Kamis, 13 Januari 2011

BAB XII ALAT LUNAK PENDIDIKAN

A. Pengertian Alat Lunak Pendidikan
Alat merupakan sesuatu yang dipakai untuk mencapai tujuan. Dengan demikian alat bisa berupa sesuatu yang real (hardware/perangkat keras) dan sesuatu yang unreal (software/perangkat lunak) yang kemudian disebut sebagai alat lunak pendidikan. Alat lunak pendidikan ini merupakan tindakan atau tingkah laku atau perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk mencapai suatu tujuan.
Alat lunak pendidikan bersifat nonmateri dan memiliki sifat yang abstrak dan hanya dapat diwujudkan melalui perbuatan dan tingkah laku seorang guru terhadap peserta didiknya. Di antara alat lunak pendidikan antara lain keteladanan, perintah dan larangan, pembiasaan, serta ganjaran dan hukuman.

B. Jenis-jenis Alat Lunak Pendidikan
1. Keteladanan
Di antara firman Allah yang berkaitan dengan teori keteladanan antara lain :
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”
(QS. Al Maidah : 30-31)
Pendidikan keteladanan dengan jalan meniru sebagai bentuk belajar, telah digambarkan oleh Allah swt. Dalam kisah Qabil dan Habil, yang dimuat dalam surah al-Maidah ayat 30-31 di atas.
Peristiwa pembunuhan yang diikuti penguburan yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya (Habil) didalamnya terkandung proses belajar. Gambaran pembelajaran itu dapat kita simak lewat tingkah laku burung gagak yang menggali tanah untuk mengubur gagak yang lain. Perbuatan burung gagak itu ditiru oleh Qabil yang sedang bingung memikirkan apa yang akan dilakukannya terhadap mayat saudaranya, begitu besar hikmah yang diberikan Allah kepada pembunuh (Qabil) dengan menurunkan seekor burung gagak memberi contoh, sehingga Qabil menemui jalan keluar.

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji.”
(QS. Al Mumtahanah : 4)
Pribadi teladan juga dapat kita lihat pada sosok Nabi Ibrahim a.s. yang telah dipertegas oleh Allah dalam surah al-Mumtahanah ayat 4 di atas.
Nabi Ibrahim a.s. telah melahirkan pendidikan keteladanan dengan menumbuhkan sikap rela berkorban bagi umat manusia, dan menjadilah suatu kebiasaan bagi umat Islam untuk melaksanakan kurban pada hari raya Idul Adha, mencontoh sikap Nabi Ibrahim a.s. yang telah diperintahkan oleh Allah swt. untuk menyembelih anak semata wayangnya yaitu Ismail.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS, Al Ahzab : 21)
Rasulullah sebagai teladan yang baik selalu mendahulukan dirinya mengerjakan segala perintah yang datang dari Allah swt. sebelum perntah itu disampaikan pada ummatnya, demikian pula larangan-larangan Allah swt. ia senantiasa menjauhinya.
Pada umumnya manusia memerlukan figur identifikasi (keteladanan) yang dapat membimbing manusia ke arah kebenaran. Untuk memenuhi keinginannya tersebut, Allah mengutus nabi Muhammad untuk menjadi teladan bagi umatnya dengan ber-akhlaqul karimah. Untuk dapat menjadi sosok yang dapat diteladani, Allah memerintahkan kepada manusia termasuk guru untuk mengerjakan perintah Allah dan Rasulnya sebelum mengajarkannya kepada orang yang dipimpinnya.
Menurut al-Ghazali, terdapat beberapa sifat penting yang harus dimiliki oleh guru sebagai orang yang diteladani antara lain :
a. Amanah dan tekun bekerja.
b. Bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap peserta didik.
c. Dapat memahami dan berlapang dada terhadap ilmu dan terhadap orang-orang yang diajarkan.
d. Tidak rakus pada materi.
e. Berpengetahuan luas.
f. Istiqomah dan memegang teguh prinsip Islam.
g. Rendah hati.
Keberhasilan menerapkan teori keteladanan dalam pendidikan bukan hanya diakui oleh al-Qur’an tetapi orang-orang barat pun turut dalam teori tersebut, teori keteladanan diperkenalkannya melalui belajar sosial dengan istilah social learning theory (teori belajar sosial).
Tokoh utama teori belajar sosial adalah Albert Bandura, seorang psikologi pada Universitas Stanford Amerika Serikat, teori disebut juga dengan teori observation learning, belajar observasional/pengamatan. Manusia dalam hidupnya mempunyai sikap saling ketergantungan dengan manusia lain, demikian pula dalam belajar, ia banyak dipengaruhi oleh keadaan di sekelilingnya, sehingga Albert Bandura dalam teori belajar sosial, memandang tingkah laku manusia timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Adanya keterbukaan seseorang terhadap lingkungannya akan membuka peluang memperoleh pelajaran sebanyak-banyaknya, begitu banyak yang dapat diamati dan dipikirkan untuk diambil pelajaran darinya.
Teori belajar sosial menekankan perlunya imitation (peniruan) terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa. Lewat pengamatan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan, seorang anak dapat menirunya, karena itu teramt penting bagi seorang pendidik, untuk memainkan peran sebagai model atau tokoh yang menjadi contoh dan diteladani oleh anak didiknya. Kepopuleran teori belajar sosial juga tidak lepas dari dukungan Miller dan Dollard, mereka memandang bahwa tingkah laku manusia itu dipelajari melalui prinsip-prinsi psikologi belajar yaitu :
a. Dorongan, yaitu rangsangan kuat dari dalam individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku, dorongan itulah yang membuat seseorang terpaksa harus meniru tingkah laku orang lain untuk berbuat, dorognan muncul disebabkan adanya kebutuhan yang mesti terpenuhi, sperti rasa lapar mendorong untuk makan chaus mendorongnya untuk minum.
b. Isyarat adalah rangsangan yang menentukan tingkah laku balas yang akan timbul, misalnya uluran tangan merupakan isyarat bagi seseorang untuk berjabat tangan.
c. Tingkah laku balas, yaitu reaksi individu terhadap rangsangan yang timbul didasarkan pada timgkah laku bawaan, apabila tingkah laku itu tidak sesuai dengan yang diharapkan maka individu tersebut belajar dengan cara dan ralat (trial and error learning), untuk mengurangi belajar dengan coba dan ralat ini, seseorang akan meniru tingkah laku orang lain untuk dmemberikan tingkah laku balas yang tepat.
d. Ganjaran, yakni rangsangan yang menetapkan apakah suatu tingkah laku balas akan diulang atau tidak pada kesempatan lain, dengan adanya pemberian ganjaran maka seseorang akan tahu tingkah lakunya tepat atau tidak.
Membahas tingkah laku tiruan, Mille dan Dollard menyatakan ada tiga mekanismenya, yang tingkah laku sama (same behavior), tingkah laku tergantung (matched dependent behavior), dan tingkah laku salinan (copying).
Tingkah laku sama terjadi apabila ada dua orang yang bertingkah laku sama terhadap rangsangan atau isyarat sama, akan halnya dengan tingkah laku tergantung, ini timbul akibat adanya kebutuhan untuk meniru seseorang terhadap orang lain, karena disatu pihak adalah lebih pintar, lebih dewasa, atau lebih mampu dari pada pihak yang lain, sedangkan tingkah laku salinan, tingkah laku ini didasarkan pada tingkah laku seseorang yang dijadikan model atau contoh, untuk memperbaiki tingkah lakunya sehingga lebih sesuai dengan tingkah laku model yang dicontoh.
Setelah menganalisis teori dari orang-orang barat, mereka lebih banyak menggunakan hubungan sosial untuk menggambarkan tingkah laku teladan, demikian halnya teori keteladanan yang ditawarkan al-Qur’an, dengan menjadikan sosok pribadi nabi untuk dicontoh dan diteladani.
Teori keteladanan yang telah dijelaskan tersebut diatas, digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan lewat keteladanan dan peniruan yang baik kepada anak didik, agar memiliki akhlak yang baik dan benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan, karena itu seorang pendidik hendaknya berperilaku teladan seperti yang dimiliki oleh Rasul, disebabkan pada diri merekalah anak didik akan mencontoh dan meniru apapun yang dilakukan oleh gurunya, untuk itulah Allah Memperingatkan agar tidak memberi contoh yang kurang baik sebagimana ditegaskan Allah dalam :
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
(QS. Al Baqarah ayat 44)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash Shaaf : ayat 2-3)
Firman Allah swt. Diatas memberi pelajaran kepada setiap pendidik, supaya tidak hanya mampu memberi teori, tapi lebih dari itu ia dapat menjadi panutan bagi anak didiknya. Amat tercela sikap seorang pendidik yang mengajarkan suatu kebaikkan, sedangkan ia sendiri tidak menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya, orang seperti inilah yang dibenci oleh Allah swt. Bahkan anak didiknya tidak merespek pelajaran yang diajarkannya.
2. Perintah dan larangan
Seorang muslim diberi oleh Allah tugas dan tanggung jawab melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan salah satu alat lunak dalam pendidikan. Perintah adalah suatu keharusan untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Dalam hal ini, perintah bukan hanya apa yang keluar dari mulut seseorang yang harus dikerjakan oleh orang lain, tetapi termasuk pula anjuran untuk melakukan larangan. Tiap-tiap perintah dan larangan dalam pendidikan harus ditaati oleh peserta didik. Tiap-tiap perintah dan peraturan harus mengandung norma-norma kesusilaan.
Suatu perintah akan mudah ditaati oleh peserta didik jika guru sendiri menaati dan hidup menurut peraturan-peraturan itu, atau jika apa yang harus dilakukan oleh peserta didik sudah dimiliki dan menjadi pedoman pula bagi guru. Perintah mempunyai kaitan erat dengan ketentraman. Misalnya seorang guru yang selalu datang terlambat dalam mengajar, tidak mungkin ditaati perintahnya bila ia memerintahkan agar peserta didiknya untuk selalu datang tepat pada waktunya. Tidak mungkin suatu peraturan ditaati di sekolah oleh peserta didiknya jika guru sendiri tidak mematuhi peraturan-peraturan yang dibuatnya.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash Shaaf : ayat 2-3)
Dalam memberikan perintah, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru, yaitu :
a. Jangan menggunakan perintah kecuali karena diperlukan dan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan.
b. Hendaknya perintah dilakukan dengan ketetapan hati dan niat yang ikhlas.
c. Jangan memerintahkan kedua kalinya jika perintah pertama belum dapat dilaksanakan oleh peserta didiknya.
d. Perintah hendaknya benar-benar dipertimbangkan akan akibatnya.
e. Perintah hendaknya bersifat umum, bukan bersifat khusus.
Sementara larangan biasanya dikeluarkan jika peserta didik melakukan sesuatu yang tidak baik dan dapat membahayakan dirinya. Larangan sebenarnya sama dengan perintah. Kalau perintah merupakan suatu keharusan untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, maka larangan merupakan keharusan untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan. Misalnya, larangan untuk berbicara dengan suara keras, larangan melakukan perbuatan yang tidak baik, larangan untuk bergaul dengan orang-orang asusila, dan sebagainya. Biasanya larangan ini disertai dengan sanksi-sanksi tertentu tatkala tidak dilaksanakan.
Dalam keluarga umumnya larangan merupakan alat mendidik yang banyak dipakai oleh kedua orang tua. Namun demikian, naik bagi pendidik maupun orang tua, hendaknya tidak terlalu sering melakukan larangan terhadap peserta didik/anak sebab hal tersebut dapat menghambat perkembangan emosi dan intelektualnya. Larangan yang terlalu sering dilakukan akan mengakibatkan sifat atau sikap yang kurang baik, seperti keras kepala atau melawan, pemalu dan penakut, perasaan kurang harga diri, kurang mempunyai rasa tanggung jawab, pemurung, pesimistis, apatis, dan sebagainya. Oleh karena itu pelaksanaan larangan hendaknya dilakukan pada saat-saat diperlukan saja.
3. Pembiasaan dan pengawasan
Pembiasaan berasal dari kata dasar biasa merupakan lazim, seringkali. Pembahasan merupakan proses penanaman kebiasaan, mengupayakan suatu tindakan agar terbiasa melakukannya, sehingga terkadang seseorang tidak menyadari apa yang dilakukannya karena sudah menjadi kebiasaan. Jadi, teori pembiasaan dalam pendidikan adalah yang proses pendidikan yang berlangsung dengan jalan membiasakan anak didik untuk bertingkah laku, berbicara, berpikir dan melakukan aktivitas tertentu menurut kebiasaan yang baik, sebab tidak semua hal yang dapat dilakukan itu baik.
Teori pembiasaan dapat ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an, hadist, dan para tokoh pendidikan berikut:
a. Teori pembiasaan berdasarkan al-Qur’an dijelaskan oleh Allah dalam surah al-Nur ayat 58 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang ayang belum baliq diantara kamu, meminta izin kepadamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu meninggalkan pakaian (luar) mu ditengah hari, dan sesudah sembahyang isya, (itulah) tiga aurat bagi kamu.”
(QS. Al Nur : 58).
b. Sumber hukum yang berasal dari Rasulullah berkenaan dengan teori pembiasaan dapat kita lihat pada hadist riwayat Abu Dawud berikut:
“Surulah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka”
(H.R. Abu Dawud).
c. Teori pembiasan menurut para pakar
Salah seorang tokoh psikologi yang memberi pengaruh terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan teori pembiasaan adalah, Edward lee Thoorndike yang terkenal dengan teori connectionism (koneksionisme) yaitu belajar terjadi akibat adanya asosiasi antara stimulus dengan respon, stimulus akan memberi kesan pada panca indra, sedangkan respon akan mendorong seseorang untuk bertindak.
Berdasarkan pendapat itulah, Thorndike mengadakan eksperimen terhadap seekor kucing, melalui hasil eksperimen inilah dia dapat menyusun tiga hukum, salah satu diantaranya adalah hukum latihan (the law of exercise), selanjutnya hukum ini dibagi dua yaitu hukum penggunaan (the law of use), dan hukum bukan penggunaan (the law of diuse).
Hukum penggunaan maksudnya, apabila latihan dilakukan secara berulang-ulang, maka hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat, sebaliknya hukum bukan penggunaan adalah apabila latihan dihentikan (tidak digunakan) maka hubungan antara stimulus dan respon akan semakin melemah pula. Sebagai contoh yang dapat kita lihat pada seorang anak didik yang rajin membaca dan mengulang-ulang pelajarannya, pada saat ulangan ia dapat menjawab soal-soal dengan benar, sebaliknya seorang anak yang malas belajar maka ketika ulangan ia sulit menjawab soal-soal.
Tokoh lain yang mengembangkan teori pembiasaan ini adalah Ivan Pavlov, ia terkenal dengan teorinya classical conditioniong (pembiasaan klasik), teori ini didasarkan pada hasil eksperimennya dengan seekor anjing, mula-mula anjing tidak mengeluarkan air liurnya ketika bel dibunyikan, namun setelah bel dibunyikan yang diikuti pemberian makan berupa serbuk daging, menyebabkan anjing itu mengeluarkan air liurnya, semakin sering kegiatan itu diulang, semakin sering pula anjing mengeluarkan air liurnya, hingga asuatu ketika terdengar bunyi bel tanpa diiringi makanan, dan ternyata anjing tetap mengeluarkan air liurnya.
Dari hasil percobaan itu dapat diambil pelajaran bahwa, suatu tingkah laku pada awalnya sangat sulit untuk melakukannya, namun karena sering mengulanginya akhirnya ia terbiasa dan menguasai tingkah laku tersebut. Di sinilah pentingnya pembiasaan bagi anak didik untuk menerapkannya dalam belajar, sebab sesuatu pengetahuan atau tingkah laku yang diperoleh dengan pembiasaan, maka apa yang diperoleh itu akan sangat sulit untuk mengubah atau menghilangkannya, sehingga cara ini sangat berguna dalam mendidik anak.


4. Ganjaran dan hukuman
Secara etimologi hadiah adalah pemberian kenang-kenangan, penghargaan, dan penghormatan. Hadiah juga bisa berarti ganjaran. Ganjaran dalam konteks ini adalah memberikan sesuatu yang menyenangkan (penghargaan) sebagai hadiah bagi peserta didik yang berprestasi, baik dalam belajar maupun dalam sikap perilaku. Melalui ganjaran diharapkan hasil yang akan dicapai seorang peserta didik dapat dipertahankan dan meningkat serta dapat menjadi motivasi bagi peserta didik lainnya untuk mencapai target pendidikan secara maksimal.
Ganjaran dapat dilakukan oleh guru dengan bermacam-macam cara, antara lain :
a. Guru mengangguk-angguk kepala tanda senang dan membiarkan suatu jawaban yang diberikan oleh seorang peserta didik.
b. Guru memberi kata-kata yang menggembirakan (pujian).
c. Guru memberikan benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi peserta didik dalam belajar.
Hasan Langgulung memakai kata tsawab untuk menggantikan kata ganjaran. Kata tsawab digunakan pada berbagai ayat dalam al-Qur’an yang berarti sesuatu yang diperoleh seseorang dalam hidup ini atau di akherat karena telah mengerjakan amal kebajikan (pahala). Menurutnya, ganjaran diberikan untuk mengekalkan atau menguatkan tingkah laku yang diingini. Dalam psikologi pendidikan disebut dengan reinforcement. Dalam konteks ini, ganjaran dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, antara lain :
a. Bentuk materil, seperti pemberian hadiah atau bingkisan.
b. Bentuk immateri, seperti melalui tindakan menepuk bahu peserta didik atau melalui ucapan.
Guru yang tidak memberikan ganjaran kepada peserta didik yang telah memperoleh prestasi sebagai hasil belajar, maka dapat diartikan secara implisit bahwa guru tersebut belum memanfaatkan alat lunak pendidikan secara optimal. Menurut Hasan Langgulung, guru yang tidak memberikan ganjaran maupun hukuman dalam pelaksanaan pendidikan peserta didik, merupakan suatu kekeliruan dalam memahami pentingnya alat tersebut. Namun harus diingat, ganjaran tidak harus bersifat materi. Penggunaan ganjaran harus ditujukan bahwa ganjaran adalah alat bukan tujuan.
Dalam menggunakan ganjaran sebagai alat pendidikan, perlu diperhatikan kesan yang ditimbulkan pada diri peserta didik. Dalam artian apakah pemberian ganjaran tersebut menimbulkan perasaan senang pada diri peserta didik atau tidak, semua itu tergantung kepada tingkat prestise seorang guru. Seperti halnya kelebihan ganjaran di hari akherat langsung datang dari Allah. Oleh karena itu, guru yang ingin ganjarannya berkesan maka ia harus dihormati oleh peserta didiknya. Dalam al-Qur’an pribadi seorang guru sangat dihormati, sebab ia selalu dihubungkan dengan Allah dan malaikat-malaikatNya. Ganjaran yang diberikan oleh orang yang seperti itu lebih mulia dan berkesan daripada ganjaran yang diberikan oleh orang yang memiliki prestise lebih rendah. Oleh karena itu, guru harus memiliki sifat-sifat alim jika menginginkan ganjaran yang diberikannya lebih berkesan.
Dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 39 disebutkan bahwa seorang sahabat mengingatkan seseorang yang memiliki dua kebun agar mengucapkan masya Allah tatkala memasuki kebunnya.
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu "maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan”.
(QS. Al Kahfi : 39)
Kalau perkataan tersebut diucapkan sebagai ganjaran terhadap kekuasaan Allah yang tidak memerlukan pujian, tentu lebih perlu lagi mengucapkannya kepada keberhasilan yang dicapai manusia yang biasanya suka dipuji. Pemberian ganjaran sebagai salah satu alat lunak pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi keberhasilan peserta didik dalam proses pembelajaran. Ketika guru tidak memberikan reinforcement atau ganjaran kepada peserta didik yang telah memperoleh prestasi sebagai hasil belajar dapat diartikan secara implisit bahwa guru belum memanfaatkan alat lunak pendidikan secara optimal. Jika guru tidak memberikan ganjaran maka sama artinya dengan memberikan hukuman (punishement).
Hukuman juga merupakan alat lunak pendidikan. Hukuman dalam Islam disebut dengan ‘iqab. Abdurrahman an-Nahlawi menyebutnya dengan tarhib yang berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman karena melakukan sesuatu yang dilarang. Sementara Amir Daien Indrakusuma menyebutkan hukuman sebagai tindakan yang dijatuhkan kepada peserta didik secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan efek jera. Akibatnya peserta didik akan menjadi sadar dan berjanji tidak akan mengulanginya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukuman diberikan karena ada pelanggaran sedangkan tujuan pemberian hukuman adalah agar tidak terjadi pelanggaran secara berulang.
Hukuman yang biasanya diterapkan dalam bidang peradilan juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan. Ada dua alasan yang melatarbelakanginya, yaitu :
a. Hukuman diadakan karena ada pelanggaran, yaitu adanya kesalahan yang diperbuat.
b. Hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran.
Meskipun hukuman dapat diterapkan dalam bidang pendidikan, namun ada sebagian ahli pendidikan yang tidak menyetujui penerapan semua bentuk hukuman, seperti hukuman pukul (hukuman jasmani) terhadap peserta didik. Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkannya baik secara fisik maupun psikis.
Menurut Ibnu Khaldun, sikap yang timbul dari kekerasan maupun paksaan menpunyai pengaruh yang tidak baik terhadap perkembangan peserta didik dan masyarakat, anak merasa termarjinalkan, kreatifitas anak memudar, dan disamping itu boleh jadi anak akan membenci guru yang bersangkutan beserta mata pelarannya. Ibnu Khladun juga mengatakan, hukuman dengan kekerasan dapat mengakibatkan anak belajar berdusta atau berbohong.
Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dari pemberian hukuman terhadap peserta didik, maka ada prinsip-prinsip tertentu dalam memberikan hukuman, antara lain :
a. Hukuman diberikan untuk memperoleh perbaikan dan pengayaan.
b. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperbaiki kesalahannya.
c. Guru harus tegas dalam melaksanakan hukuman. Artinya, bila sikap keras guru dianggap perlu maka harus dilaksanakan walaupun diutamakan memberikan hukuman dengan sikap lunak dan kasih sayang.
Dari uraian di atas terlihat bahwa ganjaran dan hukuman memiliki prinsip yang saling bertentangan. Jika ganjaran diberikan atas perbuatan-perbuatan yang baik, maka hukuman dijatuhkan karena perbuatan-perbuatan yang buruk. Tetapi kedua-duanya merupakan alat lunak pendidikan yang dapat digunakan oleh guru dalam rangka memperbaiki kelakuan, perbuatan, dan budi pekerti peserta didiknya. Titik temu di antara ganjaran dan hukuman adalah keduanya merupakan reaksi guru atas perbuatan yang dilakukan oleh peserta didiknya. Oleh karena itu keduanya merupakan alat lunak pendidikan yang bersifat kuratif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar