Kamis, 13 Januari 2011

BAB VIII HAKEKAT PESERTA DIDIK

A. Hakekat Peserta Didik
1. Potensi Peserta Didik
Peserta didik merupakan raw input (bahan mentah) dalam proses transformasi pendidikan yang mempunyai berbagai potensi atau fitrah yang dapat dipahami sebagai kemampuan atau hidayah yang bersifat umum dan khusus, antara lain :
a. Hidayah wujdaniyah, yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi.
b. Hidayah hisyiyyah, yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan inderawi sebagai penyempurna hidayah wujdaniyah.
c. Hidayah aqliyah, yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini mannusia mampu berfikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.
d. Hidayah diniyyah, yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan atau perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan Hadist.
e. Hidayah taufiqiyyah, yaitu hidayah yang sifatnya khusus. Sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut manusia agar manusia senantiasa melakukan upaya memperoleh dan diberi petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq guna selalu berada dalam keridhaan Allah.
Quraish Shihab berpendapat bahwa untuk menyukseskan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, Allah melengkapi manusia dengan potensi-potensi antara lain :
a. Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
(QS. Al Baqarah : 31)
b. Ditundukkan bumi, langit, dan segala isinya, binatang-binatang, planet dan sebagainya oleh Allah.
“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”
(QS. Al Jaatsiyah : 12-13)
c. Potensi akal fikiran serta panca indera.
“Katakanlah: "Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati." (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”
(QS. Al Mulk : 23)
d. Kekuatan positif untuk merubah corak kehidupan manusia.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
(QS. Al rad : 11)
Di samping potensi yang bersifat seperti di atas, manusia juga dilengkapi dengan potensi yang bersifat negatif yang merupakan kelemahan manusia, antara lain :
a. Potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu setan. Hal ini digambarkan dengan upaya setan menggoda Adam dan Hawa sehingga keduanya melupakan peringatan Allah untuk tidak mendekati pohon terlarang.
b. Banyak masalah yang tak dapat dijangkau oleh fikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, dan banyak hal lain yang menyangkut kehidupan manusia.

B. Hak dan Kewajiban Peserta Didik
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Kemudian pada pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD dan SMP). Pada pasal 12 disebutkan bahwa :
1. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan (SD, SMP, dan SMA) berhak:
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
c. Mendapatkan beapeserta didik bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mempu membiayai pendidikannya.
e. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.
f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
2. Setiap peserta didik berkewajiban :
a. Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Dimensi-dimensi Peserta Didik yang Akan Dikembangkan
Zakiyah Daradjat membagi manusia kepada tujuh dimensi pokok yang masing-masingnya dapat dibagi kepada dimensi-dimensi kecil. Letujuh dimensi tersebut antara lain : dimensi fisik, dimensi akal, dimensi, keberagamaan, dimensi akhlak, dimensi rohani, dimensi seni, dan dimensi sosial.
1. Dimensi Fisik (jasmani)
Fisik atau jasmani terdiri atas organisme fisik. Organisme manusia lebih sempurna dibandingkan organisme-organisme makhluk hidup lainnya. Pada dimensi ini, proses penciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan ataupun tumbuhan, sebab semuanya termasuk bagian dari alam.
Setiap alam biotik memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara, dan air. Hasil penellitian telah membuktikan bahwa jasad manusia tersusun dari sel-sel yang terbentuk dari bagian-bagian yang disebut organik yang tersusun atas molekul-molekul, senyawa, dan unsur-unsur kimiawi yang terdapat di bumi. Namun demikian, meskipun memiliki kesamaan asal secara biologis, susunan penciptaan biologis manusia lebih sempurna dibandingkan makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik (tidak hidup). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqat al-jismiyah). Energi kehidupan ini lazim disebut nyawa. Ibnu Maskawaih menyebut nyawa manusia sebagai energi al-hayat (daya hidup), sedangkan al-Ghazali menyebutnya dengan ruh jasmaniyah (ruh material).
Nyawa sebagai daya hidup merupakan vitalitas yang tergantung sekali kepada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, daging, tulang, sumsum, kulit, rambut, dan sebagainya. Dengan kesempurnaan dan ruh yang diberikan Allah, manusia dapat bernafas, merasa sakit, haus, lapar, panas, dingin, keinginan seks, dan sebagainya.
Jadi, aspek jasmani memiliki dua natur, yaitu natur konkret berupa tubuh kasar yang tampak dan natur abstrak berupa nyawa yang menjadi sumber kehidupan tubuh. Aspek abstrak jasmani inilah yang mampu berinteraksi dengan aspk rohani manusia.
2. Dimensi Akal (intelektual)
Ibnu Qayyim mengatakan bahwa setelah Allah menurunkan nabi Adam dari langit ke bumi, lalu malaikat Jibril datang kepadanya dengan membawa tiga perkara, yaitu agama, akhlak, dan akal. Kemudian Jibril berkata, “sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk memilih satu di antara ketiganya.” Adam memilih akal dan menyuruh lainnya kembali. Tetapi keduanya berkata, “kami telah diperintahkan untuk tetap menemani akal di manapun berada. Ada enam fungsi akal bagi manusia, antara lain :
a. Akal adalah penahan nafsu. Dengan akal manusia dapat mengerti apa yang tidak dikehendaki oleh amanat yang dibebankan kepadanya sebagai sebuah kewajiban.
b. Akal adalah pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi sesuatu baik yang tampak jelas maupun tidak jelas.
c. Akal adalah petunjuk yang dapat memberikan hidayah dan peringatan.
d. Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan tingkah laku.
e. Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.
f. Akal adalah daya ingat mengambil dari yang telah lampau untuk masa yang sedang dihadapi. Akal menghimpun semua pesan dari apa yang pernah terjadi untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Ia menyimpan, mewadahi, memulai dan mengulangi semua pengertian yang pernah disimpan. Akal dapat memahami setiap perintah kebajikan dan memahami setiap larangan mengenai kejahatan.
Dalam dunia pendidikan, fungsi kemampuan akal dari otak peserta didik dikenal dengan istilah kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang sama dengan knowing yang berarti mengetahui. Dalam arti luas, kognisi ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di otak meliputi perikalu mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan.
Otak manusia adalah massa protoplasma yang paling kompleks yang pernah dikenal di alam semesta ini. Otak manusia terdiri atas 72-78 % air, 10-12 % protein, dan 8-10 % lemak. Otak orang dewasa beratnya sekitar 1,4 kg atau sekitar 2 % dari total berat tubuh kita. Otak wanita sedikit lebih ringan 100 hingga 150 gram dari laki-laki.
Otak bekerja nonstop walaupun kita sedang tidur. Walau beratnya hanya 20 % dari berat tubuh, otak ternyata mengkonsumsi sekitar 20 % dari suplai oksigen tubuh, 20 % dari kalori yang kita butuhkan. Semakin keras kita berfikir maka semakin banyak pula kalori yang kita butuhkan. Secara visual, kita memperoleh sekitar 100 juta bit data per detik. Kita juga memproses sekitar 30.000 bit data per detik dalam bentuk informasi yang disampaikan secara auditori, dan lebih dari 100 juta bit data per detik informasi yang berhubungan dengan indera peraba dan sentuhan.
Setiap manusia memiliki dua belahan otak (hemisfer) yang lebh dikenal dengan sebutan otak kanan (hemisfer kanan) dan otak kiri (hemisfer kiri) yang dihubungkan dengan satu jembatan komunikasi yang disebut corpus callosum yang terdiri dari 100.000.000 sel. Masing-masing belahan mempunyai cara pikir yang berbeda. Pada umumnya kita diberi tahu bahwa setiap belahan otak mengatur 50 % dari setiap tubuh kita. Hemisfer kiri mengatur bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri.
Kerja otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier, dan rasional. Cara berfikir otak kiri sesuai untuk tugas-tugas yang bersifat teratur, tersusun rapih seperti ekspresi verbal bahasa, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detil fakta dan data, serta bersifat simbolik. Cara kerja otak kiri adalah short memory, gampang mengingat informasi tetapi juga gampang melupakannya.
Sementara cara kerja otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berfikir otak kanan sesuai dengan tugas-tugas yang bersifat nonverbal, kesadaran spasial, seni, kreativitas, dan visualisasi. Cara kerja otak kanan bersifat long memory atau menyimpan informasi dalam jangka panjang.
Begitu dahsyat cara kerja otak dan kemampuannya. Meskipun demikian, kemampuan akal cukup terbatas. Pada dimensi ini akal memerlukan bantuan al-qalb. Melalui potensi al-qalb manusia dapat merasakan eksistensi arti immaterial dan kemudian menganalisanya lebih lanjut.
3. Dimensi Keberagamaan (emosi dan spiritual)
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya kepada Tuhan) atau disebut homoreligious (makhluk yang beragama). Berdasarkan hasil riset mengatakan hampir seluruh psikolog sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.
Dalam pandangan Islam, sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya dzat yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allah. Sejak di dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(QS Al A’raf : 172)
4. Dimensi Akhlak (etika)
Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan adalah akhlak. Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak yang mulia merupakan tujuan utama pendidikan. Hal ini dapat ditarik relevansinya dengan tujuan Rasulullah diutus oleh Allah :
“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan budi pekerti.”
(HR. Bukhari)
5. Dimensi Rohani (kejiwaan)
Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram, dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah meniupkan ruh-Nya atas ciptaan-Nya.
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
(QS Al Hijjr : 29)
Sehubungan dengan ayat di atas, al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan dari tubuh yang dapat dilihat oleh pandangan dan jiwa yang bisa ditanggapi oleh akal. Tubuhnya dikaitkan dengan tanah dan ruhnya. Ruh ialah apa yang diketahui sebagai jiwa atau an-nafs. Dalam kontek ini al-Ghazali membagi roh ke dalam dua bentuk, antara lain :
a. Al-ruh, yaitu daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya dan mencapai ilmu pengetahuan sehingga dapat menentukan kepribadian mannusia sekaligus menjadi motivator bagi manusia dalam melaksanakan perintah Allah.
b. Al-nafs (jiwa), yang berarti panas alami yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf manusia. Al-nafs dalam konteks ini disebut dengan nyawa (al-hayat) yang membedakan manusia dengan benda mati tapi tidak membedakannya dengan makhluk yang lain seperti hewan dan tumbuhan karena sama-sama memiliki al-nafs. Akan tetapi pada tingkatan yang esensial eksistensi al-nafs berbeda antara manusia sebagai makhluk mulia (taqwa) dengan makhluk yang hina (sesat) meskipun sama-sama memiliki al-nafs.
“Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS Asy Syam : 7-10)
Berdasarkan ayat di atas dapat dilihat bahwa roh manusia bisa berkembang ke taraf yang lebih tinggi apabila manusia berusaha ke arah itu. Manurut al-Ghazali, jalan ke arah tersebut adalah dengan peningkatan iman dan mempererat hubungan yang terus menerus dengan Allah. Upaya ini dilakukan melalui ibadah terus menerus, zikir, tilawah al-Qur’an, dan doa. Dengan kata lain, melalui upaya peningkatan aktivitas keagamaan.
6. Dimensi Seni (estetika)
Seni adalah ekspresi roh dan berdaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni merupakan bagian dari hidup manusia. Allah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi rohani maupun inderawi (mata, telinga, dan lain sebagainya), maka nilai seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan oleh Allah.
“Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.”
(QS. An Nahl : 1)
Sebagai manifestasi dan refleksi dari kehidupan manusia, seni merupakan sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Untuk itu, tujuan seni bukan untuk seni belaka, akan tetapi memiliki tujuan jangka panjang yaitu kebahagiaan spiritual dan material manusia di dunia dan di akhirat serta menjadi rahmat bagi segenap alam di bawah naungan keridhaan Allah.
Dimensi seni (keindahan) pada diri manusia tidak boleh diabaikan. Dimensi seni perlu ditumbuhkan karena keindahan dapat menggerakkan dan menerangkan batin, memenuhi relung-relung hati, meringankan beban kehidupan yang kadang menjemukan, dan merasakan keberadaan nilai-nilai, serta lebih mempu menikmati keindahan hidup. Keberadaan seni dalam Islam telah diperlihatkan langsung oleh Allah lewat tuntutannNya yaitu al-Qur’an. Nilai keindahan al-Qur’an yang demikian tinggi menunjukkan kehadiran Ilahi dalam objek pengetahuan manusia. Hal ini disebabkan al-Qur’an adalah ekspresi kebijaksanaan dan pengetahuan Allah, tuntunan dan petunjukNya, kehendak dan perintahNya. Keindahan al-Qur’an dapat dilihat dari segi kekuatan teksnya untuk menundukkan dan mengatasi setiap perbandingan maupun dari segala sastranya, merupakan bukti ke-Ilahian. Bukti autentik ini merupakan kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian nilai seninya ditunjukkan pada seluruh manusia di setiap masa. Setiap orang mampu untuk menangkap dan mengapresiasikannya jika ia mempunyai motivasi yang kuat untuk merasakan keindahan.
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.”
(QS. An Nahl : 5-6)
Ayat di atas menjelaskan hikmah dan manfaat binatang dan mengingatkan sisi keindahan Rabbani yang digambarkan langsung oleh Sang Pencipta, yaitu Allah. Islam tidak hanya melihat manusia untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya tapi juga menekankan agar manusia mengungkapkan perasaan dan kecintaanya tersebut dalam aktivitas kehidupannya. Nilai keindahan sangat erat kaitannya dengan keimanan. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin ia mampu menyaksikan dan merasakan keindahan yang diciptakan Allah atas alam semesta.
Seorang mukmin mencintai keindahan karena Rabbnya mencintai yang indah. Allah itu indah dan mencintai yang indah. Seni bagi orang mukmin adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan keimanan, bukan menjadi sesuatu yang dapat menimbulkan kelalaian, kemungkaran dan kesombongan yang dibenci oleh Allah dan manusia.
Oleh karena itu, seorang guru hendaknya mampu mengerahkan peserta didiknya untuk dapat mengembangkan dimensi seni, baik dalam bimbingan untuk merasakan dan menghayati nilai-nilai seni yang ada pada alam ciptaan Allah maupun memotivasi mereka agar mampu mengungkapkan nilai-nilai seni tersebut sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka masing-masing tanpa harus terlepas dari bingkai-bingkai Ilahiah.
7. Dimensi Sosial
Seorang manusia adalah makhluk indovidual dan secara bersamaan adalah makhluk sosial. Keserasian antara individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial dan tujuan individu. Dalam Islam, tanggung jawab tidak terbatas pada perorangan, tapi juga sosial sekaligus. Tanggung jawab perorangan pada pribadi merupakan asas, tapi pada saat bersamaan ia tidak mengabaikan tanggung jawab sosial yang merupakan dasar pembentukan masyarakat.
Masyarakat yang baik menurut pengertian Islam adalah masyarakat yang ikut merasakan kesulitan-kesulitan orang lain, serta tumbuhnya rasa cinta dan solidaritas terhadap sesamanya. Solidaritas sosial mengandung pengertian yang dalam, baik yang menyangkut rasa mencintai dan merasakan kepada penderitaan orang lain, berusaha meringankan beban yang dipikul mereka, sampai menyangkut sikap yang menutupi kelemahan dan cacat tubuh saudaranya. Sikap ini tidak mungkin timbul bila keimanan tidak tidak tumbuh dalan diri seorang muslim.
“Tidak sempurna iman seorang hamba, sehingga ia mencintai saudaranya sendiri sepeti ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari)


D. Implikasi Dimensi-dimensi Peserta Didik terhadap Materi Pendidikan
Secara bahasa, materi berarti sesuatu yang menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, dikarang, dan sebagainya. Dengan demikian, materi pendidikan Islami adalah seperangkat bahan yang dijadikan sajian dalam aktivitas pendidikan Islam untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Bahan tersebut merupakan unsur inti dari kegiatan belajar mengajar dan bahan tersebutlah yang diupayakan untuk dikuasai oleh peserta didik.
Perumusan tentang materi pendidikan Islami didasarkan atas konsep dasar dan tujuan pendidikan Islam, yaitu terbentuknya manusia yang mampu berperan sebagai Khalifah fil Ardh, yang beriman dan bertaqwa, berakhlak, menguasai iptek, profesional, dan beretos kerja tinggi.
Ketujuh dimensi pada potensi peserta didik tersebut berimplikasi pada penentuan materi pendidikan yang akan diajarkan kepada peserta didik, antara lain :
a. Materi pendidikan keagamaan (Spritual Learning)
Pendidikan keagamaan merupakan usaha awal untuk membangkitkan potensi spiritual anak. Disamping itu, pendidikan agama merupakan usaha pembekalan pengetahuan dan kebudayaan Islam. Hal terpenting dalam usaha ini adalah menanamkan keyakinan bahwa tiada tuhan selain Allah, keimanan kepada para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul dan hari akhir.
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pendidikan keagamaan antara lain : ilmu tauhid, ilmu fiqih, al-Qur’an, Hadist, akhlaq, dan tarikh Islam.
b. Materi pendidikan rasional (Intelectual Learning)
Yang dimaksud dengan materi pendidikan rasional ialah membekali anak sejak dini cara berpikir jernih supaya anak terbiasa menyelesaikan setiap masalah dengan menggunakan pertimbangan akal sehat. Pendidikan dasar-dasar sains dan teknologi harus dimulai sejak dini sebagai bekal dasar agar anak di kemudian hari dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi modern, agar anak menjadi anggota masyarakat yang berperadaban maju, bukan peradaban yang miskin dan terbelakang. Itulah sebabnya Islam sangat menekankan pentingnya mencari ilmu pengetahuan sebab hanya dengan ilmu pengetahuan manusia akan dapat mencapai kemajuan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.
Banyak sekali hadits yang menegaskan pentingnya mencari ilmu. Di antaranya, ditegaskan di dalam sebuah Hadits bahwa siapa saja yang menginginkan kebahagiaan dunia maupun akhirat mestilah “dibeli” dengan ilmu pengetahuan. Allah pun berjanji bahwa Dia akan mengangkat martabat orang beriman dan berilmu (QS. Al Mujadalah :11). Bahkan lima ayat pertama dalam al-‘Alaq adalah tentang keharusan mencari ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat pendidikan. Turunnya surat pertama yang memuat pesan keharusan menuntut ilmu ini merupakan isyarat nyata bahwa kemajuan setiap orang (nabi sekalipun) ditentukan dengan keilmuannya, bukan dengan nasab keturunannya, harta kekayaannya maupun predikat sosialnya. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw. menekankan bahwa pendidikan atau pembekalan keilmuan harus dimulai sejak sedini mungkin: “Didiklah anak-anak kalian sebab mereka itu merupakan generasi yang akan menghadapi zaman yang berbeda dari zaman kalian”
(HR. Tirmidzi).
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pendidikan rasional antara lain : matematika, fisika, biologi, kimia, serta teknologi informasi dan komunikasi.
c. Materi pendidikan jasmani dan kesehatan (Physical Learning)
Ayat-ayat dan hadits-hadits seperti dikutip di bawah ini dapat dijadikan pedoman bagi pendidikan jasmani:
“Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”
(QS. Al Mudatsir : 4-5)
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.”
(Qs Al Anfal : 60)
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al A’raf : 31)
“Orang mukmin yang kuat adalah lebih berharga dari pada mukmin yang lemah.”
Disebutkan lagi:
“Kebersihan itu merupakan bagian dari keimanan”
Juga dikatakan:
“Bersuci itu merupakan pangkal keimanan.”
Sabda beliau lagi: “Bergerak jalanlah kalian supaya kalian sehat.”
Sabda Nabi lagi:
“Kesehatan itu terdapat di udara terbuka.”
Maksudnya, udara yang bersih dapat menjamin kesehatan tubuh. Kesehatan mental tidak dapat dipisahkan dari kesehatan jasmani. Makanan, minuman, tempat tinggal dan lingkungan yang sehat menentukan lahirnya kepribadian anak yang sehat. Kebiasaan bergaya hidup sehat harus dimulai sejak dini. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan merupakan contoh pendidikan kesehatan jasmani yang sederhana tetapi sangat penting bagi anak-anak. Demikian pula menggosok gigi sebelum tidur. Ini harus dibiasakan sejak kanak-kanak. Makanan yang halal dan bergizi baik juga mesti dijadikan perhatian utama bagi orang tua (pendidik). Itu sebabnya Islam mengharamkan bangkai, darah, arak dan daging babi.
Etika makan dan minum juga patut diperhatikan dan dibiasakan sejak dini. Misalnya, makan dan minum tidak boleh berlebihan. Itu sebabnya Islam menganjurkan puasa. Bila minum, tidak boleh dilakukan dengan sekali teguk seperti unta, tetapi harus dua sampai tiga kali tegukan (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Bergaya hidup bersih, baik badan, pakaian maupun tempat tinggal dan lingkungan sekitar, harus dibiasakan sejak kanak-kanak sebab Allah mencintai orang-orang yang bergaya hidup bersih.
Di samping itu, untuk kesehatan anak, pendidikan Islam sangat menekankan pentingnya berolahraga. Nabi Muhammad saw. menganjurkan agar anak kita dididik berolahraga sejak dini seperti berenang, berlari, memanah dan pacuan kuda (HR. Thabrani).
Sekurang-kurangnya, ada tiga tujuan utama dari pendidikan jasmani dan kesehatan, yaitu:
1) Untuk menjaga dan memelihara kesehatan badan seperti alat pernapasan, peredaran darah, pencernaan, otot dan sistem saraf, serta untuk melatih keterampilan dan ketangkasan.
2) Memupuk solidaritas sosial seperti gemar tolong-menolong dan setia kawan yang umumnya dapat diwujudkan melalui permainan dan olah raga berkelompok (seperti sepak bola).
3) Memupuk perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan seperti kecerdasan, ingatan, kemauan, kerajinan, ketekunan, kegigihan, keteguhan, dll.
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pendidikan jasmani dan kesehatan seperti Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (PJOK).
d. Materi Pendidikan akhlak (Emosional and Spiritual Learning)
Di dalam sistem pendidikan Islam, pendidikan ahlak tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Para ahli filsafat pendidikan Islam sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah ruh pendidikan Islam sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik manusia supaya memiliki jiwa dan akhlak mulia. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada pemberian yang lebih berharga dari orang tua kepada anaknya selain dari pendidikan budi pekerti yang baik”
(HR. Tirmidzi).
Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah berpesan agar orang tua memuliakan anaknya dengan cara menanamkan budi pekerti yang baik (HR. Ibnu Majah). Bahkan pemberian nama yang baik kepada anak secara implisit merupakan pesan moral bahwa orang tua menghendaki anaknya menjadi manusia yang berakhlak baik. Contoh lain, membiasakan anak mengucapkan ungkapan “Mohon maaf!” dan “Terima kasih” merupakan kebiasan sederhana namun terpuji yang dapat mencetak kepribadian bermoralitas tinggi.
Dalam konteks ini, pakar pendidikan Athiyah al-Abrasyi menyatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi membina mental dan akhlak mereka dengan cara memanamkan kegemaran melakukan kebajikan, membiasakan diri bersikap sopan, mencetak mental yang ikhlas dan jujur. Singkatnya, tujuan utama pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembinaan mental.
Tidak diragukan lagi bahwa akhlak mulia merupakan buah dari keimanan yang merasuk ke dalam kehidupan keagamaan anak. Karena itu, bila anak sejak dini tumbuh dan berkembang dengan dasar iman kepada Allah, maka dia akan memiliki kemampuan untuk mencintai kebajikan dan keutamaan. Tegasnya, dia akan terbiasa berperilaku dengan akhlak mulia karena dia menyadari bahwa iman akan membentengi dirinya dari berbuat dosa dan kebiasaan buruk. Memperjelas hal ini, Abdullah Nasikh ‘Ulwan mengatakan bahwa pendidikan iman akan dapat mengendalikan perilaku menyimpang, memperbaiki jiwa manusia. Tanpa iman, moralitas tidak akan tegak. Ini berarti bahwa moralitas manusia (yang dibina sejak anak kecil) mesti dilandasi iman.
Para filusuf Muslim sepakat mengenai pentingnya periode kanak-kanak dalam pembinaan budi pekerti. Dalam konteks ini, Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa pembinaan akhlak yang paling tepat adalah dimulai sejak masa kanak-kanak. Bila suatu kejelekan sudah menjadi kebiasaan sejak kecil, itu akan sulit memperbaikinya.
Senada dengan al-Jauzi, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa anak adalah amanah bagi orang tuanya. Hati anak kecil itu masih suci bagaikan permata yang mahal harganya. Maka bila anak dibina sejak dini dengan kebiasaan yang baik, bila dia sudah dewasa akan tumbuh menjadi orang yang memiliki sifat-sifat terpuji.
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pokok pendidikan akhlak antara lain : Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama Islam (seperti yang terdapat di sekolah umum), serta seni dan budaya.
e. Materi pendidikan sosial (Social Learning)
Materi pendidikan sosial bagi anak-anak adalah pembiasaan sejak dini di dalam mematuhi norma-norma sosial. Dalam kata lain, pendidikan sosial di masa dini merupakan usaha untuk membiasakan anak bergaul di masyarakat secara sopan. Ini dapat menjamin keberadaan anak sebagai mahluk sosial yang mampu berinteraksi dengan sesamanya secara rukun dan damai. Usaha seperti inilah yang dapat menjamin terciptanya apa yang disebut solidaritas sosial. Dengan demikian, akan terciptalah kesatuan masyarakat yang bulat dan utuh sehingga kesatuan ini dapat dilukiskan sebagai satu tubuh. Nabi Muhammad saw. menggambarkannya sebagai satu jasad sehingga di mana ada salah satu organ yang sakit, maka semua organ lainnya akan merasa sait pula. Inilah wujud nyata solidaritas sosial yang dikehendaki Islam. Solidaritas seperti ini hanya akan terwujud bila individu-individu dalam suatu masyarakat memiliki rasa tanggungjawab dan kepedulian sosial.
Sikap saling menyayangi, saling menghargai dan menghormati merupakan wujud nyata rasa tanggung jawab tersebut. Kegiatan saling berkunjung ke rumah atau berkirim makanan merupakan contoh usaha menanamkan solidaritas sosial yang kelihatannya sederhana namun sangat berharga. Demikian pula kerja bakti dalam melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti perbaikan saluran air, operasi kebersihan lingkungan, penghijauan lingkungan, pembuatan apotek hidup, dan lain-lain.
Adapun mata pelajaran yang memuat materi pokok pendidikan sosial antara lain Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan ilmu pengetahuan sosial (sosiologi, ekonomi, antropologi, sejarah).

E. Perkembangan Peserta Didik
1. Periode Sekolah Dasar (SD)
Dalam psikologi perkembangan, usia peserta didik di SD berada dalam periode late childhood (akhir masa kanak-kanak), kira-kira berada dalam rentan usia antara enam/tujuh tahun sampai tiba saatnya anak menjadi matang secara biologis sekitar usia tiga belas tahun. Periode ini ditandai dengan kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.
Pada saat anak masuk ke kelas satu, perubahan besar dalam kehidupan anak terjadi. Mereka dihadapkan pada suasana lingkungan baru yang menuntut mereka untuk dapat menyesuaikan diri. Secara psikologis dalam situasi tersebut kebanyakan anak berada dalam keadaan tidak seimbang, anak mengalami gangguan emosional sehingga sulit untuk hidup dan bekerja sama. Masuk ke kelas satu merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap anak sehingga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku. Hal yang sama juga terjadi pada setahun atau dua tahun terakhir pada masa kanak-kanak (late childhood). Dalam masa ini terjadi perubahan fisik yang menonjol yang dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku karena menjelang berakhirnya periode ini anak mempersiapkan diri secara fisik dan psikologis untuk memasuki masa remaja.
Sigmund Freud memberi nama fase usia SD ini fase latent, dimana dorongan-dorongan seakan-akan mengendap (laten), tidak menggelora seperti masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Periode SD ini dapat dirinci menjadi dua fase, yaitu :
a. Periode kelas-kelas rendah SD, yaitu umur 6/7 tahun sampai 9 tahun.
b. Periode kelas-kelas tinggi SD, yaitu umur 9/10 tahun sampai 13 tahun.
Karakteristik masa akhir kanak-kanak biasa diidentikkan dengan sebutan-sebutan untuk menandai kecenderungan umum yang terjadi pada masa ini, misalnya usia yang menyulitkan, usia tidak rapi, usia bertengkar, usia kelompok, usia penyesuaian diri, usia kreatif dan kritis, dan usia bermain. Karakteristik anak-anak yang hampir bersifat universal pada periode SD ini antara lain :
a. Meningginya emosi yang intensitasnya sering bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis.
b. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dimainkan dan menimbulkan masalah baru.
c. Terjadi perubahan nilai-nilai dikarenakan perubahan minat dan perilakunya.
Kesemua perubahan-perubahan tersebut akhirnya berdampak pada perkembangan aspek kognitif (kecerdasan), afektif (perasaan), maupun psikomotorik (gerak).
a. Perkembangan aspek kognitif
Kemampuan kognitif berkaitan dengan kemampuan berfikir, mencangkup kemampuan intelektual mulai dari kemampuan mengingat sampai dengan kemampuan memecahkan masalah. Islam sangat memperhatikan perkembangan kognitif seseorang. Hal ini terllihat dari banyaknya ayat maupun hadis yang menerangkan pentingnya menuntut ilmu dan menggunakan akal untuk memahami gejala alam semesta yang memperlihatkan kebesaran Allah. Islam bahkan memandang mereka yang memiliki ilmu pengetahuan memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada mereka yang enggan belajar. Dalam al-Qur’an dinyatakan :
“Apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Al-Zumar : 9)
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”
(QS. Al-Mujadilah : 11)
Kemampuan kognitif dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Perkembangan kognitif pada masa kanak-kanak terjadi melalui urutan yang berbeda. Tahapan ini membantu menerangkan cara anak berfikir, menyimpan informasi, dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Menurut Jean Piaget terdapat empat tahapan perkembangan kognitif pada anak-anak, antara lain:
1) Tahap pertama disebut periode sensorik motorik (sekitar 0-2 tahun)
Pada tahap ini anak (bayi) menggunakan alat indera dan kemampuan motorik untuk memahami dunia sekitarnya. Pada usia seperti ini, dilihat dari segi jasmani dan rohani, si anak masih lemah sehingga dalam perkembangan biologisnya pun ia masih bergantung pada suplai makanan yang berasal dari air susu ibu (ASI). Oleh sebab itu tidak heran jikadalam salah satu firmanNya Allah menganjurkan para ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”
(QS. Al Baqarah : 233)
Upaya di atas tidak hanya baik ditinjau dri segi aspek jasmani sebagaimana dijelaskan oleh para pakar kesehatan, namun justru yang paling penting adalah perasaan kasih sayang yang diperoleh anak karena pelukan sang ibu ketika menyusui.
2) Tahap kedua disebut periode praoperasional (sekitar 2-7 tahun)
Pada tahap ini anak dapat membuat penyesuaian perseptual dan motorik terhadap objek dan kejadian yang direpresentasikan dalam bentuk simbol (bayangan mental, kata-kata, isyarat) dalam meningkatkan bentuk logika.
Pada usia seperti ini, anak sudah mampu berjalan dan senang bermain. Dalam hal ini, Nabi memberi petunjuk agar tidak mengganggu kesenangan anak-anak yang sedang bermain. Kenyataan tersebut dapat terlihat dari sikap Nabi terhadap kedua cucunya ketika ia sujud dalam sebuah solat, kedua cucunya naik ke atas pundaknya seraya menjadikan Nabi seperti seekor kuda. Nabi yang sedang solat sekalipun tidak memarahinya, malah ia memanjangkan sujudnya, hingga Hasan dan Husain merasa puas.
Di satu sisi, peristiwa di atas merupakan tuntutan agar orang tua mengarahkan pendidikan anak-anak dalam usia ini dengan permainan. Di samping itu, peristiwa tersebut juga memberikan pelajaran penting pada umatnya bahwa anak harus mulai diperkenalkan dengan ritual solat sedini mungkin dengan cara membawanya ke masjid. Walaupun pada saat itu Hasan dan Husain tidak melaksanakan solat, tetapi minimal mereka melihat orang-orang yang sedang melaksanakan solat. Dengan demikian, jika seorang marah-marah gara-gara ketika ia solat mendengar anak-anak yang asik bermain, maka ia perlu mengontrol diri mengingat adanya Sunnah Rasul tersebut.
3) Tahap ketiga disebut periode konkret operasional (sekitar 7-11 tahun)
Pada tahap ini anak mendapatkan struktur logika tertentu yang membuatnya dapat melaksanakan berbagai macam operasi mental, yang merupakan tindakan terinternalisasi yang dapat dikeluarkan bila perlu. Anak melaksanakan operasi ini dalam situasi konkret. Operasi adalah hubungan-hubungan logis di antara konsep-konsep atau skema-skema.
4) Tahap keempat disebut periode formal operasional (sekitar 11-15 tahun)
Pada tahap ini operasi mental pada anak tidak lagi terjadi pada objek konkret, tapi juga dapat diaplikasikan pada kalimat verbal atau logika, yang tidak hanya menjangkau kenyataan melainkan juga kemungkinan, tidak hanya menjangkau masa kini tetapi juga masa depan.
Jika melihat tahapan-tahapan di atas, anak SD berada dalam tahap kedua dan ketiga. Sifat khas anak SD sangat realistis, ingin tahu, dan ingin belajar. Sebagian besar anak SD ini belum mampu memahami konsep-konsep abstrak.
Anak usia SD sudah memiliki kemampuan untuk berfikir melalui urutan sebab-akibat dan mulai mengenali banyak cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Anak usia SD ini juga dapat mempertimbangkan secara logis hasil dari sebuah kondisi atau situasi serta tahu beberapa aturan atau strategi berfikir, sperti penjumlahan, pengurangan, penggandaan, mengurutkan, dan mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep, seperti 2 + 5 = 7, 5 X 6 = 30, dan 20 – 3 = 17.
Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber pada indera, karena anak usia SD mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara yang bersifat sementara dan yang bersifat tetap. Mereka akan tahu jika air dalam gelas besar pendek dipindahkan ke dalam gelas kecil tinggi jumlahnya akan tetap sama karena tidak satu tetes pun yang tumpah. Hal ini adalah karena mereka tidak lagi mengandalkan persepsi penglihatannta, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya. Mereka dapat mengukur, menimbang, dan menghitung jumlahnya, sehingga perbedaan yang nyata tida membodohkan mereka. Adanya perhatian kepada kehidupan yang praktis dan konkret tersebut membawa kecenderungan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang praktis.
Pada masa SD ini disifatkan sebagai masa realisme, yaitu realisme naif (umur 8 sampai 10 tahun) dan realisme kritis (umur 10 sampai 12 tahun). Pada masa SD, aktivitas mental anak terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah dialaminya.

b. Perkembangan aspek afektif
Kemampuan afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang menggambarkan emosi dengan muatan yang berbeda, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Kedua jenis emosi yang berlawanan ini bahkan sering dipasangkan untuk menimbulkan efek kontradiktif yang menguatkan makna kalimat. Dalam al-Qur’an antara lain diceritaka :
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak sebagai pembalasan dari apa yang mereka kerjakan”
(QS. Al-Taubah : 82)

“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup lagi oleh kegelapan”
(QS. Abasa : 38-41)
Seseorang juga dapat membuat respon berurutan yang menunjukkan intensitas emosi yang dimilikinya. Dalam al-Qur’an dinyatakan :
“Sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling dan menyombongkan diri”
(QS. Al-Mudatsir : 22-23)
Kemampuan afektif ini terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena, yang merupakan faktor internal individu. Kemampuan ini dapat dikelompokkan menjadi lima,yaitu pengenalan/penerimaan, pemberian respon, penghargaan terhadap nilai, pengorganisasian dan pengamalan.
Emosi yang umum pada akhir masa kanak-kanak hampir sama dengan pola pada awal masa kanak-kanak, perbedaannya terletak pada awal jenis situasi yang membangkitkan emosi dan bentuk ungkapannya. Perubahan tersebut lebih merupakan akibat dari meluasnya pengalaman dan belajarnya dari pada proses pematangan diri. Dengan bertambah besarnya badan, anak-anak mulai mengungkapkan amarah dalam bentuk murung, menggerutu, dan berbagai ungkapan kasar.
Pada masa akhir kanak-kanak, ada waktu dimana anak sering mengalami emosi yang hebat. Karena emosi cenderung kurang menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi menjadi periode ketidakseimbangan, yaitu saat dimana anak sulit dihadapi. Meningginya emosi tersebut dapat disebabkan karena kesadaran fisik dan lingkungan, misalnya karena sakit atau lelah dan karena keadaan keluarga yang mengalami keretakan, kematian atau perceraian.
Perkembangan nilai, moral, dan sikap banyak terjadi melalui warna khas sesuai karakteristik perkembangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan internalisasi nilai-nilai, moral, dan sikap banyak terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggap sebagai model.
c. Perkembangan aspek psikomotorik
Perkembangan psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik, yang berhubungan dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otak. Kemampuan ini terdiri dari lima kelompok, antara lain meniru, memanipulasi, akurasi gerak, artikulasi, dan naturalisasi/otonomisasi.
Perkembangan psikomotorik peserta didik SD memiliki kekhususan antara lain ditandai dengan perubahan-perubahan ukuran tubuh dan proporsi tubuh. Tingkat sosial-ekonomi orang tua juga berpengaruh terhadap anak. Anak yang berasal dari tingkat sosial-ekonomi atas cenderung mempunyai keterampilan yang lebih tinggi dibandingkan anak yang berasal dari tingkat sosial-ekonomi yang rendah. Keterampilan yang dipelajari lebih terpusat pada keterampilan menolong yang bersifat sendiri dan sosial, sedangkan anak dari tingkat sosial-ekonomi menengah dan atas terpusat pada kelompok keterampilan bermain.

2. Periode Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Dalam tahap perkembangannya, peserta didik usia SMP berada pada periode perkembangan yang sangat pesat dari segala aspek. Berikut ini disajikan perkembangan tersebut yang berhubungan dengan pendidikan, yaitu perkembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
a. Perkembangan aspek kognitif
Menurut Piaget anak-anak SMP, yaitu usia 11-15 tahun berada pada periode formal operasional. Pada tahap ini operasi mental pada anak tidak lagi terjadi pada objek konkret, tapi juga dapat diaplikasikan pada kalimat verbal atau logika, yang tidak hanya menjangkau kenyataan melainkan juga kemungkinan, tidak hanya menjangkau masa kini tetapi juga masa depan.
Dengan demikian pada tahap ini peserta didik sudah dapat berfikir secara abstrak dan hipotetis sehingga mereka mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi yang merupakan sesuatu yang bersifat abstrak.
Peserta didik pada tahap formal operasional dapat mengintegrasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana untuk masa depan. Mereka juga mampu berfikir secara sistematik, mampu berfikir bukan hanya dalam apa yang terjadi tetapi berfikir dalam kerangka apa yang mungkin terjadi. Mereka memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan permasalahan. Sebuah mobil yang tiba-tiba mogok misalnya, bagi peserta didik yang berada pada tahap operasional konkret (SD) akan mengambil kesimpulan bahwa mobil bensinnya habis, jadi mogok. Dia hanya menghubungkan sebab-akibat dalam satu rangkaian. Lain halnya dengan peserta didik pada tahap formal operasional (SMP), dia memikirkan beberapa kemungkinan mengapa mobilnya mogok, seperti mungkin businya mati, mungkin platinanya atau kemungkinan-kemungkinan lain yang membrikan dasar bagi pemikirannya.


b. Perkembangan aspek afektif
Keberhasilan proses pendidikan juga ditentukan oleh keberhasilan dalam perkembangan aspek afektif peserta didik. Bloom memberikan definisi tentang aspek afektif yang terbagi atas lima tataran afektif yang berimplikasi pada peserta didik di SMP sebagai berikut :
1) Sadar akan situasi, fenomena di masyarakat dan objek di sekitarnya.
2) Responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka.
3) Mampu menilai.
4) Sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada.
5) Sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut.
Faktor individu yang lebih spesifik dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting dalam penguasaan materi pendidikan meliputi :
1) Self-esteem, yaitu penghargaan seseorang yang diberikan seseorang kepada dirinya.
2) Inhibition,yaitu sikap mempertahankan diri atau melindungi ego.
3) Anxiety, yaitu kecemasan yang meliputi rasa frustasi, khawatir, tegang, dan sebagainya.
4) Motivastion, merupakan dorongan untuk melakukan suatu kegiatan.
5) Risk-taking, yaitu keberanian mengambil resiko.
6) Empati, yaitu sifat yang berkaitan dengan pelibatan diri individu pada perasaan orang lain.
c. Perkembangan aspek psikomotorik
Perkembangan aspek psikomotorik ini juga merupakan salah satu aspek yang perlu diketahui oleh guru. Perkembangan aspek-aspek psikomotorik peserta didik SMP melalui tahap-tahap berikut ini :


1) Tahap kognitif
Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Hal ini terjadi karena peserta didik masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Mereka harus berfikir terlebih dahulu sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini peserta didik sering membuat kesalahan yang kadang-kadang membuat mereka merasa frustasi.
Melakukan kesalahan atau percobaan merupakan hal yang penting dalam proses pendidikan. Seseorang yang pernah melakukan suatu kesalahan diharapkan dapat mengambil pelajaran dari segala hal yang terjadi.
2) Tahap asosiatif
Pada tahap ini peserta didik membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakan yang akan dilakukannya. Mereka mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenalnya. Tahap ini merupakan tahap pertengahan dalam perkembangan aspek psikomotorik peserta didik.
Gerakan-gerakan pada tahap ini belum merupakan gerakan-gerakan yang bersifat otomatis. Pada tahap ini anak berfikir untuk melakukan gerakan yang akan dilakukannya lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Karena waktu yang digunakan relatif pendek, maka gerakan-gerakannya sudah mulai tidak kaku dan lambat.
3) Tahap otonomi
Pada tahap ini peserta didik telah mencapai tingkat otonomi yang tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun mereka tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap otonomi dikarenakan peserta didik sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan. Pada tahap ini, gerakan-gerakan mereka telah dilakukan secara spontan sehingga gerakan-gerakan yang dilakukannya tidak harus dipikirkanya terlebih dahulu.
3 Perkembangan Peserta Didik Periode Sekolah Menengah Atas (SMA)
Psikolog memandang anak usia SMA sebagai individu yang berada pada tahap yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan individu. Ketidakjelasan ini karena mereka berada pada periode transisi, yaitu dari periode kanak-kanak menuju periode orang dewasa. Pada masa tersebut mereka melalui masa yang disebut masa remaja atau pubertas. Umumnya mereka tidak mau dikatakan sebagai anak-anak tapi jika mereka disebut sebagai orang dewasa, mereka secara riil belum siap menyandang predikat sebagai orang dewasa.
Ada perubahan-perubahan yang bersifat universal pada masa remaja, yaitu meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikis, perubahan tubuh, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial tertentu untuk dimainkannya yang kemudian menimbulkan masalah, berubahnya minat, perilaku, dan nilai-nilai, bersikap mendua (ambivalen) terhadap perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut akhirnya berdampak pada perkembangan kognitif, afektif, dan juga psikomotorik mereka.
a. Perkembangan aspek kognitif
Pada masa remaja terjadi kematangan intelektualitas yang berkembang bersamaan dengan kematangan organ seksualnya. Dalam QS An-Nisa dijelaskan bahwa seseorang yang telah cukup umur untuk nikah dianggap telah memasuki kematangan intelektual.
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin; jika mereka menurutmu telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya; dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa...”
(QS An-Nisa : 6)
Selain terjadi perubahan fisik dan sosial, juga terjadi perubahan dalam cara berfikir dan pengolahan informasi. Pada saat remaja mereka mengalami periode individualisasi, di mana mereka mengembangkan identitas diri mereka dan membentuk pendapat sendiri yang mungkin berbeda dengan orang tuanya. Mereka mengalami deidelalisasi terhadap orang tua. Remaja mulai menyadari bahwa orang tua mereka tidak selalu benar. Akibatnya, sering terjadi konflik antara orang tua dan anak remaja, yang umumnya berkisar pada perbedaan antara orang tua dan anak remaja tentang bagaimana mereka memandang dan mendefinisikan aturan keluarga dan aturan sosial lainnya.
Remaja mulai merasa bahwa pemecahan masalah merupakan pilihan pribadi, bukan pendapat orang tua. Meskipun konflik di atas dapat menimbulkan masalah, tapi hal tersebut merupakan perkembangan yang normal, bukan merupakan suatu ancaman terhadap hubungan antara orang tua dan anak. Selain harus berfikir kritis, hendaknya remaja juga menyadari bahwa mereka harus menghargai orang tuanya dan tetapt meminta nasehat-nasehatnya. Oleh karena itu konflik antara mereka akan menjadi proses untuk menjadi orang dewasa bagi anak.
Untuk menunjukkan kematangannya, remaja terutama laki-laki juga sering terdorong untuk menentang otoritas guru di SMA, sehingga mereka menjadi target dan pemberontakkan mereka. Cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakkan remaja adalah :
1) Mencoba untuk mengerti mereka.
2) Melakukan segala sesuatu untuk membantu mereka agar berprestasi dalam bidang ilmu yang diajarkan. Jika para guru menyadari untuk mengembangkan keterampilan-keteranpilan pada diri peserta didiknya walaupun dalam cara yang terbatas, maka pemberontakkan dan sikap permusuhan di kelas akan dapat dikurangi.
b. Perkembangan aspek afektif
Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress, yaitu terjadinya pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12-21 tahun) terdapat beberapa fase, antara lain :
1) Fase remaja awal (12-15 tahun)
2) Fase remaja pertengahan (15-18 tahun)
3) Fase remaja akhir (18-21 tahun)
Di antara fase-fase tersebut juga terdapat fase pubertas (11/12-16 tahun) yang terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak lepas dari bermacam-macam pengaruh, seperti pengaruh lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya, serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka tertuntut untuk menyesuaikan diri secara efektif. Proses penyesuaian diri tersebut tak jarang menimbulkan masalah bagi remaja, misalnya remaja menjadi sering melamun, mudah marah, dan menginginkan kebebasan tanpa batas pada dirinya.
Sehubungan dengan emosi remaja yang sering melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya upaya yang dapat guru lakukan adalah memperlakukan peserta didik seprti orang dewasa yang penuh dengan rasa tanggung jawab moral. Dalam hal ini, guru dapat membantu mereka bertingkah laku progresif untuk mencapai keberhasilan dalam pekerjaan atau tugas-tugas sekolahnya. Salah satu cara yang mendasarinya adalah dengan memotivasi mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Bila ada ledakan-ledakan kemarahan pada diri remaja, sebaiknya guru memperkecil ledakan emosi tersebut dengan jalan dan tindakan yang bijaksana, lemah lembut, merubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan peserta didik tetap tak bisa diredam, guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan konseling.
Bertambahnya kebebasan pada para remaja bagaikan menambah “bahan bakar terhadap api”, jika keinginan-keinginannya dihambat atau dirintangi oleh orang tua dan gurunya. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan meminta peserta didik mendiskusikan perasaan-perasaan mereka. Penting bagi guru untuk memahami alasan-alasan pemberontakkan mereka dan guru harus menekankan pentingnya bagi remaja untuk mengendalikan dirinya karena hidup di masyarakat harus menghormati dan menghargai keterbatasan-keterbatasan dan kebebasan individu.
c. Perkembangan aspek psikomotorik
Kemampuan psikomotorik ini berkaitan dengan keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otak. Perkembangan psikomotorik yang dilalui oleh peserta didik SMA memiliki kekhususan yang antara lain ditandai oleh perubahan-perubahan ukuran tubuh, ciri kelamin yang primer, dan ciri kelamin yang sekunder. Perubahan-perubahan tersebut dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu percepatan pertumbuhan dan proses kematangan seksual yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Perubahan-perubahan fisik tersebut merupakan gejala umum dalam pertumbuhan peserta didik SMA. Perubahan-perubahan fisik tersebut bukan hanya berhubungan dengan bertambahnya ukuran tubuh dan berubahnya proporsi tubuh saja, akan tetapi juga meliputi ciri-ciri yang terdapat pada kelamin primer dan sekunder. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengikuti irama tertentu. Hal ini terjadi karena pengaruh faktor keluarga, gizi, emosi, jenis kelamin, dan kesehatan.
Perubahan-perubahan yang dialami peserta didik SMA mempengaruhi perkembangan tingkah laku yang ditampakkan pada perilaku yang canggung dalam proses penyesuaian diri mereka, isolasi diri dan kelompok dari pergaulan, perilaku emosional, imitasi berlebihan, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar