Senin, 04 Oktober 2010

BAB IX KURIKULUM PENDIDIKAN

A. Pengembangan Kurikulum
1. Latar Belakang
Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Penerapan desentralisasi pengelolaan pendidikan adalah dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun kurikulum. Hal itu juga mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta Pasal 35 tentang standar nasional pendidikan.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu tersebut meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, sekolah, dan peserta didik.
Dalam perspektif Islam, tujuan memiliki arti yang sangat penting sehingga harus terus dikembangkan dan diperjelas. Ibarat ibadah, tujuan adalah niat yang harus ada sebelum ibadah tersebut dilakukan. Tanpa niat yang benar maka suatu ibadah akan kehilangan nilai ibadahnya. Tujuan dalam pendidikan juga mempunyai posisi yang sama. Ia berfungsi sebagai penentu arah, standar yang hendak dicapai, serta pedoman yang harus dipakai tatkala pendidik melakukan proses pendidikan.
Dengan demikian, tujuan menjadi sentra pengembangan kurikulum. Tujuan yang jelas akan mempermudah pendidik mengambil langkah operasional dalam proses pendidikan. Tujuan yang valid didasarkan pada kondisi objektif peserta didik, proses belajar, kondisi sosial, sistem budaya, dan bahan atau materi pendukungnya. Oleh sebab itu dalam menyusun kurikulum, sekolah menyesuaikannya dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Dengan demikian, daerah dan/atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara mengajar, dan menilai keberhasilan belajar mengajar.
Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk :
a. Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Belajar untuk memahami dan menghayati.
c. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif
d. Belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain.
e. Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
2. Tujuan Pengembangan Kurikulum
Tujuan pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut :
1. Membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
2. Meningkatkan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia
3. Mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri.
4. Meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan, dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni.
5. Meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hidup sehat
3. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kurikulum dikembangkan dengan prinsip sebagai berikut :
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral (student centered) untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Selain itu, juga menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut, pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, serta tuntutan lingkungan.
b. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang. Kurikulum juga dikembangkan berdasarkan jenis pendidikan tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial, ekonomi, dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu. Kurikulum tersebut disusun secara berkaitan dan continu yang bermakna dan tepat antar substansi.
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memotivasi peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tersebut.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi di pendidikan dengan kebutuhan kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian, keilmuan, dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
f. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memerhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seluruhnya.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhinneka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Langkah-langkah pengembangan kurikulum
Langkah-langkah pengembangan kurikulum dalam hal ini bersifat mikro, yaitu berkisar pada kepentigan bagaimana guru mengajar. Menurut Gerlach dan Ely ada sepuluh langkah yang hasrus ditempuh dalam pengembangan kurikulum oleh guru, antara lain :
a. Langkah 1 : merumuskan materi
Tujuan pendidikan harus dirumuskan dalam bentuk kemampuan yang perlu dimiliki oleh peserta didik pada jenjang belajar tertentu.
b. Langkah 2 : menentukan tujuan
Rancangan materi yang disusun harus sesuai dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Isi materi berbeda-beda berdasarkan sekolah, tingkat kelas, bidang studi atau mata pelajaran.
c. Langkah 3 : mengukur kemampuan awal
Pengukuran kemampuan awal bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik sebelum menempuh mata pelajaran tertentu. Dalam hal ini guru berkepentingan dengan kondisi kemampuan awal peserta didik agar dapat memberi materi secara tepat dan sesuai. Penentuan kemampuan awal peserta didik dilakukan dengan menggunakan tes.
d. Langkah 4 : menentukan isi atau materi
Pada langkah ini guru menentukan isi atau materi belajar yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Penentuan isi atau materi berdasarkan kondisi sekolah, tingkat kelas, kemampuan peserta didik, dan relevansinya dalam konteks kekinian.
e. Langkah 5 : pengorganisasian kelompok
Pengorganisasian kelompok-kelompok belajar perlu dilakukan sesuai dengan isi atau materi yang telah ditentukan, jumlah peserta didik, besarnya kapasitas kelas, dan waktu yang tersedia.
f. Langkah 6 : mengalokasikan waktu
Pengalokasian waktu ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh guru untuk mengajar dan juga waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk menguasai tujuan tertentu.
g. Langkah 7 : mengalokasikan ruang/tempat
Berdasarkan alternatif pengelompokan belajar, selanjutnya ditentukan alokasi ruang dengan mempertimbangkan tujuan yang hendak dicapai, cara belajar, materi yang akan diajarkan, serta jumlah dan kondisi ruangan yang dibutuhkan atau tersedia.
h. Langkah 8 : memilih sumber belajar
Sumber belajar merupakan rujukan, objek, dan bahan yang digunakan untuk kegiatan pendidikan. Sumber belajar bisa berupa media cetak dan elektronik, narasumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Penentuan sumber belajar dilakukan berdasarkan tujuan dan materi.
i. Langkah 9 : mengevaluasi perilaku
Kegiatan pendidikan adalah interaksi antara peserta didik dan guru, juga peserta didik dan media pendidikan. Hasil pendidikan tampak pada perubahan perilaku peserta didik pada akhir kegiatan pendidikan. Upaya pendidikan dikatakan berhasil atau tidak berhasil setelah dilakukan evaluasi terhadap perubahan perilaku peserta didik.
j. Langkah 10 : menganalisis umpan balik
Analisis umpan balik merupakan langkah akhir dalam model pengembangan kurikulum ini. Dalam langkah ini guru mencari dan menganalisis data atau informasi (masukan dari peserta didik) untuk perbaikan proses belajar mengajar selanjutnya.

B. Kurikulum sebagai Modal Pembangunan Nasional
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat membanggakan baik di darat, laut, bahjan di udara. Indonesia dikenal sebagai negara penghasil sumber daya alam dunia yang memiliki 325 – 350 jenis flora dandauna. Indonesia juga dilintasi garis khatulistiwa, memiliki tanah yang subur sehingga “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan bambu jadi tanaman”. Hal ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lain, namun Indonesia belum unggul secara kompetitif.
Dengan kondisi tersebut, Indonesia mestinya menjadi negara yang makmur dan sejahtera, serta gemah ripah lohjinawi, bukan sebaliknya menjadi negara yang terpuruk dalam krisis dan terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan, dan ketidakpastian menghadapi masa depan, belum lagi ditambah dengan kerusakan lingkungan hidup sebagai manusia yang diperparah oleh gempa dan tsunami.
Di tingkat dunia, Indonesia termasuk negara berprestasi. Di tingkat dunia Indonesia termasuk negara penghutang (debitor) nomor 6, negara terkorup nomor 3, peringkat SDM ke 112 dari 117 negara, dengan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 30% dan pengangguran terbuka mencapai 12 juta. Akar masalah tersebut adalah faktor politik dan keamanan yang tidak mendukung, penegakkan hukum yang tidak konsisten, iklim investasi yang kurang kondusif, serta birokrasi pemerintahan yang berbelit-belit, di samping semrawutnya manajemen sistem pendidikan nasional.
Percepatan arus informasi di ere globalisasi dewasa ini telah menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan, dan strateginyagar relevan dengan kebutuhan dan tidak ketinggalan zaman. Penyesuaian tersebut telah mengubah tatanan dalam sistem makro maupun mikro, demikian juga dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan nasional harus senantiasa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap sekolah, khususnya oleh guru. Kurikulum hanya akan efisien dan efektif dalam menjalankan tujuan dan fungsi pendidikan nasional bila dilaksanakan oleh guru yang memiliki kemampuan profesional.
Dengan demikian, yang terpenting sekarang adalah bagaimana meningkatkan pemahaman guru terhadap kurikulum sehingga mereka bisa menjadikan kurikulum sebagai acuan dalam proses pendidikan. Kurikulum sendiri pada hakekatnya adalah jalan yang harus ditempuh peserta didik guna mencapai tujuan program pendidikan. Tanpa adanya kurikulum yang jelas maka tujuan pendidikan yang akan dicapai menjadi buyar. Oleh sebab itu, kurikulum merupakan petunjuk arah ke mana pendidikan akan dituntun dan diarahkan atau akan menghasilkan output pendidikan seperti apa. Jadi, kurikulum merupakan salah satu penentu keberhasilan pendidikan nasional dan keberhasilan pendidikan nasional merupakan kunci dari keberhasilam pembangunan nasional.

C. Hegemoni Kekuasaan Adiluhung dalam Kurikulum
1. Perjalanan Kurikulum di Indonesia
Awal kurikulum terbentuk pada tahun 1947 yang diberi nama Rentjana Pembelajaran 1947. Kurikulum ini meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh Belanda karena pada saat itu masih dalam psoses perjuangan merebut kemerdekaan. Yang menjadi ciri utama kurikulum ini adalah lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain.
Pada tahun 1952 kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan, berganti nama menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Ciri kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Pada tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum pendidikan di Indonesia. Kali ini diberi nama dengan Rentjana pendidikan 1964. Ciri dari kurikulum ini pembelajarannya dipusatkan pada program pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964. Yaitu perubahan struktur pendiddikan dari pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Pembelajaran diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan serta pengembangan fisik yang sehat dan kuat
kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Metode dan materi dirinci pada Prosedur Pengembangan Sistem Instruksi (PPSI). Dalam kurikulum ini dikenal istilah satuan pelajaran, yaitu pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan dirinci lagi, meliputi petunjuk umum, tujuan intruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1984 menitikberatkan pada proses skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan itu penting. Kurikulum ini merupakan kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subyek belajar sehingga diharapkan pola pendidikannya student centered. Model ini disebut dengan model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak sehingga bisa dikatakan kurikulum 1994 merupakan kurikulum yang material oriented.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut:
a. Beban belajar peserta didik terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi setiap mata pelajaran.
b. Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik.
Permasalahan tersebut memotivasi para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum 1994 dan pada tahun 2004 lahirlah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). KBK menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performance tertentu sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.
KBK kemudian dinilai gagal dikarenakan . Sebagai gantinya, di tahun 2006 lahirlah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan. Dalam hal ini, sekolah diberi kewenangan penuh dalam menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan silabusnya

2. Faktor Penyebab Perubahan Kurikulum
Kurikulum di Indonesia telah mengalami perubahan berkali-kali. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain:
a. Adanya postulat bahwa kurikulum harus berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Ini dapat dilihat pada kurikulum Rentjana Pelajaran 1947 yang diimplementasikan untuk menggantikan kurikulum produk Belanda. Pergantian tersebut dikarenakan telah terjadi perubahan dari zaman penjajahan menuju zaman kemerdekaan.
b. Adanya kepentingan politis.
Lahirnya kurikulum 1968 hanya bersifat politis saja, yaitu mengganti Rencana pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Kemudian dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurklum 2006 (KTSP). Secara matematis masa aktif kurikulum 2004 sebelum diubah menjadi kurikulum 2006 hanya bertahan selama 2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan perkembangan sebelum-sebelumnya. Dalam kurun waktu yang singkat ini, kita tidak bisa membuktikan baik tidaknya sebuah kurikulum.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perubahan kurikulum merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi dan iptek dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.

BAB VIII PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

A. Hak dan Kewajiban Peserta Didik
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Kemudian pada pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD dan SMP). Pada pasal 12 disebutkan bahwa :
1. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan (SD, SMP, dan SMA) berhak:
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mempu membiayai pendidikannya.
e. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.
f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.




2. Setiap peserta didik berkewajiban :
a. Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

B. Perkembangan Peserta Didik Periode Sekolah Dasar (SD)
Dalam psikologi perkembangan, usia peserta didik di SD berada dalam periode late childhood (akhir masa kanak-kanak), kira-kira berada dalam rentan usia antara enam/tujuh tahun sampai tiba saatnya anak menjadi matang secara biologis sekitar usia tiga belas tahun. Periode ini ditandai dengan kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.
Pada saat anak masuk ke kelas satu, perubahan besar dalam kehidupan anak terjadi. Mereka dihadapkan pada suasana lingkungan baru yang menuntut mereka untuk dapat menyesuaikan diri. Secara psikologis dalam situasi tersebut kebanyakan anak berada dalam keadaan tidak seimbang, anak mengalami gangguan emosional sehingga sulit untuk hidup dan bekerja sama. Masuk ke kelas satu merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap anak sehingga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku. Hal yang sama juga terjadi pada setahun atau dua tahun terakhir pada masa kanak-kanak (late childhood). Dalam masa ini terjadi perubahan fisik yang menonjol yang dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku karena menjelang berakhirnya periode ini anak mempersiapkan diri secara fisik dan psikologis untuk memasuki masa remaja.
Sigmund Freud memberi nama fase usia SD ini fase latent, dimana dorongan-dorongan seakan-akan mengendap (laten), ridak menggelora seperti masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Periode SD ini dapat dirinci menjadi dua fase, yaitu :
1. Periode kelas-kelas rendah SD, yaitu umur 6/7 tahun sampai 9 tahun.
2. Periode kelas-kelas tinggi SD, yaitu umur 9/10 tahun sampai 13 tahun.
Karakteristik masa akhir kanak-kanak biasa diidentikkan dengan sebutan-sebutan untuk menandai kecenderungan umum yang terjadi pada masa ini, misalnya usia yang menyulitkan, usia tidak rapi, usia bertengkar, usia kelompok, usia penyesuaian diri, usia kreatif dan kritis, dan usia bermain. Karakteristik anak-anak yang hampir bersifat universal pada periode SD ini antara lain :
1. Meningginya emosi yang intensitasnya sering bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis.
2. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dimainkan dan menimbulkan masalah baru.
3. Terjadi perubahan nilai-nilai dikarenakan perubahan minat dan perilakunya.
Kesemua perubahan-perubahan tersebut akhirnya berdampak pada perkembangan aspek kognitif (kecerdasan), afektif (perasaan), maupun psikomotorik (gerak).
1. Perkembangan aspek kognitif
Kemampuan kognitif berkaitan dengan kemampuan berfikir, mencangkup kemampuan intelektual mulai dari kemampuan mengingat sampai dengan kemampuan memecahkan masalah. Islam sangat memperhatikan perkembangan kognitif seseorang. Hal ini terllihat dari banyaknya ayat maupun hadis yang menerangkan pentingnya menuntut ilmu dan menggunakan akal untuk memahami gejala alam semesta yang memperlihatkan kebesaran Allah. Islam bahkan memandang mereka yang memiliki ilmu pengetahuan memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada mereka yang enggan belajar. Dalam al-Qur’an dinyatakan :
“Apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” (QS. Al-Zumar : 9)

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah : 11)

Kemampuan kognitif dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Perkembangan kognitif pada masa kanak-kanak terjadi melalui urutan yang berbeda. Tahapan ini membantu menerangkan cara anak berfikir, menyimpan informasi, dan beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Jean Piaget terdapat empat tahapan perkembangan kognitif pada anak-anak, antara lain :
a. Tahap pertama disebut periode sensorik motorik (sekitar 0-2 tahun)
Pada tahap ini anak (bayi) menggunakan alat indera dan kemampuan mmotorik untuk memahami dunia sekitarnya.
b. Tahap kedua disebut periode praoperasional (sekitar 2-7 tahun)
Pada tahap ini anak dapat membuat penyesuaian perseptual dan motorik terhadap objek dan kejadian yang direpresentasikan dalam bentuk simbol (bayangan mental, kata-kata, isyarat) dalam meningkatkan bentuk logika.
c. Tahap ketiga disebut periode konkret operasional (sekitar 7-11 tahun)
Pada tahap ini anak mendapatkan struktur logika tertentu yang membuatnya dapat melaksanakan berbagai macam operasi mental, yang merupakan tindakan terinternalisasi yang dapat dikeluarkan bila perlu. Anak melaksanakan operasi ini dalam situasi konkret. Operasi adalah hubungan-hubungan logis di antara konsep-konsep atau skema-skema.
d. Tahap keempat disebut periode formal operasional (sekitar 11-15 tahun)
Pada tahap ini operasi mental pada anak tidak lagi terjadi pada objek konkret, tapi juga dapat diaplikasikan pada kalimat verbal atau logika, yang tidak hanya menjangkau kenyataan melainkan juga kemungkinan, tidak hanya menjangkau masa kini tetapi juga masa depan.
Jika melihat tahapan-tahapan di atas, anak SD berada dalam tahap kedua dan ketiga. Sifat khas anak SD sangat realistis, ingin tahu, dan ingin belajar. Sebagian besar anak SD ini belum mampu memahami konsep-konsep abstrak.
Anak usia SD sudah memiliki kemampuan untuk berfikir melalui urutan sebab-akibat dan mulai mengenali banyak cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Anak usia SD ini juga dapat mempertimbangkan secara logis hasil dari sebuah kondisi atau situasi serta tahu beberapa aturan atau strategi berfikir, sperti penjumlahan, pengurangan, penggandaan, mengurutkan, dan mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep, seperti 2 + 5 = 7, 5 X 6 = 30, dan 20 – 3 = 17.
Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber pada indera, karena anak usia SD mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara yang bersifat sementara dan yang bersifat tetap. Mereka akan tahu jika air dalam gelas besar pendek dipindahkan ke dalam gelas kecil tinggi jumlahnya akan tetap sama karena tidak satu tetes pun yang tumpah. Hal ini adalah karena mereka tidak lagi mengandalkan persepsi penglihatannta, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya. Mereka dapat mengukur, menimbang, dan menghitung jumlahnya, sehingga perbedaan yang nyata tida membodohkan mereka. Adanya perhatian kepada kehidupan yang praktis dan konkret tersebut membawa kecenderungan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang praktis.
Pada masa SD ini disifatkan sebagai masa realisme, yaitu realisme naif (umur 8 sampai 10 tahun) dan realisme kritis (umur 10 sampai 12 tahun). Pada masa SD, aktivitas mental anak terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah dialaminya.
2. Perkembangan aspek afektif
Kemampuan afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang menggambarkan emosi dengan muatan yang berbeda, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Kedua jenis emosi yang berlawanan ini bahkan sering dipasangkan untuk menimbulkan efek kontradiktif yang menguatkan makna kalimat. Dalam al-Qur’an antara lain diceritaka :
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak sebagai pembalasan dari apa yang mereka kerjakan” (QS. Al-Taubah : 82)

“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup lagi oleh kegelapan” (QS. Abasa : 38-41)
Seseorang juga dapat membuat respon berurutan yang menunjukkan intensitas emosi yang dimilikinya. Dalam al-Qur’an dinyatakan :
“Sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling dan menyombongkan diri” (QS. Al-Mudatsir : 22-23)
Kemampuan afektif ini terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena, yang merupakan faktor internal individu. Kemampuan ini dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu pengenalan/penerimaan, pemberian respon, penghargaan terhadap nilai, pengorganisasian dan pengamalan.
Emosi yang umum pada akhir masa kanak-kanak hampir sama dengan pola pada awal masa kanak-kanak, perbedaannya terletak pada awal jenis situasi yang membangkitkan emosi dan bentuk ungkapannya. Perubahan tersebut lebih merupakan akibat dari meluasnya pengalaman dan belajarnya dari pada proses pematangan diri. Dengan bertambah besarnya badan, anak-anak mulai mengungkapkan amarah dalam bentuk murung, menggerutu, dan berbagai ungkapan kasar.
Pada masa akhir kanak-kanak, ada waktu dimana anak sering mengalami emosi yang hebat. Karena emosi cenderung kurang menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi menjadi periode ketidakseimbangan, yaitu saat dimana anak sulit dihadapi. Meningginya emosi tersebut dapat disebabkan karena kesadaran fisik dan lingkungan, misalnya karena sakit atau lelah dan karena keadaan keluarga yang mengalami keretakan, kematian atau perceraian.
Perkembangan nilai, moral, dan sikap banyak terjadi melalui warna khas sesuai karakteristik perkembangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan internalisasi nilai-nilai, moral, dan sikap banyak terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggap sebagai model.


3. Perkembangan aspek psikomotorik
Perkembangan psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik, yang berhubungan dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otak. Kemampuan ini terdiri dari lima kelompok, antara lain meniru, memanipulasi, akurasi gerak, artikulasi, dan naturalisasi/otonomisasi.
Perkembangan psikomotorik peserta didik SD memiliki kekhususan antara lain ditandai dengan perubahan-perubahan ukuran tubuh dan proporsi tubuh. Tingkat sosial-ekonomi orang tua juga berpengaruh terhadap anak. Anak yang berasal dari tingkat sosial-ekonomi atas cenderung mempunyai keterampilan yang lebih tinggi dibandingkan anak yang berasal dari tingkat sosial-ekonomi yang rendah. Keterampilan yang dipelajari lebih terpusat pada keterampilan menolong yang bersifat sendiri dan sosial, sedangkan anak dari tingkat sosial-ekonomi menengah dan atas terpusat pada kelompok keterampilan bermain.

C. Perkembangan Peserta Didik Periode Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Dalam tahap perkembangannya, peserta didik usia SMP berada pada periode perkembangan yang sangat pesat dari segala aspek. Berikut ini disajikan perkembangan tersebut yang berhubungan dengan pendidikan, yaitu perkembangan aspek kognitif, afktif, dan psikomotorik.
1. Perkembangan aspek kognitif
Menurut Piaget anak-anak SMP, yaitu usia 11-15 tahun berada pada periode formal operasional. Pada tahap ini operasi mental pada anak tidak lagi terjadi pada objek konkret, tapi juga dapat diaplikasikan pada kalimat verbal atau logika, yang tidak hanya menjangkau kenyataan melainkan juga kemungkinan, tidak hanya menjangkau masa kini tetapi juga masa depan.
Dengan demikian pada tahap ini peserta didik sudah dapat berfikir secara abstrak dan hipotetis sehingga mereka mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi yang merupakan sesuatu yang bersifat abstrak.
Peserta didik pada tahap formal operasional dapat mengintegrasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana untuk masa depan. Mereka juga mampu berfikir secara sistematik, mampu berfikir bukan hanya dalam apa yang terjadi tetapi berfikir dalam kerangka apa yang mungkin terjadi. Mereka memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan permasalahan. Sebuah mobil yang tiba-tiba mogok misalnya, bagi peserta didik yang berada pada tahap operasional konkret (SD) akan mengambil kesimpulan bahwa mobil bensinnya habis, jadi mogok. Dia hanya menghubungkan sebab-akibat dalam satu rangkaian. Lain halnya dengan peserta didik pada tahap formal operasional (SMP), dia memikirkan beberapa kemungkinan mengapa mobilnya mogok, seperti mungkin businya mati, mungkin platinanya atau kemungkinan-kemungkinan lain yang membrikan dasar bagi pemikirannya.
2. Perkembangan aspek afektif
Keberhasilan proses pendidikan juga ditentukan oleh keberhasilan dalam perkembangan aspek afektif peserta didik. Bloom memberikan definisi tentang aspek afektif yang terbagi atas lima tataran afektif yang berimplikasi pada peserta didik di SMP sebagai berikut :
a. Sadar akan situasi, fenomena di masyarakat dan objek di sekitarnya.
b. Responsih terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka.
c. Mampu menilai.
d. Sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada.
e. Sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut.
Faktor individu yang lebih spesifik dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting dalam penguasaan materi pendidikan meliputi :
a. Self-esteem, yaitu penghargaan seseorang yang diberikan seseorang kepada dirinya.
b. Inhibition,yaitu sikap mempertahankan diri atau melindungi ego.
c. Anxiety, yaitu kecemasan yang meliputi rasa frustasi, khawatir, tegang, dan sebagainya.
d. Motivastion, merupakan dorongan untuk melakukan suatu kegiatan.
e. Risk-taking, yaitu keberanian mengambil resiko.
f. Empati, yaitu sifat yang berkaitan dengan pelibatan diri individu pada perasaan orang lain.
3. Perkembangan aspek psikomotorik
Perkembangan aspek psikomotorik ini juga merupakan salah satu aspek yang perlu diketahui oleh guru. Perkembangan aspek-aspek psikomotorik peserta didik SMP melalui tahap-tahap berikut ini :
a. Tahap kognitif
Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Hal ini terjadi karena peserta didik masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Mereka harus berfikir terlebih dahulu sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini peserta didik sering membuat kesalahan yang kadang-kadang membuat mereka merasa frustasi.
Melakukan kesalahan atau percobaan merupakan hal yang penting dalam proses pendidikan. Seseorang yang pernah melakukan suatu kesalahan diharapkan dapat mengambil pelajaran dari segala hal yang terjadi.
b. Tahap asosiatif
Pada tahap ini peserta didik membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakan yang akan dilakukannya. Mereka mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenalnya. Tahap ini merupakan tahap pertengahan dalam perkembangan aspek psikomotorik peserta didik.
Gerakan-gerakan pada tahap ini belum merupakan gerakan-gerakan yang bersifat otomatis. Pada tahap ini anak berfikir untuk melakukan gerakan yang akan dilakukannya lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Karena waktu yang digunakan relatif pendek, maka gerakan-gerakannya sudah mulai tidak kaku dan lambat.
c. Tahap otonomi
Pada tahap ini peserta didik telah mencapai tingkat otonomi yang tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun mereka tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap otonomi dikarenakan peserta didik sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan. Pada tahap ini, gerakan-gerakan mereka telah dilakukan secara spontan sehingga gerakan-gerakan yang dilakukannya tidak harus dipikirkanya terlebih dahulu.

D. Perkembangan Peserta Didik Periode Sekolah Menengah Atas (SMA)
Psikolog memandang anak usia SMA sebagai individu yang berada pada tahap yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan individu. Ketidakjelasan ini karena mereka berada pada periode transisi, yaitu dari periode kanak-kanak menuju periode orang dewasa. Pada masa tersebut mereka melalui masa yang disebut masa remaja atau pubertas. Umumnya mereka tidak mau dikatakan sebagai anak-anak tapi jika mereka disebut sebagai orang dewasa, mereka secara riil belum siap menyandang predikat sebagai orang dewasa.
Ada perubahan-perubahan yang bersifat universal pada masa remaja, yaitu meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikis, perubahan tubuh, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial tertentu untuk dimainkannya yang kemudian menimbulkan masalah, berubahnya minat, perilaku, dan nilai-nilai, bersikap mendua (ambivalen) terhadap perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut akhirnya berdampak pada perkembangan kognitif, afektif, dan juga psikomotorik mereka.
1. Perkembangan aspek kognitif
Pada masa remaja terjadi kematangan intelektualitas yang berkembang bersamaan dengan kematangan organ seksualnya. Dalam QS An-Nisa dijelaskan bahwa seseorang yang telah cukup umur untuk nikah dianggap telah memasuki kematangan intelektual.
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin; jika mereka menurutmu telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya; dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa...” (QS An-Nisa : 6)
Selain terjadi perubahan fisik dan sosial, juga terjadi perubahan dalam cara berfikir dan pengolahan informasi. Pada saat remaja mereka mengalami periode individualisasi, di mana mereka mengembangkan identitas diri mereka dan membentuk pendapat sendiri yang mungkin berbeda dengan orang tuanya. Mereka mengalami deidelalisasi terhadap orang tua. Remaja mulai menyadari bahwa orang tua mereka tidak selalu benar. Akibatnya, sering terjadi konflik antara orang tua dan anak remaja, yang umumnya berkisar pada perbedaan antara orang tua dan anak remaja tentang bagaimana mereka memandang dan mendefinisikan aturan keluarga dan aturan sosial lainnya.
Remaja mulai merasa bahwa pemecahan masalah merupakan pilihan pribadi, bukan pendapat orang tua. Meskipun konflik di atas dapat menimbulkan masalah, tapi hal tersebut merupakan perkembangan yang normal, bukan merupakan suatu ancaman terhadap hubungan antara orang tua dan anak. Selain harus berfikir kritis, hendaknya remaja juga menyadari bahwa mereka harus menghargai orang tuanya dan tetapt meminta nasehat-nasehatnya. Oleh karena itu konflik antara mereka akan menjadi proses untuk menjadi orang dewasa bagi anak.
Untuk menunjukkan kematangannya, remaja terutama laki-laki juga sering terdorong untuk menentang otoritas guru di SMA, sehingga mereka menjadi target dan pemberontakkan mereka. Cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakkan remaja adalah :
a. Mencoba untuk mengerti mereka.
b. Melakukan segala sesuatu untuk membantu mereka agar berprestasi dalam bidang ilmu yang diajarkan. Jika para guru menyadari untuk mengembangkan keterampilan-keteranpilan pada diri peserta didiknya walaupun dalam cara yang terbatas, maka pemberontakkan dan sikap permusuhan di kelas akan dapat dikurangi.
2. Perkembangan aspek afektif
Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress, yaitu terjadinya pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12-21 tahun) terdapat beberapa fase, antara lain :
a. Fase remaja awal (12-15 tahun)
b. Fase remaja pertengahan (15-18 tahun)
c. Fase remaja akhir (18-21 tahun)
Di antara fase-fase tersebut juga terdapat fase pubertas (11/12-16 tahun) yang terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak lepas dari bermacam-macam pengaruh, seperti pengaruh lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya, serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka tertuntut untuk menyesuaikan diri secara efektif. Proses penyesuaian diri tersebut tak jarang menimbulkan masalah bagi remaja, misalnya remaja menjadi sering melamun, mudah marah, dan menginginkan kebebasan tanpa batas pada dirinya.
Sehubungan dengan emosi remaja yang sering melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya upaya yang dapat guru lakukan adalah memperlakukan peserta didik seprti orang dewasa yang penuh dengan rasa tanggung jawab moral. Dalam hal ini, guru dapat membantu mereka bertingkah laku progresif untuk mencapai keberhasilan dalam pekerjaan atau tugas-tugas sekolahnya. Salah satu cara yang mendasarinya adalah dengan memotivasi mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Bila ada ledakan-ledakan kemarahan pada diri remaja, sebaiknya guru memperkecil ledakan emosi tersebut dengan jalan dan tindakan yang bijaksana, lemah lembut, merubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan peserta didik tetap tak bisa diredam, guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan konseling.
Bertambahnya kebebasan pada para remaja bagaikan menambah “bahan bakar terhadap api”, jika keinginan-keinginannya dihambat atau dirintangi oleh orang tua dan gurunya. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan meminta peserta didik mendiskusikan perasaan-perasaan mereka. Penting bagi guru untuk memahami alasan-alasan pemberontakkan mereka dan guru harus menekankan pentingnya bagi remaja untuk mengendalikan dirinya karena hidup di masyarakat harus menghormati dan menghargai keterbatasan-keterbatasan dan kebebasan individu.
3. Perkembangan aspek psikomotorik
Kemampuan psikomotorik ini berkaitan dengan keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otak. Perkembangan psikomotorik yang dilalui oleh peserta didik SMA memiliki kekhususan yang antara lain ditandai oleh perubahan-perubahan ukuran tubuh, ciri kelamin yang primer, dan ciri kelamin yang sekunder. Perubahan-perubahan tersebut dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu percepatan pertumbuhan dan proses kematangan seksual yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Perubahan-perubahan fisik tersebut merupakan gejala umum dalam pertumbuhan peserta didik SMA. Perubahan-perubahan fisik tersebut bukan hanya berhubungan dengan bertambahnya ukuran tubuh dan berubahnya proporsi tubuh saja, akan tetapi juga meliputi ciri-ciri yang terdapat pada kelamin primer dan sekunder. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengikuti irama tertentu. Hal ini terjadi karena pengaruh faktor keluarga, gizi, emosi, jenis kelamin, dan kesehatan.
Peubahan-perubahan yang dialami peserta didik SMA mempengaruhi perkembangan tingkah laku yang ditampakkan pada perilaku yang canggung dalam proses penyesuaian diri mereka, isolasi diri dan kelompok dari pergaulan, perilaku emosional, imitasi berlebihan, dan lain-lain.