Kamis, 13 Januari 2011

BAB 1 EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN

A. Sumber Pengetahuan dan Implikasinya Terhadap Pendefinisian Pendidikan
1. Antara Science dan To Know
Kata “pengetahuan” (dalam bahasa Inggris knowledge) adalah kata benda yang berasal dari kata kerja “tahu” (to know) yang juga semakna dengan “mengetahui”. Sementara kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab “alima-ya’lamu-‘ilm” yang juga berarti “tahu” atau “mengetahui”. Secara etimologi kata pengetahuan bisa bermakna sama dengan ilmu. Sedangkan secara terminologi, ilmu merupakan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. Menurut Quraish Shihab, kata “ilmu” dalam berbagai bentuknya terdapat 854 kali dalam al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam proses pencapaian tujuan. Jadi ilmu pengetahuan itu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Pengetahuan yang tidak jelas dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi tidak dianggap sebagai ilmu walaupun orang menyebutnya ilmu juga.
Term ilmu pengetahuan sendiri (dalam bahasa Inggris “science” yang kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi sains) sejajar dengan istilah Latin “scientia” yang diturunkan dari kata dasar “sciere”. Menurut Henry Van Laer terdapat hubungan objektif antara istilah science dan istilah to know. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa semua sains mencangkup pengetahuan walaupun tidak setiap bentuk pengetahuan bisa dinyatakan sebagai sains. Kedua istilah tersebut sangat analog karena keduanya dipergunakan untuk menyatakan pengertian-pengertian yang sebagian sama dan sebagian lain berbeda.
To know merupakan aktivitas makhluk hidup dengan inderanya dimana mereka bisa menyaksikan dan juga menyajikan dunia eksternal ke dalam diri (internal) mereka sendiri. Menurut Laer, dalam diri manusia terdapat alat indera eksternal (penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman, dan peraba) dan alat indera internal (indera sentral atau sensitivitas umum, imajinasi, indera memori, dan indera estimasi). Indera-indera eksternal berfungsi memasukkan informasi-informasi ke dalam diri, selanjutnya informasi-informasi tersebut diproses oleh indera-indera internal. Informasi-informasi yang telah diproses tersebut menjadi suatu pengetahuan. Setelah mengalami proses sistematisasi dan memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditentukan, pengetahuan ini kemudian menjadi ilmu pengetahuan.
Dari penjelasan Laer tersebut, maka model ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua, yaitu ilmu pengetahuan inderawi dan ilmu pengetahuan intelektual. Berbeda dengan Laer, Fazlur Rahman mendasarkan pada al-Qur’an mengklasifikasikan ilmu pengetahuan manusia ke dalam tiga jenis. Pertama, adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang telah diciptakan untuk manusia, seperti pengetahuan fisik. Kedua, yaitu ilmu pengetahuan sejarah dimana al-Qur’an memotivasi manusia untuk mengadakan perjalanan di muka bumi dan menelaah apa yang telah terjadi pada peradaban masa lalu dan mengapa mereka bangkit kemudian jatuh. Ketiga, adalah illmu pengetahuan tentang manusia itu sendiri.

“Katakanlah:"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman."
(QS. Yunus : 101)

“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Luqman : 31)

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al-Hajj : 46)

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS An Nahl : 78)

Pengklasifikasian ilmu pengetahuan menurut Rahman tersebut terbukti benar jika dikaitkan dengan kenyataan sekarang. Tingkat kemajuan ilmu pengetahuan ditentukan oleh seberapa jauh kemajuan dari ketiga jenis ilmu pengetahuan tersebut. Suatu bangsa yang lebih dahulu dan lebih banyak memahami rahasia-rahasia ketiga jenis ilmu pengetahuan itu akan lebih maju. Hal ini disebabkan ketiga jenis ilmu pengetahuan itu menjadi dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang lain. Kemajuan yang dicapai oleh Barat tidak lepas dari kemajuan di bidang ketiga ilmu pengetahuan tersebut.
2. Sumber Pengetahuan
Kata “sumber” di sini merupakan terjemahan dari kata Inggris source. Kata sumber bisa berarti tempat keluar dan juga asal. Yang dimaksud sumber di sini adalah asal pengetahuan yang diperoleh atau dikembangkan. Al-Kindi, seorang filosof muslim yang dilahirkan di Kuffah pada tahun 801 M menyebutkan bahwa ada tiga macam sumber pengetahuan bagi manusia, yaitu sumber pengetahuan inderawi, sumber pengetahuan rasional (yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal), dan sumber pengetahuan melalui jalan isyraqi (iluminasi).




a. Sumber pengetahuan inderawi
Manusia mendapatkan pengetahuan secara langsung ketika mengamati (observasi) objek-objek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwiroh) diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafidzah (recollection). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap karena objek yang diamatipun tidak tetap, selalu dalam keadaan “menjadi”, berubah setiap saat, bergerak, berkurang dan berlebih kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya.
Menurut Al-Kindi, pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman inderawi selalu berkarakter parsial (juz’iy). Pengetahuan tersebut amat dekat dengan penginderaannya, tetapi amat jauh dari pemberian gambaran tentang alam pada hakikatnya.

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
(QS An Nahl : 78)

b. Sumber pengetahuan rasional (yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal)
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial. Objek pengetahuan rasional ini bukan individu, tetapi genus dan spesies. Orang yang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih, atau berwarna, pengamatan tersebut akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia dan menyelidiki hakikatnya sehingga pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berfikir(rational animal/hayawan nathiq) maka dia telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak dan universal yang mencangkup semua individu manusia.
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)”.
(QS An Nahl : 12)

c. Sumber pengetahuan melalui jalan isyraqi (iluminasi).
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional juga terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Al-Kindi mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui jalan isyraqi (iluminasi).
Isyraqi (iluminasi) yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran nur illahi. Puncak dari jalan ini ialah diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah dan tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semata-mata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan wahyu ini merupakan kekhususan bagi para Nabi yang membedakannya dengan manusia-manusia lainnya.
Dari ketiga sumber pengetahuan menurut Al-Kindi tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga sumber pengetahuan bagi umat Islam, yaitu al-Qur’an-Hadist, akal, dan alat indera Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman inderawi dan rasionalisasi seorang muslim hendaknya berangkat dan selaras dengan nilai-nilai moral dalam al-Qur’an dan Hadist. Menurut Fazlur Rahman, pengetahuan ilmiah tanpa dilandasi oleh moral akan sangat berbahaya. Pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada observasi dengan “mata dan telinga” dan dianalisis dengan pikiran (rasionalisasi) hasilnya akan menghunjam ke hati dan membangkitkan persepsi manusia yang akan menstransformasikan ketrampilan ilmiah dan teknologinya sesuai dengan persepsi moral yang diharapkan akan lahir darinya. Tanpa persepsi moral tersebut, pengetahuan ilmiah dan teknologi dapat dipastikan akan sangat berbahaya.
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
(QS. Al An’am : 38)
Sebagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. Dan ada pula yang menafsirkannya dengan al-Quran dengan arti: dalam al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan bimbingan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.

3. Implikasi Sumber Pengetahuan Terhadap Pendefinisian Pendidikan
Keberagaman manusia sebagai subjek yang memandang pendidikan sebagai objeknya akan menghasilkan pendefinisian terhadap pendidikan secara beragam juga. Keberagaman definisi pendidikan tersebut tidak lepas dari sumber pengetahuan yang dipakainya. Manusia yang mendefinisikan pendidikan dengan bersumber pada pengetahuan inderawinya dan rasionalisasinya saja, maka akan menghasilkan definisi pendidikan yang cenderung materialis. Sedangkan manusia yang mendefinisikan pendidikan dengan pijakan al-Qur’an-Hadist, pengalaman inderawi, dan hasil rasionalisasinya, maka akan mendefinisikan pendidikan sesuai dengan nilai moral al-Qur’an dan Hadist yang humanis.
Pendefinisian pendidikan yang bersumber pada pengetahuan inderawi dan rasionalisasi banyak dilakukan oleh pakar pendidikan dari barat, seperti berikut ini :
- John Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
- Langeveld
Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa.
- Hoogeveld
Mendidik adalah membantu anak supaya anak kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggungan sendiri.
- Rousseau
Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
- Sis Heyster
Mendidik adalah membantu manusia dalam pertumbuhan, agar mereka kelak mendapatkan kebahagiaan batin yang sedalam-dalamnya yang dapat tercapai olehnya dengan tidak mengganggu orang lain.

Dari definisi-definisi tersebut nampak bahwa eksistensi manusia di dunia sajalah yang disorotinya, yaitu bagaimana agar manusia bisa survive di dunia. Tapi tentu saja definisi-definisi tersebut tidaklah salah, namun kita juga harus kritis terhadapnya.
Kata “pendidikan” berasal dari kata “didik” dan “mendidik”. Secara etimologi “mendidik” berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlaq dan kecerdasan pikiran. Sedangkan “pendidikan” secara etimologi adalah proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang melalui cara perbuatan mendidik.
Secara bahasa, pendidikan berasal dari kata pedagogi yang berarti pendidikan dan kata pedagogia yang berarti ilmu pendidikan, yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata, yaitu paedos dan agoge yang berarti “saya membimbing, memimpin anak”. Dari pengetian tersebut, pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Pendidikan dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah tarbiyah yang berasal dari kata kerja rabba. Kata rabba beserta cabangnya banyak dijumpai dalam al-Qur’an, misalnya dalam QS. Al-Isra : 24 dan QS. Asy-Syu’ara : 18. Tarbiyah merupakan derivasi dari kata rabb seperti dinyatakan dalam QS. Al-Fatihah : 2. Allah sebagai Tuhan semeste alam (rubb al-‘alamin), yaitu Tuhan yang mengatur dan mendidik seluruh alam. Allah memberikan informasi tentang arti penting perencanaan, penertiban, dan peningkatan kualitas alam. Manusia diharapkan selalu memuji kepada rabb yang mendidik alam semesta, karenanya manusia juga harus terdidik agar memiliki kemampuan untuk memahami alam yang telah dididik oleh Allah sekaligus mampu mendekatkan diri kepada Allah sang Pendidik Sejati. Sebagai makhluk Tuhan, manusia idealnya melakukan internalisasi secara kontinu (istiqomah) terhadap nilai-nilai illahiyah agar mencapai derajat insan kamil (manusia paripurna) sesuai dengan kehendak Allah SWT. Internalisasi tersebut dilakukan melalui pendidikan dimana pendidikan dalam konteks ini terkait dengan gerak dinamis, positif dan kontinu bagi setiap individu menuju idealitas kehidupan manusia agar mendapat nilai terpuji. Aktivitas pendidikan tersebut meliputi pengembangan kecerdasan pikir (rasio, kognitif), dzikir (afektif, emosi, hati, spiritual), dan keterampilan fisik (psikomotorik).
Definisi pendidikan minimal memuat tiga unsur yang mendukung pelaksanaan keberagamaan seseorang dalam wilayah habblumminallah dan habblumminannas yaitu (1) pendidikan merupakan usaha berupa bimbingan bagi pengembangan potensi jasmaniah dan rohaniah secara seimbang, (2) usaha tersebut didasarkan atas ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Hadist, dan ijtihad, dan (3) usaha tersebut diarahkan supaya membentuk dan mencapai kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang di dalamnya tertanam nilai-nilai Islam sehingga segala perilakunya sesuai dengan nilai-nilai Islam.

B. Pendidikan sebagai Ilmu Pengetahuan
Secara bahasa kata ilmu berasal dari bahasa Arab, yaitu “alima-ya’lamu-‘ilm”. Kata ilmu mulai digunakan dengan pengertian pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar. Menurut Fazlur Rahman, arti dari pengetahuan itu sendiri adalah proses untuk sampai dalam keadaaan tahu. Pengetahuan itu bukan merupakan suatu cermin kenyataan pasif melainkan suatu proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu menurut Fazlur Rahman, pengetahuan dapat diperoleh melalui proses learning, thinking atau experiencing.
Dalam perkembangannya, kata ilmu tersebut biasanya digabung dengan kata pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan. Pendidikan sebagai ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Diperoleh melalui observasi dan eksperimen.
2. Selalu berkembang dan dinamis.
3. Merupakan kesatuan organik
Isi dari ilmu adalah teori sehingga ilmu pendidikan merupakan suatu kajian yang memuat teori-teori pendidikan serta data-data dan penjelasannya. Dalam menyusun teori-teori pendidikan, selain menggunakan kaidah-kaidah ilmu pendidikan yang telah ada, juga menggunakan pendekatan filosofis, logis, dan empiris sehingga konsep tersebut benar-benar idealis, realistik, dan praktis sesuai dengan karakteristik pendidikan sebagai ilmu pengetahuan. Teori-teori pendidikan tersebut tentu saja bersumber dari al-Qur’an-Hadist, pengalaman inderawi (melalui observasi) dan rasionalisasi (melalui observasi dan eksperimen) yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan juga dapat dipraktekkan secara operasional dalam dunia pendidikan.





C. Tujuan Pendidikan
Pendidikan sebagai sebuah proses tentunya mempunyai tujuan, dimana tujuan merupakan suatu arah yang ingin dicapai. Tujuan pendidikan ditentukan oleh dasar pendidikanya sebagai suatu landasan filosofis yang bersifat fundamental dalam pelaksanan pendidikan. Dalam hal ini masing-masing negara menentukan sendiri tujuan pendidikannya. Demikian pula masing-masing orang mempunyai bermacam-macam tujuan pendidikan, yaitu melihat kepada cita-cita, kebutuhan, dan keinginannya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, dasar pendidikan nasioanal adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional tersebut merupakan pengejawantahan dari dasar pendidikan nasional.
Dalam perspektif Islam, dasar dan tujuan pendidikan nasional di atas secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan kepribadian individu yang paripurna (kaffah). Pribadi invividu yang demikian merupakan pribadi yang menggambarkan terwujudnya keseluruhan esensi manusia secara kodrati, yaitu sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk bermoral, dan makhluk yang ber-Tuhan. Citra pribadi yang seperti itu sering disebut sebagai manusia paripurna (insan kamil) atau pribadi yang utuh, sempurna, seimbang, dan selaras.
Manusia yang sempurna berarti manusia yang memahami tentang Tuhan, diri, dan lingkungannya. Jadi, pendidikan akan mencapai tujuannya jika nilai-nilai humanis tersebut masuk dalam diri peserta didiknya. Peserta didik akan mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar agar bermanfaat bagi sesama. Peserta didik yang belajar secara continue akan memiliki pikiran yang cerdas-kreatif, hati yang bersih, tingkat spiritual yang tinggi, dan kekuatan serta kesehatan fisik yang prima. Semua keunggulan tersebut digunakan untuk diabdikan kepada Tuhan dan untuk memberikan kemaslahatan individual dan sosial yang optimal dalam konteks kenegaraan.

D. Prinsip-prinsip Pendidikan
Dalam menentukan tujuan pendidikan sesungguhnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip pendidikan. Dalam hal ini apling tidak ada lima prinsip dalam pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai al-Qur’an dan Hadist, antara lain :
1. Prinsip integrasi (tauhid)
Prinsip ini memandang adanya wujud kesatuan antara dunia dan akherat. Untuk itu pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di akherat (i’malu lid dunyaka ka annaka ta’isyu abadan, wa i’malu lil akhiratika ka’annaka tamuutu ghadan).
2. Prinsip keseimbangan
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip intergrasi. Keseimbangan yang proporsional antara muatan rohaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni (pure science) dan ilmu terapan (aplicated science), antara teori dan praktek, dan antara nilai-nilai yang menyangkut aqidah, syari’ah, dan akhlak.
3. Prinsip persamaan dan pembebasan
Prinsip ini dikembangkan dari nilai tauhid, bahwa Tuhan adalah Esa. Oleh karena itu, setiap individu dan bahkan semua makhluk hidup diciptakan oleh pencipta yang sama (Tuhan). Perbedaan hanyalah unsur untuk memperkuat persatuan. Pendidikan adalah satu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu nafsu dunia menuju pada nilai tauhid yang bersih dan mulia. Manusia dengan pendidikannya diharapkan bisa terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, kejumudan, dan nafsu hayawaniah-nya sendiri.
4. Prinsip kontinuitas dan berkelanjutan (istiqomah)
Dari prinsip inilah kemudian dikenal konsep pendidikan seumur hidup (long life education). Belajar dalam Islam adalah satu kewajiban yang tidak pernah dan tidak boleh berakhir. Seruan membaca (iqra) yang ada dalam al-Qur’an merupakan perintah yang tidak mengenal batas waktu. Dengan menuntut ilmu secara continue dan terus menerus, diharapkan akan muncul kesadaran pada diri manusia akan diri dan lingkungannya, dan juga kesadaran akan Tuhannya.
“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Maidah : 39)
5. Prinsip kemaslahatan dan keutamaan
Jika ruh tauhid telah berkembang dalam sistem moral dan akhlak seseorang dengan kebersihan hati dan kepercayaan yang jauh dari kotoran maka ia akan memiliki daya juang untuk membela hal-hal yang maslahat atau berguna bagi kehidupan. Sebab, nilai tauhid hanya bisa dirasakan apabila ia telah dimanifestasikan dalam gerak langkah manusia untuk kemaslahatan dan keutamaan manusia sendiri.
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."
(QS. Al Kahfi : 110)

E. Urgensi Pendidikan dan Ilmu Pendidikan
Secara terminologis, pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang peradabannya sangat sederhana sekalipun telah ada proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada semenjak munculnya peradaban umat manusia. Sebab semenjak awal manusia diciptakan, upaya membangun peradaban selalu dilakukan. Manusia mencita-citakan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Melalui proses pendidikan yang benar dan baik maka diyakini cita-cita ini akan terwujud dalam realitas kehidupan manusia.
Pendidikan secara historis-operasional telah dilaksanakan sejak adanya manusia pertama di muka bumi ini, yaitu sejak Nabi Adam a.s yang dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa proses pendidikan itu terjadi pada saat Adam berdialog dengan Tuhan. Dialog tersebut muncul karena ada motivasi dalam diri Adam untuk menggapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Dialog tersebut didasarkan pada motivasi individu yang ingin selalu berkembang sesuai dengan kondisi dan konteks lingkungannya. Dialog merupakan bagian dari proses pendidikan dan ia membutuhkan lingkungan yang kondusif dan strategi yang memungkinkan peserta didik bebas berapresiasi dan tidak takut salah, tetapi tetap beradab dan mengedepankan etika.
Pendidikan diperlukan, dipentingkan dan dilakukan pertama kali oleh anggota keluarga, terutama oleh orang tua terhadap anak-anak mereka. Dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi, yaitu keterbatasan waktu, ilmu, dan juga fasilitas yang dimiliki oleh orang tua akhirnya didirikanlah lembaga pendidikan sebagai alternatif-solusi keterbatasan tersebut, seperti TK/RA, SD/MI, SMP/MTS, SMA/SMK/MA/MAK dan sebagainya. Hendaknya lembaga pendidikan didesain dengan pertimbangan edukatif yang humanis agar proses pendidikan berlangsung dengan mudah, murah, dan sukses sesuai dengan visi, misi, dan tujuan lembaga pendidikan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama antara lembaga pendidikan dengan keluarga. Dalam konteks kenegaraan, kontrak sosial-pendidikan tersebut menjadi keputusan nasional yang dirumuskan menjadi tujuan pendidikan nasional.
Betapa urgennya pendidikan bagi individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Begitu urgennya pendidikan untuk pembangunan bangsa sehingga pemerintah berusaha keras untuk :



1. Meningkatkan usaha pemerataan pendidikan
2. Meningkatkan mutu pendidikan, seperti peningkatan profesional guru, akreditasi sekolah, serta pengadaan berbagai fasilitas-fasilitas pendidikan.
3. Meningkatkan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan kebutuhan akan pelaksanaan pembangunan yang sedang dilaksanakan.
4. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pendidikan di semua jenjang lembaga pendidikan.
Melalui proses pendidikan yang benar dan baik maka tujuan pendidikan nasional akan tercapai. Pendidikan sebagai wahana transformasi nilai dan ilmu pengetahuan merupakan proses yang dilakukan berdasarkan suatu keyakinan tertentu, yaitu suatu paradigma atau pemikiran yang bersifat filosofis, idealis, teoritis dan praktis. Oleh karena itu orang tua sebagai pendidik dan khususnya guru sebagai pendidik harus mempelajari, memahami, dan mengembangkan ilmu pendidikan agar mampu melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan maksimal.
Urgensi mempelajari ilmu pendidikan bagi pendidik ataupun calon pendidik antara lain :
1. Memudahkan praktek pendidikan.
Dengan bekal ilmu pendidikan, kegiatan pendidikan dapat di-planning secara sistematis dan teratur sehingga praktek pendidikan dapat teratur dan dilaksanakan secara continue menuju ke tujuan yang telah ditetapkan.
2. Dapat menumbuhkembangkan rasa cinta pada diri pendidik terhadap tugasnya sebagai pendidik dan rasa cinta terhadap peserta didik.
Bagi Erich Fromm, persoalan cinta terkait dengan dua hal, yaitu bagaimana seseorang dapat sukses untuk dicintai dan bagaimana ia dapat mencintai orang yang dicintainya itu. Mendidik dengan cinta akan membuat peserta didik dapat merasakan makna cinta dalam hidup. Cinta membuat manusia kreatif dan produktif. Seorang pendidik seyogyanya mencintai pekerjaannya dan mencintai anak didiknya karena cinta merupakan wujud kesatuan interpersonal dan jawaban lengkap terhadap problematika humanisme. Menurut Muhammad Roqib, cinta mempunyai nilai spirit sebagai berikut :
a. Cinta adalah suatu kegiatan (activity), artinya cinta merupakan aktivitas yang berarti suatu tindakan yang membawa perubahan atas situasi tertentu, lewat jalan pengerahan energi.
b. Cinta selalu memuat elemen dasar perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan pemahaman.
c. Cinta itu memberi, bukan menerima. Bagi oarng yang berkarakter produktif, memberi merupakan ungkapan yang paling tinggi dari kemampuan. Dalam memberi ada penghayatan akan kekuatan, kekayaan dan kekuasaan. Memberi menjadikan individu lebih bermanfaat dan akan menimbulkan rasa syukur sehingga individu tersebut mampu menjadi manusia yang baik (khoirunnas anfauhum lin nas).
d. Cinta adalah suatu kekuatan yang membangkitkan semangat serta memajukan orang lain dan menjadikan diri menjadi pribadi yang dicintai.
Mendidik dengan cinta membuat pendidik dan peserta didik selalu dalam keadaan senang dan dinamis dan proses pendidikan pun akan berjalan penuh makna (meaningfull). Eksistensi dinamis tersebut hendaknya diarahkan oleh pendidik untuk mendorong kreativitasnya dan kreativitas peserta didiknya. Pembangunan karakter (character building) dengan cinta akan mampu bergerak continue tanpa mengenal batas dan kelelahan, bagaikan air jernih yang terus mengalir menghidupkan tanaman dan menyejahterakan manusia.
3. Dapat menghindari kesukaran-kesukaran dan kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan praktek pendidikan.
Ilmu pendidikan berisi merupakan suatu kajian yang memuat teori-teori pendidikan serta data-data dan penjelasannya. Teori-teori serta data-data dan penjelasanya tersebut dapat menghindari pendidik dari kesulitan dan kesalahan dalam melaksanakan praktek pendidikan. Beberapa contoh kesalahan yang mungkin dibuat dalam mendidik antara lain :
a. Pola pembelajaran yang terlalu memusatkan transformasi nilai dan pengetahuan pada guru (teacher centered) sehingga membuat kreativitas peserta didik terbatasi.
b. Menyamaratakan potensi tiap individu sehingga hasil dari konsep belajar tuntas (mastery learning) kurang maksimal.
c. Penyusunan materi yang cognitif oriented.
4. Untuk pengembangan ilmu pendidikan itu sendiri.
Ilmu pendidikan sebagai product dari ilmu pengetahuan mempunyai karakter yang selalu berkembang dan dinamis dan mempunyai korelasi dengan keilmuan yang lainnya. Agar ilmu pendidikan dapat merespon perkembangan zaman dan relevan dengan konteks kekinian maka ilmu pendidikan tersebut perlu dikembangkan. Pengembangan tersebut hanya mungkin dilakukan jika kita telah mempelajari ilmu pendidikan. Menurut Fazlur rahman, hal tersebut dikarenakan pengembangan pengetahuan tidak pernah berangkat dari ruang hampa (kosong), tetapi selalu didasarkan pada pengetahuan yang telah ada.
Selanjutnya menurut Fazlur Rahman, pengembangan pengetahuan tidak pernah mengenal akhir. Berakhirnya pengembangan pengetahuan sama dengan matinya ilmu pengetahuan. Sedangkan jika ilmu pengetahuan mati, maka akan berakibat mati atau mundurnya peradaban.
Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban. Jika ilmu pengetahuan maju, maka peradabanpun akan maju, dan sebaliknya. Contohnya ketika ilmu pengetahuan (terutama pemikiran filsafat) mengalami kemajuan di Yunani, peradaban di Yunani juga mengalami kemajuan. Ketika ilmu pengetahuan umat Islam mengalami kemajuan pada abad 8-12 M, peradaban mereka juga mengalami kemajuan. Sebaliknya, ketika ilmu pengetahuan umat Islam sejak abad ke 14 sampai sekarang mengalami kemunduran, peradaban umat Islam juga mengalami kemunduran. Sekarang ilmu pengetahuan mengalami kemajuan di Barat, peradaban di sana juga mengalami kemajuan.
Dengan dasar pemahaman bahwa pengetahuan itu selalu berkembang, Nabi Muhammad saw sendiri diajari oleh Allah melalui al-Qur’an untuk berdoa “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS. Thaahaa : 114). Nabi Muhammad saw yang menurut keyakinan umat Islam adalah orang yang paling tinggi ilmunya saja masih diperintahkan untuk memohon agar ditambahkan ilmu pengetahuan, apalagi umatnya. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam merupakan kitab yang shahih li kulli makan wa zaman, yang apabila kita selalu mengkajinya, pengetahuan bisa kita dapatkan dan kembangkan dari al-Qur’an.

BAB II KONFIGURASI PARADIGMA PENDIDIKAN

Para pakar pendidikan membangun berbagai teori tentang perkembangan manusia yang masing-masing mempunyai fokus yang berbeda. Akhirnya teori itu telah tumbuh menjadi semacam aliran (madzhab) yang mempengaruhi paradigma manusia dalam proses pendidikan. Beberapa aliran yang terkenal yaitu nativisme, empirisme, dan konvergensi.

A. Nativisme
Aliran narivisme ini dipelopori oleh Schopenhauer. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir. Pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkannya itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Menurut nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak berkuasa dalam perkembangan seorang anak. Dalam ilmu pendidikan hal tersebut dinamakan dengan pesimisme pedagogis.
Misalnya ada seorang anak SMA yang mempunyai bakat bermain gitar. Pikiran dan perasaannya selalu termotivasi untuk bermain gitar. Dia selalu bermain gitar berjam-jam, tanpa merasakan kebosanan. Pekerjaannya hanya bermain gitar bahkan sekolahnya saja tidak menarik hatinya. Orang tuanya selalu menasehatinya bahkan orang tuanya melarang dia untuk bermain gitar dan memutuskan senar gitarnya. Orang tuanya menginginkan dia kelak menjadi seorang arsitek. Hanya karena paksaan dari orang tuanya dan bimbingan dari gurunya saja dia bersekolah. Tetapi saat dia lepas dari pengawasan orang tuanya dan gurunya, dia kembali kepada gitar dan mencurahkan perhatiannya untuk bermain gitar. Contoh tersebut merupakan suatu bukti bahwa pendidikan dan lingkungan sama sekali tidak berkuasa, itulah kata nativisme.

Dengan demikian jelaslah bahwa menurut aliran ini perkembangan manusia dalam menjalani hidupnya tergantung pada pembawaannya (faktor hereditas). Menurut penelitian, faktor hereditas mempengaruhi kemampuan intelektual dan kepribadian seseorang. Dalam perspektif hereditas, perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh :
1. Bakat atau pembawaan
Anak dilahirkan dengan membawa bakat-bakat tertentu. Bakat ini dapat diumpamakan sebagai bibit kesanggupan atau bibit kemungkinan yang terkandung dalam diri anak. Setiap anak memilliki bermacam-macam bakat sebagai pembawaannya, seperti bakat musik, seni, agama, akal yang tajam, dan sebagainya.
Anak yang mempunyai bakat musik misalnya, maka minat dan perhatiannya akan sangat besar terhadap musik. Ia akan mudah mempelajarinya, mudah mencapai kecakapan-kecakapan yang berhubungan dengan musik. Dia dapat mencapai kemajuan dalam bidang musik, bahkan mungkin mencapai prestasi yang luar biasa seperti ahli musik dan pencipta lagu. Dengan demikian jelaslah bahwa bakat atau pembawaan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan individu.
2. Sifat-sifat keturunan
Sifat-sifat keturunan yang diwariskan oleh orang tua atau nenek moyangnya terhadap seorang anak dapat berupa fisik maupun mental. Mengenai fisik misalnya muka (hidung), bentuk badan, dan suatu penyakit. Sedangkan mengenai mental misalnya sifat pemalas, sifat pemarah, pendiam, dan sebagainya.
Dengan demikian jelaslah bahwa sifat-sifat keturunan ikut menentukan perkembangan seorang anak.






B. Empirisme
Pelopor aliran ini adalah John Locke dengan teorinya yaitu tabularasa. Dalam teori tabularasa seorang anak diibaratkan seperti kertas putih yang masih kosong (a sheet of white paper avoid off all character). Jadi sejak dilahirkan anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa dan anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Disini kekuatan ada pada pendidik dan pendidikan serta lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.
Dengan demikian aliran empirisme berlawanan dengan kaum nativisme karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu sangat ditentukan oleh lingkungannya, atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Manusia dapat dididik apa saja (ke arah yang lebih baik maupun ke arah yang lebih buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dalam ilmu pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis.
Misalnya ada dua anak yang dilahirkan dalam keadaan kembar. Mereka berasal dari satu bibit di rahim ibunya. Mereka dalam paradigma nativisme dianggap memiliki bakat, kesanggupan dan sifat-sifat yang sama. Kemudian keduanya dipisahkan sejak lahir. Yang seorang dibesarkan di lingkungan keluarga petani yang agamis dan yang satunya lagi dibesarkan di lingkungan keluarga hartawan dan menempuh pendidikan di sekolah modern.
Ternyata pertumbuhan mereka tidak sama. Kemajuan bakat dan kesanggupannya itu yang asalnya sama ternyata hasilnya tidaklah sama. Yang seorang menjadi guru dan yang seorang menjadi pengusaha. Apakah yang menyebabkan perbedaan itu? Tidak lain adalah karena didikan dan lingkungan yang berbeda tadi. Demikianlah kata orang-orang yang berparadigma empirisme.
Orang yang berparadigma empirisme ini juga sepaham dengan orang yang beraliran behavioristik. Behavioristik adalah sebuah aliran dalam pemahaman tingkah laku manusia yang dikembangkan oleh John B. Watson (1878-1958), seorang ahli psikologi Amerika. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dikendalikan.
Menurut teoritikus behavioristik, manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif, yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang berasal dari luar. Senada dengan aliran empirisme, menurutnya faktor lingkungan inilah yang menjadi penentu terpenting dari tingkah laku manusia. Berdasarkan pemahaman ini, maka perkembangan individu dapat dikembalikan kepada lingkunganya.

C. Konvergensi
Teori yang diakui dan dipegangi oleh umum adalah teori konvergensi. Teori ini merupakan kompromi atau dialektika dari nativisme dan empirisme. Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Pelopor dari aliran ini adalah William Stern.
Sebagai contohnya misalnya seorang balita dalam tahun pertama belajar berbicara. Dorongan serta bakat itu tidak ada. Dia meniru (imitate) suara-suara yang didengarnya dari ibunya dan orang-orang di sekitarnya. Kemampuan dia berbicara tidak dapat berkembang jika tidak ada bantuan dari luar yang membantunya. Dalam hal ini jika tidak ada suara-suara atau kata-kata yang didengar dari ibunya, dia tidak mungkin dapat berkata-kata.
Dalam aliran konvergensi ini masih terdapat dua aliran, yaitu aliran konvergensi yang lebih menekankan kepada pengaruh pembawaan dan aliran konvergensi yang menekankan kepada pengaruh lingkungan. Munculnya kedua kecenderungan dalam aliran konvergensi tersebut membuat orang yang mengikutinya menjadi skeptis atau ragu-ragu. Sebenarnya, manakah yang menentukan perkembangan itu, pembawaan ataukah lingkungan? Atau manakah yang lebih kuat, pembawaan atau lingkungan?



D. Fitrah
Titik tolak perbedaan masing-masing aliran (nativisme, empirisme, dan konvergensi) adalah terletak pada faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia. Apakah perkembangan manusia ditentukan oleh faktor pembawaan (nativisme) ataukah oleh faktor pendidikan dan lingkungan (empirisme), atau keduanya saling pengaruh-mempengaruhi (konvergensi).
Dalam masalah ini, islam sebagai sebuah agama yang komprehensif mempunyai pandangan yang berbeda dengan nativisme, empirisme, dan konvergensi. Islam menampilkan teori fithrah (potensi positif) sebagai dasar perkembangan manusia. Dasar konseptualisasinya tentu saja mengacu pada al-Qur’an dan hadist.
Allah SWT berfirman :
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapkanlah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS. Ar-Rum : 30).

Sementara dalam salah satu hadist Nabi disebutkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrahnya (potensi untuk beriman-tauhid kepada Allah dan kepada yang baik). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi yahudi, Nasranni, atau Majusi.
“Dari Abu Hurairah r.a berkata : Bersabda nabi saw.: Tidak ada bayi yang dilahirkan melainkan lahir di atas fitrah, maka ayah bundanya yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi, bagaikan lahirnya seekor binatang yang lengkap/sempurna”
(HR. Bukhari)
Kata fitrah berasal dari bahasa Arab, yaitu fatara yang berarti sifat bawaan setiap sesuatu dari awal penciptaannya atau bisa juga berarti sifat dasar manusia. Fitrah juga berarti sifat dasar manusia, yaitu beragama. Maksudnya adalah bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan beragama tauhid, artinya memiliki kecenderungan dasar untuk meyakini adanya dzat yang Maha Esa sebagai Tuhan dan penciptanya yang patut dan wajib disembah dan diangungkan.
Makna yang terkandung dalam ayat dan hadist di atas ialah bahwa setiap manusia pada dasarnya baik, memiliki fitrah, dan juga jiwanya sejak lahir tidaklah kosong seperti kertas putih (yang diibaratkan oleh John Locke dalam teori tabularasanya) tetapi berisi kesucian dan sifat-sifat dasar yang baik.
Dengan demikian pandangan Islam terhadap perkembangan anak sama sekali berbeda dengan konsep perkembangan anak menurut nativisme, empirisme, dan konvergensi.
Fitrah merupakan keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang menjadi potensi manusia yang educable. Potensi tersebut bersifat kompleks yang terdiri atas : ruh (roh), qalb (hati), ‘aql (akal), dan nafs (jiwa). Potensi-potensi tersebut bersifat ruhaniah atau mental-psikis. Selain itu manusia juga dibekali potensi fisik-sensual berupa seperangkat alat indera yang berfungsi sebagai instrumen untuk memahami alam luar dan berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian fitrah merupakan konsep dasar manusia yang ikut berperan dalam membentuk perkembangan peserta didik di samping lingkungan (pendidikan).
Fitrah yang bersifat potensial tersebut harus dikembangkan secara faktual dan aktual. Untuk melakukan upaya tersebut, Islam memberikan prinsip-prinsip dasarnya berupa nilai-nilai Islami sehingga pertumbuhan potensi manusia terbimbing dan terarah. Dalam proses inilah faktor pendidikan sangat besar peranannya bahkan menentukan bentuk corak kepribadian seseorang. Nampaknya itulah yang menjadikan Nabi Muhammad mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu.
Berdasarkan konseptualisasi itulah pendidikan diharapkan dapat berfungsi sebagai wahana dalam mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian jelaslah bahwa Islam mengakui peranan faktor dasar manusia (fitrah) dan faktor pendidikan dalam perkembangan anak. Hanya saja konsep Islam mengenai sifat dasar manusia maupun proses pendidikan yang diperlukan berbeda dengan pendirian-pendirian aliran di atas. Fitrah atau potensi (ketauhidan, kebaikan, kebenaran, dan kemanusiaan) peserta didik dengan bantuan pendidik akan berkembang dinamis. Jika kepribadian dan paradigmanya telah terbentuk maka ia akan melakukan proses mandiri menuju kesempurnaan dirinya menuju ridha Allah, sebuah posisi yang selalu dicari oleh semua muslim.

BAB III MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN

A. Gambaran Tentang Manusia
Dalam al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dalam penciptaannya. Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dan sebaik-baiknya makhluk yang diciptakan dengan akal fikiran.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
(QS. At-Tiin : 4)
Ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk pada konsep manusia dengan penekanan pengertian yang berbeda-beda, antara lain :
1. Kata al-Basyar
Kata al-basyar dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimolgi al-basyar berarti kulit kepala, wajah atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini memberikan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah kulitnya dibanding rambut atau bulunya. Pada konsep ini terlihat jelas perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi oleh bulu dan rambut.
Al-basyar juga dapat diartikan musalamah, yaitu persentuhan antara laki-laki dengan perempuan. Dari makna etimologis ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-basyar ini ditujukan Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali.
“Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun (basyarun).”
(QS. Ali Imran : 47)
Dari ayat di atas dapat difahami bahwa seluruh manusia akan mengalami proses reproduksi dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah maupun takdir Allah. Semua itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu Allah memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
2. Kata al-Insan
Kata al-insan berasal dari kata al-uns yang dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kata al-insan digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjukkan totallitas manusia sebagai mahkluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensial individu antara yang satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk yang dinamis sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Integrasi antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi insan al-basyar, yaitu sebagai makhluk berbudaya yabg mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Dengan kemampuan ini manusia akan dapat membentuk dan mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang memiliki nuansa ilahiah yang hanif. Integralitas ini akan tergambar pada nilai iman dan bentuk amaliahnya. Dengan kemampan ini manusia akan mampu mengemban amanah Allah di muka bumi secara utuh. Namun demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan nilai insaniah yang dimilikinya dengan berbuat berbagai bentuk mufasadah (kerusakan) di muka bumi.
Pada beberapa ayat, Allah mempersandingkan kata al-insan dengan kata syaitan. Ayat tersebut secara general memberikan peringatan agar manusia senantiasa sadar dan menempatkan posisi fitrahnya sesuai dengan yang diinginkan Allah, yaitu pada posisi yang hanif.
“Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."
(QS. Yusuf : 5)

“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
(QS. Al Isra : 53).
Kata al-insan dalam al-Qur’an juga menjelaskan tentang sifat umum serta kelebihan dan kelemahan manusia, antara lain :
a. Tidak semua yang diinginkan manusia berhasi dengan usahanya bila Allah tidak menginginkannya.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”
(QS. An Najm : 24-25)
b. Gembira bila dapat nikmat, serta susah bila mendapatkan cobaan.
“Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).”
(QS. Asy Syuura : 48)
c. Manusia sering bertindak bodoh dan zalim baik kepada dirinya sendiri dan kepada manusia atau makhluk yang lain.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS. Al Ahzab : 72)
d. Manusia sering ragu dalam memutuskan suatu perkara.
“Dan berkata manusia: "Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali? Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali?”
(QS. Maryam : 66-67)
e. Manusia bila mendapat suatu kenikmatan materi sering kali lupa diri dan bersifat kikir.
“Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya." Dan adalah manusia itu sangat kikir.”
(QS. Al Isra : 100)
f. Manusia adalah makhluk yang lemah, gelisah, dan tergesa-gesa.
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
(QS. An Nisa : 28)
Dari pemaknaan manusia dari kata al-insan, terlihat sesungguhnya manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki sifat-sifat manusiawi yang bernilai positif dan negatif. Agar manusia bisa selamat dan mampu memfungsikan tugas dan kedudukannya di muka bumi dengan baik, maka manusia harus senantiasa mengarahkan seluruh aktivitasnya, baik fisik maupun terutama psikis sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
3. Kata al-Nas
Kata al-nas dalam al-Qr’an dinyatakan sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-nas menunjukan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan dan kekafirannya.

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
(QS. Al-maidah : 32)

“Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
(QS Hud : 85)
4. Kata Bani Adam
Kata tersebut dijumpai dalam al-Qur’an sebanyak 7 kali dan tersebar pada 3 surat. Secara etimologi kata bani adam menunjukkan arti pada keturunan nabi Adam A.S. Menurut al-Thabathaba’i, penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, antara lain :
a. Anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, diantaranya adalah berpakaian guna menutup aurat.
b. Mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak pada keingkaran.
c. Memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah sekaligus mentauhidkanNya.
Dengan demikian terlihat bahwa pemaknaan kata bani Adam lebih ditekankan pada aspek amaliah manusia sekaligus pemberi arah ke mana dan dalam bentuk apa aktivitas itu dilakukan. Di sini terlihat demikian demokratisnya Allah terhadap manusia. Hukum kausalitas tersebut memungkinkan Allah untuk meminta pertanggungjawaban pada manusia atas semua aktivitas yang dilakukan.

B. Proses Penciptaan Manusia
Al-Qur’an menginformasikan bahwa proses penciptaan manusia terdiri dari dua tahap, yaitu :
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut tahapan primordial. Manusia pertama, yaitu Adam diciptakan dari al-tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkannya ruh dariNya ke dalam diri Adam.
“Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).”
(QS. Al-An’am : 2)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
(QS. Al-Hijr : 26-29)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”
(QS. Ar-Rum : 20)




2. Tahap kedua
Tahap ini disebut tahapan biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan dari air mani (nuthfah) yang tersimpan dalam tempat yag kokoh (rahim). Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku (alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikanNya segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang-belulang, lalu kepadanya ditiupkan ruh. Hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah, dan 40 hari mudghah.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
(QS. Al-Mu’minun : 12-14)

C. Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan
Berdasarkan proses penciptaan manusia, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Materi berasal dari tanah dan mempunyai daya fisik seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak. Sementara unsur immateri yaitu ruh yang ditiupkan oleh Allah mempunyai dua daya, yaitu daya berfikir yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat di hati.
Untuk membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan keterampilan dan panca indera. Untuk mengembangkan daya akal dapat dipertajam melalui penalaran dan berfikir. Sedang untuk mengembangkan daya rasa dapat dipertajam melalui ibadah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa secara filosofis pendidikan seyogyanya merupakan kesatuan pendidikan yang memfokuskan pada pengembangan kecerdasan pikir (rasio, kognitif), dzikir (afektif, emosi, hati, spiritual), dan keterampilan fisik (psikomotorik).

BAB IV PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN KELUARGA

A. Kewajiban Orang Tua dalam Mendidik Anak
Keluarga adalah suatu lingkungan kecil yang terdiri dari ibu dan bapak beserta anak-anaknya. Keluarga juga berarti orang seisi rumah yang menjadi tanggungan. Keluarga merupakan suatu kekerabatan yang sangat mendasar di dalam masyarakat. Dari uraian tersebut ada tiga kata kunci, yaitu ibu dan bapak, tanggungan, dan suatu kekerabatan. Jika kata kunci tersebut kita padukan maka akan diperoleh informasi sebagai berikut : ibu dan bapak sebagai orang tua, anak-anaknya sebagai tanggungannya, serta keluarga yang terdiri dari ibu, bapak, dan anak merupakan bentuk kekerabatan yang fundamen di dalam masyarakat.
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam perkembangan seorang individu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembentukan kepribadian anak bermula dari lingkungan keluarga. Salah satu bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak di dalam keluarga adalah dengan mendidik anak-anaknya. Bentuk tanggung jawab tersebut menjadi kewajiban dan kewajiban tersebut dipertegas dalam firman Allah berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”
QS. At-Tahrim : 6.
Ayat di atas memerintahkan kepada orang tua untuk manjaga anaknya melalui proses pendidikan. Anak adalah mereka yang dijaga dari segala sifat, sikap, dan perbuatan haram atau tercela sehingga apabila perbuatan itu dilakukan maka ia akan terperosok ke dalam neraka. Penjagaan melalui proses pendidikan tersebut dilakukan dengan cara memberikan pengarahan baik dalam bentuk nasihat, perintah, larangan, pembiasaan, pengawasan maupun pemberian ilmu pengetahuan. Dengan demikian setiap orang tua memiliki tugas kependidikan dan hal itu hendaknya bisa dijalankan dengan baik karena setiap orang tua pasti memiliki kepentingan terhadap anak-anaknya, yaitu :
1. Anak sebagai generasi penerus keturunan.
2. Anak merupakan kebanggaan dan belaian kasih orang tua.
3. Doa anak yang soleh dan solehah merupakan investasi bagi orang tua setelah mereka wafat.
Pada hakekatnya kewajiban mendidik yang melekat pada diri orang tua bukan saja karena mendidik anak merupakan perintah agama, melainkan juga merupakan bagian dari pemenuhan terhadap kebutuhan psikis (ruhani) dan kepentingan (diri) sendiri sebagi pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian tanggung jawab pendidikan yang perlu dibina oleh orang tua terhadap anak antara lain sebagai berikut :
1. Memelihara dan membesarkannya.
Tanggung jawab ini merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan karena anak memerlukan makan, minum, dan perawatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan.
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."
(QS. Al-Ahqaf : 15).
2. Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmaniah, maupun rohaniah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan dirinya.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Baqarah : 233).
3. Mendidik dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi hidupnya, sehingga apabila dia telah dewasa dia mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain (khoirunnas anfauhum lin nas) serta melaksanakan kekhalifahannya.
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”
(QS. Al-Baqarah : 83)
4. Membahagiakan anak untuk dunia dan akherat dengan memberinya pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Allah sebagai tujuan akhir hidup muslim. Tanggung jawab ini dikategorikan sebagai tanggung jawab kepada Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. At-Tahrim : 6).
Kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab dalam mendidik anak secara continue harus ditekankan kepada setiap orang tua. Orang tua perlu dibekali ilmu pendidikan yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan begitu transformasi nilai dan pengetahuan dari orang tua ke anak di dalam keluarga semakin berkualitas.
Dalam perspektif Islam, mendidik anak merupakan suatu kewajiban orang tua untuk mempersiapkan anak-anaknya agar memiliki masa depan gemilang dan tidak khawatir terhadap masa depan anaknya kelak, yaitu masa depan yang baik, sehat dan berdimensi spiritual yang tinggi. Semua prestasi itu tidak mungkin diraih orang tua tanpa pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Untuk itu tentu saja orang tua perlu meningkatkan ilmu dan keterampilannya sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan belajar seumur hidup, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi bahwa mencari ilmu itu dari ayunan hingga liang lahat. Betapa besar perhatian Islam sebagai agama terhadap pendidikan. Islam selalu mengingatkan pemeluknya agar generasi-generasi berikutnya memiliki kualitas yang lebih baik dari generasi sebelumnya.

B. Peran Keluarga dalam Pendidikan
Secara sosial-psikologis, keterlibatan orang tua dalam mendidik anak-anaknya adalah tuntutan sosial dan kejiwaannya. Sebab pada umumnya setiap individu berkeinginan memiliki posisi terhormat di hadapan orang lain dan setiap individu meyakini bahwa kehormatan adalah kebutuhan naluri insaniahnya. Tidak seorangpun yang akan menjatuhkan martabatnya sendiri di hadapan orang lain. Dalam konteks ini, anak adalah simbol sosial dan kebanggaan psikologis orang tua di lingkungan sosialnya. Lingkungan yang baik juga akan ikut berbangga hati jika terdapat anak sebagai generasi penerus yang berkualitas dan mampu meninggikan martabat dan nama baik lingkungan sosial dan bangsanya.
Orang tua (ibu dan ayah) sebagai pendidik utama di keluarga harus saling bekerja sama untuk mendidik anaknya. Bagi suami yang mempunyai kelebihan ilmu dan keterampilan mendidik, harus mengajarkan kepada istrinya dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian antara suami dan istri saling menutupi kelemahannya masing-masing.
Di antara anggota keluarga, maka peranan ibu adalah yang paling dominan dan penting terhadap anak-anaknya. Hal tersebut dikarenakan sejak anak dilahirkan, ibu adalah orang yang selalu di sampingnya. Ibu yang memberi makan dan minum, memelihara, dan selalu bercengkerama dengan anak-anaknya. Itulah sebab kenapa kebanyakan anak lebih dekat dan lebih mencintai ibunya dari pada anggota keluarga lainnya.
Pendidikan seorang ibu terhadap anaknya merupakan pendidikan dasar yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Maka dari itu seorang ibu hendaklah seorang yang bijaksana dan pandai mendidik anak-anaknya. Baik dan buruknya pendidikan ibu terhadap anak-anaknya berpengaruh besar terhadap perkembangan dan watak anaknya di kemudian hari. Oleh karena itu pendidikan yang dimiliki oleh seorang ibu sangat penting sebagai modal dalam mendidik anaknya. Ibu yang baik akan memberikan satu tradisi yang baik dan berguna bagi anak-anaknya. Tradisi tersebut seperti melekatkan hati sang anak dengan masyarakatnya melalui berbagai aktivitas yang berguna.
Seorang pendidik yang mendidik satu anak perempuan adalah lebih utama dibanding seorang pendidik yang mendidik satu anak laki-laki karena dari rahim perempuan itulah akan lahir anak-anak yang akan dididik olehnya. Apabila perempuan terdidik dengan baik niscaya pemerataan pendidikan telah mencapai sasaran sebab ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Minim sekali orang yang terlepas dari jangkauan ibunya. Ibu adalah pendidik dan sekolah bagi rakyat yang mau mengajar dan mendidik tanpa mengenal lelah. Ibu mencurahkan semua waktu, tenaga, emosi, dan ekonomi untuk mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.
Di samping ibu, seorang ayah juga memegang peranan yang penting pula. Dalam ilmu pendidikan, peranan ayah dalam pendidikan anak-anaknya antara lain :
1. Sumber kekuasaan di dalam keluarganya.
2. Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar.
3. Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga
4. Pelindung terhadap ancaman luar
5. Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan.
6. Pendidik dalam segi-segi rasional.
Ada beberapa ikhtiar yang bisa dilakukan oleh ayah untuk mendidik anak dalam mengembangkan karakternya, antara lain :
1. Selalu menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan anak walaupun hanya sebentar. Keterlibatan ayah ini dapat dilakukan melalui permainan, pemberian pujian, dukungan, dan menanyakan kejadian-kejadian yang dialami anak pada hari itu.
2. Menghindari tingkah laku menghina, meremehkan, memarahi, dan memerintah anak karena hal ini akan menimbulkan perilaku agresif dan tidak kooperatif pada anak.
3. Mengusahakan ikut terlibat secara aktif dalam mentransfer nilai-nilai yang baik bersama anak.
4. Mengupayakan diri sebagai figur idola bagi anak-anaknya. Misalnya dengan istiqomah dalam memberikan kasih sayang, perhatian, sikap tulus, supporting, dan kehangatan
Bagi anak laki-laki, ayah dapat menjadi contoh yang baik baginya untuk belajar bagaimana berkata, bersikap, berperilaku, dan berfikir sebagai seorang laki-laki. Melalui ayahnya, anak laki-laki belajar tentang cara memperlakukan perempuan, cara menyelesaikan masalah, dan cara mempertahankan pendapat. Bagi anak perempuan, ayah merupakan tempat dia belajar tentang hal-hal yang biasanya dominan pada laki-laki, seperti kekuatan, ketegaran, keruntutan berfikir, pengendalian emosi, dan lain-lain.
Metode mauizah merupakan metode dalam mendidik anak yang ditawarkan oleh al-Qur’an melalui lisan seorang ayah yang bernama Luqman Hakim. Al-Qur’an mengungkapkan kisah Luqman Hakim yang mengindikasikan signifikansi mendidik anak dengan cara menyampaikan pesan-pesan moral untuk mempersiapkan anak menjadi orang yang berkualitas dan sempurna baik iman, akhlak, jiwa dan juga rasa kepekaan sosialnya. Tahapan-tahapan dalam menyampaikan metode mauizah yang disampaikan oleh Luqman Hakim antara lain :
1. Menyampaikan pesan-pesan agar senantiasa memiliki perasaan takut kepada Allah.
2. Mengajak melakukan kebajikan dengan disertai peringatan.
3. Memberi mauizah hasanah.
4. Memberi motivasi dengan nasehat.
5. Menyampaikan anjuran untuk mengikuti jalan yang benar.
6. Memberikan dorongan agar senang melakukan kebajikan.
7. Menyampaikan janji dan ancaman (dengan agak keras) seperti yang terdapat dalam al-Qur’an.
Metode Luqman Hakim di atas dapat dijadikan sebagai metode dalam mendidik anak bukan hanya bagi seoarang ayah tapi juga seorang ibu. Sayangnya kegiatan seorang ayah terhadap pekerjaannya sehari-hari sungguh besar pengaruhnya kepada anak-anaknya, lebih-lebih anak yang agak besar. Karena kesibukannya, kadang ayah tidak ada waktu untuk bercengkerama dengan anak-anaknya. Segala urusan rumah tangga seperti mendidik anak-anaknya dibebankan sepenuhnya terhadap istrinya. Cara mendidik anak dengan menyerahkan sepenuhnya kepada istri seperti yang dilakukan seorang ayah di atas rasanya kurang tepat lagi, mengingat tugas dan tanggung jawab istri dalam keluarga semakin berat. Apalagi bagi yang keduanya harus bekerja di luar rumah sedang di dalam rumah tidak ada kakek, nenek, ataupun pembantu.
Karena kesibukan orang tuanya akhirnya tak jarang pendidikan anak-anak dalam keluarga diserahkan ke kakek atau neneknya atau bahkan ke pembantunya.
Umumnya, seorang kakek ataupun nenek merupakan sumber kasih sayang yang berlebihan terhadap cucu-cucunya. Hal itu dikarenakan mereka tidak mengharapkan sesuatu dari cucu-cucunya itu, mereka semata-mata memberi belaka sehingga merekapun terlalu memanjakan cucu-cucunya. Dalam suatu keluarga yang berdiam serumah dengan kakek ataupun nenek sering sekali terjadi perselisihan antara orang tua anak dan kakek ataupun nenek mengenai cara mendidik anak-anaknya. Pandangan tersebut sering bertentangan karena perbedaan visi dalam mendidik anak. Orang tua berkewajiban mendidik anaknya sebaik mungkin dan akan melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya sedangkan kakek maupun nenek merasa pola asuhannyalah yang terbaik karena mereka sudah banyak makan asam garam dari pada anaknya (orang tua anak itu). Dari pengalaman tersebut orang mengetahui bahwa untuk kepentingan pendidikan anak-anaknya sering lebih baik jika keluarga tersebut tinggal terpisah dari kakek dan neneknya. Kakek dan neneknya cukup berkunjung saja untuk menyenangkan hati anak dan cucunya.
Kemudian pada keluarga yang berkecukupan ekonominya sering memiliki seorang atau lebih pembantu rumah tangga. Tugasnya adalah menyelesaikan urusan-urusan rumah tangga seperti bersih-bersih, memasak, menjaga rumah dan yang lain sebagainya bahkan tak jarang pembantu rumah tangga juga diserahi tugas untuk mengasuh anak-anaknya karena kesibukan orang tuanya. Dalam konteks tersebut, pembantu rumah tangga dapat dikatakan sebagai anggota keluarga yang juga turut berperan dalam pendidikan anak di dalam keluarga.
Tak jarang kedekatan anak-anak dengan pembantunya malah menjadikan anak-anak lebih patuh dengan pembantunya. Dengan demikian pembantu rumah tangga juga mempunyai peranan yang signifikan dalam pendidikan anak. Lalu pertanyaannya adalah bagaimanakah jika pembantu rumah tangga tersebut tidak memiliki pengetahuan ataupun pengalaman yang cukup dalam mengasuh dan mendidik anak? Oleh karena itu betapapun sibuknya orang tua harus meluangkan waktunya untuk mendidik anak-anaknya, jangan menyerahkan sepenuhnya kepada pembantunya.
Peranan pembantu rumah tangga hendaknya hanya sebatas sebagai pembantu, sedangkan yang tetap berperan dalam mendidik anak-anak adalah orang tuanya. Dari pemaparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa peran ibulah yang memang benar-benar dominan dalam mendidik anak dan ibu adalah pendidik utama dalam keluarga. Oleh sebab itu seorang ibu yang sibuk karena pekerjaannya hendaknya lebih memilih mendidik anak-anaknya dari pada pekerjaannya. Biarlah urusan nafkah menjadi tanggung jawab suaminya. Peranan ibu yang sangat besar dalam mengasuh dan tentunya mendidik anak teramat besar sehingga menurut Nabi Muhammad, ibu adalah orang yang pertama harus dihormati dan mengibaratkan surga ada di telapak kaki ibu.


C. Pengaruh Lingkungan Keluarga terhadap Perkembangan Anak
Orang tua adalah manusia yang paling berjasa pada setiap anak. Semenjak awal kelahirannya di muka bumi, setiap anak melibatkan peran penting orang tuanya, seperti peran pendidikan. Peran-peran pendidikan seperti ini tidak hanya menjadi kewajiban bagi orang tua, tetapi juga menjadi kebutuhan orang tua untuk menemukan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang secara sehat jasmani dan rohaninya di hadapan Allah dan juga dihadapan sesama makhlukNya, terutama umat manusia.
Karena jasa-jasanya yang tak terhingga sepanjang masa, orang tua di dalam Islam diposisikan amat terhormat di hadapan anak-anaknya. Ayah dan ibu memiliki hak untuk dihormati oleh anak-anaknya, terlebih lagi ibu yang telah mencurahkan segala-galanya bagi anak-anaknya diberi tempat tiga kali lebih terhormat dibanding ayah. Ibu telah mengandung dan menyusui minimal dua tahun dengan penuh kasih sayang dan kesabaran (QS. Al-Ahqaf : 15, QS. Luqman : 14). Kasih sayang dan kesabaran orang tua teramat penting bagi perkembangan anak didik, baik perkembangan fisik maupun psikisnya, khususnya dalam keluarga.
Dengan demikian keluarga merupakan kawah candra dimuka pertama di mana sifat-sifat kepribadian anak tumbuh dan terbentuk. Anak yang masih dalam keadaan fitroh menerima pengaruh dan kecenderungan terhadap orang tuanya. Jika orang tuanya Islam maka anaknya akan cenderung masuk Islam, Jika anak lahir dalam keluarga Nasrani maka dia akan cenderung memeluk agama Nasrani. Dan keluarga yang mendidik anaknya dengan berbuat baik maka akan menghasilkan pribadi anak yang baik, sebaliknya keluarga yang mendidik anaknya dengan buruk akan menghasilkan pribadi anak yang buruk. Maka pendidikan agama merupakan pendidikan yang utama di dalam keluarga.
Di antara anggota keluarga ibu lah yang dominan dan banyak memberikan pengaruh paling banyak dalam mendidik anak. Hal ini bisa dimaklumi karena sejak anak itu lahir sampai menginjak dewasa anak dalam kehidupan sehari-harinya lebih dekat dengan ibunya bahkan pengaruh ibu pada anak telah dimulai sejak anak itu masih dalam kandungannya. Jika pada saat mengandung ibu kekurangan vitamin, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap proses kelahiran dan bentuk badan anaknya, dan demikian pula pengaruh pada anak waktu disusui ibunya, dan demikian pula apabila ibu selalu dalam keadaan sedih atau tertekan, itu bisa mempengaruhi kondisi psikis anaknya. Kondisi fisik dan psikis ayah juga mempengaruhi kondidi psikis anaknya.
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.”
(QS. Al-Rad : 8-9)
Keadaan tiap-tiap keluarga tentunya berlainan. Ada keluarga yang kaya dan ada keluarga yang miskin, ada keluarga yang besar dan ada keluarga yang kecil, ada keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta ada keluarga yang selalu gaduh dan banyak pertengkaran di dalamnya. Secara alamiah, keadaan keluarga yang bermacam-macam coraknya tersebut akan membawa pengaruh yang berbeda-beda pula terhadap pendidikan anak. Hal ini dikarenakan aktivitas, kejadian, dan perilaku yang terjadi di sekitar anak secara tidak langsung merupakan proses pendidikan dan akan memiliki dampak yang signifikan bagi perkembangan anak.
Pada hakekatnya, setiap kebaikan yang dilakukan oleh seseorang akan berdampak dan berguna bagi diri dan orang lain. Setiap keburukan yang dilakukan seseorang juga akan berdampak pada diri sendiri dan orang lain. Tidak ada perilaku yang bersifat personal sebab semua perbuatan akan berdampak sosial meskipun sering kali suatu perbuatan diklaim dan diyakini sebagai urusan personal. Seseorang yang marah akan berdampak pada orang lain, dan begitu pula seorang yang gembira akan berpengaruh pada yang lainnya. Oleh karena itu, setiap individu dari anggota masyarakat akan mempengaruhi orang lain dan dia juga akan menjadi pengajar bagi anak-anak masyarakat itu sendiri sebab anak didik tidak akan lepas dari pengaruh sosialnya. Selain itu sudah menjadi sifat anak-anak bahwa mereka selalu ingin tahu, ingin meniru perilaku orang dewasa, dan ingin diterima di dalam masyarakatnya.

D. Keterbatasan Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Kewajiban pendidikan untuk anak bagi orang tua telah disadari oleh setiap orang tua bersamaan dengan kesadaran bahwa diri mereka memiliki berbagai keterbatasan untuk mendidik anak-anaknya secara optimal. Keterbatasan yang dimiliki para orang tua telah mengharuskannya untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, khususnya dengan lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) dan masyarakat untuk mendidik anak-anak mereka dengan optimal. Meskipun demikian, kewajiban terbesar untuk mendidik anak-anaknya berada di pundak orang tua. Mereka tidak boleh lepas dari tanggung jawabnya karena merekalah yang menjadi sebab kelahiran anak-anak mereka sehingga mereka juga harus tetap mendidiknya agar di kemudian hari anak-anaknya juga mampu melahirkan generasi baru yang lebih berkualitas dan mandiri.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang tua harus mendelegasikan tugas dan kewajiban mendidik anak-anak mereka kepada pendidik di lembaga-lembaga pendidikan. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Keterbatasan waktu yang tersedia pada orang tua.
2. Keterbatasan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh para orang tua.
3. Keterbatasan terhadap kepemilikan fasilitas-fasilitas pendidikan yang dimilki oleh para orang tua. Fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan dalam pendidikan dapat disediakan oleh sekolah atau madrasah meskipun nantinya biasanya pengadaannya juga dengan partisipasi orang tua anak secara kolektif.
4. Efisiensi biaya yang dibutuhkan dalam proses pendidikan anak. Jika pendidikan dilaksanakan di sekolah atau madrasah maka setiap peserta didik akan diajar secara klasikal-kolektif sehingga lebih memacu anak dalam bersosialisasi dan memakan biaya yang lebih rendah dibandingkan jika pendidikan dilakukan secara individual di rumah mereka masing-masing.
5. Efektifitas program kependidikan anak. Pada umumnya anak didik lebih konsentrasi dan serius belajar apabila diajar oleh pendidik (guru/ustad) di sekolah atau madrasah dari pada diajar oleh orang tuanya sendiri meskipun orang tuanya mungkin lebih berkompetensi dan mumpuni dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka. Kedekatan (fisik-psikis) dan kasih sayang orang tua kepada anak sering kali menjadi kesulitan sendiri bagi orang tua untuk mengambil sikap tegas dalam kerangka pendisiplinan anak-anaknya. Selain itu, anak-anak juga mudah melanggar aturan kedisiplinan yang dibuat orang tua di rumah karena diasumsikan oleh sang anak bahwa orang tuanya tidak akan menghukumnya. Rasa tidak tega orang tua dan sikap memanfaatkan ketidaktegasan orang tua oleh anak telah menjadikan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya berlangsung kurang efektif.

BAB V PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH

A. Pembinaan dan tanggung jawab pendidikan oleh sekolah
1. Tanggung Jawab dan Kewajiban Sekolah
Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah diri dan membentuk nalar berfikir yang kuat. Di sekolah, anak belajar menata dan membentuk karakter. Sekolah merupakan wahana yang mencerdaskan dan memberikan perubahan kehidupan anak-anak didik. Dengan kata lain, sekolah mampu memberikan warna baru bagi kehidupan anak ke depannya, sebab di sekolah mereka ditempa untuk belajar berbicara, berfikir, dan bertindak. Yang jelas, sekolah mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Tingkat keberhasilan sebuah bangsa dalam konteks kehidupan manusia yang sangat luas diukur dari bagaimana sekolah berperan dalam membangun kemandirian dan kecerdasan anak didik.
Sekolah bertanggung jawab menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Dengan demikian, peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan. Anak didik memiliki kebebasannya untuk menentukan kebebasannya melalui sekolah.
Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya si anak didik, yang berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Dengan sekolah, organisasi atau partai mendidik kader-kadernya untuk meneruskan dan memperjuangkan cita-cita dari organisasi atau partainya.
Dengan sekolah pula, umat manusia yang berperadaban dan beragama mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi sebagai bekal untuk melanjutkan dan memperjuangkan agamanya.
Orang tua yang memiliki keterbatasan dalam mendidik anak-anaknya telah menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dengan maksud utama agar di sekolah itu anak-anak mereka menerima ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan sebagai bekal hidupnya kelak di kehidupan dunianya dan kehidupan akheratnya. Sekolah berkewajiban dan bertanggung jawab atas hasil transformasi nilai-nilai dan pengetahuan yang telah diberikan kepada anak-anak.
2. Kerja Sama antara Keluarga dan Sekolah
Untuk mendapatkan hasil pendidikan yang baik, maka sekolah perlu mengadakan kerjasama yang erat dan harmonis antara sekolah dan keluarga atau orang tua. Dengan adanya kerja sama itu, orang tua akan mendapatkan :
a. Pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya.
b. Mengetahui berbagai kesulitan yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah.
c. Mengetahui tingkah laku anaknya selama di sekolah, seperti apakah anaknya rajin, malas, suka membolos, suka mengantuk, nakal dan sebagainya.
Sedangkan bagi guru, dengan adanya kerja sama tersebut guru akan mendapatkan :
a. Informasi-informasi dari orang tua tentang kehidupan dan sifat-sifat anaknya. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi guru dalam memberikan pendidikan sebagai anak didiknya.
b. Bantuan-bantuan dari orang tua dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi anak didiknya di sekolah.
Sayangnya, masih banyak orang tua yang masih belum menyadari akan urgensi kerja sama antara orang tua dan sekolah. Hal tersebut dikarenakan kesibukan orang tua dan asumsi dari orang tua yang beranggapan bahwa kewajiban sekolah hanya untuk mengajarkan pengetahuan dari buku saja supaya anak-anaknya lulus. Kelulusan anak tersebut sudah cukup dan memuaskan bagi orang tua. Selain itu keengganan orang tua dalam menjalin kerja sama dengan sekolah juga bisa dikarenakan orang tua yang merasa minder, malu, dan takut karena mungkin merasa anak-anaknya tertinggal dengan anak-anak yang lain.
Oleh karena itu, sekolah dengan dipelopori oleh kepala sekolah bersama guru-guru mencari alternatif-solusi untuk mempererat hubungan antara keluarga dan sekolah. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempererat hubungan antara keluarga dan sekolah, antara lain :
a. Mengadakan pertemuan dengan orang tua di awal tahun pelajaran, khususnya di hari penerimaan anak didik baru.
Pertemuan tersebut diadakan untuk :
1) Mempromosilkan sekolah.
2) Mendeskripsikan tentang visi, misi, dan tujuan sekolah.
3) Mendapatkan informasi tentang harapan-harapan orang tua terhadap anaknya yang dididik di sekolah tersebut.
4) Mendapatkan informasi tentang karakter anak didik yang baru.
5) Menyampaikan informasi tentang program sekolah
b. Mengadakan surat-menyurat antara sekolah dan keluarga.
Surat-menyurat itu perlu diadakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan progran-program sekolah serta berbagai hal yang terkait dengan proses pendidikan di sekolah.
c. Menyampaikan prestasi belajar anak didik dalam bentuk buku rapot.
Prestasi belajar anak didik dalam bentuk rapot ini selain sebagai laporan pertanggungjawaban terhadap pendidikan yang dilakukan oleh guru terhadap anak didik juga berfungsi untuk mengkomunikasikan perkembangan anak didik terhadap orang tua mereka.
d. Mengadakan buku penghubung akhlak anak didik.
Buku penghubung tersebut dipegang oleh orang tua untuk mencatat perkembangan akhlak anak didik selama berada di rumah kemudian hasilnya disampaikan kepada guru di sekolah untuk mendapatkan bimbingan dan pendidikan terhadap anak lebih lanjut.
e. Mengunjungi orang tua murid.
Tentu saja sangat sulit bagi suatu sekolah untuk mengunjungi setiap orang tua. Untuk efektifitas dan efisiensi, sekolah bisa mengunjungi orang tua yang sedang melaksanakan hajatan, sedang terkena musibah, serta orang tua yang anaknya sedang mengalami kesulitan dalam proses pendidikannya di sekolah. Mengunjungi orang yang sedang hajatan atau sedang terkena musibah ini sangat dianjurkan dalam Islam.
f. Mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan dan kepeserta didikan yang dihadiri oleh para orang tua.
Kegiatan tersebut bisa digunakan oleh pihak sekolah untuk beramah tamah dengan orang tua murid.
g. Membentuk perkumpulan orang tua, seperti komite sekolah.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa komite sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
Hubungan yang harmonis antara keluarga dan sekolah ini selain diharapkan dapat memaksimalkan keberhasilan pendidikan juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah SWT.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
(QS. An Nisa : 1)
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”
(QS. Ar Rad : 21)

3. Sekolah sebagai Wahana Sosialisasi
Di sekolah, anak mengalami perubahan dalam tingkah laku sosialnya. Proses perubahan tingkah laku dalam diri anak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan kebudayaan yang tertuang dalam kurikulum. Kurikulum pendidikan yang dilaksanakan oleh guru salah satunya berfungsi untuk membentuk tingkah laku menuju kepribadian yang dewasa secara optimal.
Di sekolah berlangsung proses sosialisasi anak melalui pendidikan. Pendidikan merupakan kata kunci dari proses sosialisasi yang ada di sekolah. Guru menjadi transformer nilai-nilai budaya kepada semua anak didik untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya.
Fungsi sosialisasi yang dilaksanakan oleh sekolah mencangkup lima dimensi, antara lain :
a. Pendidikan tidak hanya mencangkup pengetahuan dan keterampilan semata tetapi juga sikap, nilai, dan kepekaan pribadi.
b. Peran seleksi sosial (mencangkup tidak hanya pemberian sertifikat, tetapi juga melakukan seleksi terhadap peluang kerja).
c. Fungsi indokrinasi.
d. Fungsi pemeliharaan anak.
e. Aktivitas kemasyarakatan.
Jadi sekolah memiliki fungsi pendidikan, peran sosial, indokrinasi, pemeliharaan, dan aktivitas kemasyarakatan.
Sekolah sebagai wahana sosialisasi anak akan menentukan corak berfiki rdan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma yang diyakini dan dimiliki masyarakat. Pada gilirannya, kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan akar budayanya dengan kemampuan merespon perubahan di masyarakat.

B. Sekolah di Era Teknologi Informasi dan Komunikasi
1. Fenomena Masyarakat Informasi
Pada abad ke 21 kencangnya arus globalisasi semakin terasa, menghantam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Tofler, pada saat ini sedang terjadi pergeseran kekuasaan (powershift) yang menggerogoti setiap pilar sistem kekuasaan lama yang secara mendasar telah dan akan mengubah kehidupan keluarga, bisnis, politik, negara-negara, dan struktur kekuasaan global itu sendiri. Kekuatan, kekayaan, dan pengetahuan menjadi tiga dasar kekuasaan yang mementukan kompetisi global.
Dalam era Informasi, eksistensi keluarga sebagai bagian dari masyarakat juga memberikan implikasi penting bagi sistem baru pendidikan. Menurut Reigeluth dan Garfinkel, model karakteristik masyarakat informasi tersebut antara lain :
a. Tujuan dan model berkisar pada proses pengorganisasian iptek mengenai informasi dan pengembangan pengetahuan.
b. Dasar kekuatannya adalah perluasan kekuatan kognitif dengan teknologi tinggi.
c. Paradigmanya adalah berfikir sistemik, munculnya hubungan sebab akibat (causality), kompleksitas yang dinamis, orientasi ekologi.
d. Berkembangnya teknologi; proses pengumpulan, pengorganisasian, penyimpanan informasi, jaringan komunikasi, sistem perencanaan dan rancangan.
e. Komoditi pokok; informasi dan pengetahuan sebagai kunci produk, manusia profesional dan pelayanan teknik adalah komoditi utamanya.
f. Pola konsumsi lebih kecil dan lebih efisien.
g. Karakteristik organisasi; terpadu, sinergi, perubahan, dan fleksibilitas.
2. Tantangan dan Peluang Sekolah di Era Teknologi Informasi dan Komunikasi
Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan berubah semakin cepat dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan. Sekolah menghadapi tantangan serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada di garda depan perubahan global tersebut.
Proses pendidikan di sekolah pada era teknologi informasi dan komunikasi ini harus berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemanfaatan berbagai teknologi informasi dan komunikasi menjadi hal yang fundamental bagi kemajuan dunia pendidikan di sekolah dewasa ini. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan diskusi jarak jauh dengan salah satu pendidik atau pakar pada suatu wilayah atau negara dengan pihak-pihak yang membutuhkannya di wilayah yang lain.
Pemanfaatan komputer, internet, multi media untuk pendidikan harus sudah dimulai sejak dari sekolah dasar (SD). Sudah saatnya sejak dini diperkenalkan dunia teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan untuk memasuki dunia global. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi akan memudahkan peserta didik untuk mengakses informasi apapun yang dibutuhkannya dalam proses pendidikan.
Namun dibalik peluang tersebut, terdapat beberapa tantangan yang terdapat di dalamnya, antara lain :
a. Proses pendidikan cenderung cognitif oriented.
Hal tersebut merupakan salah satu dari karakteristik masyarakat di era informasi seperti yang telah dijelaskan di atas.
b. Munculnya persaingan antar sekolah dalam ranah material.
Sekolah membutuhkan berbagai fasilitas untuk mendukung pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, tiap sekolah pun berusaha untuk memenuhinya bahkan terjadi persaingan antar sekolah dalam pemenuhannya yang menjadikan sekolah mengabaikan pembangunan karakter peserta didiknya.
c. Mengikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik.
Transformasi pendidikan yang terjadi melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi cenderung cognitif oriented sehingga transformasi nilai pun terabaikan. Ketidakseimbangan tersebut dapat menjadikan terkikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik. Salah satu contoh konkretnya misalnya pada kasus pengggunaan fasilitas Facebook. Facebook sebagai alat jejaring sosial bisa dimanfaatkan sebagai media transformasi pengetahuan dan sosial namun dalam penggunaannya banyak pemakainya yang mengabaikan waktu solat, mengabaikan pekerjaan, mengabaikan belajar, dan mengabaikan kewajibannya yang lain dan lebih mementingkan diri untuk ber-facebook ria.
Namun di balik majunya teknologi informasi dan komunikasi, kemajuannya tidak dapat menggantikan peran guru dalam pendidikan. Secanggih apapun teknologi yang digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, peserta didik masih tetap membutuhkan sosok guru sebagai pemandunya. Peran strategis guru tersebut harus bisa dimanfaatkan dengan optimal untuk meminimalisir efek negatif yang berasal dari tantangan-tantangan di atas. Sebagai seorang fasilitator dalam transformasi pengetahuan, guru juga hendaknya mampu mentransformasikan nilai-nilai kebajikan pada peserta didik agar moral mereka tidak terkikis oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

C. Demokratisasi di Sekolah
Kelas merupakan salah satu elemen sekolah yang memiliki peran tersendiri dalam proses pendidikan. Kelas sebagai ruang kecil yang berisikan sejumlah anak didik memberikan andil bagi pembentukkan kepribadian, kecerdasan, emosi anak didik, dan lain sebagainya. Kelas merupakan ruang bagi mereka untuk mencurahkan banyak hal yang dapat dikerjakan.
Guru seyogyanya menempatkan kelas sebagai ruang belajar yang mampu memotivasi untuk belajar, memberikan kepuasan tersendiri, dan menghasilkan praktek pendidikan yang bermutu. Hal tersebut dikarenakan selama ini kelas bukan lagi ruang yang mendidik. Ketika masuk ke ruang kelas, kadang anak didik merasa malas karena adanya beberapa faktor, antara lain :

1. Pola pembelajaran di kelas yang otoriter.
Pada saat pembelajaran di dalam kelas, anak didik harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh guru. Jika keadaan tersebut berlangsung secara terus menerus maka akan menjadikan anak didik merasa dirinya seperti robot yang selalu harus patuh dan mengikuti gurunya, alhasil anakpun menjadi bosan di kelas.
2. Proses transformasi pengetahuan yang teacher centered.
Guru menganggap dirinya yang paling pintar dan mengetahui materi pelajaran yang disampaikan sehingga anak didik harus menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh gurunya. Filosofi yang menganalogkan anak didik seperti sebuah gelas dan guru seperti sebuah poci yang akan digunakan untuk menuangkan air (pengetahuan) di dalam gelas tersebut merupakan salah satu bentuk dokrin arogansi pendidik, yang menjadikan anak didik mutlak sebagai objek didik (gelas) yang tidak mempunyai daya apa-apa di hadapan gurunya. Lebih tepatnya, arogansi tersebut dikarenakan guru memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada anak didik.
3. Penggunaan metodelogi mengajar yang monoton dan searah.
Kemungkinan lain yang menjadikan anak malas dan bosan di dalam kelas adalah karena penggunaan metodelogi mengajar yang monoton dan searah. Guru sekonyong-konyong koder menyampaikan materi pelajaran hanya dengan metode ceramah satu arah. Guru menyampaikan materi dan anak didik hanya mendengarnya tanpa memberikan ruang bagi anak untuk menyampaikan pendapatnya mengenai persoalan yang sedang dibicarakan oleh guru.
Oleh karena itu, demokratisasi di dalam kelas sebagai wujud demokratisasi di sekolah perlu ditumbuhkembangkan. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan cratein yang berarti memerintah. Definisi yang populer mengenai demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi memiliki beberapa unsur penting, yaitu asas kemerdekaan, asas persamaan, dan asas persaudaraan.
Jika asas-asas demokrasi tersebut dilaksanakan dalam proses pendidikan di sekolah maka semangat tersebut akan menciptakan kelas yang demokratis pula. Setiap anak didik harus mendapatkan ruang yang sama dalam kelas dan menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan dalam pelayanan pendidikan. Demokratisasi di dalam kelas bertujuan untuk melahirkan komitmen bersama bahwa pendidik dan anak-anak didik memiliki posisi yang sedang belajar bersama, mencari pengetahuan baru, dan mendapatkan hal yang baik.
Demokratisasi di dalam kelas menuntut tersedianya ruang selebar-lebarnya pada setiap anak didik untuk mengaktualisasikan dirinya. Dengan kata lain, pihak sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru, dan staf harus mengupayakan ruang bagi setiap anak didik dalam mengembangkan kreativitasnya.
Oleh sebab itu, guru sebagai orang penting yang menjalankan mesin demokratisasi dalam kelas harus memiliki jika demokratis dan mampu menerima segala perbedaan setiap anak didik dalam berbagai aspek. Guru menjembatani seluruh kegiatan yang bisa membangun kerja sama di antara anak didik sehingga mereka saling membangun kebersamaan yang kondusif dan dinamis. Mereka mendapatkan upaya pendidikan yang sama, tidak ada yang merasa disingkirkan sedemikian rupa.
Demokratisasi di dalam kelas yang mendendangkan komitmen saling menerima perbedaan pendapat dalam kehidupan anak-anak didik akan membawa pola pendidikan yang berada dalam konteks mencerdaskan. Demokratisasi di dalam kelas juga berperan dalam mengembangkan budaya berfikir kritis anak didik yang saling mendukung menuju kebersamaan hidup, saling melengkapi, dan tidak saling menjatuhkan. Ending-nya, demokratisasi di sekolahpun diharapkan mampu memperkuat jati diri anak didik yang berkarakter kuat dan siap menerima segala bentuk perubahan hidup. Demokratisasi di sekolahpun akan menjadikan pendidikan lebih humanis.




D. Panduan dalam Memilih Sekolah
Telah dijelaskan bersama-sama bahwa orang tua sebagai pendidik anak di keluarga memiliki beberapa keterbatasan yang membuat mereka menyerahkan proses pendidikan anaknya pada sekolah. Dalam dunia pendidikan sekolah merupakan tempat bagi anak untuk belajar dan juga mempelajari banyak hal. Sekolah adalah sebuah rumah yang memberikan kemudahan dan fasilitas bagi anak didik dalam melahirkan sekian bentuk kreativitas. Sekolah mengantarkan anak untuk tumbuh menjadi manusia-manusia dengan segala bentuk harapan dan impian. Oleh karena itu, orang tua harus pandai-pandai dalam memilih sekolah bagi anak-anaknya.
Beberapa hal yang setidaknya harus diperhatikan oleh orang tua dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya antara lain:
1. Memilih sekolah yang memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas.
Visi, misi, dan tujuan sekolah tersebut diharapkan bisa mewujudkan harapan orang tua kepada anak setelah bersekolah di situ.
2. Memilih sekolah yang biaya pendidikannya terjangkau.
Efisiensi biaya pendidikan yang dibutuhkan bagi anak dalam proses pendidikan di sekolah tentunya lebih murah karena pendidikan dilaksanakan secara klasikal-kolektif. Namun kadang yang terjadi adalah sebaliknya, biaya pendidikan di sekolah menjadi sangat mahal. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan adanya asumsi pada masyarakat bahwa sekolah yang bermutu adalah sekolah yang mahal yang tidak terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah.
Masyarakat harus jeli dalam menanggapi fenomena tersebut, jangan sampai terjebak dan memaksakan diri untuk masuk di dalamnya jika memang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Sebagai alternatif-solusinya masyarakat bisa memilih sekolah yang biaya pendidikannya terjangkau yang sudah diakreditasi oleh pemerintah.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa akreditasi sekolah merupakan kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan (sekolah) berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Dengan demikian sekolah yang telah terakreditasi telah mendapat jaminan menjadi sekolah yang bermutu.
3. Memilih sekolah yang mempunyai fasilitas pendidikan memadai.
Pendidikan bagi anak di sekolah akan berjalan lebih efektif didukung dengan adanya fasilitas pendidikan yang memadai. Hal itu seyogyanya dijadikan sebagai pertimbangan bagi orang tua untuk memilih mana sekolah yang tepat untuk anak-anaknya.
4. Memilih sekolah yang memiliki lingkungan sesuai dengan budaya masyarakat.
Sekolah pada dasarnya tumbuh dari nilai-nilai budaya masyarakat dan untuk menumbuhkembangkan budaya kepada anak didik agar mereka hidup sesuai dengan nilai dan budayanya. Sekolah memegang peranan penting dalam proses sosialisasi anak walaupun sekolah hanya suatu lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan anak.
Di sekolah, anak mengalami perubahan dalam tingkah laku sosialnya setelah mereka masuk sekolah. Proses perubahan tingkah laku tersebut tentu saja juga dipengaruhi oleh lingkungan sekolah. Dengan demikian akan lebih bijak jika orang tua memilih sekolah untuk anaknya yang memiliki lingkungan yang sesuai dengan budaya masyarakat.
5. Memilih sekolah yang memiliki guru yang berkualitas
Pada proses pendidikan, peran pendidik sangatlah besar dan strategis sehingga corak dan kualitas pendidikan secara umum dapat diukur dengan mellihat kualitas para pendidiknya. Pendidik yang memiliki kualifikasi tinggi dapat menciptakan dan mendesain materi pendidikan yang lebih dinamis dan konstruktif. Mereka juga akan mampu mengatasi kelemahan materi dan subjek didiknya dengan menciptakan suatu lingkungan yang kondusif dan menciptakan strategi yang aktif dan dinamis.
Dengan adanya pendidik yang berkualitas tinggi, maka kompetensi lulusan (output) pendidikan akan dapat dijamin sehingga mereka mampu mengelola potensi diri dan mengembangkannya secara mandiri untuk menatap masa depan gemilang yang sehat dan prosprektif. Sekolah yang dipilih oleh orang tua pun hendaknya memiliki pendidik yang berkualitas untuk mewujudkan harapan-harapan mereka.
6. Memilih sekolah yang mengharmonisasikan pendidikan umum dan agama.
Setiap terjadi kasus-kasus yang berhubungan dengan dekadensi moral di masyarakat, maka semua pihak akan segera menoleh pada sekolah dan seakan menuduhnya tidak becus dalam mendidik anak bangsa. Akhirnya tuduhan tersebut terfokus pada pendidik yang dianggap alpha dan tidak profesional dalam menjaga gawang moralitas bangsa, tuduhan juga difokuskan pada materi pendidikan yang cenderung cognitif oriented sehingga pendidikan hanya dapat menghasilkan anak didik yang memiliki intelektualitas tinggi tapi miskin akan nilai-nilai moral.
Sekolah pun mulai merespon fenomena tersebut dengan memasukan dan mengharmonisasikan pendidikan umum dan pendidikan agama secara seimbang-seirama dengan harapan dapat mengatasi berbagai dekadensi moral yang terjadi di masyarakat, sehingga muncullah seperti SD Islam Terpadu, SMP Islam Terpadu, SMA Islam Terpadu dan lain sebagainya. Dengan harmonisasi tersebut juga diharapkan tidak terjadi lagi dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis Nabi yang menyuruh umat muslim untuk mencari ilmu sampai ke negeri Cina mengandung spirit bagi umat muslim untuk tidak hanya mempelajari ilmu agama saja di Madinah tapi juga untuk mempelajari teknologi di negeri Cina, sebuah negeri yang memang pada saat itu sudah menjadi negeri yang berperadaban tinggi.
Sekolah yang mengharmonisasikan pendidikan umum dan pendidikan agama adalah sekolah yang layak dipilih oleh para orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya agar mereka menjadi anak yang soleh dan solehah yang menjadi investasi bagi orang tua setelah mereka wafat.