Kamis, 13 Januari 2011

BAB III MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN

A. Gambaran Tentang Manusia
Dalam al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dalam penciptaannya. Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dan sebaik-baiknya makhluk yang diciptakan dengan akal fikiran.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
(QS. At-Tiin : 4)
Ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk pada konsep manusia dengan penekanan pengertian yang berbeda-beda, antara lain :
1. Kata al-Basyar
Kata al-basyar dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimolgi al-basyar berarti kulit kepala, wajah atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini memberikan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah kulitnya dibanding rambut atau bulunya. Pada konsep ini terlihat jelas perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi oleh bulu dan rambut.
Al-basyar juga dapat diartikan musalamah, yaitu persentuhan antara laki-laki dengan perempuan. Dari makna etimologis ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-basyar ini ditujukan Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali.
“Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun (basyarun).”
(QS. Ali Imran : 47)
Dari ayat di atas dapat difahami bahwa seluruh manusia akan mengalami proses reproduksi dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah maupun takdir Allah. Semua itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu Allah memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
2. Kata al-Insan
Kata al-insan berasal dari kata al-uns yang dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kata al-insan digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjukkan totallitas manusia sebagai mahkluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensial individu antara yang satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk yang dinamis sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Integrasi antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi insan al-basyar, yaitu sebagai makhluk berbudaya yabg mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Dengan kemampuan ini manusia akan dapat membentuk dan mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang memiliki nuansa ilahiah yang hanif. Integralitas ini akan tergambar pada nilai iman dan bentuk amaliahnya. Dengan kemampan ini manusia akan mampu mengemban amanah Allah di muka bumi secara utuh. Namun demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan nilai insaniah yang dimilikinya dengan berbuat berbagai bentuk mufasadah (kerusakan) di muka bumi.
Pada beberapa ayat, Allah mempersandingkan kata al-insan dengan kata syaitan. Ayat tersebut secara general memberikan peringatan agar manusia senantiasa sadar dan menempatkan posisi fitrahnya sesuai dengan yang diinginkan Allah, yaitu pada posisi yang hanif.
“Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."
(QS. Yusuf : 5)

“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
(QS. Al Isra : 53).
Kata al-insan dalam al-Qur’an juga menjelaskan tentang sifat umum serta kelebihan dan kelemahan manusia, antara lain :
a. Tidak semua yang diinginkan manusia berhasi dengan usahanya bila Allah tidak menginginkannya.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”
(QS. An Najm : 24-25)
b. Gembira bila dapat nikmat, serta susah bila mendapatkan cobaan.
“Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).”
(QS. Asy Syuura : 48)
c. Manusia sering bertindak bodoh dan zalim baik kepada dirinya sendiri dan kepada manusia atau makhluk yang lain.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS. Al Ahzab : 72)
d. Manusia sering ragu dalam memutuskan suatu perkara.
“Dan berkata manusia: "Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali? Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali?”
(QS. Maryam : 66-67)
e. Manusia bila mendapat suatu kenikmatan materi sering kali lupa diri dan bersifat kikir.
“Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya." Dan adalah manusia itu sangat kikir.”
(QS. Al Isra : 100)
f. Manusia adalah makhluk yang lemah, gelisah, dan tergesa-gesa.
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
(QS. An Nisa : 28)
Dari pemaknaan manusia dari kata al-insan, terlihat sesungguhnya manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki sifat-sifat manusiawi yang bernilai positif dan negatif. Agar manusia bisa selamat dan mampu memfungsikan tugas dan kedudukannya di muka bumi dengan baik, maka manusia harus senantiasa mengarahkan seluruh aktivitasnya, baik fisik maupun terutama psikis sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
3. Kata al-Nas
Kata al-nas dalam al-Qr’an dinyatakan sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-nas menunjukan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan dan kekafirannya.

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
(QS. Al-maidah : 32)

“Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
(QS Hud : 85)
4. Kata Bani Adam
Kata tersebut dijumpai dalam al-Qur’an sebanyak 7 kali dan tersebar pada 3 surat. Secara etimologi kata bani adam menunjukkan arti pada keturunan nabi Adam A.S. Menurut al-Thabathaba’i, penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, antara lain :
a. Anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, diantaranya adalah berpakaian guna menutup aurat.
b. Mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak pada keingkaran.
c. Memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah sekaligus mentauhidkanNya.
Dengan demikian terlihat bahwa pemaknaan kata bani Adam lebih ditekankan pada aspek amaliah manusia sekaligus pemberi arah ke mana dan dalam bentuk apa aktivitas itu dilakukan. Di sini terlihat demikian demokratisnya Allah terhadap manusia. Hukum kausalitas tersebut memungkinkan Allah untuk meminta pertanggungjawaban pada manusia atas semua aktivitas yang dilakukan.

B. Proses Penciptaan Manusia
Al-Qur’an menginformasikan bahwa proses penciptaan manusia terdiri dari dua tahap, yaitu :
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut tahapan primordial. Manusia pertama, yaitu Adam diciptakan dari al-tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkannya ruh dariNya ke dalam diri Adam.
“Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).”
(QS. Al-An’am : 2)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
(QS. Al-Hijr : 26-29)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”
(QS. Ar-Rum : 20)




2. Tahap kedua
Tahap ini disebut tahapan biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan dari air mani (nuthfah) yang tersimpan dalam tempat yag kokoh (rahim). Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku (alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikanNya segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang-belulang, lalu kepadanya ditiupkan ruh. Hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah, dan 40 hari mudghah.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
(QS. Al-Mu’minun : 12-14)

C. Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan
Berdasarkan proses penciptaan manusia, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Materi berasal dari tanah dan mempunyai daya fisik seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak. Sementara unsur immateri yaitu ruh yang ditiupkan oleh Allah mempunyai dua daya, yaitu daya berfikir yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat di hati.
Untuk membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan keterampilan dan panca indera. Untuk mengembangkan daya akal dapat dipertajam melalui penalaran dan berfikir. Sedang untuk mengembangkan daya rasa dapat dipertajam melalui ibadah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa secara filosofis pendidikan seyogyanya merupakan kesatuan pendidikan yang memfokuskan pada pengembangan kecerdasan pikir (rasio, kognitif), dzikir (afektif, emosi, hati, spiritual), dan keterampilan fisik (psikomotorik).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar