BAB I
LAHIRNYA PENGETAHUAN BENAR
Pada dasarnya manusia selalu ingin mengetahui (Aristoteles dalam tulisannya Metafisika), yaitu mengetahui segala sesuatu yang ada di sekeliling dirinya. Ini merupakan langkah awal manusia untuk memperoleh pengetahuan. Banyak hal terlibat pada saat manusia mengenal sesuatu baik dirinya sendiri maupun hal-hal di luar dirinya. Hal yang terlibat itu minimal adalah alat yang ada pada dirinya sendiri, alat itu adalah indera, rasio, intuisi, dan keyakinan (faith). Di samping itu juga ada hal yang melekat pada diri subjek yaitu kepercayaan (believe). Sesuatu yang mempengaruhi subjek, karena ia datang dari luar yaitu revelasi (wahyu) dan pengetahuan yang di sampaikan oleh pemegang otoritas (misalnya orang tua terhadap anak-anaknya, guru terhadap muridnya, pejabat terhadap bawahan dan rakyatnya dan seterusnya). Selain itu, hal yang melekat pada diri subjek adalah kesadaran. Kesadaran adalah aktivitas kejiwaan yaitu interaksi akal, rasa, dan kehendak yang mengolah semua informasi yang masuk ke dalam diri subjek,
Pengetahuan lahir dari aktivitas subjek yang sadar terhadap semua informasi yang masuk dalam diri subjek atau yang dikenal dan ingin dikenal oleh subjek. Pengetahuan yang lahir di dalam dirinya sudah terdapat kebenaran, dan memang setiap pengetahuan yang di kuak oleh seseorang di dalamnya telah terkandung kebenaran. Hospers menyatakan pangetahuan mesti benar (1967) Jadi isi pengetahuan selalu benar, atau dengan kata lain pengetahuan adalah pengetahuan yang benar. Kesalahan terjadi dan hanya terjadi karena informasi yang diterima melalui otoritas sudah mengandung kesalahan—misalnya, informasi dari orang tua tidak lengkap, dari guru kurang memadai, dari pejabat tidak sesuai dengan fakta, dan lain-lain—atau, indera subjek tidak normal —misalnya buta warna, gangguan pendengaran dan lain-lain—. Atau, penalaran seseorang itu tidak mengikuti norma-norma logika yang benar —tidak mengikuti hukum penyimpulan logika, dan aturan berpikir runtut lainnya.
Di dalam diri subjek di samping alat-alat (tools) yang melekat pada diri subjek, terdapat sikap yang melekat pada subjek, pada saat subjek menghadapi objek pengeta-huan. Terdapat sikap realistik terhadap objek yang di amati, sikap ini bertolak pada paham realisme metafisis yang berpendapat bahwa objek metafisika dan pengetahuan metafisika berpangkal pada objek ada yang real (actual being). Objek demikian haruslah konkret keberadaannya, objek itu di cerap atau dipersep oleh indera. Objek cerapan indera berupa objek konkret secara langsung atau tidak langsung melalui empiri (dapat berupa pengalaman indera dan atau pengalaman bathin). Paham epistemologi yang bertumpu pada sikap terhadap objek sebagaimana dikemukakan adalah paham realisme epistemologis atau paham empirisme—dapat empirisme lunak seperti John Locke atau empirisme keras sebagaimana dikemukakan oleh Ayer.
Sikap subjek yang lain adalah sikap idealistik yang bertolak pada paham idealisme metafisika. Objek yang bertolak pada sikap ini keberadaannya abstrak, sehingga untuk menangkap atau memahami objek itu melalui reason atau rasio. Objek diandaikan hadir dalam kesadaran subjek (bahkan objek telah hadir dalam diri subjek sejak manusia lahir —innate ideas—). Sikap subjek yang bertumpu pada sikap yang demikian melahirkan paham rasionalisme epistemologis. Paham ini dikembangkan oleh Réne Descartes, Spinoza, Bradley dan lainnya.
Sikap subjek yang lainnya adalah sinergi antara indera dan rasio, sehingga objek dipahami sebagai objek yang fenomenal. Objek demikian dapat dicerap oleh indera atau dicerap rasio atau juga dicerap secara bersamaan antara indera dan rasio. Immanuel Kant dan para penganut paham fenomenologi melihat objek sebagaimana dikemu-kakan.
Bertolak dari uraian di atas, terdapat tiga jenis pengetahuan dalam aktifitas manusia yang mengetahui, yaitu pengetahuan indera dan atau pengetahuan empirik, pengetahuan rasional (nalar), dan pengetahuan yang sifatnya fenomenalistik, seimbang antara kegiatan indera dan kegiatan penalaran. Pertama, pengetahuan empirik. Pengetahuan ini telah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles. Plato menjelaskannya melalui teori the allegories of the cave. Plato membagi jenis pengetahuan menjadi 4 macam yaitu pengetahuan eikasia atau pengetahuan khayali atau pengetahuan ilusi. Pengetahuan ini adalah pengetahuan orang kebanyakan atau biasa disebut juga sebagai pengetahuan keseharian (ordinary knowledge). Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan substantif pengetahuan faktual yang dapat diinderai secara langsung. Aristoteles mengatakannya objek pengetahuan yang demikian adalah objek yang common sensible atau sensus comunis. Pengetahuan ketiga adalah pengetahuan matematis, pengetahuan ini adalah abstraksi dari objek faktual, pengetahuan ini semacam sketsa secara terukur dari objek yang dihadapi. Pengetahuan keempat adalah pangetahuan yang sesungguhnya atau pengetahuan essoterik, yaitu pengetahuan abstrak tentang sesuatu objek. Pengetahuan semacam ini terdapat di dalam dunia ide atau dunia pikiran semata pengetahuan ini disebut noesis atau episteme. Keempat macam pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh Plato bertolak pada objek konkret. Pengetahuan yang ada dalam dunia ide hanya ada manakala subjek pernah mempersep objek dalam pengalamannya, artinya pengetahuan ide lahir karena subjek telah memiliki kesan tentang objek, sebagai contoh seseorang (subjek) memiliki pengetahuan tentang kuda, setelah subjek mempersep kuda sebagaimana adanya apakah kuda poni, kuda sumba, kuda cowboy dan lainnya. Teori Plato mempengaruhi persepsi murid-muridnya termasuk Aristoteles. Aristoteles di dalam tulisanya On the Soul dan On Remember berpendapat bahwa objek adalah objek yang dapat dicerap secara langsung (direct comprehension menurut Moore) dan dapat diketahui oleh banyak orang. Itu sebabnya, objek yang demikian oleh Aristoteles disebut sebagai objek yang common sensible atau communis sensus. Pengetahuan yang diperoleh sifatnya explanatory principle harus dibuktikan secara logis melalui logika deduktif dibuktikan dengan mengacu kembali kepada objek pengetahuan yang common sensible.
Pada Jaman Modern lahir teori pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke dan David Hume yang bertolak pada empiri. Di samping Locke lahir pula pengetahuan yang bertumpu pada rasio sebagaimana dikembangkan oleh Réne Descartes. Dan, yang berikutnya adalah Immanuel Kant yang berusaha menyelesaikan dua pendapat yang berbeda, yaitu bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan akal murni dan akal praktis. Pada Jaman Kontemporer kelahiran teori pengeta-huan sangat pesat dan beragam.
BAB II
MAKNA PENGETAHUAN BENAR
Manakala seseorang mempertanyakan dan hendak menegaskan apakah pengetahuan yang ia peroleh memiliki kebenaran ataukah tidak. Menurut para ahli epistemologi dan para filusuf umumnya untuk membuktikan bahwa pengetahuannya bernilai benar, maka orang yang memiliki pengetahuan itu harus melihat dan memeriksa terlebih dahulu bagaimana ia membentuk, memperoleh, atau memiliki pengetahuan itu. Apakah ia memperolehnya dengan melihat atau menginderai atau ia melalui kewibawaan seseorang (melalui otoritas) atau melalui keyakinannya. Atau mungkin juga ia memperolehnya melalui penalaran baik pemikiran deduktif maupun induktif. Kemudia harus diperiksa juga sikap subjek pada saat ia membangun pengetahuan itu. Sikap ini adalah sikap ontologis terhadap objek yang dihadapinya. Apakah ia bertumpu pada paham spiritualisme metafisik ataukan ia bertolak pada paham materialisme metafisik. Lain daripada itu, juga harus memeriksa sarana apa yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan itu. Apakah subjek menggunakan indera, rasio, intuisi, keyakinan atau percaya pada pemegang kewibawaan. Sebagaimana dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, tampak bahwa terjadinya pengetahuan dapat karena aktivitas indera, rasio, intuisi, atau keyakinan, serta dari revelasi atau melalui otoritas seseorang (Hospers,1967). Atau, dapat juga karena subjek sangat terikat pada objek (Empiristik), atau objek yang masuk atau diandaikan ada dalam kesadaran subjek (Rasionalistik), atau menempatkan keseimbangan antara subjek dan objek (Fenomenalisme dan Fenomenologi). Masing-masing cara memperoleh pengetahuan itu memerlukan cara pembuktian kebenaran yang berbeda pula. Bahkan, jika Anda termasuk seorang yang meragukan alat, sumber, dan cara untuk memperoleh pangetahuan sebagaimana Pyrrho dan Sextus Empiricus serta para penganut Shopisme dan Skeptisisme baik yang keras atau yang lunak tak ada kebenaran kecuali keraguan.
Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret dan yang abstrak. Perlu diperhatikan bahwa manakala seseorang ingin membuktikan penge-tahuan maka ia perlu memahami apakah realitas pengeta-huan itu. Pengetahuan adalah hasil aktivitas manusia—subjek yang sadar—(karena ada hubungan) dengan objek yang ingin dikenal. Pengetahuan dalam realitas sebagai benda yang actual being dapat berupa pernyataan (statement), atau benda budaya (hasil aktivitas budaya), atau perilaku subjek mengetahui. Maka pada saat subjek hendak membuktikan pengetahuan apakah pengetahuan itu mengandung kebenaran atau sebaliknya kekhilafan, Subjek harus memahami dulu realitas pengetahuan itu. Kandungan pernyataan, makna budaya, serta perilaku subjek yang mengetahui dalam suatu proposisi. Proposisi adalah kandungan makna yang tersirat dalam pengetahuan (pernyataan, budaya, dan perilaku subjek).
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah kualitas pengetahuan (apakah pengetahuan kita itu penge-tahuan keseharian dan non ilmiah, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, atau pengetahuan relijius). Masing-masing pengetahuan itu memiliki cara dan sifat kebenaran sendiri sesuai dengan karakter pengetahuan itu. Atau juga, sifat pengetahuan itu apakah empiristik, rasionalistik, atau fenomenalistik, serta fenomenologik. Serta, hubungan dan nilai pengetahuan itu terfokus pada subjek, objek, atau seimbang antara subjek dan objek. Hal itu dapat dipahami, karena sesungguhnya suatu atau nilai kebenaran pengeta-huan amat tergantung pada atau berkaitan erat dengan kualitas, sifat, dan hubungan itu, sehingga pengetahuan tak dapat begitu saja melepaskan diri.
Di dalam hal kualitas pengetahuan, kita dapat melihat arasy pengetahuan apakah pengetahuan keseharian (ordinary knowledge) dapat berupa pengetahuan biasa atau pengetahuan non ilmiah, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuian filsafati (philosophical knowled-ge), dan pengetahuan relijius (religious knowledge). Masing-masing pengetahuan memiliki sifat kebenaran dan cara membuktikannya secara mandiri.
Pengetahuan non ilmiah memiliki sifat dan cara pembuktiannya sendiri. Sifatnya amat terikat kepada subjek yang mengetahui dan pembuktian atau pengyaannya dengan mengacu secara langsung terhadap objek dan subjek yang mengetahui. Hal ini, sangat berbeda dengan pengetahuan ilmiah, dimana pengetahuan ini baik ilmu sosial (social sciences) maupun ilmu kealaman (natural sciences) akan mengejar objektivitas empirik. Dengan demikian, suatu kebenaran pengetahuan ditunjukkan oleh objek nyata secara empirik, walaupun demikian pasti memiliki perbedaan, karena masing-masing ilmu menggu-nakan metoda yang satu dengan lainnya berbeda. Berbeda dengan pengetahuan filsafati yang memiliki sifat intersub-jektif, karena dalam bidang filsafat sangat sulit untuk menunjukkan hakikat pada ujud yang konkret, sehingga memerlukan kesepakatan di antara para pemikir itu. Sebagai contoh teori Aristoteles memerlukan pengyaan (assertion) dari pemikir-pemikir yang memiliki cara persepsi yang sama atau hampir sama, dan tak mungkin di yakan oleh pengguna metodologi berpikir yang berbeda apalagi bertentangan. Lain halnya, jika membicarakan kebenaran pengetahuan keagamaan. Sikap panatisme dan dogmatisme agama akan mempengaruhi sifat kebenaran pengetahuan keagamaan yang dimiliki oleh subjek tertentu. Satu subjek dengan subjek lain yang berbeda keyakinan keagamaan tak perlu mengadakan pembenaran secara universal.
Manakala melihat pengetahuan dari sifat kebenaran, maka perlu dipilahkan terlebih dahulu apakah sifat pengetahuan itu sifatnya kemestian, keharusan, atau kebetulan. Sifat ini amat tergantung pada sifat metafisis keberadaan objek yang diketahui. Misalnya rakyat dan wilayah merupakan sifat yang harus ada pada eksistensi suatu negara. Apabila kita tahu ada negara X misalnya, maka kita dapat memikirkan bahwa ada rakyat dan wilayah dari negara X tersebut, oleh karena itu, tiada negara tanpa rakyat dan wilayah dimana rakyat itu berada. Tetapi, pemerintahan adalah sifat mesti pada suatu negara, serta bentuk negara apakah republik atau lainnya adalah merupakan sifat kebetulan. Atau contoh lain, semula jumlah tiga sudut suatu segi tiga 180'. Pada saat pendapat bahwa bumi ini datar sebagaimana terjadi pada masa Yunani kuno, maka pendapat itu merupakan sifat mesti. Akan tetapi, setelah pendapat tentang bumi itu berubah maka konsep jumlah tiga sudut pun berubah pula menjadi sifat kebetulan. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan yang sifatnya objektif perlu mendapat pembenaran dari mereka yang memiliki latar belakang ilmu yang sebidang. Ini merupakan konvensi di antara para ahli yang sebidang.
BAB III
TEORI KEBENARAN PENGETAHUAN
Di dalam pemikiran epistemologi terdapat penge-lompokkan teori kebenaran. Pengelompokkan ini berdasar-kan pada sifat terjadinya pengetahuan atau berdasarkan sumber pengetahuan dan sifat kelahiran teori pengetahuan itu yaitu karena adanya faham baru yang melatarbelakangi munculnya pengetahuan itu. Hal ini dapat terjadi disebab-kan oleh faham lama yaitu empirisme (realisme) dan rationalisme (idealisme) serta faham baru yang berlan-daskan antara lain pada bahasa yaitu faham analitika bahasa, faham pragmatis dan lainnya. Dengan demikian, maka sedikitnya terdapat 8 faham atau bentuk teori kebenaran yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi sebagai teori kebenaran yang bertolak pada faham lama atau tradisional; dan, teori kebenaran pragmatisme, teori kebenaran logis berlebihan, teori kebenaran non-deskripsi, teori kebenaran semantik, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran konsensus, serta teori kebenaran otoritarianis, teori-teori itu adalah teori baru atau teori mutakhir.
Seorang yang mempelajari ilmu filsafat ada baiknya memahami teori-teori ini, dengan demikian, diharapkan mampu memiliki pandangan yang cukup luas atas problema pengetahuan yang setiap filusuf memiliki cara dan sikap yang khas untuk memperoleh pengetahuan itu sehingga berimplikasi terhadap munculnya kebenaran pengetahuan yang khas pula.
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradisional atau teori yang paling tua(Hornie,1952). Teori ini bertolak dari pernyataan Aristoteles yaitu “..... to say of what is that it is or of what is not that it is not, is true”. Menurut teori ini pengetahuan benar adalah pengetahuan dengan berdasar pada asas logik bahwa “..... that it is true that p, if and only if p”. Sehingga, menurut teori korespon-densi ini sebagaimana dikemukakan White (1970) bahwa “..... since p is true if and only it p, then when what is said e.g. p is true’ pernyataan ini mengikuti filsafat Moore (1953) bahwa pengetahuan terjadi karena adanya pema-haman langsung terhadap objek (direct apprehension), maka pengetahuan tentang objek tertentu mesti dipercaya keberadaan dan kebenarannya. Hal demikian disetujui pula oleh Marhenke bahwa “..... to see a physical object is to see”.(Marhenke dalam Schlipp, 1953). Moore secara tegas menjelaskan bahwa Pengetahuan benar manakala cerapan indera atau data indera memiliki hubungan dan saling berkesesuaian (correspondence) dengan objek atau benda-benda material. Lebih jauh ia menyatakan bahwa harus ada kesamaan antara “ada penginderaan yang kita alami” secara khas menyatakan bahwa “When the belief is true, it certainly does correspond to a fact, and when it corresponds to a fact it certanily true. And similarly when it is false, it certainly does not correspond to any fact; and when it does not correspond to any fact, then certainly false” (Moore,1952).
Hornie (1952) menyatakan secara jelas bahwa “.... it affirms that our thoughts or ideas are true or false according as they agree (correspond), or do not agree, with a fact such as I think it to be”. Hal demikian juga sesuai dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan faktanya (fakta yang actual being)
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengetahuan atau yang tercermin dalam proposisi yang benar dapat dibuktikan langsung pada fakta atau objek yang diinderai, atau yang dapat dijabarkan langsung pada dunia empirik atau pengalaman langsung yang dapat diamati indera. Pengetahuan inderawi atau pengetahuan yang berdasar pada pengalaman indera kebenarannya dapat dibuktikan dengan mengacu pada objek pengetahuan itu. Kekhilafan atau kesalahan dapat terjadi karena kesalahan penginderaan atau kurang cermatnya menginderai dan atau indera sudah tidak normal.
2. Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini dibangun oleh oleh para epistemolog yang bertolak pada sikap ontologis bahwa objek berupa hal abstrak sehingga diandaikan ia hadir dalam kesadaran subjek. Paham ini dianut pula oleh mereka yang mengembangkan paham logika positivisme. Menurut teori ini bahwa “.....to say that what is said (ussually called judment, belief, or proposition) is true or false is to say that it cohere with a system of other thing which are said; that it is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the element in a system of pure mathematics are related’(White, 1970) Atau dapat dikemukakan juga bahwa proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan dari proposisi terdahulu yang bernilai benar dalam suatu sistem pemikiran yang saling berhubungan secara logik-sistematik. Sebagai contoh jika kita ingin membuktikan bahwa runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 atau 1400 Çaka dengan candra sangkala Sirna Ilang Kertaning Bumi. Maka dalam pembuktikan kebenaran itu kita tak dapat melihat langsung seperti para epistemolog realis tetapi harus melalui proposisi-proposisi terdahulu yang mewartakan tentang runtuhnya Majapahit. Proposisi itu dapat ditemukan dalam catatan sejarah atau catatan lain yang menguak kejadian itu. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah atau data-data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan,
Begitu pula bila yang akan diuji itu adalah proposisi logika dan atau matematik. Maka, pengujiannya juga harus kembali kepada logika yang digunakan dan matematik yang dibangun. Teori kebenaran koheren di anut oleh paham rasionalisme dan atau paham idealisme ontologis.
3 Teori Kebenaran Pragmatik
A.R. White (1970) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan bahwa teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatik. Paham Pragmatisme sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filusuf besar Amerika yaitu C.S.Pierce, William James dan John Dewey. White menjelaskan bahwa menurut paham ini “..... an idea —a term used loosely by these philosophers to cover any opinion, belief, statement, or what not”— is an instrument with a particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not.”
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini yaitu bahwa penganut pragma-tisme meletakan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman. Pernyataan itu adalah benar.
Jadi menurut teori ini bahwa suatu pengetahuan atau proposisi bernilai benar manakala proposisi itu memiliki konsekuensi praktis sebagaimana yang melekat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Hal ini karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu dikarenakan bahwa dalam praktiknya apa yang diang-gap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain, bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja —pengetahuan atau proposisi— dapat dimanfaatkan secara praktis.
4 Teori Kebenaran Semantik
Kebenaran pengetahuan di dalam teori ini bahwa proposisi dianggap benar dalam hubungan atau mengacu pada arti atau makna yang dikandung oleh proposisi atau pengetahuan. Oleh karenanya, teori ini memiliki tugas untuk menguak keabsyahan (validitas) proposisi terhadap referensi yang diacunya (dapat mengacu pada pengalaman atau pada idea) si pemilik pengetahuan.
Di dalam teori ini dibedakan antara arti dalam bentuk sintaksis atau menurut struktur sintaksis atau tata bahasa atau gramatika. Artinya, bahwa proposisi itu memiliki arti dan bahkan memiliki kebenaran dalam hubungannya dengan syarat tata bahasa. Jadi apabila pernyataan itu tak mengikuti dan memenuhi syarat gramatika atau bahkan ke luar dari hal yang di syaratkan tata bahasa maka proposisi itu tak memiliki arti dan makna sama sekali. Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara para filusuf analitika bahasa terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Freiederich Schleiermacher (1768-1834) Menurut Schleiermacher sebagaimana dikemukakan oleh Poespo-projo (1987) bahwa pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi itu diung-kapkan. Disini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
Di samping teori sintaksis terdapat pula teori semantik. Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu mempunyai nilai kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu menunjukkan makna yang sesung-guhnya dengan menunjuk pada referensi atau mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Juga, arti yang dikemukakan itu adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan esoterik yaitu arti yang sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam pernyataan itu dengan mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran ini dianut oleh para filusuf analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca Bertrand Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa.
Teori kebenaran semantik sebenarnya berpangkal pada pendapat Aristoteles yang bertolak bahwa pengetahuan selalu bertolak pada objek yang common sensible. White (1970) menyatakan “..... To say of what is that it is or of what is not, is true” atau bahkan mengacu pada teori kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan bahwa “ ..... that truth consists in correspondence of what is said and what is fact” Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi) yaitu objek konkret yang common sensible.
Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu memiliki arti esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi secara praktis. Arti yang terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap pemakai makna pernyataan itu. Sikap itu antara lain adalah sikap episte-mologis skeptis, sikap ini adalah kebimbangan taktis atau sikap ragu untuk mencapai kepastian (certainty) dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan agar dicapai makna yang esoterik yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi mengandung keraguan di dalamnya. Sikap lain adalah sikap epistemologik yakin dan ideologik. Di dalam sikap ini dikandung makna bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur, dan tidak memiliki sifat pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada kepercayaan yang ada pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini menghasilkan makna pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi. Akibat sematiknya adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan itu. Artinya apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi pengguna pernyataan itu.
5. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut filsafat fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu pernyataan akan memiliki nilai benar amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan bahwa “..... to say, it is true that not many people are likely to do that, is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the sentence used to express the opinion”. Menilik pernyataan ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa “The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.
Sebagai contoh di dalam budaya Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa istilah yang maknanya diketahui secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan deskripsi arti yang dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti tetapi arti itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya. Contoh lain, istilah “bulan”.
6. Teori Kebenaran Logis Berlebihan (Logical-superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan atau dianut oleh kaum logika positivistik yang di awali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang hendak dibuktikan kebenarannya telah memiliki derajat logik yang dapat dipertanggungjawabkan, dan, bahasa yang digunakan mengandung kebenaran logis yang di dalamnya telah saling melingkupinya (atau tanpa di jelaskan maknanya telah ditunjukkan oleh eksistensi objek, objek adalah object given (yang sifatnya actual being), dengan demikian, sesungguhnya semua orang telah memberikan informasi yang maknanya telah disepakati bersama. Dan apabila, akan dibuktikan lagi kebenarannya itulah suatu perbuatan yang sifatnya logis berlebihan. Sebagai contoh, pernyataan “salju putih” pernyataan ini tak perlu dibuktikan secara logis karena semua orang sepakat demikian. Atau, pernyataan “orang gundul tak berambut” semua orang sepakat bahwa orang gundul mesti tak berambut, sehingga apabila dibuktikan lagi kandungan kebenarannya maka itu tindakan logis berlebihan. Hal demikian, sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya itu telah mengacu pada fakta yang actual being atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1971).
7. Teori Kebenaran Konsensus
Teori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Kriteria kebenaran menurut teori ini adalah persepakatan atau persetujuan yang dianggap rasional dari suatu perbincangan tertentu. Oleh karena itu, kebenaran yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku mutlak satu kali perbincangan untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun harus terbuka untuk diperbincangkan kembali.
Untuk dapat sampai pada suatu kebenaran yang bersifat kesepakatan atau konsensus harus dipenuhi syarat-syarat situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghin-darkan kesulitan yang mungkin timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa yang diperbincangkan situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles yang actual being/factual). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah (1) Semua peserta perbincangan harus diberi kesempatan yang sama untuk bicara seperti apa yang diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang sama untuk menafsirkan, menganjurkan, membenarkan, dan juga mempersoalkannya, (3) Semua peserta dituntut agar mengambil sikap komunikatif yang wajar yakni mengutarakan apa yang dipikirkannya dan betul-betul bermaksud menyampaikan pikiran-pikirannya kepada peserta lain; Dan, (4) Di antara peserta perbincangan tidak dibolehkan ada perbedaan wewenang atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi jalannya perbincangan.
Teori kebenaran konsensus ini pada tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori demokrasi pada saat melakukan perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak di anatara peserta perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan bersama dengan tidak memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena setiap hasil perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang publik yang terbuka.
8. Teori Kebenaran Otoritarianis
Bertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, kita dapat memilahkan bahwa masing-masing pernyataan memiliki nilai benar dengan bertumpu pada kewibawaan yang dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2) “saya percaya bahwa informasi yang disampaikan oleh pejabat Q adalah benar, serta (3) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh Ketua Suku saya adalah benar”. Ketiga pernyataan itu disampaikan kepada subjek, dan subjek menerimanya begitu saja tanpa kritis atau menggunakan logika yang rumit, karena pada dasarnya subjek menerima ke-3 informasi itu bertumpu pada kewibawaan yang melekat pada masing-masing subjek yang menyampaikan informasi kepada subjek mengetahui lain. Subjek pertama (1) adalah pemegang otoritas karena subjek memiliki kewibawaan material atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima informasi dari subjek pemegang otoritas material pada umumnya diterima karena subjek percaya pada kemampuan material yang melekat pada dirinya. Atau subjek menge-tahui; (2) mendapat informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas formal apakah ia pejabat formal atau subjek pemegang jabatan formal (struktural), dan (3) subjek memperoleh pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki kekuasaan untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat 3 macam otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik, contohnya Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang Ilmunya. (2) otoritas formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas fungsional, contoh, tetua suku, atau key person di dusun (tradisional). Subjek yang memperoleh pengetahuan demikian dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya —walaupun mungkin subjek ragu terhadap informasi yang disampaikannya itu, namun pada umumnya subjek penerima berita dari salah satu atau ketiganya pemegang kewibawaan baik material, formal maupun fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hamami M, 1983, Epistemologi, Yayasan Pem-binaan fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Aristoteles.
Gallagher, K.T.,1971, Philosophy of Knowledge, disadur oleh Hardono Hadi, 1994, Epistemologi, Kanisius, Yogyakarta.
Habermas ........................................................
Hoernie,R.F.A., 1952, Studies in Philosophy, George Allen&Unwin Ltd, London
Hospers,J., 1967, An Introduction to Philosophical Analisys, Englewood Cliffs
Kattoff, L.O., 1954, Element of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, 1986, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Plato,
The Liang Gie, 1977, Suatu Konsepsi ke arah Penertiban Filsafat, Karya Kencana, Yogyakarta.
White, A.R. 1970, Truth; Problem in Philosophy, Doubleday&Co, New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar