A. Potret Pendidikan di Madrasah
Sejatinya madrasah dalam peta dunia pendidikan di Indonesia bukanlah suatu lembaga yang indegenous (pribumi). Setidaknya hal ini dapat dilihat dari kata ”madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia, yakni ”sekolah”, (kata ini juga sebenarnya bukanlah kata asli Indonesia melainkan bahasa Inggris ”school”, namun kata ini dialihkan dan dibakukan menjadi bahasa Indonesia.
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya adalah, di madrasah inilah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madsarah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madarasah ini mempunyai konotasi spesifik. Yakni sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya menitikberatkan pada persoalan agama. Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak peserta didiknya, madrasah dalam kegiatan pembelajarannya mulai menambah dengan mata pelajaran umum yang tidak melepaskan diri dari makna asalnya yang sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
1. Madrasah dalam perspektif historis
Madrasah lahir pada kurun awal abad 20 M, yang saat itu dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Memasuki abad 20 M, banyak orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda dan penetrasi Kristen terhadap muslim pribumi. Munculnya kesadaran kritis tersebut di kalangan umat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kiprah kaum terdidik lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah yang telah banyak menyerap semangat pembaruan (modernisme) di sana, sekembalinya ke tanah air mereka melakukan pengembangan pendidikan baru yang lazim disebut madrasah dengan menerapkan metode dan kurikulum baru.
Munculnya madrasah menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis awal kemunculan madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Dari sini dapat diartikan bahwa munculnya madrasah mengandung kritik pada lembaga pendidikan sebelumnya, yakni pondok pesantren. Dapat dikatakan munculnya madrasah sebagai usaha untuk pembaruan dan menjembatani hubungan antara sistem tradisional (pesantren) dengan sistem pendidikan modern. Dan hal ini juga merupakan upaya penyempurnaan terhadap sistem pendidikan di pondok pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah yang umum. Maka tak heran belakangan banyak bermunculan madrasah dilingkungan pondok pesantren.
Selain bentuk dari kritikan atas pesantren, Berdirinya madrasah pada lingkungan pondok pesantren ini awal mulanya adalah untuk menampung keinginan dari para santri yang tidak hanya ingin mengaji semata namun juga ingin sekolah pada lembaga pendidikan formal yang kemudian pada akhirnya mendapatkan ijazah. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari beberapa wilayah di pulau jawa, madura, sumatera dan kalimantan yang banyak sekali bermunculan madrasah pada lingkungan pondok pesantren.
Banyaknya madrasah yang bermunculan pada lingkungan pondok pesantren ini, kemudian oleh Mukti Ali sering disebut dengan Madrasah dalam Pesantren. Kemudian dalam perkembanganya model madrasah yang seperti ini sering di istilahkan sebagai Madrasah Berbasis Pesantren. Maraknya madrasah pada lingkungan pesantren menurut Steenbrink tidak serta merta kemudian menghapus tradisi pesantren yang sudah ada dan bertahan lama, hal ini setidaknya dapat dilihat dari tradisi-tradisi keagamaan, tradisi intelektual dan tradisi kepemimpinan khas pesantren masih banyak di temukan pada madrasah yang berada di lingkungan pesantren.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui Badan Pekerja Nasional Pusat (BPNIP) sebagai badan legislatif pada saat itu, dalam pengumumannya tertanggal 22 Desember 1945 (berita RI tahun II No. 4 dan 5 halaman 20 kolom 1) berbunyi, ”Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran di lamggar-langgar dan madrasah tetap berjalan terus dan di perpesat”. Setelah pengumuman dibacakan, BPNIP memberi masukan kepada pemerintah saat itu agar madrasah dan pondok pesantren mendapatkan perhatian dan bantuan materil dari pemerintah guna memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga tersebut, karena madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya.
Guna merespon apa yang telah diumumkan dan masukan dari BPNIP kepada pemerintah yang terbentuk, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah membentuk kementerian Agama, kementrian yang baru ini dalam sturktur organisasinya pada bagian C memuat tentang tugas pada bagian pendidikan adalah mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dan masalah-masalah pendidikan di sekolah agama (madrasah dan pondok pesantren). Dan tidak lama kemudian Menteri Agama yang pada saat itu di jabat oleh K.H. Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1946 tentang pemberian bantuan kepada madrasah yang kemudian di sempurnakan dan terakihr dengan peraturan Mentri Agama no. 3 tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada Perguruan Agama Islam. Kemudian guna mengantisipasi adanya dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, maka Menteri Agama pada saat itu mengajurkan kepada semua madrasah untuk memasukan tujuh mata pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu, pelajaran membaca dan menulis, ilmu hitung, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olah raga.
Untuk memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan di madrasah dan mengembangkan sistem pendidikan nasional yang integral, kementrian Agama yang saat itu dijabat oleh Mukti Ali pada tahun 1975 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 037/U/1975 dan No. 36 Tahun 1975 pada tanggal 24 Maret 1975 beserta Instruksi Presiden no. 15 Tahun 1974 pada sidang kabinet terbatas tertanggal 26 November 1974. Adapun substansi dari SKB tersebut adalah:
a. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
b. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
c. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah. Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku bagi madrasah.
Kalau kita lihat dari sejarah sosial pendidikan, dinamika munculnya madrasah adalah merupakan manifestasi dari perubahan tuntutan sosial umat Islam dari waktu ke waktu untuk menuntut adanya kualitas pendidikan yang baik dan bermutu dengan tidak melepas pada akarnya yakni sistem pendidikan pondok pesantren. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah yang ada untuk peduli dan memperhatikan eksistensi dari lembaga pendidikan yang asli pribumi (Pondok Pesantren) dengan lembaga yang merupakan hasil dialektika antara pendidikan tradisional dengan pengaruh pendidikan modern barat, yakni madrasah Kita perlu jujur bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam ini sampai sekarang masih tergolong kelas rendahan dengan mutu dan kualitas yang jauh berbeda dengan lembaga pendidikan umum. Ia harus mendapat dukungan penuh dari pelbagai sumber, terutama pemerintah yang dalam pemberian dukungannya harus steril dari aroma politik dan ekonomi, agar lembaga pendidikan Islam ini bisa terus eksis mendampingi dan mengawal perjalanan bangsa pada kemudian harinya.
2. Dinamika madrasah
Dalam konteks keIndonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah.
Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini masing-masing mempunyai ciri khas. Di tengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit di antara lembaga pendidikan yang ada terjadi persaingan. Kenyataan di lapangan perebutan dan kompetisi memang benar terjadi, dan tidak jarang juga kita temukan di lapangan kompetisi antar lembaga pendidikan yang ada sering tidak fair dan menimbulkan kecemburuan satu sama lainnya.
Bentuk ketidak fair-an antar lembaga pendidikan yang ada juga diwujudkan dalam bentuk ketidak obyektifan dalam menilai lembaga pendidikan yang ada. Dahulu pondok pesantren sering mendapatkan stigma negatif dari sebagian masyarakat, lembaga pendidikan kolot, kumuh, ndeso, tidak maju, dan lembaga akhirat adalah beberapa stigma yang sering dinisbatkan pada lembaga pendidikan murni pribumi ini, tentunya hal ini menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan Pondok Pesantren, banyak masyarakat yang kemudian ragu menempatkan anak-anaknya menuntut ilmu di Pondok Pesantren, padahal sejatinya stigma-stigma negatif yang bermunculan di masyarakat tidaklah benar semua, kalapun ada itu hanya seberapa yang tidak cukup mewakili dari sekian banyak Pondok Pesantren yang ada di Indonesia.
Sekolah dan madrasah pun tak luput dari stigma negatif yang muncul pada sebagian masyarakat. Sekolah sering mendapatkan pandangan sebagai lembaga pencetak kader kapitalis, mementingkan kehidupan sekuler dan masih banyak lainnya. Kualitas tidak jelas, berpikir mundur, banyak beban pelajaran dan sekolahnya anak desa adalah beberapa stigma negatif yang muncul terhadap madrasah. Dari sekian banyak stigma negatif yang bermunculan di masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tugas para pendidik termasuk pemerintah untuk membenahinya sedikit demi sedikit, jika hal ini tidak segera ditindak lanjuti akan menimbulkan sikap apriori dan masa bodoh masyrakat terhadap beberapa lembaga pendidikan yang ada, yang kemudian berakibat enggannya masyarakat untuk mencari ilmu dan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang ada.
Dalam sejarahnya, madrasah akhir-akhir ini telah berkembang dan menjadi pendidikan alternatif yang menjadi rujukan dan model bagi pendidikan lain di Nusantara. Madrasah dalam arti formal, yaitu MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah) merupakan pengembangan dari madrasah diniyah atau sekolah keagamaan yang cenderung seperti lembaga pengajian. Secara umum, potensi dan kelemahan yang dimiliki madrasah antara lain :
a. Madrasah memiliki potensi besar sebagai sekolah umum bercorak Islam yang berusaha memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum yang kemudian disebut dengan Sekolah Dasar (SD) plus.
b. Upaya tersebut mengalami kendala besar, khususnya terkait dengan ketersediaan SDM profesional dan fasilitas yang memadai.
c. Karena belum memiliki ketersediaan SDM profesional dan fasilitas yang memadai maka masyarakat dan pemerintah pun belum memberikan apresiasi yang cukup kepada madrasah.
d. Madrasah yang ada selama ini masih bisa eksis di tengah gelombang perubahan gaya hidup dan peradaban modern disebabkan karena masih ada guru dan pengurus madrasah yang istiqomah untuk melestarikan madrasah.
e. Sikap konsisten ini sebagian besarnya didasarkan pada komitmen perjuangan untuk kemajuan umat dan ibadah. Meskipun demikian, ada juga pihak yang mau berpartisipasi dalam madrasah karena faktor kasihan dan keterpaksaan.
f. Komitmen yang pertama, yaitu istiqomah merupakan potensi yang luar biasa untuk kemajuan madrasah jika dikelola dengan baik. Sedangkan komitmen yang kedua dan ketiga merupakan bagian dari motivasi ekstrinsik yang bisa berimplikasi pada kualitas kerja yang rendah dan mudah berputus asa.
B. Menjadikan Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Alternatif
Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Sedangkan sajadah dari kata sajjadatun mengandung arti tempat yang banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut artinya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk salat orang per orang. Oleh karena itu karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi tidak disebut sajadah. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriahyang paling nyata dari makna-makna di atas. itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud."
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Quran. Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut menjadi, masjid yang digunakan untuk salat Jum'at disebut Masjid Jami’, karena salat Jum`at diikuti oleh orang banyak maka masjid Jami’ biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk salat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan keperluan, disebut musholla, artinya tempat salat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi nama langgar atau surau.
1. Masjid dalam perspektif historis
Dalam konteks sejarah dakwah, masjid merupakan tempat pertama yang dibangun Rasulullah untuk menunjang aktivitas dakwahnya. Membangun masjid merupakan langkah pertama untuk membangun masyarakat madani. Masjid bukan hanya sebagai tempat solat, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah) tertentu tetapi masjid merupakan majlis untuk mengendalikan seluruh masyarakat (pusat kendali masyarakat).
Masjid pertama yang dibangun oleh Rasululloh adalah masjid Quba, kemudian disusul dengan masjid Nabawi di Madinah. Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai:
a. Tempat ibadah (shalat, zikir).
b. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya).
c. Tempat pendidikan.
d. Tempat santunan sosial.
e. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
f. Tempat pengobatan para korban perang.
g. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
h. Aula dan tempat menerima tamu.
i. Tempat menawan tahanan, dan
j. Pusat penerangan atau pembelaan agama.
2. Fungsi edukasi masjid
Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas,disebabkan antara lain oleh:
a. Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama.
b. Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah). Keadaan itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil-alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan di dalam hal-hal tersebut. Setidaknya ada tiga fungsi masjid, yaitu fungsi religi, fungsi sosial, dan fungsi pendidikan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memakmurkan dan mengembalikan masjid kepada fungsinya sebagai pusat pemberdayaan dan pengembangan kaum muslim, antara lain :
a. Mengintensifkan Kajian-kajian Keislaman (Majelis Ta’lim)
Dewasa ini, masyarakat melihat bahwa keberadaan majelis ta’lim merupakan salah satu alternatif bagi pembinaan mental keagamaan, sesuatu yang selama ini kurang dapat diberikan oleh lembaga pendidikan formal melalui kurikulum yang bersifat intrakurikuler. Pada saat lembaga-lembaga pendidikan formal, baik umum maupun agama, yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta mulai dirasa kurang mampu membina mental keagamaan dan penguasaan terhadap tuntutan praktis dan ajaran agama secara memuaskan. Lembaga-lembaga pendidikan umum dan agama, sulit menghasilkan lulusan yang betul-betul memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama dengan baik. Mereka tidak dapat membaca ayat-ayat al-Quran dengan baik, melaksanakan ibadah shalat dengan baik, kurang giat melakukan ibadah ritual, kurang dapat menjiwai ajaran dan nilai-nilai ajaran agama serta mulai merosot akhlaknya.
Munculnya fenomena tersebut telah banyak dicarikan akar penyebabnya. Di antaranya, kurangnya jam pelajaran agama, kurangnya perhatian dan waktu pembinaan yang dilakukan orang tua di rumah, tidak sebandingnya bekal agama yang dimiliki para peserta didik dengan tantangan arus budaya global yang berdampak negatif, lingkungan yang kurang sehat, dan bergesernya konsep pendidikan menjadi konsep pengajaran yang lebih menekankan pada pengisian otak si anak dengan berbagai pengetahuan.
Sejumlah alasan tersebut memberikan peluang sangat luas dan terbuka bagi majelis taklim untuk menampilkan keberadaannya sebagai wahana dan metode pembelajaran agama yang dinamis dan demokratis, di tengah-tengah keformalan dan keterbatasan metode pembelajaran agama secara klasikal dan konvensional di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan formal lainnya.
b. Melibatkan para pemuda
Tidak diragukan lagi bahwa para pemuda memiliki peran yang sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia secara umum dan masyarakat kaum muslimin secara khusus, karena jika mereka pemuda yang baik dan terdidik dengan adab-adab Islam maka merekalah yang akan menyebarkan dan mendakwahkan kebaikan Islam serta menjadi nakhoda umat ini yang akan mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan Allah telah memberikan kepada mereka kekuatan badan dan kecemerlangan pemikiran untuk dapat melaksanakan semua hal tersebut.
Masjid dalam hal ini tentu saja juga memiliki peran dan posisi yang strategis guna mengawal golongan generasi muda tersebut melewati masa peralihannya yang penuh gejolak itu dengan baik, yaitu utamanya dalam wadah organisasi remaja masjid. Tercatat, saat ini telah mulai banyak berdiri organisasi remaja masjid di banyak masjid dan menjadi bagian resmi dari struktur organisasi kepengurusan masjid. Di dalam organisasi ini, para anggota remaja Islam dibina dan dibentuk karakter kepribadian dan kecerdasannya sehingga kelak mampu menjalani kehidupan yang lebih Islami. Caranya, lewat berbagai macam metode dan kegiatan, di mana minat, bakat, dan kemampuan positif yang dimiliki para remaja tetap dapat diakomodasi dan disalurkan.
Bagi masjid sendiri, keberadaan organisasi remaja masjid sejatinya juga penting dalam mendukung tercapainya kemakmuran masjid yang dicita-citakan. Pasalnya, kendati tanpa remaja kegiatan masjid tetap bisa berjalan, namun secara jangka panjang tidak ada jaminan hal tersebut akan terus berlangsung, bahkan menjadi lebih baik dan bermutu. Bagaimanapun, keadaan masjid pada sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun mendatang, salah satu tolok ukurnya adalah bagaimana kondisi remajanya pada masa sekarang. Bila tidak ada pembinaan dan proses pengkaderan yang terstruktur, berjenjang, dan berkesinambungan sejak dini, bisa dipastikan masa depan masjid bersangkutan akan suram.
Hal demikian kiranya yang masih kurang dipahami oleh sementara kalangan pemimpin masjid. Tidak heran, kalaupun terdapat organisasi remaja masjid, proses awal pembentukkannya tidak melibatkan kalangan remaja secara aktif dan luas. Sementara, dalam praktiknya pun organisasi ini hanya ditempatkan sekadar “pelengkap penderita”, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi atau digerakkan oleh kalangan tua untuk membantu merealisasikan aneka kegiatan masjid. Semisal, yang kerap terjadi, dalam penyelenggaraan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) dan kerja bakti di masjid
c. Membangun perpustakaan masjid
Salah satu faktor penyebab mundurnya peradaban dan umat Islam adalah jauhnya umat Islam dari ilmu pengetahuan (baca: buku). Pembinaan umat yang selama ini berjalan cenderung hanya menggunakan pendekatan komunikasi lisan satu arah yang justru membuat para jamaah terbiasa dengan budaya dengar. Pembinaan terpusat pada dai, ustadz, atau juru dakwah semata. Alhasil, jamaah tidak termotivasi, tidak mandiri, dan menjadi pasif dalam mendalami ajaran Islam.
Membaca merupakan bagian paling penting dari proses menuntut ilmu. Dengan membaca kita jadi tahu apa yang selama ini tidak kita ketahui. Dengan membaca inilah ilmu kita dapatkan, amal bisa kita tegakkan, dan dakwah bisa kita suarakan, Perpustakaan masjid sebagai perpustakaan komunitas bisa menjadi sebuah alternatif yang sangat bagus jika dikelola dengan baik. Bayangkan, jika setiap masjid di kampung dan desa mempunyai perpustakaan, tentu akan semakin mudah bagi masyarakat untuk mengakses bahan-bahan bacaan, Perpustakaan masjid akan menjadi sumber bacaan yang lebih merakyat karena tidak membutuhkan birokrasi yang rumit. Namun kenyataannya, praktek di lapangan sering berbeda dengan kondisi ideal yang diinginkan
C. Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Indigenous Indonesia
Mengenai asal-usul pondok pesantren terdapat dua pandangan yang saling melengkapi, antara lain :
1. Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat tinggal para santri. Menurut profesor Johns, santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan menurut C.C. Berg istilah santri berasal dari bahasa India yaitu shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
2. Pondok pesantren adalah gabungan dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab yaitu funduq, yang berarti pesanggrahan atau penginapan bagi para musafir. Kemudian pondok ini merupakan tempat tinggal para santri.
Pesantren dapat survive sampai hari ini. Hal ini dikarenakan ada tradisi lama yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan. Disamping itu, bertahannya pesantren karena ia tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous).
Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaaan seperti kita lihat sekarang.
Dari keterangan sederhana ini saja kita dapat menarik garis linear tentang apa peranan pesantren dan dimana letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia merdeka. Untuk bangsa yang lebih berkepribadian. Gambaran konkretnya dapat dianalogikan sebuah pesantren Indonesia (ambil sebagai misal Krapyak) sebagai sebuah kelanjutan pesantren di Amerika Serikat (ambil sebagai missal "pesantren" yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston): Krapyak menghasilkan apa yang dapat dilihat oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dan pesantrennya Pendeta Harvard telah tumbuh menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika modern.
Kini di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang selalu berubah-rubah dalam jeda waktu yang tidak lama, apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based Institusion kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung, Cilangkap. Atau misalnya pesantren yang muncul pada tahun 1980-an seperti Pesantren Darun Najah, Cianjur, dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul hakim, al-Kautsar, Darul Arafah di Medan, Mustafawiyyah Purba Baru di Mandiiling-Natal dan ada di sekitarnya sekarang, Darul Hadits Hutabaringin, Darul Ikhlas di Dalan-lidang, dan Pesantren Muara Mais, Darul Hikmah di Pekan Baru dll
D. Potret Pendidikan di Pesantren
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para peserta didiknya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para peserta didik tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang disebut pondok. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak.
Dari potret pendidikan pesantren di atas, maka terdapat minimal lima varian yang teramat penting dalam perjalanan pesantren sebagai lembaga pendidikan, antara lain kyai, pondok, masjid, santri, dan proses pembelajaran kitab-kitab klasik atau yang biasa dikenal dengan kitab kuning.
1. Kyai
Kyai sebenarnya istilah lain dari kata ulama, namun orang jawa dan madura khususnya sering mengistilahkan dan menyebut orang yang mengasuh pondok pesantren dan sangat mendalam ilmu agamanya (Islam) disebut dengan kyai. Sosok Kyai merupakan sosok yang sangat berpengaruh, kharismatik, berwibawa dan peduli dengan derita umatnya. Selain kriteria tersebut kyai sebagian besar di daerah jawa dan madura adalah pendiri dari pondok pesantren yang berada di tengah-tengah masyarakat. Maka tak heran sosok kyai di masyarakat sangat dihormati, dikagumi dan dicintai oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena tidak sedikit para kyai selalu peduli, bermasyarakat dan memperhatikan umat atau rakyat kecil. Dan banyak juga kyai dalam masyarakat sering dijadikan tempat curhat segala persoalan yang terjadi pada masyarakat, dimulai dari masalah minta nama anaknya, pertanian, ekonomi, sosial, politik, budaya, agama hingga persoalan jodoh atau nasib.
Dapat dikatakan sosok Kyai dalam strata sosial masyarakat termasuk berada pada strata sosial yang tinggi hal ini terjadi tidak lepas dari peranannya yang sangat besar untuk memberdayakan masyarakat pada lingkungannya.
Sejak Islam mulai tersebar di pelosok jawa, terutama sejak abad 13 dan 14 Masehi, para kyai sudah mendapatkan status sosial yang tinggi. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, sosok kyai mempunyai bargaining position yang tinggi. Walaupun sebagian besar kyai itu tinggal di desa yang jauh dari pusat kekuasaan dan pemerintahan, namun mereka merupakan bagian dari kelompok elite masyarakat yang disegani sekaligus berpengaruh baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Tidak jarang suara kritis dari kyai dianggap sebagai tindakan makar terhadap Belanda.
Menurut asal muasalnya, sebagaimana telah dirinci oleh Zamakhsyari Dhofier, perkataan atau istilah kyai dalam bahasa jawa sering dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan kramat, misalnya kyai tombak pleret atau Kyai Garuda Kencana yang dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di kraton Yogyakarta. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren. Pada jenis ketiga inilah maksud dari kyai yang terdapat dari pondok pesantren atau dalam bahasa arab sering diistilahkan dengan ulama.
Dalam pandangan al-Qur’an, ulama dlihat sebagai bagian dari umat yang memegang peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan masyarakat yang mardhatillah. Ulama berasal dari bahasa Arab; ’alima, ya;lamu, ;alim yang artinya orang yang mengetahui. Kata ’alim bentuk jamaknya adalah ’alimun. Sedangkan ulama adalah bentuk jamak dari ’alim yang merupakan bentuk mubalaghah, berarti orang yang sangat mendalam pengetahuannya.
Adapun ulama menurut arti terminologi ialah seorang yang ahli ilmu agama Islam, baik menguasai ilmu Fiqh, ilmu tauhid atau ilmu agama lainnya, dan mempunyai integritas kepribadian yang tinggi, berakhlak mulia serta berpengaruh di dalam masyarakat. Namun, pengertian ulama dalam perkembangannya, yaiut berarti orang yang mendalam ilmu pengetahuan , baik ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah SWT. Yang kemudian disebut ’ulum al-din, maupun ilmu pengetahuan yang bersumber dari hasil penggunaan potensi akal dan indera manusia dalam memahami ayat kauniyah yang kemudian disebut dengan ulum al-insaniyah atau al-’ulum atau sains.
Pemahaman yang lebih mudah tentang ulama adalah seorang yang memahami, menguasai dan mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Islam, seperti Tafsir Al Qur’an, Fiqh, tauhid, Nahwu, Shorof, Tasawuf di dalam lembaga pesantren. Banyak ragam dalam menyebut istilah ulama, Orang jawa dan madura sering menyebutnya Kyai, jawa barat sering menyebutnya ajengan, lombok tuan guru dan sumatera barat buya. Jadi sebenarnya kyai yang sering diistilahkan oleh orang jawa dan madura adalah tidak jauh beda dengan istilah Ulama yang terdapat dalam bahasa Arab (Qur’an).
2. Pondok
Salah satu kekhasan dari pondok pesantren adalah semua murid (santri) yang mencari ilmu tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang kyai dengan model menginap. Tempat tinggal sesaat untuk para santri ini yang kemudian oleh orang jawa dipopulerkan dengan istilah pondok.
Pondok, atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas dari tradisi dan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan serupa lainnya baik di dalam ataupun di luar negeri. Seperti halnya yang dilakukan pada negara Afganistan, para murid dan guru yang belum menikah mereka semua tinggal di masjid.
Istilah pondok dengan asrama menurut Saefudin Zuhri berbeda, beliau secara tegas membedakan bahwa pondok bukanlah ”asrama” atau internaat, menurutnya jika asrama telah disiapkan bangunanya sebelum calon penghuninya datang, dan biasanya asrama di bangun oleh kalangan berada dengan keadaan ekonomi yang mapan. Sedangkan pondok justru didirikan atas dasar gotong royong dari santri yang telah belajar di pesantren dengan dibantu oleh masyarakat yang nota bene mereka termasuk kategori ekonomi yang pas-pasan. Maka tak heran hubungan santri atau masyarakat dengan pesantren mempunyai ikatan yang sangat erat, karena adanya rasa memiliki pada lembaga pesantren tersebut, hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Terdapat beberapa sebab mengapa lembaga pendidikan pesantren harus menyediakan pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santri dalam mencari ilmu. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, hal ini merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga untuk keperluan hal itulah seorang santri harus tinggal menetap. Kedua, hampir sebagian besar pesantren berada di desa-desa yang jauh dari keramaian dan kekuasaan serta tidak rersediannya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan demikian diperlukan adanya pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara santri dengan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus.
Selain itu kelebihan dari model pondok ini adalah, terciptanya suasana lingkungan belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara santri dengan santri, juga antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian, tanggung jawab dan pengawasan 24 jam baik dari antar santri ataupun dari kyai, serta masih banyak lagi keunggulan dari pendidikan model pondok. Maka tak heran pada akhir-akhir ini kemudian banyak bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru dengan lembaga pesantren yang didirikan oleh para kyai, hal ini setidaknya dapat dilihat dari munculnya istlilah boarding school (kelas asrama) pada beberapa lembaga pendidikan formal baik yang negeri ataupun swasta.
3. Masjid
Kedudukan msajid sebgai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi univesalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses yang berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya. Dimanapun kaum muslimin berada masjid sebagai pilihan ideal bagi tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan kultural, bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling representatif untuk menyelenggarakan pendidikan.
Posisi Masjid di kalangan pesantren mempunyai makna sendiri. Menurut KH. Abdurahman Wahid, masjid sebagai tempat untuk mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, keberadaannya di tengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada pegunungan. Hal ini sebagai indikasi bahwa nilai-nilai kultural masyarakat setempat dipertimbangkan untuk dilestarikan oleh pesantren.
4. Santri
Santri adalah istilah lain dari murid atau peserta didik yang mencari ilmu pada lembaga pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren. (Adapun Asal muasal kata santri dapat dilihat pada halaman sebelumnya). Dalam dunia pesantren istilah santri terbagi menjadi dua kategori.
Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang hendak bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim, santri tidak perli disibukan dengan membawa perlengkapan tidur seperti layaknya dirumah. Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan tanggungjawab. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren terebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga bertanggung jawab mengajar santri-santri yunior tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Mereka bolak-balik (ngelaju) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim dari pada santri kalong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Dan sebaliknya, pesantren kecil memliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.
5. Kitab kuning
Kitab kuning adalah ungkapan dari beberapa kitab klasik yang sering dikaji dan dipelajari oleh para santri dan kyai. Biasanya kertas-kertas pada kitab yang dikaji sudah lama usianya akan berubah menjadi kuning, oleh karenanya istilah kitab kuning ini muncul. Yang biasanya dikaji dalam dunia pesantren adalah kitab-kitab klasik madzhab syafi’i dalam bentuk bahasa arab tanpa disertai harakat, kitab ini juga sering disebut dengan kitab gundul. Hal ini adalah merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia khususnya Jawa dan Madura.
Sebagian besar pondok pesantren yang terdapat di daerah Jawa dan Madura masih menggunakan dan melestarikan pendalaman Kitab Kuning, walaupun pada perkembangannya banyak juga pondok pesantren yang menambah atau merubah kurikulum dengan tidak melulu mengkaji dan mempelajari kitab kuning. Kitab-kitab kuning yang sering diajarkan pada pondok pesantren secara garis besar dapat dibagi menjadi delapan (8) kelompok :
a. Nahwu dan Sharaf (sering diistilahkan dengan ilmu alat).
b. Fiqh.
c. Ushul Fiqh.
d. Hadis.
e. Tafsir.
f. Tauhid.
g. Tasawuf dan etika
h. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Terdapat dua model yang digunakan dalam pengkajian kitab kuning. Model pertama adalah sorogan, santri satu persatu secara bergantian mengaji atau membaca kitab tertentu dengan kyai secara langsung. Dimana peran kyai dalam model ini sebatas hanya menyimak bacaan yang dibacakan oleh santri dengan disertai penjelasan, di sini peran santri harus aktif dalam proses pembelajaran. Kedua, bandongan, pada model kedua ini peran kyai sangat aktif dalam proses pembelajaran, di sini kyai membaca salah satu kitab disertai dengan penjelasan dengan diikuti oleh sebagian besar santri yang ikut menerjemahkan kitab yang dibaca oleh kyai. Dan biasanya bahasa yang sering digunakan dalam menerjemahkan kitab adalah bahasa Jawa.
Selain kedua model di atas yang digunakan dalam proses belajar di pondok pesantren, terdapat satu lagi model pembelajaran yang juga sering digunakan oleh sebagian besar pondok pesantren di Jawa dan Madura, yakni musyawarah. Dalam kelas musyawarah sistem pembelajarannya sangat jauh berbeda dengan sistem sorogan dan bandongan. Disini Para santri harus mempelajari kitab yang ditunjuk. Dalam memimpin kelas musyawarah peran kyai seperti dalam seminar dan lebih banyak dalam bentuk dialog atau tanya jawab, biasanya keseluruhan prosesnya menggunakan bahasa Arab, dan ini adalah merupakan ajang latihan bagi para santri untuk menguji keterampilanya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi kitab-kitab Islam klasik. Dan biasanya dalam kelas atau forum musyawarah ini, sebelum menghadap kyai para santri mendiskusikan terlebih dahulu beberapa persoalan antar mereka sendiri dengan menunjuk salah satu menjadi juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang akan disodorkan ke kyainya. Setelah itu baru terjadi forum diskusi bebas.
Setelah kita memahami lebih jauh tentang pondok pesantren, sangat terasa betapa hebat dan luar biasanya para kyai dalam mencoba mendesain lembaga pendidikan yang sesuai dengan keadaan Nusantara (Indonesia), yang tentunya lembaga pondok pesantren ini berbeda dengan lembaga pendidikan formal lainnya yang berkembang di masyarakat kita. Sebagian besar lembaga pendidikan formal yang berkembang di masyarakat adalah mengadopsi pada sistem pendidikan barat (Belanda) sebagai salah satu peninggalan yang diwariskan oleh Belanda pada masa penjajahan.
Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam. Menurutnya dalam sejarah tradisi intelektual Islam pada mulanya adalah melahirkan pakar-pakar ilmu agama, seperti Ibn Abbas dalam tafsir, Abdullah ibn Mas’ud dalam fiqh dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar