Kamis, 13 Januari 2011

BAB VI PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

A. Tanggung Jawab dan Peran Pendidikan Oleh Masyarakat
Masyarakat bila dilihat dari konsep sosiologi adalah sekumpulan manusia yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi sesamanya untuk mencapai tujuan tertentu. Bila dilihat dalam konteks pendidikan, masyarakat adalah sekumpulan banyak orang dengan berbagai ragam kualitas diri mulai dari yang tidak berpendidikan sampai kepada yang berpendidikan tinggi.
Masyarakat merupakan lingkungan pendidikan yang ketiga setelah lingkungan pendidikan keluarga dan lingkungan pendidikan sekolah. Di dalam suatu masyarakat mudah sekali dijumpai keanekaragaman suku, agama, ras, agama, adat istiadat, dan budaya. Keanekaragaman tersebut merupakan anugerah dari Tuhan, di mana dalam Islam keanekaragaman tersebut merupakan rahmat dari Allah.
Hubungan baik dengan masyarakat diperlukan karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup tanpa bantuan masyarakat. Lagi pula, hidup bermasyarakat sudah merupakan fitrah manusia. Dalam QS. Al-Hujurat : 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling kenal mengenal.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al Hujurat : 13)
Tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan sebenarnya masih belum jelas, tidak sejelas tanggung jawab pendidikan di lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Hal tersebut dikarenakan masyarakat merupakan suatu entitas yang sangat kompleks dan beraneka ragam. Walaupun demikian, masyarakat mempunyai peranan yang besar dalam pelaksanaan pendidikan nasional.Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa masyarakat adalah sekelompok warga negara Indonesia non pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Peran tersebut antara lain :
1. Ikut menyelenggarakan pendidikan non pemerintah (swasta).
Demokratisasi pendidikan yang sedang digalakkan di Indonesia harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pendidikan (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 54 ayat 1)
2. Membantu pengadaan tenaga pendidik.
Dalam hal ini masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pendidikan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 54 ayat 2)
3. Membantu pengadaan biaya, sarana dan prasarana pendidikan.
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat bersumber dari masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan masyarakat secara langsung telah membantu dalam pengadaan biaya, sarana dan prasarana pendidikan.
Secara sederhana dapat digagas bahwa kewajiban masyarakat dalam memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 9) dapat dilakukan dengan memberikan sumbangan atau infaq dan sedekah untuk pendidikan.
4. Menyediakan lapangan kerja.
Lulusan sekolah (output) nantinya akan terjun ke masyarakat. Masyarakat merupakan penyedia sekaigus penyerap lapangan kerja. Jika lulusan sekolah (output) sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan menerima mereka (outcomes).
B. Pembinaan Kerjasama antara Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
Terdapat beberapa unsur pokok yang terdapat dalam suatu masyarakat, antara lain :
1. Adanya unsur kelompok manusia yang bertempat tinggal di daerah tertentu.
2. Mempunyai tujuan yang sama.
3. Mempunyai norma-norma yang ditaati bersama.
4. Mempunyai perasaan baik suka maupun duka.
5. Mempunyai organisasi yang ditaati.
Keluarga dan sekolah merupakan bagian dari masyarakat, sehingga keluarga dan sekolah pun dituntut untuk membina hubungan kerja sama dengan sekolah.
Keluarga, sekolah, dan masyarakat pada dasarnya mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pendidikan, yaitu kesamaan rasa tanggung jawab. Mereka secara langsung maupun tak langsung telah mengadakan pembinaan yang erat di dalam praktek pendidikan. Kerja sama tersebut adalah sebagai berikut :
1. Orang tua melaksanakan kewajibannya mendidik anak di dalam keluarga.
2. Oleh karena keterbatasan orang tua dalam mendidik anaknya, akhirnya proses pendidikan anak diserahkan ke sekolah. Di mana sekolah merupakan produk masyarakat.
3. Orang tua dan masyarakat menilai hasil pendidikan di sekolah dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Kemudian masyarakatpun menjadi fasilitator bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilannya.
Dengan demikian jika kerja sama antara keluarga, sekolah dan masyarakat bisa dibina dengan baik, maka masyarakat bagi keluarga dan sekolah mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Sebagai arah dalam menentukan tujuan pendidikan bagi suatu keluarga dan sekolah.
2. Sebagai sumber belajar.
3. Sebagai pihak yang mengontrol jalannya proses pendidikan.
4. Sebagai wahana bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan nilainya.

C. Pendidikan Seumur Hidup (Life Long Education)
Ide pendidikan seumur hidup yang telah lama ada dalam sejarah pendidikan dipopulerkan kembali dengan diterbitkannya buku Paul Langrend An Introduction to Life Long Education. Ada beberapa pemikiran yang menyatakan bahwa pendidikan seumur hidup ini sangat penting. Dasar pendidikan tersebut ditinjau dari beberapa segi, antara lain :
1. Ideologis
Semua manusia yang dilahirkan di dunia ini mempunyai hak yang sama, khususnya hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan yang berlangsung seumur hidup akan menjadikan seseorang dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang berubah-ubah.
2. Ekonomis
Cara yang paling efektif untuk keluar dari kemiskinan yang disebabkan oleh kebodohan dan menyebabkan kebodohan pula ialah melalui proses pendidikan. Pendidikan seumur hidup bagi individu berfungsi untuk :
a. Meningkatkan produktivitas kerja individu.
b. Memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimiliki.
c. Menjadikan lingkungan keluarga lebih menyenangkan dan sehat.
d. Memotivasi orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya secara tepat sehingga peranan pendidikan keluarga menjadi sangat besar dan penting.
3. Sosiologis
Para orang tua di negara berkembang kerap kurang menyadari pentingnya pendidikan di sekolah bagi anak-anaknya. Hal tersebut menjadikan anak-anak sering kurang dalam mendapatkan perhatian, putus sekolah, bahkan tidak bersekolah sama sekali. Dengan demikian, pendidikan seumur hidup bagi orang tua merupakan pemecahan atas masalah tersebut.


4. Politis
Di negara demokrasi hendaknya seluruh rakyat menyadari pentingnya hak milik dan memahami fungsi pemerintah (DPR, MPR, dan lain-lain). Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diberikan kepada setiap orang. Dengan demikian, maka inilah yang menjadi tugas pendidikan seumur hidup.
5. Teknologis
Di era globalisasi dunia semakin menyempit dan informasipun mudah diakses yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu cepat. Agar tidak tertinggal, maka manusia dituntut untuk selalu menumbuhkembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka sehingga pendidikan seumur hiduppun diperlukan bagi mereka.
6. Psikologis dan pedagogis
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai pengaruh besar terhadap pendekatan, metode, dan teknik pendidikan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang juga telah menjadikan materi pendidikan semakin luas dan kompleks. Sebagai respon terhadap fenomena tersebut, pendidik dituntut untuk mampu mengajarkan bagaimana cara belajar dan menanamkan motivasi yang kuat dalam diri anak untuk belajar terus sepanjang hidupnya, memberikan keterampilan kepada peserta didik secara cepat dan tepat, serta mengembangkan daya adaptasi yang besar dalam diri peserta didik. Untuk itu semua, perlu diciptakan kondisi yang merupakan penerapan atas pendidikan seumur hidup.
Di dalam masyarakat kita terdapat ungkapan “belajar terus sundul langit.” Jika analogi pencapaian pendidikan adalah langit yang tiada terbatas, maka ungkapan tersebut bermakna bahwa belajar tidak mengenal henti. Selama manusia masih hidup dan bergerak, maka pendidikan juga tetap harus berjalan. Jika demikian halnya, maka pertanyaannya sekarang adalah kapankah manusia mulai menempuh proses pendidikan? Dan kapankah proses pendidikan bagi manusia berakhir?
Dalam ajaran Islam sendiri, spirit pendidikan seumur hidup telah dikenal sejak lama, yakni sejak munculnya Islam itu sendiri. Nabi Muhammas saw bersabda “Uthlubul ilma minal mahdi ila al-lahdi” (tuntutlah ilmu sejak dari ayunan (ibu) sampaik ke liang lahat. Saat ini, pendidikan dalam kandungan ibu dikenal dengan pendidikan pra natal (pendidikan sebelum anak dilahirkan). Sementara pendidikan pada masa kanak-kanak dikenal dengan pendidikan anak usia dini (PAUD), kemudian anak menempuh pendidikan di TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Pendidikan di PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi pada hakikatnya merupakan rentang waktu pendidikan dalam arti riil yang memungkinkan manusia menangkap materi pendidikan secara inderawi. Pada kurun waktu itulah seperangkat indera manusia dapat berfungsi untuk mengenal lingkungannya. Akan tetapi dalam Islam, batas waktu belajar bagi seseorang memiliki rentang waktu yang lebih luas dan panjang, tidak sebatas pada hidup manusia saja, tetapi sejak jauh sebelum anak dilahirkan, bahkan sejak kedua orang tuanya menikah hingga akhri zaman.
Menuntut ilmu sejak anak dalam ayunan (semenjak anak masih dalam kandungan ibu), sampai ia meninggal dunia merupakan suatu kebutuhan bagi setiap muslim untuk memenuhi kebutuhannya. Nabi Muhammad saw bersabda bahwa wajib hukumnya bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan untuk mencari ilmu. Dengan demikian belajar juga berdimensi teologis, maka upaya muslim untuk merealisasikannya sudah barang tentu akan lebih tinggi dan semangat karena ada harapan pahala dan kebahagiaan akhirat.
Konsep pendidikan yang dimulai semenjak sebelum pernikahan juga dapat dipahami dari hadist Nabi yang menganjurkan agar laki-laki maupun perempuan ketika memilih calon pasangan suami/istri dianjurkan agar memilih pasangan yang taat beragama. Nabi Muhammad saw bersabda :
“Sesungguhnya perempuan itu dinikahi karena 4 (empat) hal, yakni : karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama (yang kuat), niscaya kamu selamat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jika dinilai dengan angka, harta, keturunan, dan kecantikan bernilai 0 (nol) karena semuanya tidaklah abadi. Sedangkan agama bernilai 1 (satu) karena kekal dan angka 1 (satu) merupakan awal dari angka-angka. Jika seseorang menikah karena melihat harta, keturunan, maupun kecantikan/ketampanan seseorang maka dia akan mendapat nilai 0 (nol). Namun jika dia menikah karena pertimbangan agama maka akan mendapatkan nilai 1 (satu). Jika dia menikah karena agama dan harta maka dia akan mendapatkan nilai 10 (sepuluh). Jika dia menikah karena agama, harta, dan keturunan maka dia akan mendapatkan nilai 100 (seratus). Dan jika dia menikah karena pertimbangan agama, harta, keturunan, dan kecantikan/ketampanan maka dia akan mendapatkan nilai 1000 (seribu). Perumpamaan tersebut bermakna bahwa jika seseorang memilih agama sebagai pertimbangan dalam menikah dengan seseorang maka dia juga akan mendapatkan harta yang barokah, keturunan yang baik, dan suami atau istrinya serta anak-anaknya tetap sehat dan tampan/cantik karena kebutuhan materi dan spiritualnya terpenuhi.
Dengan demikian pada hakikatnya pernikahan memiliki nilai yang transenden dan masa depan yang panjang. Pernikahan tidak menyangkut kedua pihak suami-istri saja, tetapi juga terkait dengan generasi penerus yang lahir sebagai akibat dari pernikahan tersebut. Kualitas generasi yang dilahirkan sebagian besar tergantung pada kualitas keagamaan pasangan orang tuanya.
Mengenai kapan pendidikan berakhir, Islam menetapkan bahwa proses pendidikan baru akan berakhir ketika seseorang meninggal dunia. Secara fisik, mencari ilmu akan berakhir pada saat seseorang meninggal dunia, tetapi proses yang terkandung di dalamnya berlangsung terus sampai pada batas tak terhingga. Pendidikan dalam Islam bernilai transendental, tidak hanya berproses di dunia saja tetapi tetap ada maknanya hingga di kehidupan akhirat. Oleh karena itu, pendidikan dalam perspektif Islam menjadi tak terbatas (no limit to learn).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar