Kamis, 30 September 2010

BAB VII POTRET GURU

A. Guru : Terhormat tapi Melarat

Hymne Guru

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Keterangan :
Pahlawan tanda jasa adalah sebutan bagi para guru.

Guru merupakan profesi yang mengalami pasang surut dalam percaturan dunia keprofesian. Kalaulah dulu guru dianggap profesi sakral, membanggakan yang terlihat ketika dengan bangganya seorang yang bermantukan seorang guru, tapi saat ini disinyalir menjadi profesi yang termarginalkan. Ini terlihat dari banyaknya generasi penerus yang sedikit bercita-citakan menjadi seorang guru. Mereka cenderung menjadikan dokter, insinyur, pilot sebagai pilihan profesi di masa depan. Ada berbagai macam alasan yang dikemukakan akibat ketidakmauan mereka, namun yang jelas kesejahteraanlah yang menempati urutan pertama bagi seseorang untuk tidak memilih guru sebagai profesinya.
Sungguh memprihatinkan nasib guru kita (guru, ustad kyai), terlebih jika kita melihat nasib guru di lembaga pendidikan swasta. Peserta didik mereka kini ada yang menjadi politisi, pejabat, polisi, tentara dan banyak profesi lainnya, tapi nasib guru swasta tetaplah sama seperti dulu, mereka hidup terhormat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tapi mereka sekalligus melarat.
Kenyataan ini diperkuat dengan berita yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu dari tujuh negara yang dinilai oleh organisasi guru internasional tidak memperdulikan bidang pendidikan. Cermin ketidak pedulian tersebut terlihat dari rendahnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan untuk pendidikan. Selain itu, pemerintah Indonesia juga dinilai kurang memberikan perhatian pada kesejahteraan guru, di samping juga pendidikan di negeri kita juga dinilai masih bersifat diskriminatif. Batas waktu bagi peringatan ini adalah tahun 2002. Jika peringatan itu tidak digubris maka bantuan luar negeri sangat mungkin akan dihentikan.
Pada 2009, APBN yang dialokasikan untuk pendidikan dinaikkan persentasenya. Ini merupakan perkembangan yang cukup menggembirakan. Meski demikian, kekhawatiran masih kuat, khususnya bagi guru di lembaga pendidikan swasta yang masih didiskriminasi dan belum ada tanda-tanda kemajuan. Tunjangan bagi guru dari pemerintah yang berasal dari APBN dan APBD merupakan bentuk pemerataan kemiskinan bagi guru, tunjangan yang mereka terima besarnya hampir sama dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan oleh warga negara Indonesia yang tergolong miskin.
Bagi bangsa Indonesia teguran tersebut bukanlah hal baru dan aneh karena kesejahteraan sebagian besar guru masih jauh di bawah standar layak. Terlebih bagi para guru agama di TPQ, madrasah diniyah dan pesantren yang semenjak Indonesia merdeka hingga kini belum terjamah oleh tangan sakti negara ini menuju ke arah kesejahteraan hidup mereka.
Tanggung jawab guru sebenarnya berat, terlebih para guru agama di TPQ, madrasah diniyah, dan pesantren. Oleh karena itu pemerintah juga harus memperhatikan kepada lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut dan juga para pendidiknya.

B. Guru : Antara Profesi dan Kewajiban Agama
Ada pemikiran yang patut diperbincangkan di sini berkaitan dengan guru. Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 merupakan legalitas formal yang mengakui guru sebagai jabatan profesional dan bermartabat. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Jika guru merupakan jabatan profesional maka harus ada kualifikasi dan kode etik yang baku yang harus ditaati oleh semua guru dan masyarakat. Implikasinya, tidak semua orang bisa menjadi guru. Setiap orang yang menjadi guru harus melalui jalur pendidikan khusus yang mencetak guru-guru profesional atau paling tidak mereka harus lulus training di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang diakui.
Ada beberapa alasan rasional dan empirik yang menjadikan guru sebagai sebuah profesi, antara lain :
1. Bidang tugas guru memerlukan perencanaan yang mantap dan pengendalian yang baik.
2. Bidang pekerjaan mengajar memerlukan dukungan ilmu teoritis pendidikan dan pengajaran.
3. Bidang pendidikan ini memerlukan waktu lama dalam masa pendidikan dan latihan, sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tenaga keguruan.
Syarat suatu profesi adalah sebagai berikut :
1. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dari pada kepentingan pribadi.
2. Seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan spesialisasi yang mendukung keahliannya.
3. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut dan mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
4. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap, serta cara kerja.
5. Menuntut suatu tata aktivitas intelektual yang tinggi.
6. Membentuk organisasi yang dapat meningkatkan standar profesi, disiplin diri dalam profesi serta kesejahteraan anggotanya.
7. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian.
8. Memandang profesi sebagai suatu karakter hidup dan memandang keanggotaan dalam profesi sebagai sesuatu yang permanen.
Berkaitan dengan penjelasan di atas maka karakteristik profesi bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Jabatan yang memerlukan pendidikan yang panjang dan menyangkut pengetahuan dan keterampilan khusus.
2. Adanya sistem ujian yang berkaitan dengan kemampuan teoritis dan praktis sehingga benar-benar memilki otoritas dan kewenangan dalam tugasnya.
3. Adanya organisasi profesi yang memelihara kepentingan, kewenangan, dan mutu profesi.
4. Adanya kode etik dan sumpah jabatan yang menjadi pegangan anggota profesi dalam bertugas.
5. Adanya standar pengetahuan dan keterampilan khusus yang terus dipelihara, dikembangkan, dan membedakannya dengan profesi lain.
Sedangkan kualifikasi utama profesi antara lain :
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan radiks dalam bidang yang dikerjakan.
2. Memiliki kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan bidangnya.
3. Memiliki karakter atau kepribadian yang membuatnya dihargai, dibanggakan, dan diterima kliennya.
Upaya mewujudkan guru profesional bukan masalah yang sederhana. Mewujudkan guru profesional terkait dengan banyak faktor yang sangat kompleks. Upaya mewujudkan guru profesional dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain:
1. Perbaikan sistem pendidikan dan pembinaan guru.
2. Perbaikan kesejahteraan guru.
3. Peningkatan peran organisasi profesi
Namun secara teknis dan akademis memberlakukan pendidik sebagai jabatan profesi tampaknya agak sulit direalisasikan. Sampai saat ini masih banyak guru tidak berasal dari latar belakang studi kependidikan, tetapi hanya karena mereka merasa terpanggil untuk mengabdi pada bangsa atau sekedar bekerja sambilan sebelum ada pekerjaan lain yang lebih tepat dan layak.
Secara teologis juga diyakini bahwa mengajar merupakan bagian dari tugas keagamaan di samping juga tugas kemanusiaan yang harus diemban oleh siapapun juga. Setiap muslim diberi tugas menyampaikan ilmu walaupun satu disiplin keilmuan saja sebab jika tidak mereka justru akan terbelenggu dengan api neraka. Di sisi lain seorang muslim juga diwajibkan mencari ilmu dan sekaligus memahaminya, termasuk ilmu sosial dan ekonomi yang terkait erat dengan kehidupannya. Ibadah akan ditolak jika seorang muslim tidak mengetahui ilmunya. Dengan demikian ilmu merupakan kebutuhan umat yang harus dikejar walau ke negei China sekalipun, namun demikian ada kewajiban bagi yang memilikinya untuk menyebarluaskannya.
Dengan demikian dalam Islam keilmuan bersifat populis dan elitis. Penyebaran dan pencarian ilmu merupakan keniscayaan yang melekat dalam kehidupan setiap insan tanpa dibatasi oleh struktur sosial-politik dan ekonomi. Oleh karena itu, wacana yang berkembang tentang mutu guru adalah integrasi antara penguasaan substansi ajar dan didaktik-metodiknya agar dapat menembus setiap kalangan dan status sosial-ekonomi.

C. Kualifikasi Akademik, Kompetensi, dan Sertifikasi Guru
1. Kualifikasi akademik guru
Salah satu aktor pendidkikan adalah guru karena guru adalah orang yang langsung berinteraksi dengan anak didik, memberikan keteladanan, motivasi, dan inspirasi untuk terus bersemangat dalam belajar, berkarya, dan berprestasi. Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 pasal 9 disebutkan bahwa kualifikasi akademik guru adalah S1 atau D IV baik bagi guru yang mengajar di TK, SD, SMP, maupun SMA.
Pendidik yang memiliki kualifikasi tinggi dapat menciptakan dan mendesain materi pembelajaran yang lebih dinamis dan konstruktif. Mereka juga akan mampu mengatasi kelemahan materi dan subjek didiknya dengan menciptakan suasana lingkungan yang kondusif dan strategi mengajar yang aktif dan dinamis. Dengan adanya guru yang memiliki kualifikasi tinggi maka kompetensi lulusan (output) pendidikan akan dijamin sehingga mereka mampu mengelola potensi diri dan mengembangkannya secara mandiri untuk menatap masa depan gemilang yang sehat dan produktif.
Secara umum tugas guru menurut Islam ialah mengupayakan perkembangan potensi seluruh peserta didik. Guru tidak saja mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga menstransfer nilai-nilai ajaran Islam. Guru menentukan kepribadian peserta didik bahkan juga dapt mengangkat dan meluhurkan martabat suatu umat. Allah memerintahkan kepada umat manusia agar sebagian di antara mereka ada yang berkenan memperdalam ilmu dan menjadi pendidik (QS. At-taubah : 122) guna meningkatkan derajat diri dan peradaban dunia, dan tidak semua bergerak ke medan perang.
2. Kompetensi guru
Guru membawa amanah ilahiyah untuk mencerdaskan kehidupan umat manusia dan mengarahkannya untuk senantiasa taat beribadah kepada Allah dan berakhlak mulia. Oleh karena tanggung jawabnya, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesional, pedagogik, sosial, maupun kepribadian. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
a. Kompetensi profesional
Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secar luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan.
b. Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik meupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi :
1) Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan.
2) Pemahaman terhadap peserta didik.
3) Pengembangan kurikulum dan silabus.
4) Perancangan pembelajaran.
5) Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis.
6) Pemanfaatan teknologi pembelajaran.
7) Evaluasi hasil belajar.
8) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
c. Kompetensi sosial
Kompetensi sosial ialah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, wali peserta didik, dan masyarakat. Kompetensi ini sekurang-kurangnya meliputi :
1) Berkomunikasi secara lisan, tulisan, dan isyarat.
2) Menggunakan teknologi informasi komunikasi secara fungsional.
3) Bergaul secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, wali peserta didik, dan masyarakat.
4) Bergaul secara santun dengan mastarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku.
5) Menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
d. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, serta menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Tanpa mengabaikan kompetensi yang lainya, menurut Zakiyah Daradjat, kompetensi sosial dan kepribadian merupakan kompetensi yang terpenting. Dalam hal ini ada korelasi yang erat antara kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Dari kompetensi kepribadian, guru dapat dievaluasi apakah ia seorang guru yang baik atau tidak. Kepribadian yang utuh meliputi tingkah laku maupun tata bahasanya. Sebab, kepribadian guru akan mudah diperhatikan dan ditiru oleh peserta didiknya, termasuk budi bahasanya. Oleh karena itu menurut Imam Zarnuji, guru seharusnya adalah seorang yang alim, wara’, dan lebih tua (dewasa). Persyaratan ini penting dipenuhi oleh guru sebab guru menjadi simbol personifikasi bagi subjek didiknya.
Lebih lanjut, Athiyah al-Abrasyi memberikan syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut :
a. Zuhud dan ikhlas.
b. Bersih lahir dan batin.
c. Pemaaf, sabar, dan mampu mengendalikan diri.
d. Bersifat kebapakan atau keibuan (dewasa)
e. Mengenal dan memahami peserta didik dengan baik.
Ternyata tidaklah mudah dalam menjadi guru. Kepribadian guru harus merupakan refleksi dari nilai-nilai Islam yang dianutnya. Guru yang baik tetap berproses untuk meningkatkan kualitas ilmu, strategi pembelajaran, maupun kepribadiannya. Guru yang merasa sudah baik berarti ia bukan guru yang baik karena hal tersebut merupakan pertanda bahwa ia enggan berproses menjadi lebih baik. Guru yang ideal adalah guru yang pada saat bersamaan siap menjadi peserta didik yang baik, yang senantiasa menuntut ilmu dan keterampilan sundul langit. Ini merupaka sikap mandiri dalam belajar, yang berarti tetap belajar meski telah menjadi pengajar.
3. Sertifikasi guru
a. Latar Belakang Sertifikasi
Guru adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 ayat 1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Mengacu pada landasan yuridis dan kebijakan tersebut, secara tegas menunjukkan adanya keseriusan dan komitmen yang tinggi pihak Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan penghargaan kepada guru yang muara akhirnya pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Sesuai dengan arah kebijakan di atas, Pasal 42 UU RI No. 20 Tahun 2003 mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Pasal 8 UU RI No 14, 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang meliputi kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pengertian sertifikasi secara umum mengacu pada National Commision on Educatinal Services (NCES) disebutkan “Certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach”. Dalam kaitan ini, di tingkat negara bagian (Amerika Serikat) terdapat badan independen yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Badan indepeden ini yang berwenang menilai dan menentukan apakah ijazah yang dimiliki oleh calon pendidik layak atau tidak layak untuk diberikan lisensi pendidik.
Persyaratan kualifikasi akademik minimun dan sertifikasi bagi pendidik juga telah diterapkan oleh beberapa negara di Asia. Di Jepang, telah memiliki Undang-undang tentang guru sejak tahun 1974, dan Undang-undang sertifikasi sejak tahun 1949. Di China telah memiliki Undang-undang guru tahun 1993, dan PP yang mengatur kualifikasi guru diberlakukan sejak tahun 2001. Begitu juga di Philipina dan Malaysia belakangan ini telah mempersyaratkan kualifikasi akademik minimun dan standar kompetensi bagi guru.
Di Indonesia, menurut UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi pendidik. Dalam hal ini, ujian sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai kontrol mutu hasil pendidikan, sehingga seseorang yang dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi pendidik diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik.
b. Tujuan dan Manfaat Sertifikasi
Sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Adapun manfaat ujian sertifikasi guru adalah sebagai berikut:
1) Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru.
2) Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional.
3) Menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK , dan kontrol mutu dan jumlah guru bagi pengguna layanan pendidikan.
4) Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
5) Memperoleh tujangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi.
c. Persyaratan Sertifikasi
Persyaratan ujian sertifikasi dibedakan menjadi dua, yaitu persyaratan akademik dan nonakademik. Adapun persyaratan akademik adalah sebagai berikut:
1) Bagi guru TK/RA , kualifikasi akademik minimum D4/S1, latar belakang pendidikan tinggi di bidang PAUD, Sarjana Kependidikan lainnya, dan Sarjana Psikologi.
2) Bagi guru SD/MI kualifikasi akademik minimum D4/S1 latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi.
3) Bagi guru SMP/MTs dan SMA/MA/SMK, kualifikasi akademik minimal D4/S1 latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
4) Bagi guru yang memiliki prestasi istimewa dalam bidang akademik, dapat diusulkan mengikuti ujian sertifikasi berdasarkan rekomendasi dari kepala sekolah, dewan guru, dan diketahui serta disahkan oleh kepala cabang dinas dan kepala dinas pendidikan.
Persyaratan nonakademik untuk ujian sertifikasi dapat didentifikasi sebagai berikut:
1) Umur guru maksimal 56 tahun pada saat mengikuti ujian sertifikasi
2) Prioritas keikutsertaan dalam ujian sertifikasi bagi guru didasarkan pada jabatan fungsional, masa kerja, dan pangkat/golongan.
3) Bagi guru yang memiliki prestasi istimewa dalam nonakademik, dapat diusulkan mengikuti ujian sertifikasi berdasarkan rekomendasi dari kepala sekolah, dewan guru, dan diketahui serta disahkan oleh kepala cabang dinas dan kepala dinas pendidikan.
4) Jumlah guru yang dapat mengikuti ujian sertifikasi di tiap wilayah ditentukan oleh Ditjen PMPTK berdasarkan prioritas kebutuhan.

D. Kewibawaan Guru
1. Pengertian kewibawaan
Kewibawaan berasal dari kata wibawa yang berarti kekuasaan. Secara istilah wibawa berarti pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Menurut Abu Ahmadi, kewibawaan adalah suatu daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan sukarela menjadi tunduk dan patuh kepadanya. Jadi seseorang yang memiliki kewibawaan akan dipatuhi secara sadar, dengan tidak terpaksa, dengan tidak merasa/diharuskan dari luar, dengan penuh kesadaran, keinsyafan, tunduk, patuh, menuruti semua yang dikehendaki oleh pemilik kewibawaan itu.
Kewibawaan juga disebut dengan gezag, berasal dari kata zeggen yang berarti berkata. Siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain berarti dia mempunyai kewibawaan. Kewibawaan tersebut ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Kewibawaan yang ada pada orang tua adalah natural dan orisinal, hal ini dikarenakan orang tua langsung diperintahkan oleh Allah untuk mendidik anak-anaknya. Adapun kewibawaan orang tua sebagai pendidik memiliki dua sifat, yaitu :
a. Kewibawaan pendidikan
Ini berarti bahwa kewibawaan orang tua bertujuan memelihara keselamatan anak-anak agar mereka dapat hidup mandiri dan sehat jasmani serta rohaninya. Perbawa pendidikan ini berakhir jika anak sudah dewasa.
b. Kewibawaan keluarga
Orang tua merupakan kepala suatu keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga harus patuh terhadap peraturan-peraturan di keluarga yang sesuai dengan norma-norma di masyarakat dan norma agama. Kewibawaan keluarga ini bertujuan untuk pemeliharaan dan keselamatan keluarga.
Berbeda dengan orang tua, kewibawaan guru berasal dari jabatannya sebagai seorang guru. Kewibawaan guru memiliki dua sifat, yaitu :
a. Kewibawaan pendidikan
Guru sebagai pendidik telah diserahi sebagian dari tugas orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Kewibawaan yang dimiliki oleh guru terbatas oleh banyaknya anak-anak yang diserahkan kepadanya.
b. Kewibawaan memerintah
Dengan jabatannya sebagai seorng pendidik, guru mempunyai kekuasaan untuk memimpin anak-anak dalam proses pendidikan.
2. Macam-macam kewibawaan
Ditinjau dari mana daya mempengaruhi yang ada pada seseorang ini ditimbulkan, maka kewibawaan dapat dibedakan menjadi :
a. Kewibawaan lahir
Kewibawaan lahir merupakan kewibawaan yang timbul karena kesan-kesan lahir seseorang, misalnya bentuk tubuh yang tinggi besar, pakaian yang lengkap dan rapih, tulisan yang bagus, suara yang lantang, dan lain-lain.
b. Kewibawaan batin
Kewibawaan batin ini ditimbulkan oleh :
1) Adanya rasa cinta
Kewibawaan ini dapat dimiliki seseorang apabila hidupnya penuh dengan kecintaan kepada orang lain.
2) Adanya rasa demi kamu
Demi kamu/you attitude adalah sikap yang dapat dilukiskan sebagai suatu tindakan, perintah atau anjuran bukan untuk kepentingan orang yang memerintah, tetapi untuk kepentingan orang yang diperintah. Misalnya seorang guru yang memerintahkan peserta didiknya untuk rajin belajar untuk menghadapi ujian bukan agar dirinya mendapatkan nama baik karena peserta didiknya lulus semua, tapi agar anak didiknya lulus dengan nilai yang bagus dan dapat melanjutkan di sekolah favorit.
3) Adanya kelebihan batin
Seorang guru yang menguasai bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya bisa berlaku adil dan objektif dan bijaksana. Sikap-sikap tersebut dapat menimbulkan kewibawaan pada dirinya.
4) Adanya ketaatan kepada norma
Kewibawaan ini timbul karena tingkah laku seorang guru selalu mematuhi norma-norma yang berlaku.
3. Fungsi kewibawaan dalam pendidikan
Ada dua sikap anak terhadap kewibawaan seorang guru, antara lain :
a. Sikap menurut atau mengikuti, yaitu mengakui kekuasaan orang lainyang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menurut yang sebenarnya.
b. Sikap tunduk atau patuh, yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa terikat untuk memenuhi perintah itu.
Di sikap yang terakhir inilah tampak fungsi kewibawaan dalam pendidikan, yaitu membawa pesertas didik ke arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankanya juga. Dalam menggunakan kewibawaannya, hendaknya guru:
a. Menggunakan kewibawaan didasarkan atas perkembangan peserta didik.
b. Menerapkan kewibawaannya didasari rasa kasih sayang kepada peserta didiknya.
c. Kewibawaan digunakan untuk kepentingan peserta didik.
d. Kewibawaan hendaknya digunakan dalam suasana pergaulan antara guru dan peserta didik yang sehat.
4. Belajar dari kewibawaan kyai
Di kalangan masyarakat santri, figur kyai secara umum dipersepsikan masyarakat sebagai pribadi yang integratif dan merupakan cerminan tradisi keilmuan dan kepemimpinan, ‘alim, menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan mengedepankan penampilan perilaku berbudi yang patut diteladani umatnya. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu kyai maka akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan masyarakat kepadanya.
Sebaliknya, derajat penghormatan umat kepada kyai akan berkurang seiring dengan minimnya penguasaan ilmu dan rendahnya rasa tawadlu’ pada dirinya, sehingga tampak tak berwibawa lagi di hadapan umatnya. Konsepsi kewibawaan ini telah mendefinisikan fungsinya menjadi etika normatif dunia pesantren, yang sering disebut sebagai tipe kewibawaan tradisional.
Ciri pertamanya adalah, penggunaan kekuasaan pribadi yang dihimpun melalui peranan masa lampau dari seseorang sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai-nilai, dan status unggul dari mereka yang memiliki hubungan ketergantungan yang mapan dengan orang tersebut. Adapun indikasi yang lain, bahwa sumber-sumber kewibawaan tradisional tersebut terletak pada posisinya menjadi sesepuh (orang yang dituakan), sebagai sosok ayah, orang yang dapat dipercaya, orang yang dihargai, berkedudukan resmi, memiliki penguasaan ilmu pengetahuan agama, dan posisinya sebagai pemangku lembaga agama (pesantren).
Derajat kewibawaan-kharismatik ini dalam bentuk penghormatan serta ketaatan massa yang bersifat total dan bahkan ada ciri taqlid buta, sehingga terhadap penilaian suatu perkara tertentu tak lagi perlu ada pertanyaan, gugatan atau diperdebatkan secara kritis. Hal ini diperoleh kyai atas konsekuensi logis dari segi penguasaan yang mumpuni terhadap ilmu-ilmu agama yang juga diimbangi oleh budi pekerti mulia yang menyebabkan kyai, di mata umatnya, dipandang bukan semata teladan ilmu, melainkan juga sebagai teladan tingkah laku, suatu elemen keteladanan yang bersifat sangat fundamental. Unsur berkah keteladanan yang membawa implikasi pada kecintaan, dan kepatuhan atau ketaatan mutlak kepada sang pemimpin kharismatik sehingga dianggap memiliki karomah.
Oleh karenanya, secara otomatis pada dirinya dinilai sebagai orang berotoritas. Fenomena kewibawaan spiritual kharismatik ternyata telah melintas batas rasionalitas. Apapun yang dikatakan orang, diabaikan. Demikian adalah prinsip yang dipegang kuat-kuat di kalangan santri tradisional meskipun kadang kala ia telah berada di luar habitatnya. Atas dasar inilah maka kemudian muncul pola hubungan patron-klien antara kyai dan santri yang bersifat unik.
Sebagai ilustrasi, menurut keyakinan santri mencium tangan kyai merupakan berkah dan dinilai ibadah, meski orang-orang yang berpandangan puritan mengejeknya sebagai “kultus” individu, dan karena itu syirik. Mereka tetap tak peduli, sebab mereka beranggapan tidak mencium “tangan” yang sebenarnya, karena perbuatan tersebut sedang memberikan penghormatan yang dalam kepada suatu “otoritas”, yaitu kyai.
Dengan demikian, predikat nilai ke-kyai-an yang berotoritas dan menyandang kewibawaan spiritual kharismatik bukanlah sangat bergantung pada garis keturunan atau karena dari faktor nasabiah, melainkan harus pula ditempuh dengan cara-cara yang rasional, karena tergantung kepada derajat kealiman juga diimbangi oleh teladan perilaku berbudi (akhlak al-karimah). Dalam arti, secara teoritik dan formal bahwa seorang pengasuh pesantren memang harus memiliki kompetensi yang memadai dan telah pula memiliki religious commitment yang kuat. Yaitu penampilan sosok pribadi yang integratif antara ilmu dan amaliahnya.
Aspek-aspek komitmen religius yang kuat itu meliputi, aspek keyakinan (the belief dimension), ritual peribadatan beserta aurad-dzikirnya (religious practice: ritual and devotion), pengalaman keagamaan (the experience dimension), pengalaman batiniah/rohaniah (spiritual dimension), pengetahuan agamanya maupun konsekuensi-konsekuensi amaliah seorang Muslim yang terbentuk secara baik. Maka tidak mengherankan dengan potensi dan kompetensi tersebut kalau seorang kyai pesantren menduduki posisi puncak yang kukuh dalam struktur sosial terutama dalam lingkaran komunitas pesantren.
Kita ketahui bahwa sebagai pewaris Nabi, apa yang dilakukan kyai adalah semata-mata karena dilandasi doktrin ikhlas-lillahi ta’ala, demi mengharap ridlo Allah Swt dan derajat darul akherat. Ia mengabdikan hidupnya di pesantren karena untuk merealisasikan sabda Rasul Saw; “Sampaikan dariku meskipun cuma satu ayat”. Juga perintah Rasulallah Saw yaitu, “Barangsiapa menyimpan suatu ilmu (agama) maka ia karena ulahnya itu besok di akherat akan disiksa dengan cemeti dari api neraka”. Pendek kata, tugas mengampu pesantren, mendidik dan membimbing santri adalah kewajiban agama yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab seorang kyai sebagai penjaga tradisi pesantren.
Sementara di pihak lain, kepatuhan dan penghormatan yang diberikan santri kepada kyainya adalah karena demi mendapatkah berkah (kebaikan) dari Allah Swt, juga berharap agar ilmunya nanti bermanfaat. Ritus yang mereka jalani itu termasuk bagaian dari mengamalkan ajaran tradisi agama. Disebutkan dalam korpus resmi pesantren, yaitu dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim karangan Syaikh Zarnuji, sebagai berikut: “Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya. Hormat kepada guru/kyai bukan hanya sekedar patuh. Dikatakan pula oleh Imam Ali ra, “Saya ini adalah hamba dari orang yang mengajari saya (Rasulallah), walaupun hanya satu kata saja.”
Lebih lanjut, Syaikh Zarnuji mengatakan, menurut ajaran Islam, murid (santri) harus menganggap guru/kyai seperti ayah kandungnya sendiri, sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits Nabi Saw:“Dan sesungguhnyalah, orang yang mengajarmu walaupun hanya sepatah kata dalam pengetahuan agama adalah ayahmu menurut ajaran Islam”. Hadits ini memberikan justifikasi bahwa apabila santri tidak taat dan patuh pada kyainya berarti secara terang-terangan telah menyalahi apa yang telah dianjurkan oleh baginda Rasul Muhammad Saw.
Berdasarkan korpus resmi ala pesantren, seperti dijabarkan dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan kitab-kitab sejenisnya yang memberikan kontribusi pada sistem nilai yang dianut warga pesantren, kemudian diintrodusir sedemikian rupa dalam praktek-praktek kehidupan santri baik dalam bentuk konvensi-konvensi atau menjadi teknik-teknik disipliner sehingga menjadi tatanan etis yang mengatur hubungan kyai dan santri yang terus dipelihara (reproduksi), kemudian disosialisasikan dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi berikutnya dan akhirnya terinternalisasi pada diri setiap santri.
Melalui cara itulah tertib sosial (social order) di lingkungan pesantren bisa ditegakkan. Sedangkan tindakan apapun yang mencoba menyimpang darinya akan dicap indisipliner, mbalelo dan pantas mendapatkan sangsi (ta’zir) atau dikenakan denda. Adapun sangsi yang ada bisa dalam bentuk sangsi moral, sosial ataupun berupa sangsi fisik, seperti cukur rambut, membersihkan selokan, dan untuk kasus pelangaran yang parah bisa dipulangkan kepada orang tua.
Kendati demikian, haruslah diakui bahwa ketaatan mutlak kepada sang kyai, adalah satu disiplin yang keras dalam pengamalan tradisi sehari-hari, kebersamaan dan persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan pesantren. Mungkin inilah gaya indoktrinasi model pesantren. Dapat pula dikatakan sebagai ruh yang semestinya menopang keberlangsungan hidup pesantren sehingga bisa dipertahankan sampai sekarang. Bahkan dampak pengaruh dari aturan-aturan tersebut membentuk kebiasaan yang terus melekat dan mewarnai perilaku santri hingga berpengaruh pada kehidupan setelah masa-masa tinggal di pondok dulu.
Menelusuri lebih jauh dunia pesantren, maka lazim kita temukan, bahwa pada umumnya setiap santri yang ingin belajar mengaji akan mengatakan kalau tujuan belajar ke pesantren tidak lain karena untuk tabarukan kepada kyai. Berkah yang dimaksud itu adalah nikmat Allah Swt berupa kesuksesan dalam menuntut ilmu, yang menurut keyakinan mereka dapat diperoleh lantaran atas budi baik serta do’a-do’a yang diberikan oleh sang guru, selain berkah do’a kedua orang tua di rumah.
Menurut tradisi pesantren, untuk memperoleh berkah itu pada umumnya santri akan menempuhnya melalui dua cara, yaitu; pertama, melakukan riyadhah (olah rohani). Orang Jawa menyebutnya tirakat atau laku keprihatinan (asketisisme). Pada umumnya santri yang melakukan riyadhah akan memperbanyak amalan puasa sunah, sholat-sholat sunah (qiyamul-lail) atau bacaan wirid tertentu. Hal ini dilakukan selain sebagai upaya mensucikan kondisi rohaniah-spiritual (batin) selain sebagai upaya memperoleh berkah dari Allah Swt. Dengan riyadhah santri berupaya menapaki tangga spiritualitas untuk menjalin hubungan yang lebih dekat kepada Sang Khalik.
Kedua, melakukan pengabdian (khidmah) kepada kyai dan pesantren. Bila santri hendak menempuh cara berkhidmah maka mereka akan berusaha membantu meringankan tugas-tugas kyai/ustadz, misalnya bertindak sebagai khadam atau membantu di rumah kyai seperti, menangani pekerjaan di dapur, menjaga kebersihan rumah, merawat anak kyai, membantu pekerjaan di sawah, atau menangani pekerjaan lainnya. Atau dengan melakukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan urusan pesantren, seperti membantu mengurusi administrasi dan keuangan pesantren, menjadi badal mengajar dan menangani tugas-tugas pondok lainnya.
Berbeda dengan keadaan yang biasa terjadi di luar arena pesantren, di dalam lingkungan pesantren, menjadi khadam kyai di mata penilain para santri merupakan suatu kehormatan tersendiri. Karena bermula dari sinilah ia bisa dekat dengan kyai. Artinya mudah diingat dalam do’a kyai, sehingga kebanyakan para santri ‘tradisional’ tetap berkeyakinan; dengan mendapat barokah do’a dari kyai berarti semakin terbuka lebar pintu barokah Tuhan baginya dan bertambah mudahlah untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Dari sudut pandang yang lain, kita dapat menganalisis bahwa munculnya tradisi penghormatan (pemuliaan) terhadap sang guru/kyai sejak awal bisa dirunut dari gagasan tentang “ilmu” yang khas dalam pandang masyarakat santri. Ilmu di dalam khazanah pesantren dipahami sebagai “limpahan karunia ketuhanan” (al-athaf rabbaniyyah) yang mengandung berkah. Sumber ilmu adalah Allah Swt, dan tujuan utama daripada pengamalan ilmu juga dalam rangka pendekatan diri kepada-Nya. Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an (al-Baqarah: 269) yang menjelaskan; “wa man yu’ta al-hikmata faqat u’tiya khairan katsira”, barang siapa dikaruniai Allah suatu hikmah atau kebijaksanaan, maka dia memperoleh kebaikan yang banyak. Dijelaskan pula dalam surat al-Mujadalah, ayat 11;“…, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Syaikh Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim, salah satu kitab klasik yang menjadi referensi utama pesantren tradisional berkomentar; “adapun sebabnya ilmu itu mulia karena ia merupakan alat (wasilah) untuk bertaqwa, yang dengan itu orang akan memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan kebahagian abadi dalam kehidupan di akherat kelak”. Itulah sebabnya, orang yang berilmu disebut orang alim (Arab; ‘alim) serta menempati kedudukan atau derajatnya yang tinggi dalam pandangan Islam yang kemudian hal ini juga sangat mempengaruhi pandangan masyarakat pesantren. Pola indoktrinasi ini pula yang sekiranya membentuk struktur berpikir (social stok of knowledge) dalam mindset santri sehingga memiliki corak pandangan yang berbeda dengan para sarjana atau akademisi dari kalangan kampus.
Dengan demikian kewibawaan spiritual kharismatik yang muncul pada diri kyai bukan diperoleh dengan tanpa usaha yang sungguh-sungguh, tetapi derajat itu diperoleh justru setelah melewati proses “dialektika kepatuhan” dalam koridor rasionalitas yang terbilang unik. Pada dasarnya hal itu muncul lantaran karena terbentuknya pola relasi kyai-santri yang besifat reprosikal dan mutualistik.
Belajar dari kewibawaan seorang kyai di pesantren dan masyarakat hendaknya seorang guru :
a. Memiliki jiwa kepemimpinan.
b. Memiliki akhlaqul karimah.
c. Bersikap toleran terhadap keberagaman peserta didiknya dan masyarakatnya.
d. Ikhlas dalam mentransformasikan ilmunya.
e. Mampu berperan sebagai problem solver di lingkungan keluarga, sekolah dan di masyarakat.
f. Mendoakan agar peserta didiknya sukses di dunia dan akherat.
Dengan demikian guru sebagai sebuah profesi akan menjadi profesi yang bermartabat dan berwibawa di mata masyarakat, tidak seperti beberapa profesi yang telah rusak citranya di mata masyarakat.

1 komentar: