendidikan Islam yang ideal adalah materi yang bersumber pada al-Qur’an sebagai landasan konseptualnya dan Hadist sebagai landasan operasionalnya. Dengan demikian, acuan pokok materi pendidikan Islam secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga bidang, yaitu Pertama, sumber daya ilahiyah (wahyu) yang mengacu kepada al-Quran sebagai landasan konseptual dan Sunnah Rasul sebagai landasan operasionalnya. Kedua, sumber daya alami, yang mengacu kepada alam, sebagai sanggar budaya. Ketiga, Sumber daya insani, yang mengacu kepada manusia sebagai makhluk budaya.
Dari ketiga acuan di atas maka ada empat materi pendidikan Islam, antara lain : Pertama, materi pendidikan keagamaan (spiritual learning) yang terdiri dari mata pelajaran ilmu tauhid, ilmu fiqih, al-Qur’an, Hadist, akhlaq, dan tarikh Islam. Kedua, materi pendidikan rasional (intelectual learning) yang terdiri dari mata pelajaran matematika, fisika, biologi, kimia, serta teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga, materi pendidikan jasmani (physical learning) memuat mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (PJOK). Keempat, materi Pendidikan akhlak (Emosional and Spiritual Learning) yang termuat dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama Islam (seperti yang terdapat di sekolah umum). Dan kelima, materi pendidikan sosial (social learning) yang dimuat pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia dan ilmu pengetahuan sosial (sosiologi, ekonomi, antropologi, sejarah).
2. Saran-saran
Al-Qur’an dan hadist sebagai pedoman konseptual dan operasional materi pendidikan Islam bukan hanya memuat aspek agama an sich, tetapi juga memuat berbagai aspek, seperti perekonomian, politik-kenegaraan, sosial-budaya, ilmu pengetahuan, kesehatan, dan sejarah. Oleh karena itu sangat dimungkinkan terjadinya interkoneksi antara agama dan sains.
Dalam konteks pendidikan, interkoneksi antara agama dan sains tersebut memberikan konstribusi kepada para guru ataupun praktisi pendidikan agar :
a. Mempelajari dan mengkaji al-Qur’an dan hadist serta ijtihad para ulama yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Mengintegrasikan antara materi pendidikan Islam dengan materi pendidikan umum.
c. Membuat desain materi pembelajaran berbasis pendidikan Islam, dengan menjadikan ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan hadist sebagai bagian dari sumber materi pembelajaran.
Jika upaya tersebut dilakukan, baik oleh guru pendidikan agama Islam maupun oleh guru mata pelajaran umum, maka secara gradual dikotomi pendidikan akan terminimalisir atau bahkan mungkin akan terkikis sehingga terciptalah konsep Pendidikan Monokhotomik-Holistik.














Daftar Pustaka

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma’arif, 1989).

Ahmad Janan Asifuddin, (Catatan Perkuliahan Filsafat Pendidikan Islam, 11 Desember 2101, Yogyakarta : PPs UIN Sunan Kalijaga).

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1992).

Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1997).


Darwin Syah, dkk, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta ; GP Press, 2007).

Haris Firdaus, Benalu-Benalu Kalbu, (Bandung : Mujahid Press, 2003).

Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta : LKiS, 2009).

Muniron, dkk, Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jember : STAIN Jember Press, 2010).

Nurwadjah, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan : Hati yang Selamat Hingga Kisah Lukman, (Bandung : Marja, 2007).

Suharsini Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990).

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002).

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS

Zuhairini, dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya : Usaha Nasional, 1981).

Rabu, 08 Desember 2010

LEPASKAN JILBABMU !

Fakta dan Fenomena
Ketika jam perkuliahan akan dimulai dan matahari semakin merangkak menuju ke ufuk barat, di tengah panasnya suasana perkulihanan, bayangkanlah lima mahasiswi yang sedang berdiskusi ilmiah tentang jilbab di depan kelasnya:
Kata wanita pertama,”Lihat si Asmiranda itu. Apa dia nggak malu pake jilbab jika kelakuannya seperti itu? Uh, bercandanya kelewatan. Tawanya keras sekali. Tidak sopan! Harusnya dia malu sebagai seorang wanita yang memakai jilbab jika dia tidak bisa menjaga etika dan sopan santunnya. Mana sering mojok dengan pacarnya lagi, bergandengan...uh cap cay deh melihatnya! Lalu buat apa Asmiranda pake jilbab? Mendingan aku yang nggak pake jilbab. Huh, lebih baik nggak perlu pake jilbab tetapi bisa menjaga diri daripada memakai jilbab tetapi bersikap dan berpenampilan seperti dia!”.
Bandingkan dengan wanita kedua yang berkata, “Maafkan aku mba’ sebab aku belum berani memakai jilbab. Aku ingin sekali memakainya tapi...ah ada sesuatu yang membuatku merasa berat untuk memakainya sekarang. Mungkin Allah belum memberi petunjuk untukku sehingga aku masih merasa berat memakainya. Doakan saja suatu saat nanti aku akan memakai jilbab seperti mba’. Kalau aku sekarang memaksakan diri untuk memakainya, aku takut tidak bisa menjaga diri sebagai seorang wanita muslimah yang berjilbab. Sekarang biarkan aku seperti ini dulu dan doakan agar aku bisa menjaga diri.
Wanita yang ketiga berkata,”Aku pikir seorang wanita yang berjilbab atau tidak berjilbab itu tidak berbeda. Satu-satunya hal yang membedakan adalah jilbab mereka itu sendiri. Selebihnya mereka adalah sama-sama wanita dengan sifat-sifat kewanitaannya. Silahkan jika anda memakai jilbab, tetapi jangan memaksa saya untuk memakainya seperti anda, sebab Tuhan tidak menanyakan apakah seorang wanita itu berjilbab atau tidak. Yang dilihat Tuhan itu bukan perkara luar, tetapi perkara hati. Seorang wanita yang berjilbab belum tentu mempunyai hati yang suci dan bersih. Sebaliknya, seorang wanita yang tidak berjilbab bisa jadi memiliki kedekatan dengan Tuhan melebihi wanita yang berjilbab tadi. Jadi jangan anda memandang wanita yang tak berjilbab seperti anda itu wanita yang rendah, sebab siapa tahu dia memiliki kualitas hati dan jiwa yang lebih baik dan mulia dari pada anda.”
Wanita yang keempat berkata,”Seorang muslimah yang berjilbab, dia akan lebih kelihatan cantik secara fisik. Apalagi jika jilbabnya tersebut mampu mencerminkan kecerdasan jiwanya, maka dia tidak hanya cantik di luar saja tapi juga cantik di dalam.
Wanita kelima berkata,”Di kampus kita ini kebanyakan teman-teman memakai jilbab, jadi kita harus memakai jilbab dong! Agar kita tampak cantik dengan berjilbab, maka pakailah jilbab yang diproduksi oleh Rabbani, Az-Zahra, ataupun Raihan. Jilbab produk mereka fashionable banget gitu lho...!
Lalu bagaimana dengan anda, apa yang menjadikan anda berhasrat untuk berjilbab? Sebenarnya bagaimanakah jilbab dalam pandangan Islam?

Definisi Jilbab
Kata jilbab, jamaknya jalabib yang termaktub dalam QS Al-Ahzab ayat 59. Secara lughawi, jilbab berati pakaian (baju kurung yang longgar). Dari pengertian lughowi ini kemudian Quraish Shihab mengartikan jilbab sebagai baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala. Sedang menurut Abu Hayyan, jilbab ialah pakaian yang menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata pemakainya terlihat namun tetap menutup dada dan bagian mukanya. Jika melihat definisi jilbab menurut Quraish Shihab maka bisa dikatakan jika wanita yang memakai celana jeans model pensil yang teramat nyetrit sejatinya wanita tersebut belumlah memakai jilbab. Definisi yang kedua lebih ekstrim lagi, baginya berjilbab akan lebih sempurna jika yang terlihat hanya matanya (kita sering menyebutnya jilbab ala ninja). Nampaknya kita harus memutar otak kita lebih kencang lagi untuk menanggapi fenomena berjilbab di masyarakat kita. Apakah jilbab yang dipakai sudah sesuai dengan pandangan Islam? Tentu jawabannya sangat interpretable dan akan menjadi sebuah diskursus yang debatable. Namun pertanyaan yang menarik adalah “Apakah berjilbab merupakan suatu kewajiban?”

Landasan Normatif Berjilbab
Allah SWT berfirman :

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak wanitamu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS Al-Ahzab : 59).

Inilah ayat yang digunakan sebagai hujjah (argumen) untuk mengatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi setiap wanita muslimah. Akan menjadi menarik sekali jika kewajiban berjilbab tersebut kita hadapkan dengan kondisi kultur-sosial kita. Hal ini dikarenakan jilbab yang telah menjadi identitas asli wanita Arab tidak bisa dipaksakan pemakaiannya pada kalangan lain seperti kalangan wanita muslimah di tanah air kita.
Terhadap pemaksaan kewajiban berjilbab seperti wanita Arab, alhasil kita sering menemukan ada wanita yang memakai jilbab ketika dia keluar rumah atau menghadiri kegiatan-kegiatan tertentu dan ada juga wanita yang berjilbab karena mereka sekolah di sekolah Islam atau karena mereka bekerja di Bank Muamalah ataupun toko-toko yang mewajibkan karyawannya untuk berjilbab. Intinya, mereka hanya berjilbab jika keluar rumah saja, misalkan ketika dia kuliah atau pun ketika dia ada kegiatan di luar rumah serta ketika dia sedang bekerja. Sedang ketika mereka di dalam rumah atau dalam kebiasaan sehari-hari, mereka melepaskan jilbabnya. Diakui ataupun tidak, fenomena ini terjadi di masyarakat kita. Fenomena tersebut sangat paradox dengan perintah kewajiban berjilbab dalam QS Al-Ahzab ayat 3, untuk itu penulis memandang perlu adanya penafsiran secara kontekstual terhadap ayat tersebut.

Moral-Idea QS Al-Ahzab ayat 3
Perintah berjilbab dalam QS Al-Ahzab ayat 3 tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi. Kaum wanita itu diminta untuk memakai jilbab manakala mereka diganngu oleh orang-orang usil yang selalu mengincar wanita-wanita murahan yang tidak berjilbab. Hal ini sesuai dengan peristiwa ketika ayat tersebut turun. Menurut riwayat:

“Para wanita muslimat pada malam hari pergi keluar rumah untuk buang hajat. Di tengah perjalanan, mereka diganggu oleh orang-orang munafik (orang jahat) karena penjahat itu tidak dapat membedakan antara wanita merdeka (terhormat) dengan yang budak (sebab model pakaian yang mereka pakai sama); sehingga bila mereka melihat seorang wanita memakai tutup kepala (jilbab/kerudung), maka mereka berkata,”ini perempuan merdeka”, lalu mereka biarkan berlalu tanpa diganggu. Sebaliknya, jika mereka melihat wanita tanpa tutup kepala lantas mereka berkata,”ini seorang budak perempuan”, lalu mereka membuntuti (dengan tujuan melakukan pelecehan seksual)”

Dalam peristiwa itu tampak dengan jelas bahwa ayat ini turun bukan khusus berkenaan dengan konteks menutup aurat saja tapi lebih dari itu, yakni agar mereka tidak diganggu oleh pria-pria nakal dan usil. Dengan demikian kita dapat berkata bahwa di mana pun di dunia ini, baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kriterianya dengan yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, maka hukumnya adalah sama, sesuai dengan kaidah ushul fiqh :”hukum-hukum syara’ didasarkan pada ‘illat (penyebabnya)”.
Berdasarkan sebab turunnya ayat dan kaidah ushul fiqh tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban berjilbab menurut ayat ini bersifat kondisional, bukan kewajiban mutlak. Artinya, apabila di suatu masa atau pada suatu tempat di mana orang melihat wanita berpakaian mini yang memperlihatkan bentuk lekuk tubuhnya dan wanita bercelana jeans yang “nyetrit” yang memperlihatkan lekuk tubuhnya pula sehingga dapat membangkitkan nafsu seks kaum laki-laki sehingga memotivasinya untuk menggoda wanita itu, maka dalam kondisi begini si wanita itu wajib berjilbab supaya dia tidak diganggu sehingga dapat berjalan bebas dan beraktivitas dengan bebas pula.
Berkaca dari ide moral dalam QS Al-Ahzab ayat 6 ini, lalu bagaimanakah dengan pakaian serta jilbab yang dikenakan oleh masyarakat kita? Apakah jilbab yang mereka kenakan sudah mencerminkan ide moral ayat tersebut? Semoga artikel sederhana ini mampu menjadi inspirasi konstruktif yang positif bagi kaum hawa di Indonesia dalam berjilbab

Sabtu, 04 Desember 2010

Mengikis Praktek Poligami

Poligami adalah ancaman kehidupan perempuan dan rumah tangga. Poligami mempunyai implikasi negatif yaitu secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila melihat suaminya berpoligami karena didorong oleh rasa cinta setianya yang dalam kepada suaminya bahkan tidak menutup kemungkinan anak juga akan merasakan implikasi negatif dari praktek poligami.
Adanya praktek poligami akan mengakibatkan :
1. Kesengsaraan perempuan
Perempuan akan sengsara hidupnya, pihak istri pertama merasa diambil suaminya, disakiti hatinya, dan disaingi keberadaannya dalam rumah tangganya sendiri. Istri yang kedua bagaimana pun juga pada umumnya ditanggapi negatif oleh masyarakat dan kehidupan rumah tangganya belum tentu akan bahagia seperti yang dijanjikan oleh suaminya sebelum diperistri.
Hidup itu panjang dan hidup semakin hari semakin kompleks masalahnya, berjuanglah bersama untuk melawan poligami karena poligami menyengsarakan perempuan dan menguntungkan kaum laki-laki. Kalau demikian halnya maka diharapkan perempuan di Indonesia tidak mengijinkan suaminya berpoligami atau tidak menempuh hidup berpoligami. Janganlah berdalih agama bagi yang mengijinkan, sebab Nabi Muhammad SAW saja tidak mengizinkan menantunya untuk berpoligami karena beliau yakin tiada seorang pun yang dapat membagi kasih dan cintanya secara adil, barangkali materi bisa dibagi secara adil tetapi perasaan belum tentu bisa diberikan secara adil. Maka hindarilah berbuat dosa kepada sesama dan agama.
2. Menyengsarakan keluarga
Hidup ini tidak hanya untuk istri, suami, dan istri-istri tetapi juga di antaranya ada anak-anak yang masih kecil atau dewasa yang melihat ketidakbijaksanaan orang tuanya terutama ayah yang ingin kawin lagi (hidup berpoligami) merupakan pengalaman hidup yang pahit bagi anak itu sendiri, mereka akan berpendapat mengapa seorang ayah yang begitu dihormati selaku kepala keluarga mempunyai pikiran yang merendahkan martabat seorang ibu yang dipujanya, mereka akan berpikir mengapa ayah tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya untuk hidup bersama lagi dengan perempuan lain yang lebih muda, bahkan ada istri kedua yang lebih kecil umurnya dari anaknya. Betulkah ada rasa cinta disana? Tidakkah perkawinan Poligami itu dilandasi oleh faktor-faktor yang lain, misalnya : materi, popularitas atau status sosial, nafsu seks, gengsi, merasa hebat, merasa muda kembali, dan lain-lain. Seandainya perkawinan itu dilandasi oleh faktor-faktor di atas, bagaimanakah kelangsungan hidup keluarga tersebut kelak apabila sudah tidak ada faktor-faktor pendukung di atas?. Hal ini tidak bisa dipungkiri lagi akan mengakibatkan:
a. suatu keretakan dalam rumah tangga, karena salah satu akan merasa dikhianati, disakiti, dan juga merasa disia-siakan;
b. juga akan memicu adanya kekerasan dalam rumah tangga bahkan adanya tindak pidana penganiayaan bahkan mungkin pembunuhan;
c. serta dapat mengakibatkan kehidupan anak menjadi frustasi (broken home).
Kalau terjadi hal tersebut baik bagi istri pertama, istri kedua dan seterusnya anak-anak mereka dan bahkan suami sendiri sebagai pemicu poligami akan merasakan betapa hidup ini bagaikan di neraka.

Pernikahan bukan layaknya transaksi “Showroom Motor” sehingga boleh ‘bongkar-pasang’ sesuka hati, setelah diperiksa bodi-fisik, mesinnya setelah cocok kemudian dibeli. Namun setelah “bosan” memakainya dengan mudah bisa ditukarkan. Pernikahan dalam Islam tidak hanya mencari kepuasan fisik semata tetapi memiliki tujuan yang suci dan mulia yakni terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan wa rahmah.
Data survei Lembaga Survei Indoensia (LSI) dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah menunjukkan pada bulan Maret 2006 mendapatkan data bahwa hampir 60% masyarakat Indonesia tidak menyetujui poligami.

Menggugat Praktek Poligami

Tidak ada yang salah dengan QS An Nisa ayat 3 tentang poligami. Yang salah adalah prakteknya, yang merupakan pengejawantahan dari suatu penafsiran. Fakta sudah banyak membuktikan bahwa dalam praktek poligami, suami tidak pernah berbuat adil. Banyak laki-laki mempraktekkan poligami tanpa kesadaran dasar tentang konsekuensi dari poligami, yaitu berbuat adil. Dan keadilan itu hanya bisa dicapai jika mempunyai satu patner (suami-istri). Artinya tidak ada pengistimewaan kepada salah satu istri dibanding istri yang lain.
Persoalan poligami sebenarnya rumit, yaitu antara landasan teologis, konsep kesetaraan gender dan berbuat adil di dalamnya. Kita tidak bisa melihatnya hanya dari satu sisi, misalnya landasan teologis saja, kesetaraan gender saja atau keadilan saja dalam praktek poligami karena semuanya saling berhubungan. Ketidakadilan terhadap perempuan dikarenakan adanya implementasi yang salah dari suatu ajaran agama yang disebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkhi di dalam masyarakat sehingga menimbulkan sikap dan perilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketidakadilan tersebut.
Titik tekan poligami itu ada pada aspek keadilan, bukan pada perkawinannya itu sendiri. Sementara yang terjadi saat ini tampaknya kesalahkaprahan penafsiran banyak orang terhadap QS An-Nisa ayat 3 yang dianggap lebih menitikberatkan aspek bolehnya perkawinan lebih dari satu istri itu, bukan pada aspek keadilannya. Kesalahkaprahan tersebut semakin parah ketika terjadi pen-sakralan terhadap penafsiran itu.
Orang-orang yang membela poligami tidak mengaitkan antara ayat yang mendukungnya di QS An-Nisa ayat 3 dengan ayat-ayat lain yang seakan-akan justru menafikan ayat itu. Di akhir ayat itu sendiri misalnya sudah dikatakan bahwa ”Bila engkau kuatir tidak dapat berlaku adil, maka satu orang istri sajalah!”. Bahkan dalam QS An-Nisa ayat 129 dikatakan bahwa laki-laki sudah dikodratkan oleh Allah SWT untuk tidak mungkin bisa berbuat adil terhadap banyak istri.

Firman Allah SWT :
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS An Nisa : 129)

Lebih dari itu, dalam konteks perkawinan zaman Nabi Muhammad SAW, pembolehan poligami sangat terkait dengan fakta banyaknya perempuan-perempuan janda, anak yatim dan budak-budak yang menjadi beban sosial. Sekarang konteks poligami sudah jauh berbeda, tidak lagi berada dalam konteks peperangan. Dalam faktanya saat ini, sebagian besar laki-laki yang berpoligami, istri barunya jauh lebih cantik, lebih muda, lebih menarik dan sangat jarang peminat poligami yang memilih orang-orang yang paling patut ditopang secara sosial-ekonomi
Jika dilacak lagi melalui Hadits, akan ditemukan indikasi ketidaksetujuan Nabi Muhammad SAW atas poligami. Ada sebuah Hadis yang menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib ingin menikah dengan perempuan lain (selain istrinya: Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW). Lantas Nabi Muhammad SAW mengungkapkan keberatannya. Dan Nabi Muhammad SAW mengulang kalimat “aku tidak akan mengizinkannya” sampai tiga kali. Lantas, pada akhir komentarnya, beliau mengatakan bahwa sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari dirinya. Barang siapa membahagiakannya, berarti ia membahagiakan Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, barang siapa menyakitinya, berarti ia menyakiti Nabi Muhammad SAW.
Dari sini jelas terlihat indikasi ketidaksetujuan Nabi Muhammad SAW pada praktek poligami. Adapun praktek poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW harus dilihat dalam konteks keinginan menciptakan suatu hukum baru dalam Islam. Misalnya, dilihat dalam kasus pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya (Zaid bin Utsamah). Dalam kasus ini terkandung sebuah ketetapan hukum. Nabi Muhammad SAW ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa anak angkat dengan anak kandung itu berbeda (pembatalan asumsi hukum sedarahnya anak hasil adopsi,). Tradisi Arab kala itu tidak demikian. Jadi, benang merah yang dapat ditarik dari sini, kesimpulan hukum bahwa tidak ada pertalian darah antara orang tua dengan anak angkatnya. Jadi ada maksud-maksud tertentu perilaku Nabi Muhammad SAW.

Poligami Menciutkan Mental Anak

Seorang suami yang berniat melakukan poligami harus memenuhi syarat fisik dan psikis. Dalam dua kebutuhan itu, seorang laki-laki dituntut untuk berlaku adil, dan ini lah yang paling sulit, bahkan Allah SWT sendiripun menegaskan dalam QS An-Nisa ayat 3. Persiapan psikis sangat penting, terutama jika di dalam di dalam pernikahan poligami sang suami sebelumnya terdapat anak-anak. Anak-anak dapat merasakan setelah pernikahan kedua terjadi, apakah ibunya dapat dengan besar hati menerima orang baru masuk ke dalam kehidupan mereka. Jangan sampai keputusan yang diambil menyimpan bara dalam sekam, ujungnya yang terjadi adalah ketidak bahagiaan bagi istri dan korban utama yang paling menderita adalah anak. Seorang ibu merupakan pendidik utama bagi anak. Bagaimana mungkin seorang ibu yang tidak bahagia (unhappy mother) bisa memberikan kebahagiaan bagi anak-anaknya yang akhirnya hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi keutuhan perkembangan jiwa anak.
Apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan memilih dilahirkan di keluarga yang harmonis, hangat, dan penuh kasih sayang. Keluarga yang demikian adalah dambaan dari setiap anak di dunia. Tapi sayangnya, anak tidak dapat memilih siapa yang akan menjadi orangtuanya. Saat mereka lahir, mereka harus menerima siapapun yang menjadi orangtua mereka. Termasuk saat mereka memiliki orangtua yang melakukan praktek poligami.
Poligami yang dipraktekkan hanya karena kepentingan laki-laki semata akan menciptakan hubungan yang tidak sehat dalam keluarga. Hal tersebut akan menjadi faktor rusaknya keluarga (broken home) dan menghancurkan mental anak yang tidak berdosa, sebab poligami akan merampas perlindungan dan ketentraman anak. Anak dalam keluarga yang berada dalam situasi konflik akan berkembang menjadi pribadi yang mendapat gangguan psikologis sehingga berpengaruh pada perilakunya. Dalam keadaan lebih buruk, keadaan konflik dapat mengakibatkan kehancuran keluarga.
Pengaruh yang paling besar adalah pengaruh terhadap perkembangan anak dan masa depannya. Dalam suasana yang tidak harmonis akan sulit terjadi proses pendidikan yang baik dan efektif, anak yang dibesarkan dalam suasana seperti itu tidak akan memperoleh pendidikan yang baik sehingga perkembangan kepribadian anak mengarah kepada wujud pribadi yang kurang baik. Akibat negatifnya sudah dapat diperkirakan yaitu anak tidak betah dirumah, hilangnya tokoh idola, kehilangan kepercayaan diri, berkembangnya sikap agresif dan permusuhan serta bentuk-bentuk kelainan lainnya. Keadaan itu akan makin diperparah apabila anak masuk dalam lingkungan yang kurang menunjang. Besar kemungkinan pada gilirannya akan merembes ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi.
Betapa bahagia dan indahnya apabila semua orang tua bisa mendidik anaknya dengan baik serta membentuknya menjadi pribadi yang shaleh, tentunya pertama kali yang mesti mereka terapkan adalah memperbaiki perilakunya sendiri dalam keluarganya. Jadi, jika seorang ayah tidak dapat menjamin akan dapat berlaku adil maka ia harus mengubur niatnya untuk berpoligami dan mulai memikirkan cara untuk memperbaiki keadaan keluarga dan perkembangan psikologi anak yang tak berdosa yang bisa menjadi korban dari kerusakan atau penyelewengan moral akibat tatanan keluarga yang tak utuh. Keadaan keluarga sangat mempengaruhi perjalanan hidup dan masa depan anak karena lingkungan keluarga merupakan arena dimana anak-anak mendapatkan pendidikan pertama, baik rohani maupun jasmani.

Sudah menjadi keharusan bagi orang tua untuk membimbing dan mendidik anak-anaknya, karena anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan dan pendidikan yang wajar dari orang tuanya akan menimbulkan kelemahan pada diri anak dalam perkembangan dan pertumbuhan psikologisnya.
Kalau hal ini diasumsikan ke dalam keluarga yang berpoligami, maka sudah dapat dibayangkan bagaimana hubungan antara anak dengan ayahnya. Seorang ayah yang berpoligami berarti ia harus menghadapi lebih dari satu keluarga yang harus diurus dan dipimpinnya. Dengan memimpin dua rumah tangga atau lebih, berarti ayah tidak selamanya berada dan menetap pada satu rumah tangga isterinya. Akan tetapi senantiasa berpindah-pindah dari rumah isteri yang satu ke rumah isteri yang lain dan seterusnya. Dengan keadaan seperti demikian itu, maka kesempatan seorang ayah untuk bertemu dengan dan bergaul dengan anak-anaknya sangatlah terbatas. Hal itu berarti terbatas pula waktu untuk bertemu dan bergaul dengan anak-anaknya secara continu. Kondisi rumah tangga dalam bentuk demikian menyebabkan banyak di antara anak-anak yang ayahnya berpoligami itu terlantar pendidikannya. Dan selanjutnya mempengaruhi perkembangannya, misalnya anak menjadi pemalas dan kehilangan semangat dan kemampuan belajarnya. Di samping itu tidak jarang menimbulkan terjadinya kenakalan-kenakalan dan traumatik bagi anak hingga mereka berkeluarga. Terjadinya tindakan-tindakan atau kasus-kasus tersebut merupakan akibat negatif dari keluarga yang berpoligami yang disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:
Pertama, anak merasa kurang disayang. Salah satu dampak terjadinya poligami adalah anak kurang mendapatkan perhatian dan pegangan hidup dari orang tuanya, dalam arti mereka tidak mempunyai tempat dan perhatian sebagaimana layaknya anak-anak yang lain yang orang tuanya selalu kompak. Adanya keadaan demikian disebabkan karena ayahnya yang berpoligami, sehingga kurangnya waktu untuk bertemu antara ayah dan anak, maka anak merasa kurang dekat dengan ayahnya dan kurang mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Kurangnya kasih sayang ayah kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan psikisnya yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan pengawasan dari ayah kepada anak-anaknya akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami dekadensi moral karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang terpengaruh kepada hal-hal yang kurang wajar.
Kedua, tertanamnya kebencian pada diri anak. Pada dasarnya tidak ada anak yang benci kepada orang tuanya, begitu pula orang tua terhadap anaknya. Akan tetapi perubahan sifat tersebut mulai muncul ketika anak merasa dirinya dan ibunya ”ternodai” karena ayahnya berpoligami. Walaupun mereka sangat memahami bahwa poligami dibolehkan (sebagaimana dalam QS An-Nisa ayat 3) tapi mereka tidak mau menerima hal tersebut karena sangat menyakitkan. Apalagi ditambah dengan orang tua yang akhirnya tidak adil, maka lengkaplah kebencian anak kepada ayahnya.
Kekecewaan seorang anak karena merasa dikhianati akan cintanya dengan ibunya oleh sang ayah akan menyebabkan anak tidak simpati dan tidak menghormati ayah kandungnya.
Ketiga, tumbuhnya ketidakpercayaan pada diri anak. Persoalan yang kemudian muncul sebagai dampak dari poligami adalah adanya krisis kepercayaan dari keluarga, anak, dan isteri. Apalagi bila poligami tersebut dilakukan secara sembunyi dari keluarga yang ada, tentu ibarat memendam bom waktu, suatu saat lebih dahsyat reaksi yang ada. Sesungguhnya poligami bukan sesuatu yang harus dirahasiakan tapi sesuatu yang sejatinya harus didiskusikan, jadi jangan ada dusta di antara suami, istri, dan anak. Komunikasi dan diskusi tersebut tidak dilakukan oleh suami karena seorang suami ingin melakukan poligami dikarenakan alasan seks semata.
Keempat, timbulnya traumatik bagi anak. Dengan adanya tindakan poligami seorang ayah maka akan memicu ketidak harmonisan dalam keluarga dan membuat keluarga berantakan. Walaupun tidak sampai cerai tetapi kemudian akan timbul efek negatif, yaitu anak-anak menjadi agak trauma terhadap perkawinan dengan laki-laki. Berikut kesaksian anak dari keluarga poligami :

Kesaksian Anak dari Keluarga Poligami

Seorang anak yang bapaknya berpoligami menceritakan pengalamannya dalam Kompas (6 Oktober 2003). Penulis ini mempunyai kenangan indah dengan bapaknya waktu masih kecil. Akan tetapi saat bapaknya menikah lagi, dia dan delapan saudaranya merasa tidak diperhatikan lagi. Menurut penulis ini, bapaknya tidak berlaku adil. Misalnya, kedua istrinya melahirkan anak perempuan dengan selisih hanya beberapa minggu. Untuk anak dari istri mudanya dilaksanakan kenduri, sedangkan untuk anak dari istri tuanya tidak diadakannya upacara apa-apa. Menurut penulis, adik bungsunya ini menjadi pemberontak karena dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari bapaknya. Penulis mengasihani bapaknya karena dia sudah tua tetapi masih harus bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Ceritanya diakhiri dengan kalimat ini: “Begitupun poligami, itu sesuatu yang halal, tetapi aku benci poligami.”
Pada sisi lain, ada pendukung poligami di antara anak-anak dari keluarga poligami, termasuk Syarif. Menurut Syarif, semua anggota keluarganya bahagia, termasuk bapak, istri-istri dan anak-anaknya. Walaupun ekonomi keluarganya pas-pasan, Syarif dan adik-adiknya berpendidikan bahkan Syarif sendiri menjadi calon doktor.
Sementara itu salah satu anak Ustadz Muhammad Umar, pelaku poligami dengan empat istri, tampaknya senang dengan keluarganya. Anak yang berumur delapan tahun ini mengatakan, saya senang jadi punya banyak umi, dan banyak saudara.

Poligami Memarjinalkan Kedudukan Perempuan

Beragamnya alasan mengapa laki-laki berpoligami dan mengapa perempuan dipoligami dan mau dipoligami telah memperlihatkan kepada kita betapa perempuan telah dipinggirkan dan selalu berada dalam posisi yang terpojok. Hampir dapat dipastikan bahwa kebanyakan perempuan sulit menawar atau bahkan tidak punya kemampuan menolak keinginan laki-laki untuk berpoligami. Poligami dengan demikian jelas merupakan perwujudan ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi bahkan diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut menjadikan posisi perempuan dimarjinalkan. Poligami merupakan isu yang sangat terkait dengan perempuan. Kaum hawalah yang banyak merasakan ketidak-adilan poligami. Karenanya, isu ini banyak dikumandangkan dan mendapat sorotan penting dari penggiat hak-hak kaum perempuan, termasuk kaum feminis Islam.
Dr. Andree Feillard, seorang peneliti dari Perancis, meneliti tentang pandangan perempuan Islam Indonesia terhadap poligami pada bulan Oktober dan November 1995. Informannya termasuk tokoh perempuan Muslimat (Nahdlatul Ulama), perempuan 'Aisyiyah dan perempuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat. Katanya, 22 dari 23 informannya menentang poligami. Tidak ada alasan yang diberikan oleh informannya yang berdasarkan agama. Alasan menolaknya poligami termasuk penderitaan ibu, laki-laki tidak bisa adil, dan tidak sesuai dengan zaman.
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami antara lain :
Pertama, timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
Kedua, ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
Ketiga, hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Keempat, selain itu dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
Kelima, yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Masalah Poligami bukan masalah agama saja, tetapi masalah sosial, ekonomi dan politik bangsa Indonesia, khususnya masalah HAM perempuan. Masalah poligami tidak pantas dicoret dari agenda sosial politik nasional karena menyangkut hak azasi perempuan. Alasan masih banyak masalah lain yang lebih penting dan belum terselesaikan di Indonesia dan keterpurukan Indonesia sekarang, tidak dapat diterima untuk menyetop diskusi pro dan kontra poligami di Indonesia karena salah satu sebab keterpurukan Indonesia adalah diskriminasi kelompok marjinal di daerah miskin dan di dalamnya termasuk kaum perempuan. Bagaimana Indonesia bisa berhasil dalam pembangunan fisik dan spiritual kalau separuh warganya sebagai jenis kelamin perempuan tidak mempunyai hak yang sama seperti warga lainnya.

Dari segi kesehatan saja poligami tidak memberikan keadilan. Kalau seorang isteri sakit kelamin maka isteri lainnya juga dipaksa untuk mengidap penyakit yang sama. Belum lagi masalah kesehatan jiwa isteri yang cemburu dalam hal ekonomi, sosial dan sex. Kalau diperpanjang lagi dalam masalah Keluarga Berencana, poligami sangatlah kontradiktif karena kalau seorang lelaki mempunyai isteri 4 orang, pasti masing-masing mereka minta 2 anak dan kadang malah lebih kalau belum mendapat jenis kelamin anak yang diinginkan. Dengan demikian tidak jarang kalau si lelaki poligamis ini akan mengurusi lebih dari 10 anak. Lalu apakah bisa dikategorikan sehat kalau seorang ayah harus membagi kasihnya kepada 10 anak, dari sudut pendidikan anak, psikologi dan mental anak-anak itu.

Maukah Anda Dipoligami?

Kini giliran kaum hawa untuk menjawab pertanyaan di atas sebagai objek poligami. Sekali lagi penulis bertanya kepada pembaca dari kalangan kaum hawa, “maukah anda dipoligami?”. Lagi-lagi tentu jawaban sepenuhnya ada pada diri anda, tapi setidaknya ada beberapa alasan yang menjadikan seorang istri (perempuan) mau dimadu, antara lain :
Pertama, perempuan seringkali tidak punya pilihan lain dan dia harus menikah sebagai wujud pengabdiannya pada orang tua, apalagi jika suaminya itu merupakan pilihan orang tuanya. Di mata masyarakat selalu dipahami bahwa menolak kehendak orang tua berarti durhaka dan berdosa besar sehingga anak perempuan sering kali terpaksa mau menikah meskipun dimadu karena takut durhaka.
Kedua, perempuan sudah terlanjur cinta. Karena perasaan cintanya yang seperti itu akhirnya menjadikan perempuan mau dimadu walaupun menyakitkan.
Ketiga, perempuan berpoligami untuk meningkatkan status sosialnya yang pada gilirannya juga mengangkat status ekonominya. Kita bisa dengan mudah menemui realitas ini di masyarakat, bahwa kebanyakan perempuan terpaksa menikah dengan laki-laki yang sudah beristri karena diiming-imingi dengan status sosial yang tinggi atau dijanjikan sejumlah harta yang menggiurkan meskipun dalam faktanya status sosial dan harta tersebut hanya untuk menjebak perempuan. Para perempuan yang kebetulan secara ekonomi lemah, mau menggadaikan perasaan dan hidupnya untuk dipoligami demi sesuap nasi menghidupi anak-anaknya.
Sikap di atas memang paradox. Bagaimana tidak, di atas kebahagian perempuan yang bersangkutan ada penderitaan perempuan lain sebagai madunya. Mungkin penderitaan itu akan dirasakannya bila ia sendiri sebagai isteri pertama. Kecuali bagi perempuan sholehah yang betul-betul mendedikasikan hidupnya untuk pengabdian kepada Tuhannya. Mereka menjadikan rumah tangga, bersuami dan mengurusi anak-anaknya hanya sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Tuhannya. Bagi perempuan seperti itu, sudah dijanjikan “balasannya surga”, meski perempuan seperti itu hanya ada dalam sejarah. Sementara Nabi Muhammad SAW sendiri tidak mengizinkan anak putrinya dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam suatu riwayat yang dinukilkan dari Al-Miswar ibn Makhramah diriwayatkan bahwa ia telah mendengar Nabi Muhammad SAW berpidato di atas mimbar :
“Sesungguhnya anak-anak Hisyam ibn Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali. Ketahulilah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku dan menikahi anak mereka. Sesungguhnya Fatimah itu bagian dari diriku. Barang siapa membahagiakannya berarti ia membahagiakanku. Sebaliknya, barang siapa yang menyakitinya berarti ia menyakitiku.”

Senada dengan alasan-alasan di atas, para istri yang suaminya menikah lagi menjelaskan beberapa alasan mengapa mereka bertahan dalam praktek poligami dan enggan bercerai dengan suaminya, antara lain:
Pertama, mereka tetap mempercayai bahwa poligami itu merupakan ajaran agama dan sunnah Nabi Muhammad Saw, jadi suka atau tidak suka perempuan harus mengalah dan menerima apa adanya. Poligami juga menjadi obat mujarab untuk mendapatkan cinta Allah sebab dengan poligami seseorang akan senantiasa mengalami kesusahan dalam hidupnya. Ketika dia dalam kesusahan maka dia akan meminta pertolongan kepada Allah. Kesusahan yang dialami seorang istri yang suaminya berpoligami sifatnya terus menerus, maka dia pun akan terus meminta tolong kepada Allah sehingga dirinya mendapatkan cinta Allah, karena senantiasa berkomunikasi dengan-Nya.
Kedua, poligami bukan hal yang asing di lingkungan keluarga mereka. Ayah mereka atau keluarga yang lain juga berpoligami dan karena itu mereka merasa tidak sendirian ketika dipoligami.
Ketiga, sangat tergantung secara finansial pada suami sehingga kalau bercerai mereka bingung ke mana akan menggantungkan hidup, apalagi jika sudah punya anak.
Keempat, daripada suami selingkuh dengan perempuan yang tidak dikenal yang kemungkinan dapat menularkan HIV/AIDS lebih baik berpoligami dengan perempuan yang sudah dikenal.
Kelima, dan hal ini yang paling banyak menjadi alasan bagi perempuan tetap bertahan jika dimadu suaminya adalah demi pertimbangan anak-anak agar tetap punya bapak meskipun tidak diurusi dan juga demi keutuhan keluarga. Terlebih lagi perceraian di mata masyarakat masih dipandang sebagai aib. Selain itu menyandang predikat janda bagi perempuan bukanlah hal yang mudah. Setelah bercerai, perempuan tersebut harus siap menjadi single parent. Berikut gambaran kesaksian istri-istri yang ikhlas dipoligami dan juga sosok istri-istri yang tidak ikhlas dipoligami :


Kesaksian Para Istri yang Ikhlas di Poligami

Teh Ninih, istri pertama Aa Gym, mengakui bahwa reaksinya waktu dia mengetahui suaminya mau berpoligami sama dengan kebanyakan istri, kaget dan sedih. Dia bertanya apa kekurangan pada dirinya sebagai istri. Selama lima tahun dia dipersiapkan oleh Aa Gym untuk menerima konsep poligami. Lama-kelamaan dia ikhlas bahkan membantu suaminya mencari istri kedua. Dia menjelaskan bahwa seorang istri harus menaati suami selama suami sesuai dengan syariat Islam. Teh Ninih takut jika menolak sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Allah. Keuntungan poligami bagi Teh Ninih adalah dia belajar mencintai dan mengandalkan Allah, bukan suaminya. Walaupun ada keuntungannya, Teh Ninih pernah merasa cemburu karena pernikahan kedua suaminya. Misalnya, dia menceritakan saat di Malaysia pada awal bulan Desember 2006, dia mau menikmati makan bersama suaminya. Dia kesal melihat Aa Gym sibuk mengirim SMS dan menelpon istri keduanya.
Rini Purwanti, istri pertama Puspo Wardoyo, menangis waktu dia mengetahui bahwa suaminya sudah berpoligami selama enam bulan. Akhirnya dia menerima perkawinan kedua suaminya. Akan tetapi, Rini menganjurkan pasangan suami-istri lain untuk membicarakan masalah poligami sebelum dilaksanakan. Menurut Rini, poligami dibolehkan untuk para suami yang mampu secara ekonomi, fisik dan mental. Keinginan suaminya untuk melakukannya merupakan fitrah seorang laki-laki. Rini begitu ikhlas dimadu sampai dia membantu suaminya melamar istri ketiganya dan membantu memilih istri keempat. Rini mengakui bahwa rumah tangga poligaminya tidak selalu rukun. Namun, konflik yang muncul diatasi melalui keterbukaan.
Gina Puspita, seorang istri pertama dari empat istri, sering menyuarakan dukungan terhadap poligami melalui artikel dan wawancara. Keinginannya untuk dimadu muncul waktu perempuan lulusan S3 Struktur Aeronatika ini menyaksikan kerukunan rumah tangga guru besarnya yang beristri empat. Gina Puspita mencarikan istri untuk suaminya dengan cara bertanya kepada karyawan dalam perusahannya siapa yang mau menikah dengan suaminya. Kebaikan dari poligami yang merupakan alasan lain yang mendorong Gina Puspita untuk berbagi suami adalah untuk mendekatkan diri pada Allah dan membuatnya tak selalu tergantung dengan suami. Pandangan ini senada dengan yang diutarakan oleh Teh Ninih. Gina Puspita mengakui bahwa pada awalnya dia merasa cemburu akibat berbagi suami tetapi sekarang masalah cemburu itu jadi hal yang kecil. Ternyata sisi positif kehidupan poligami lebih ditekankan oleh perempuan ini. Gina Puspita dan ketiga madunya tinggal bersama. Mereka senang makan bersama dan dapat dirawat oleh sesama istri jika sakit. Jika sedang sibuk, Gina Puspita terkadang bersyukur karena ada yang bisa menggantikan kewajiban saya terhadap suami.
Dihan Fahimsyah yang suaminya berpoligami juga menikmati keuntungan poligami dalam rumah tangganya. Menurut dia, para istri yang suaminya berpoligami dapat lebih mandiri dan punya waktu untuk mengejar cita-citanya sendiri karena ada lebih dari satu istri untuk menanggung pekerjaan rumah tangga. Dia tidak dapat bergantung pada suaminya melainkan harus mempertahankan identitas sendiri karena suaminya sering tidak ada.
Cerita Endang Budiarti Candra, istri pertama Diki Candra, agak mirip dengan pengalaman Teh Ninih. Sebagai penentang keras poligami, Endang Budiarti Candra langsung terkejut waktu suaminya mengatakan dia mau menikah lagi. Setelah dia minta nasihat dari keluarganya, akhirnya perempuan lulusan S1 Ekonomi ini mengerti bahwa poligami merupakan puncak dari cobaan terberat seorang wanita, namun akan lebih mendekatkan diri ke surga seperti yang dijelaskan oleh Gina Puspita. Sama dengan Teh Ninih, Endang Budiarti Candra dibantu oleh suaminya untuk menerima poligami. Melalui menjalankan kehidupan poligami, dia merasakan beberapa keuntungan. Imannya lebih teguh, dia belajar kesabaran dan ketawakalan, dan dia akrab dengan kedua madunya. Endang Budiarti Candra yakin bahwa suaminya memiliki niat yang baik untuk berpoligami, yang tidak lepas dari tujuan perjuangannya dan bermaksud untuk membantu perempuan.
Kedua madu Endang Budiarti Candra percaya bahwa menempuh kehidupan poligami menguntungkan secara iman dan untuk memperbaiki diri sendiri. Menurut Dyah Fitri Kusumadewi, istri kedua Diki Candra, poligami itu merupakan latihan untuk mengendalikan hawa nafsu (atas rasa cemburu, marah, iri, dengki, dan lain-lain) sehingga mendapatkan pelajaran kesabaran, rasa syukur, ketenangan jiwa dan kestabilan iman. Keikhlasan menjalani poligami dalam kerangka jihad, menurut Titani Sri Wikanihati Candra, istri ketiga Diki Candra akan menambah pahala sebagai pencuci dosa-dosa masa lalu. Menurut perempuan lulusan S1 Komunikasi ini, poligami merupakan latihan kesabaran. Kedua wanita ini merasa poligami adalah semacam perjuangan karena perbuatannya ditentang oleh banyak orang, termasuk orang Islam.
Sebagai kesimpulan dari cerita-cerita tersebut, para istri yang ikhlas dalam kehidupan poligami umumnya percaya bahwa poligami itu termasuk ajaran Allah sehingga mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan sikap ikhlas mereka. Walaupun kehidupan poligami berat, ada banyak keuntungan, khususnya dalam rangka melatih diri menjadi wanita yang solehah tetapi juga dalam berbagi tugas rumah tangga. Bagaimana dengan anda, maukah anda dipoligami seperti mereka? Apakah ridla Allah hanya didapatkan melalui poligami?


Kesaksian Para Istri yang Tidak Ikhlas Poligami

Dewi Yull, seorang penyanyi terkenal memilih bercerai dari pada dimadu. Ray Sahetapi, suami Dewi mau menikah lagi waktu pernikahan pertamanya sudah berlansung selama dua puluh tiga tahun dan menghasilan empat anak. Dewi mengambil keputusan untuk menggugat cerai karena merasa tidak dapat ikhlas berbagi suaminya dalam hal cinta. Melalui cobaan ini, iman Dewi tambah teguh dan dia merasa lebih dekat dengan Allah— ironisnya sama dengan yang diungkapkan oleh banyak istri yang iklas dimadu (lihat bagian kesaksian para istri yang ikhlas dipoligami). Sekarang Dewi mengandalkan Allah dan tidak lagi mencintai salah satu makhluknya secara berlebihan.
Machica Muchtar menikah siri dengan Pak Moerdiono karena beliau adalah seorang laki-laki mapan, berposisi strategis, dan laki-laki yang bertanggung jawab. Dia terpaksa menyembunyikan pernikahannya di depan umum dan merasa cemburu karena dia tidak diutamakan seperti istri pertama. Machica Muchtar dan suaminya bercerai waktu putranya berumur dua tahun. Menurut perempuan ini, tidak mungkin dapat meraih kebahagiaan dengan perkawinan poligami karena tidak mungkin berlaku adil dalam hal cinta.

Apakah Anda Ingin Berpoligami?

Pertanyaan di atas penulis berikan untuk untuk kaum Adam sebagai subjek poligami. Sekali lagi penulis bertanya pada pembaca dari kalangan kaum Adam, “apakah anda ingin berpoligami?”. Tentu jawaban sepenuhnya ada pada diri anda, tapi setidaknya ada beberapa alasan yang menjadikan seorang suami (laki-laki) berpoligami, antara lain :
Alasan pertama dan yang sangat fundamen adalah bahwa poligami merupakan Sunnah Nabi Muhammad SAW dan memiliki landasan teologis yang jelas yakni QS An-Nisa ayat 3. Karena itu melarang praktek poligami berarti melarang yang mubah atau dibolehkan Allah dan itu berarti menentang ketetapan Allah. Dan menentang ketetapan Allah merupakan dosa besar.
Yang menjadi keyword dalam alasan (reason) tersebut adalah kata sunnah. Sunnah adalah keseluruhan perilaku Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ketetapan, ucapan, tindakan, yang mencangkup seluruh aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan Rosul. Di masyarakat pengertian sunnah tersebut telah dan selalu dikaitkan dengan poligami. Dengan demikian hal tersebut telah mereduksi makna sunnah itu sendiri. Sunnah Nabi yang paling essensi adalah komitmen yang begitu kuat untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di masyarakat. Jika kaum Adam ingin mengikuti sunnah Nabi, maka seyogyanya umat Islam lebih serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian bukannya mempraktekkan poligami. Keadilan yang sulit didapatkan bagi perempuan dan anak-anaknya pada praktek poligami telah membuat poligami jauh dari sunnah Nabi.
Perhatikan firman Allah SWT berikut ini :
”Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”
(QS An-Nisa : 3)

Salah satu huruf (kata) yang menarik dari ayat di atas adalah hamba sahaya atau budak. Secara jelas teks ayat tersebut membolehkan perbudakan. Para pendukung praktek poligami yang menjadikan ayat tersebut sebagai landasan teologisnya memegang teguh kebolehan berpoligami namun mengabaikan kebolehan menggauli budak-budak perempuan. Hal tersebut dikarenakan praktek perbudakan telah dihapuskan dari kehidupan masyarakat secara bertahap. Jika perbudakan tidak dilakukan lagi padahal teksnya (ayat) tetap membolehkan perbudakan, maka tidak menutup kemungkinan praktek poligami secara bertahap juga dapat diminimalisir bahkan dihapus. Penulis tegaskan, di sini penulis tidak menggugat teks (ayat) tentang poligami tetapi penulis menggugat tentang praktek poligami yang tidak lepas dari hasil interpretasi mufassir terhadap teks tersebut. Kemudian menggugat bukan berarti mencoba membalikkan keadaan, melainkan hanya usaha untuk mewujudkan kesetaraan dan memposisikan keberpihakan Islam dalam soal poligami secara proporsional dan tetap menjadikan Islam sebagai agama pembebas, agama keadilan, dan agama yang humanis, yaitu yang menghormati manusia sebagai manusia.
Selanjutnya alasan kedua yang sering dijadikan argumen di masyarakat dalam diskursus poligami adalah kelebihan jumlah perempuan dibandingkan laki-laki. Malah ada yang menyatakan satu laki-laki berbanding tiga sampai tujuh perempuan. Bayangkan bila data ini benar, bagaimana menderitanya kaum perempuan yang tidak kebagian suami. Padahal secara “hasrat” keperempuanan, mereka sama-sama dikaruniai oleh Allah kecuali hasrat yang menyimpang. Kalau begitu, mengapa kaum perempuan tidak mencoba “berbagi suami kepada perempuan lain?”, begitulah kata kaum laki-laki.
Memang benar fakta tersebut, namun yang menarik adalah jika melihat data pada Biro Pusat Statistik yang dimaksudkan dengan kelebihan jumlah perempuan adalah kelebihan pada perempuan yang berusia di bawah 12 tahun dan di atas 60 tahun karena usia rata-rata perempuan lebih panjang daripada usia laki-laki. Dengan demikian logikanya, kalau ingin berpoligami, pilihlah perempuan di bawah umur yang dalam konteks sekarang dipandang sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan karena melanggar HAM. Jadi hanya ada satu pilihan bagi laki-laki yang ingin berpoligami, yakni menikahlah dengan perempuan yang lanjut usia seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW (sunnah Nabi). Pertanyaan yang harus kita jawab adalah, “maukah kita menikah dengan nenek-nenek?”. Sekali lagi, jika kita menganggap poligami adalah sunnah Nabi maka menikahlah (berpoligami) dengan perempuan usia lanjut sebagaimana yang Nabi contohkan.
Alasan ketiga bagi para pelaku poligami adalah karena istri mandul atau berpenyakit kronis yang sulit disembuhkan. Allah menciptakan manusia dalam kondisi fisik yang berbeda-beda; ada yang sehat dan ada yang lemah, ada yang lengkap dan ada yang cacat. Poligami dalam Islam diperbolehkan karena perbedaan-perbedaan fisik manusia. Masyarakat muslim di berbagai belahan dunia umumnya membenarkan poligami dengan alasan yang berkenaan dengan hak laki-laki mendapatkan keturunan dan mereka menganggap itu sebagai natural reason. Dalam berbagai keadaan tertentu, poligami di perlukan untuk melestarikan kehidupan keluarga, kemandulan seorang wanita atau penyakit yang diidapnya serta wanita yang kehilangan daya tarik fisiknya atau mental yang akan lebih banyak menyeret terjadinya perceraian dari pada poligami. Sudah sepatutnya istri yang demikian merelakan suaminya melakukan poligami bila suaminya berkehendak untuk melakukan poligami sebagai bukti tanggung jawabnya dalam rangka melestarikan kehidupan keluarga dan memakmurkan bumi. Yang menjadi pertanyaan adalah :

“Apakah betul istrinya mandul?”

“Bagaimana kalau ternyata yang mandul adalah sang suami?”

“Jika yang mandul adalah sang suami, apakah jalan keluarnya? Bukankah perempuan juga punya hak untuk mendapatkan keturunan?”

Alasan yang keempat adalah berpoligami dilakukan untuk menghindari perselingkuhan dan perzinaan. Ada semacam postulat bahwa dengan poligami para suami terhindar dari perbuatan mengumbar syahwat mereka secara bebas, seperti dalam bentuk perselingkuhan, kumpul kebo, prostitusi dan keserba-bebasan seks yang lainnya. Kalau seperti itu alasannya berarti seorang laki-laki yang berpoligami pada dasarnya adalah seorang laki-laki yang suka mengumbar syahwatnya. Kalau seperti itu nampaklah jelas bahwa praktek poligami yang mereka lakukan lagi-lagi jauh dari sunnah Nabi Muhammad SAW. Sekarang kita lihat alasan mengapa Aa Gym berpoligami.
Pada bulan Desember 2006, Aa Gym mendapatkan Surat Ijin Poligami dari Pengadilan Agama Negeri Bandung. Menurut ketua pengadilan tersebut, Aa Gym memenuhi syarat hukum Indonesia untuk poligami, termasuk ijin dari istri pertama, kemampuan berlaku adil dan kemampuan secara ekonomi. Sebenarnya sudah lama Aa Gym berencana untuk berpoligami sejak tahun 2001. Aa Gym memilih berpoligami untuk memperbaiki dirinya dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Dia mengatakan bahwa tindakannya didasari ikhtiar untuk meraih ridha Allah, ingin meningkatkan amal, melatih kesabaran serta keikhlasan dan bersih hati agar disukai Allah SWT. Dengan mengamalkan poligami, Aa Gym mau menunjukkan bahwa poligami itu bukan hal buruk. Dia menyayangkan bahwa poligami, yang diperbolehkan oleh Allah, sering dianggap aib sedangkan pergaulan bebas diterima. Sebagaimana busana jilbab yang dianggap aneh dua puluh tahun yang lalu dewasa ini sudah menjadi lumrah, Aa Gym berharap ajaran agama tentang poligami dapat diterima masyarakat Islam Indonesia. Aa Gym ingin istri pertama dan anak-anaknya belajar lebih mencintai Allah dari pada dia sendiri akibat menempuh kehidupan baru dalam keluarga poligami. Dia menjelaskan, dia hanyalah sekadar makhluk yang tiada daya dan upaya sehingga tidak layak dicintai istrinya secara berlebihan. Walaupun dia sendiri mencari hikmah yang ada di dalam poligami, Aa Gym tidak menganjurkan para suami untuk menikah lagi. Katanya, pemahaman yang arif dan kesiapan mental diperlukan dan syaratnya berat. Dia mengimbau, kalau tidak ada ilmunya, lebih baik jangan berpoligami.
Sikap Puspo Wardoyo terhadap poligami berbeda dengan sikap Aa Gym. Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo yang beristri empat ini mempersilakan para suami yang mampu secara materi, spiritual, maupun yang lainnya untuk berpoligami. Dalam majalah yang dipimpinnya, dia memberi nasehat singkat kepada para suami yang telah terbukti sukses dengan satu istri selayaknya mau berpoligami (pindah tugas baru kepada perempuan lain yang membutuhkan kepemimpinannya). Pada tahun 2003, Puspo Wardoyo menciptakan Poligami Award. Menurut pelaku poligami ini, salah satu keuntungan poligami untuk dia sendiri adalah istri-istrinya membantu dalam usahanya. Dia bertanya, “bagaimana bisa ngurusi bisnis kalau istri satu?”
Sedangkan Fauzan Al-Anshari mengatakan bahwa niatnya untuk berpoligami adalah untuk menolong perempuan. Kabid Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia yang memiliki empat istri ini berpendapat bahwa laki-laki dapat menolong janda dan perawan tua melalui poligami. Demikian juga, Diki Candra, seorang pengusaha dari Jakarta yang menikahi tiga istri, menganggap dirinya sebagai penolong wanita. Dia mengatakan bahwa dia rela membagi kepemimpinan untuk tiga istri menuju ridho Allah.
Sedang menurut penulis ada beberapa alasan lain kenapa laki-laki melakukan praktek poligami, antara lain :
Pertama, tak tahan godaan. Tak ada kucing yang menolak ikan, begitu anekdot untuk para laki-laki “si keong racun.” Siapa yang tahan digoda perempuan cantik? Sekuat-kuatnya pertahanan, lama-lama runtuh juga.
Kedua, butuh tantangan. Beberapa laki-laki menganggap poligami seperti tantangan. Butuh nyali besar dan kepintaran atur strategi untuk memiliki dua pendamping hidup. Selain itu, mereka juga tak bisa lupa asyiknya menakhlukkan lawan jenisnya.
Ketiga, stres. Hati laki-laki bisa mendua bisa karena stres berlebihan. Bila laki-laki bertemu teman perempuannya, misal teman kerja, saat dalam keadaan stres, teman perempuannya akan merasakannya dan berusaha menghiburnya, mencoba membantu menghilangkan kecemasannya, tanpa diminta. Perhatian itulah yang bisa berbuah menjadi benih-benih perselingkuhan. Poligami diawali dengan adanya perempuan lain di hati seorang laki-laki selain sang istri. Karena itu, poligami umumnya diawali dari perselingkuhan dan perselingkuhan umumnya diawali dari curhat ke lawan jenisnya.
Keempat, tak ingin terlihat lemah. Di mata sesama teman laki-lakinya, laki-laki bisa terlihat jagoan jika bisa menaklukkan perempuan lain selain istrinya. Hal itu bisa menjadi kebanggaan untuknya.
Empat hal itu umumnya terlihat jelas dari para laki-laki yang berpoligami. Itulah yang menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan pemikir Islam kontemporer. Dunia Islam cenderung lemah di dalam percaturan global, salah satunya karena rapuhnya unit-unit keluarga akibat praktek poligami.

Poligami Nabi Muhammad SAW

Banyak orang yang keliru memahami praktek poligami Nabi Muhammad SAW, termasuk umat muslim sendiri. Ada semacam asumsi bahwa praktek poligami merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Jika demikian, mengapa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan poligami sejak awal berumah tangga? Bukankah pada masyarakat Arab jahiliyah ketika itu merupakan tradisi yang sudah berurat berakar? Dalam prakteknya, Nabi Muhammad SAW lebih lama bermonogami kurang lebih 28 tahun sementara beliau berpoligami hanya sekitar 7 tahun. Nabi ternyata memilih monogami di tengah-tengah masyarakat yang memandang poligami sebagai hal yang lumrah. Sebaliknya, segelintir umat Islam justru mempraktekkan poligami di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas mempraktekkan monogami.
Ada lagi asumsi bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan pengikutnya, yaitu untuk memenuhi tuntutan biologis atau hanya untuk memuaskan hasrat seksual. Asumsi tersebut muncul berdasarkan realitas di masyarakat bahwa pada umumnya poligami dilakukan untuk tujuan-tujuan biologis semata. Asumsi-asumsi yang keliru tersebut perlu diluruskan karena merusak citra Islam yang sesungguhnya.
Untuk dapat memahami praktek poligami Nabi Muhammad SAW secara benar dan proporsional dan juga untuk memahami QS An-Nisa ayat 3 sebagai landasan normatif berpoligami, seseorang terlebih dahulu harus mengerti aspek historis dari ajaran Islam. Historisitas merupakan realitas sosial pemeluk agama. Historisitas juga merupakan refleksi dari normativitas, dan sebaliknya normativitas dibangun dari pengalaman historisitas, atau pengalaman historis akan menjadi bahan untuk reformulasi normativitas. Artinya, selalu ada proses dialogis antara semangat normativitas dengan historisitas. Proses itu selalu dinamis dan tidak akan berhenti pada satu titik selama gerak manusia itu ada. Hal itu berarti perlu ada pemahaman upaya dialogis untuk mendialektikakan antara normativitas dengan historisitas sehingga teks (ayat) mampu merespon realitas masyarakat.
Menurut Fazlur Rahman, Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam harus diinterpretasikan secara sistematis dengan menggunakan the systematic interpretation method. Metode ini terdiri atas tiga langkah, yaitu : pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks Al-Qur’an dalam bentangan karir dan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Kedua, membedakan antara ketetapan legal dan sasaran serta tujuan Al-Qur’an. Ketiga, memahami dan menetapkan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan secara penuh latar belakang sosiologisnya.
Poligami merupakan salah satu realitas masyarakat yang tidak lepas dari doktrin teologis (normatif, teks), untuk memahaminya secara otentik dan kekinian maka perlu ada pembacaan terhadap realitas sejarah, dalan hal ini adalah sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW (sirah nabawiyah).
Nabi Muhammad SAW memiliki 11 istri, diantaranya 6 perempuan dari golongan Quraisy, 4 perempuan dari golongan Arab, dan 1 perempuan dari Bani Isra’il. Dari golongan Quraisy antara lain Khadijah binti Khuwailid, yang selama beliau beristri dengannya, beliau tidak menikah dengan yang lainnya, kecuali setelah ia meninggal dunia; Aisyah binti Abu Bakar; Hafshah binti Umar ibn Khatab; Ummu Habibah binti Abu Shafyan; Ummu Salamah atau Hindun binti Abu Umayyah; dan Saudah binti Zam’ah. Dari golongan Arab antara lain Zainab binti Jahsy; Maimunah binti Harist, Zainab binti Khuzaimah, dan Juwairah binti Harist. Sedangkan dari Bani Isra’il yaitu Shafiyyah binti Huyay.
Nabi Muhammad SAW menikah pertama kali dengan Khadijah binti Khuwailid. Ketika itu usia beliau 25 tahun, sementara Khadijah berumur 40 tahun. Data-data historis mencatat betapa bahagianya perkawinan Nabi itu. Pasangan bahagia tersebut dianugerahi 6 orang anak, 4 perempuan dan 2 laki-laki namun kedua anak laki-lakinya meninggal ketika masih kanak-kanak. Sampai Khadijah wafat, Nabi Muhammad SAW tidak menikah dengan perempuan lain.
Berbeda dengan perlakuan kebanyakan suami terhadap istrinya, Nabi Muhammad SAW tidak pernah menunjukkan sikap otoriter (berkuasa mutlak) dan dominan (paling menentukan). Nabi Muhammad SAW memperlakukan Khadijah bukan sebagai objek atau bawahan, sebagaimana umumnya dilakukan suami terhadap istrinya. Nabi Muhammad SAW memposisikan Khadijah sebagai mitra dialog dan sahabat terkasih tempat mencurahkan segala problem, kegalauan, dan keresahan hati, terutama di saat-saat beliau memulai tugas risalahnya sebagai Nabi dan Rosul Allah SWT.
Pada diri Khadijah yang penuh wibawa dan cinta kasih itu, Nabi Muhammad SAW menemukan tempat berteduh dan mengadu, tempat berbagi suka maupun duka. Khadijah merupakan figur perempuan yang berakhlak mulia, aktif, dan penuh semangat serta memiliki kepedulian sosial yang amat tinggi. Khadijah tercatat sebagai perempuan pertama yang mendukung kebenaran risalah Islam. Oleh karena itu, ketika Khadijah wafat, Nabi Muhammad SAW merasakan duka kehilangan yang teramat dalam. Nabi Muhammad SAW bukan hanya kehilangan seorang istri yang sangat dicintai, melainkan juga mitra dialog dan sahabat seperjuangan.
Nabi Muhammad SAW sungguh-sungguh merupakan uswah hasanah bagi kaum laki-laki yang paling baik dalam hal kemampuan menjaga hasrat biologis agar tidak diumbar kecuali terhadap istrinya. Bahkan kesalehan Nabi Muhammad SAW dalam urusan yang satu ini telah dikenal jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rosul, padahal masyarakat di masa itu menganut pola perkawinan poligami tak terbatas dan bahkan memandang wajar serta biasa saja segala bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan.
Di mata masyarakat Arab ketika itu Nabi Muhammad SAW sangat wajar jika menikah lagi, terutama karena beliau adalah keturunan tokoh Quraisy terkemuka dan memiliki wajah yang rupawan, terlebih lagi karena Khadijah tidak memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa, keadaan tersebut sering kali dijadikan sebagai alasan pembenaran seorang suami untuk berpoligami. Pendek kata, walau Nabi Muhammad SAW memiliki banyak pesona dan alasan untuk berpoligami, tetapi nyatanya Nabi Muhammad SAW lebih memilih monogami, bukan poligami. Umat Islam hendaknya menyadari bahwa perkawinan Nabi Muhammad SAW yang monogami dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun, 17 tahun dijalani di masa sebelum kerasulan (qabla bi’tsah), dan 11 tahun sesudah masa kerasulan (ba’da bi’tsah).
Dua tahun setelah Khadijah wafat, barulah Nabi Muhammad SAW menikah lagi, yaitu dengan Saudah binti Zam’ah. Saudah merupakan perempuan pertama yang dinikahi Nabi Muhammad SAW setelah Khadijah wafat dan ketika itu usia Saudah sudah agak lanjut, dan sebagian riwayat menyebutkan ia sudah menopause.
Tiada berapa lama setelah menikahi Saudah, Nabi Muhammad SAW menikah lagi dengan Aisyah binti Abu Bakar di tahun kedua hijrah, pada saat itu pula puteri Nabi Muhammad SAW, Ruqayyah meninggal dunia. Ketika menikah, Aisyah baru berumur 9 tahun. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW lebih dahulu mengikat perkawinan dengan Aisyah baru kemudian dengan Saudah, tetapi karena umur Aisyah yang masih kecil, Nabi Muhammad SAW menunda sampai Aisyah tumbuh dewasa. Di waktu inilah Nabi Muhammad SAW memulai kehidupan poligaminya. Sejarah mencatat, Nabi Muhammad SAW melakukan poligami setelah usianya lewat 54 tahun, suatu usia di mana kemampuan seksual laki-laki biasanya sudah mulai menurun.
Setelah Aisyah, Nabi Muhammad SAW berturut-turut menikah dengan Hafshah binti Umar ibn Khatab, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Ummu Habibah binti Abu Shafyan, Zainab binti Jahsy, Juwairiyah binti Harist, Shafiyyah binti Huyay, dan terakhir Maimunah binti Harist.
Hafshah dinikahi Nabi Muhammad SAW sesudah suaminya meninggal dunia karena luka-luka tubuhnya yang dialami dalam perang Badar. Zainab dinikahi Nabi Muhammad SAW sesudah suaminya meninggal dunia ketika terbunuh dalam perang Uhud. Pada zaman jahiliyah Zainab dinamai Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) karena kasih sayang dan kebaikannya kepada orang-orang miskin zaman itu. Dalam tahun ke empat hijrah Zainab meninggal, dan pada tahun itu Nabi Muhammad SAW menikah dengan Ummu Salamah binti Abu Umayyah.
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW meminang Zainab binti Jahsy untuk dikawinkan dengan Zaid bin Haritsah. Tetapi ia dan keluarganya menolaknya. Maka turunlah ayat :”Apabila Allah dan RasulNya menentukan tentang suatu urusan, maka tidak boleh bagi orang mukmin laki-laki maupun perempuan berbuat menurutnya kemampuannya sendiri, dan barang siapa durhaka kepada Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah sesat dengan sesat yang nyata”. Setelah turun ayat tersebut, ia dan keluarganya lalu menerimanya. Kemudian jadilah Zainab menikah dengan Zaid. Tetapi Zainab lalu bangga atas keturunannya yang mulia itu dan Zaid pun berkeluh kesah terhadap Nabi Muhammad SAW tentang kesombongan istrinya. Maka beliau menyuruh Zaid agar berteguh hati dan sabar atas perbuatan istrinya. Bersabarlah Zaid namun Zainab tidak merubah sikapnya. Kemudian Zaid memberitahukan kepada Nabi Muhammad bahwa dia akan menceraikannya. Tetapi kemudian Allah menyuruh kepada Nabi Muhammad SAW agar menikahi Zainab setelah diceraikan oleh Zaid untuk menjaga kemuliaannya, untuk menghindari pertengkaran dan permusuhan, serta untuk membatalkan kebiasaan mengambil anak yang akhirnya diaku sebagai anak kandungnya sendiri hingga mengesampingkan nasab keturunannya sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab. Kemudian diharamkan atas orang-orang Islam mengangkat anak dengan menganggap sebagai anak kandungnya sendiri hingga mengenyampingkan nasab ayahnya karena ini sangat berbahaya. Sejak saat itu nama Zaid ialah Zaid bin Haritsah bukan Zaid bin Muhammad.
Dalam tahun kelima hijrah terjadilah perang Dumatul Jandal tetapi tidak sampai terjadi pertempuran. Kemudian terjadi perang Banu Musthaliq. Golongan mereka 10 orang terbunuh sedangkan yang lainnya ditawan. Di antara tawanan itu terdapat seorang perempuan yang bernama Juwairiyah, anak kepala suku dari Bani Musthaliq tersebut. Oleh Nabi Muhammad SAW ia dinikahi. Pernikahan itu kemudian menyebabkan kaum Bani Musthaliq masuk Islam.
Di tahun ketujuh hijrah terjadi perang Wadil Qura, dan sahabat Muhajirin yang dahulu hijrah ke Habsyi kembali. Dalam tahun itu pula Nabi Muhammad SAW pergi ke Mekah dengan beberapa sahabatnya untuk umrah menurut perjanjian Hudaibiyah. Tiba-tiba orang Quraisy Mekah semua keluar dari negerinya karena tidak suka melihat Nabi Muhammad SAW berthawaf di Baitul Haram. Tiga hari sesudah di Mekah, Nabi Muhammad SAW kembali ke Madinah. Dalam waktu itu pula beliau menikah dengan Shafiyyah.
Pada tahun ketujuh hijrah, saat Nabi Muhammad SAW berada di Mekah sesudah penakhlukkan Khaibar, beliau menikah dengan Maimunah binti Harist, yaitu bekas istri pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib dan dia adalah istri beliau yang terakhir. Tetapi beliau tidak berkumpul dengan dia kecuali sesudah keluar dari Mekah.
Perkawinan Nabi Muhammad SAW terjadi dalam rentang waktu yang relatif pendek (antara tahun kedua sampai tahun ketujuh hijrah. Jarak antara satu perkawinan dengan perkawinan lainnya sangat pendek. Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 Masehi atau tahun kesepuluh hijrah, tiga tahun setelah perkawinannya yang terakhir. Artinya, Nabi Muhammad SAW tidak menikah lagi dalam tiga tahun terakhir dari kehidupannya.
Menarik untuk diperhatikan, bahwa meskipun Nabi Muhammad SAW melakukan praktek poligami, namun tidak satu pun dari mereka yang beliau ceraikan. Pernah ada gosip bahwa Nabi Muhammad SAW menceraikan istrinya, yaitu Hafshah. Tetapi setelah diklarifikasi oleh Umar bin Khatab ternyata gosip tersebut tidak benar. Nabi Muhammad SAW memperlakukan semua istrinya dengan adil dan bijaksana. Jika salah seorang di antara mereka akan diikutsertakan dalam suatu perjalanan atau peperangan, maka Nabi Muhammad SAW mengundi mereka sehingga tidak menimbulkan rasa cemburu dan iri hati di antara mereka.
Data-data historis di atas menjelaskan secara gamblang bahwa Nabi Muhammad SAW menjalani perkawinan monogami dengan Khadijah selama 28 tahun dalam suasana yang diliputi kebahagiaan. Setelah dua tahun Khadijah wafat barulah Nabi Muhammad SAW memasuki kehidupan poligaminya. Kehidupan yang dipenuhi dengan aktivitas perjuangan dan pembinaan masyarakat dalam rangka menancapkan fondasi keimanan masyarakat Islam di Madinah sekaligus mengembangkan syiar Islam ke seluruh wilayah jazirah Arab.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa motif perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan istri-istrinya adalah motif dakwah dan poligami Nabi Muhammad SAW adalah media untuk menyelesaikan persoalaan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk memberi solusi. Misalnya perkawinan Nabi Muhammad SAW yang kedua dengan Saudah binti Zam’ah yang dilakukan semata-mata untuk melindungi perempuan tua itu dari keterlantaran dan tekanan keluarganya yang masih musyrik. Suami Saudah yaitu Sakran ibn Amar adalah sahabat yang menyertai Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan hijrah ke Abessinia. Dalam suatu riwayat dijelaskan karena usia Saudah yang sudah lanjut, ia tidak mempunyai hasrat lagi kepada laki-laki. Saudah menerima lamaran Nabi Muhammad SAW karena berharap akan dibangkitkan di surga nanti bersama-sama istrinya yang lain. Itulah sebabnya ia rela memberikan “gilirannya” kepada Aisyah. Demikian pula motif perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan istri-istrinya yang lain.
Kemudian dari segi fisik biologis, satu-satunya istri Nabi Muhammad SAW yang perawan dan berusia muda hanya Aisyah, istri Nabi Muhammad yang lain rata-rata telah berumur, punya anak, dan janda dari para sahabat yang gugur dalam berjihad. Data-data historis tersebut dengan jelas telah menjelaskan bahwa alasan Nabi Muhammad SAW berpoligami sangat jauh dari tuntutan pemenuhan kepuasan biologis sebagaimana yang dipersepsikan orang terhadapnya.

Lalu bagaimanakah dengan praktek poligami yang dilakukan oleh masyarakat?
Apakah alasan masyarakat berpoligami?
Apakah praktek poligami mereka sudah sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW?