Selasa, 05 Januari 2010

10 Cara Qur'an Mendidik Anak

I. Pengantar
Genre : Children Books
Judul Buku : Interaksi Pendidikan : 10 Cara Qur’an Mendidik Anak
Penulis : Dr. Miftahul Huda, M.Ag
Penerbit : UIN Malang Press
Cetakan : Maret 2008
Tebal : xi + 378
Buku ini memfokuskan pada : 1) tujuan dan materi pendidikan, 2) karakter pendidik dan etika anak didik, 3) metode pendidikan, yang mana semuanya digali dari al-Qur’an. Objek pembahasan mengarah pada kisah-kisah yang memuat interaksi pendidikan anak, yaitu Adam, Nuh, Ibrahim, Ya’qub, Ayarkha, Hannah, Luqman Hakim, Zakariya, dan Maryam.
Buku wajib untuk pendidik dan orang tua ini akan memberikan pencerahan yang luar biasa dalam mendidik anak dengan pemberdayaan spiritual anak melalui akidah dan syariah serta pemberdayaan moralitas personal dan sosial dengan berdasarkan pada al-Qur’an.
Pendidikan anak dalam al-Qur’an ini menekankan temuan pada model interaksi pendidikan. Tulisan hanya memfokuskan pada pelaku sejarah yang melakukan interaksi pendidikan terhadap anak. Interaksi tersebut baik secara aktif maupun pasif, monolog (searah), maupun dialogis yang mengandung unsur komunikasi pendidik terhadap anak didik. Intinya, menganalisa interaksi pendidikan orang tua terhadap anaknya yang dilakukan Adam, Nuh, Ibrahim, Ya’qub, Ayarkha, Hannah, Luqman Hakim, Zakariya, dan Maryam. Hasil temuan model interaksi ini menjelaskan bagaimana pola hubungan pendidikan antara orang tua dan anak, tujuan dan materinya, serta sifat masing-masing pendidik dan anak didik dalam interaksi pendidikan tersebut.
II. Biodata Penulis
Buku ini ditulis oleh Miftahul Huda. Penulis dilahirkan di Blitar, 2 Oktober 1973. Penulis yang telah menyelesaikan program doktoralnya di IAIN Sunan Ampel ini merupakan dosen tetap fakultas humaniora dan budaya UIN Malang.
III. Metodelogi dan Materi
a. Metodelogi Penulisan
Buku ini merupakan hasil disertasi penulis yang kemudian dibukukan. Penelitian tersebut merupakan jenis penelitian kepustakaan. Dalam menguraikan masing-masing interaksi pendidikan anak tersebut melalui metode exegesis (tafsir) dengan pendekatan adaptasi dari mawdu’i (tematik) dan tahlili (analitik).
Pendekatan mawdu’i digunakan untuk menemukan tema pendidikan anak yang relevan dalam penelitian tersrbut. Selanjutnya tema-tema pendidikan anak ini dipahami lebih dalam melalui pendekatan tahlili. Hasil pembacaan tafsir secara mawdu’i dan tahlili pada masing-masing kisah pendidikan tersebut kemudian dianalisa dengan perspektif pendidikan anak untuk memetakan konsep tujuan pendidikan, materi, karakter pendidik, dan etika anak didik. Lalu pada akhirnya menguraikan metode interaksi pendidikan anak.
b. Materi Buku
1. Tujuan dan materi pendidikan
Tujuan pendidikan anak dalam Al-Qur’an diformulasikan dari muatan materi yang diajarkan oleh masing-masing pelaku pendidikan (Adam, Nuh, Ibrahim, Ya’qub, Ayarkha, Hannah, Luqman Hakim, Zakariya, dan Maryam). Pada intinya, materi pendidikan anak dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam tiga aspek yaitu 'aqidah, shari‘ah dan akhlaq. Tidak semua kisah pendidikan anak yang dikaji dalam buku ini memuat ketiga materi tersebut.
Pada Kisah pendidikan Adam terhadap Qabil dan Habil menekankan aspek ‘aqidah, shariah, dan akhlaq. Pada kisah pendidikan Nuh terhadap anaknya (Kan’an) menekankan aspek 'aqidah dan akhlaq. Pendidikan yang dilakukan Ibrahim terhadap Isma’il menekankan pada aspek 'aqidah dan shari‘ah. Pendidikan yang dilakukan Ya’qub terhadap Yusuf menekankan pada aspek 'aqidah dan akhlaq, dan pendidikan yang dilakukan Maryam kepada Isa pada aspek 'aqidah, shari’ah dan akhlaq. Demikian pula Pendidikan yang dilakukan Luqman terhadap anaknya meliputi ketiga aspek 'aqidah, shari‘ah dan akhlaq. Lalu pendidikan Ayarkha dan Asiyah terhadap Musa serta Zakaria terhadap Yahya merupakan proses pendidikan prenatal.
Materi pendidikan Nuh terhadap Kan’an berhubungan dengan pendidikan 'aqidah dan akhlaq (moral). Tujuan pendidikan 'aqidah untuk menanamkan keimanan dan membebaskan masyarakat dari sistem kepercayaan terhadap berhala. Pendidikan moral dilakukan Nuh dengan cara melarang Kan’an bergaul dengan orang kafir dan sekaligus meninggalkan praktek kekafiran bersama mereka. Nuh mengajak keluar dari tradisi kerajaan dan masyarakat pada umumnya yang tidak beragama.
Di balik perintah penyembelihan Isma‘il, terdapat materi pendidikan terkait yaitu aspek keimanan dan emosional. Pada aspek keimanan secara implisit berarti uji kepatuhan terhadap perintah Allah sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Pada tahapan ini, Isma‘il telah menunjukkan dedikasi yang tinggi dengan totalitas kesiapan emosioanalnya untuk melaksanakan prosesi kurban.
Pendidikan Ibrahim terhadap Isma‘il bertujuan untuk lebih memanusiakan manusia melalui jalan patuh kepada Allah. Dengan kata lain, pendidikan humanis ini berisi nilai-nilai keutamaan atau kebajikan yang dapat mengangkat kemuliaan manusia secara universal. Dalam kontek humanisasi inilah Ibrahim mengajarkan kepada Isma‘il bagaimana membangun harkat dan martabat manusia di sisi Allah. Tujuan ini direalisasikan dengan membangun citra manusia yang taat kepada nilai-nilai kemanusiaan yang diperintahkan oleh Allah. Nilai kemanusiaan ditegakkan di atas sifat-sifat luhur budaya manusia dengan membebaskan diri dari sifat-sifat kebinatangan.
Materi pendidikan Ya’qub terhadap Yusuf dipahami dalam lingkup pendidikan 'aqidah dan akhlaq. Pada aspek 'aqidah Ya’qub mengenalkan konsep ketuhanan, ialah Allah yang telah memilih Yusuf menjadi nabi dan mengajarakan ta’bir mimpi. Aspek pendidikan akhlaq, dilakukan untuk membangun hubungan baik Yusuf dengan keluarganya (saudara-saudaranya) dengan merahasiakan nikmat yang dapat menyebabkan mereka hasud kepadanya.
Pendidikan 'aqidah bertujuan untuk meneguhkan hati Yusuf dalam menghadapi permasalahan agar menjadikan Allah sebagai sumber kekuatan dan keimanan. Ya’qub meyakinkan Yusuf bahwa Allah akan mengangkatnya menjadi nabi, sehingga tidak perlu khawatir dalam menghadapi kehidupan. Sedangkan pendidikan akhla>q dilakukan Ya’qub untuk membangun interaksi antar anggota keluarga yang kurang harmonis. Saudara-saudara Yusuf merasa hasud terhadap perhatian lebih yang diberikan Ya’qub kepada Yusuf. Permasalahan internal keluarga inilah yang ingin diatasi oleh Ya’qub.
Misi profetik menjadi karakteristik pendidikan yang dilakukan Maryam terhadap Isa, di samping untuk solusi atas permasalahan yang menimpa ibunya, Misi profetik (kerasulan) Isa dikuatkan dengan diberi kitab yang memuat ajaran shari‘ah (salat dan zakat) dan akhlaq (personal dan sosial) bagi manusia. Akhlaq personal ditujukan pada interaksi pribadi dengan keluarganya. Pada lingkup interaksi sosial, Isa menebarkan nilai manfaat dan pembawa berkah bagi kehidupan manusia.
2. Metode pendidikan
Metode pendidikan di sini dipahami sebagai upaya sosialisasi pengetahuan pendidikan yang diperoleh para pendidik (Adam, Nuh, Ibrahim, Ya’qub, Ayarkha, Hannah, Luqman Hakim, Zakariya, dan Maryam) dari sumber pertama (Allah) kepada anak didik (manusia). Perolehan pengetahuan pendidikan diterima para pendidik tersebut melalui intuisi dan atau wahyu. Pada tahap berikutnya, ditemukan upaya sosialisasi pengetahuan pendidikan yang terformulasikan dalam metode pendidikan anak yang berbeda-beda dari berbagai kisah pendidikan yang dikemukakan pada buku ini. Metode-metode tersebut ialah dengan cara mauizah ditemukan pada diri Luqman. Metode pendidikan dialogis dengan pendekatan rasionalis ditemukan pada Nuh. Pada Ibrahim ditemukan metode dialogis-demokratis. Sedangkan metode dialogis dengan pendekatan psikologis ditemukan pada pribadi Ya’qub. Pendidikan Maryam atas Isa menonjolkan metode dialogis-intuitif.
Metode mauizah diterapkan Luqman kepada anaknya. Metode ini berfungsi untuk membangkitkan semangat spiritual untuk beriman kepada Allah. Dalam paparan data di muka ditemukan bahwa Luqman memiliki anak dan istri yang keduanya kafir. Oleh karenanya, Luqman menasehatinya sehingga mereka berfikir dan sadar akan kemungkarannya dan pada akhirnya keduanya beriman. Tidak ditemukan reaksi menentang yang dilakukan anak didik atas nasehat Luqman. Hal ini berarti pendidikan melalui mauizah berjalan secara monolog (searah) dari pendidik kepada anak didik dan tidak memberi kesempatan pada anak didik untuk menginterfensi nasehat tersebut.
Metode pendidikan dengan dialogis diterapkan Nuh terhadap Kan’an dengan mengedepankan pendekatan rasional. Tatkala seruan beriman tidak dihiraukan, maka Nuh mendesak beriman karena factual-rasional akan terjadi banjir yang siap menenggelamkan semuanya. Reaksi Kan’an menunjukkan sikap keras kepala dan beralasan berdasarkan pada pertimbangan rasionalnya sendiri, yaitu akan menyelamatkan dirinya dengan naik di atas puncak gunung. Tawaran pendidikan Nuh secara dialogis dengan pendekatan rasional ini tidak berhasil, karena anak didik juga menggunakan nalar logisnya untuk menyelamatkan diri dari banjir dengan naik gunung. Sikap kritis anak didik tanpa bimbingan ilahi ini membentuk sikap keras kepala dan mengakibatkan gagalnya misi pendidikan.
Metode dialogis-demokratis terlihat pada model pendidikan Ibrahim terhadap Isma‘il. Dialog dipahami sebagai upaya untuk membuka jalur informasi antara pendidik dan anak didik. Dalam hal ini, Ibrahim mendialogkan mimpinya tentang penyembelihan Isma‘il . Dialog dilakukan untuk mengetahui persepsi psikologis Isma‘il tentang permasalahan yang dihadapi. Disinilah Ibrahim mengenalkan konsep ketauhidan, dengan menekankan bahwa perintah penyembelihan itu datang dari Allah.
Metode dialogis-psikologis dilakukan oleh Ya’qub terhadap Yusuf. Ya’qub mendialogkan permasalahan mimpi Yusuf, didahului dengan aksi Yusuf yang secara proaktif menceritakannya. Reaksi Ya’qub dalam upaya problem solving seperti ini, menunjukkan bahwa pendidikan berusaha untuk membebaskan permasalahan psikologis anak didik.
Metode dialogis-intuitif disimpulkan dari pendidikan Maryam kepada Isa. Metode ini menggambarkan dialog interaktif antara Maryam dan kaumnya yang pada akhirnya melibatkan Isa. Kehadiran Isa untuk memberi solusi atas kejumudan komunikasi Maryam dengan kaumnya terjadi karena intuisi dari Allah. Maryam menyadari tidak mungkin menyelesaikan permasalahan yang dituduhkan kaumnya secara ilmiah-alamiah. Maryam mengandalkan kekuatan transendental dari Allah dalam bentuk intuisi kepada Isa.
3. Karakter pendidik dan etika anak didik
Sifat-sifat dasar (kompetensi) pendidik anak dalam Al-Qur’an meliputi bijak, sabar, demokratis, psikologis dan intuitif. Dalam perspektif pendidikan, karakteristik ini dipahami dari eksplorasi pemaknaan terhadap interaksi pendidikan anak yang dilakukan oleh Luqman, Nuh, Ibrahim, Ya’qub dan Maryam. Interaksi pendidikan ini secara tekstual dapat dilihat pada tabel berikut:
Karakter bijak (hikmah) ditemukan dalam model interaksi pendidikan Luqman terhadap anaknya. Luqman menerapkan pendidikan anak akibat kompetensi hikmah yang diberikan Allah kepadanya. Dominasi sifat bijak ini melandasi interaksi pendidikan yang dilakukan kepada anaknya. Akibatnya, pendidikan anak yang dilakukan dengan skala prioritas dimulai dengan penguatan aspek 'aqidah. Penanaman keimanan menunjukkan konsep transendensi yang menjadi landasan awal pendidikan anak. Seleksi materi berikutnya pada penguatan aspek shari‘ah dan akhlaq. Sikap bijak Luqman tertuju pada upaya pembentukan anak didik menjadi insan kamil dengan melalui tiga aspek materi tersebut.
Profil Nuh dalam perspektif pendidik menunjukkan karakter tanggung jawab dalam mendidik anaknya. Tanggung jawab ini ditunjukkan dalam mendidik anaknya agar memiliki kualitas iman dan meninggalkan pergaulan dengan orang-orang kafir. Meskipun tujuan pendidikan Nuh terhadap Kan’an tidak berhasil, namun wujud tanggung jawab Nuh sebagai orang tua dan pendidik tetap dilakukan. Realisasi tanggung jawab ini dalam bentuk pembelaan terhadap nasib Kan’an yang mati tenggelam bersama orang kafir. Pembelaan itu dilakukan dihadapan Allah, agar sebisa mungkin Nuh dapat memberi syafa’at (pertolongan). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak bersifat transaksional, namun lebih mengarah pada tanggung jawab moral pendidik atas kesuksesan anak didiknya.
Pribadi Ibrahim sebagai pendidik menunjukkan sikap demokratis dalam mendidik anaknya. Demokratisasi pendidikan diterapkan dengan sasaran memberikan pilihan anak didik dengan penuh pertimbangan dan tanggung jawab. Hal ini terjadi karena materi pendidikan Ibrahim terhadap anaknya menyangkut masalah hak hidup pribadi (penyembelihan) yang melibatkan kesiapan emosional. Pendidikan dilakukan dengan memberikan hak asasi pada anak didik dalam menentukan sikapnya. Hal ini berarti pendidikan menghindari interaksi otoritatif-dogmatis karena menyangkut hak personal yang menuntut kesiapan emosioanal.
Pertimbangan psikologis anak didik menjadi inti pendidikan Ya’qub kepada anaknya. Artinya dalam proses pendidikan, Ya’qub berusaha untuk memahami permasalahan psikologi Yusuf, kemudian berusaha mencarikan solusinya. Dalam hal ini, Yusuf mengadukan kepada Ya’qub tentang mimpinya yang secara psikologis telah mengganggu kejiwaannya. Seandainya mimpi itu tidak mengganggunya, tentu tidak sampai dicurahkan kepada ayahnya. Ya’qub memahami permasalahan psikologis anaknya, sehingga memberikan pesan-pesan moral yang mengarah pada penanganan permasalahan yang dihadapi secara profesional dan kekeluargaan.
Pendidikan Maryam terhdap Isa lebih menekankan pada karakteristik intuitif. Pendidikan intuitif terjadi karena pendidikan secara natural tidak mungkin dilakukan. Maryam menjadikan Isa sebagai sarana mendidik umatnya. Maryam sendiri memposisikan Isa mampu memperoleh pengetahuan secara transendental melalui intuisi. Tindakan Maryam ini didasari atas keyakinannya, bahwa Isa akan mengemban misi profetik yang memiliki otoritas kepribadian berupa mu’jizat.
Pemaknaan secara implisit dari pendidikan anak dalam Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa pelaku pendidikan anak didominasi oleh pihak ayah, kecuali pada kisah pendidikan Maryam terhadap Isa. Hal ini berarti watak pendidikan dipengaruhi oleh jiwa patrilinial yang memiliki ketergantungan terhadap pihak laki-laki yang dalam hal ini ayah.
Sedangkan watak anak didik lebih mengikuti garis matrilinial. Artinya genetika sang ibu mendominasi perkembangan kejiwaan dan spiritual anak didik. Ada korelasi antara kegagalan pendidikan anak dengan genetika ibu. Kegagalan Nuh mendidik Kan’an karena Kan’an lebih memilih pola pergaulan dengan orang kafir, karena ibu Kan’an sendiri kafir. Anak meliki kecenderungan mengikuti garis keimanan kepada ibunya.
Pada kisah pendidikan Luqman, keimanan anaknya linier dengan posisi ibunya yang juga beriman, meskipun pada mulanya kafir. Pada kisah Isma‘il dan Isa, jelas sekali mereka keturunan dari ibu yang beriman. Fakta ini mengindikasikan bahwa garis keimanan anak dipengaruhi oleh garis keimanan ibu. Demikian pula dominasi tanggung jawab pendidikan anak tidak terlepas dari otorisasi ayah sebagai kepala keluarga.
Interaksi pendidikan dalam Al-Qur’an menggambarkan aksi dan reaksi antara pendidik dan anak didik. Dalam perspektif reaksi anak didik, ditemukan pola etis dan non etis. Pola etis dipahami dengan etika anak didik yang berimplikasi pada pencapaian tujuan pendidikan. Sedangkan pola non etis memiliki relevansi terhadap kegagalan misi pendidikan.
Dimensi etis ini ditunjukkan oleh sifat anak Luqman yang patuh dan sifat Isma‘il yang responsif. Demikian pula sifat Yusuf dan Isa yang aktif dalam proses interaksi pendidikan. Adapun Kan’an lebih menunjukkan pada sifat non etis dalam arti tidak patuh terhadap sang pendidik.
Pendidikan Luqman dilakukan dalam bentuk perintah dan larangan. Etika anak didik tidak menunjukkan reaksi interaktif maupun dialogis. Juga tidak menunjukkan sikap menentang terhadap pendidik. Hal ini berarti pendidik berhasil mengkondisikan etika patuh terhadap anak didik. Demikian juga berarti anak didik telah menerapkan etika pendidikan.
Sikap responsif ditunjukkan oleh pribadi Isma‘il ketika diminta pendapatnya oleh Ibrahim tentang mimpinya. Responsibilitas menunjukkan kesiapan anak didik untuk mendialogkan materi yang dilontarkan oleh pendidik. Hal ini tidak akan terjadi jika anak didik tidak memahami permasalahan yang dilontarkan pendidik. Sikap tanggap terhadap permasalahan pendidikan seperti ini dilakukan Isma‘il dengan penuh tanggung jawab. Ibrahim telah memberikan ruang kebebasan kepada Isma‘il untuk menentukan pilihannya, akan tetapi Isma‘il merespon permintaan Ibrahim secara positif.
Pribadi Yusuf ketika menceritakan mimpinya kepada Ya’qub dipahami sebagai perolehan materi pendidikan dari anak didik. Ya’qub memposisikan diri sebagai pendidik yang berusaha untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi anak didik. Problem solving menjadikan pendidik harus memahami kondisi kejiwaan anak didik. Dalam hal ini pendidikan terjadi untuk mencari solusi atas permasalahan anak didik. Sikap aktif Yusuf untuk mengutarakan mimpinya kepada Ya’qub menunjukkan perolehan pendidikan dari anak didik. Dengan kata lain, pendidikan menjadi bagian penting untuk menyelesaikan permasalahan anak didik, sekaligus mempersiapkan masa depannya.
Perolehan pendidikan pada kisah Isa dengan Maryam mengindikasikan pada pendidikan secara intuisi. Etika lsa yang tiba-tiba aktif melakukan interaksi pendidikan dengan kaumnya terjadi karena ada kekuatan transendental yang menggerakkannya. Indikasi ini memberikan makna pada perolehan pendidikan secara intuitif, yakni diperoleh dari wahyu.
Ketidakpatuhan Kan’an terhadap pendidikan Nuh ditunjukkan dengan sikap oposisi terhadap perintahnya. Ketika datang banjir, Kan’an diperintah untuk naik perahu dan meninggalkan pergaulan dengan komunitas kafir, seraya menolak ajakan itu. Kan’an dengan pertimbangan rasionalnya merasa dapat menyelamatkan diri dengan naik ke atas gunung. Sikap oposisi Kan’an ini juga dipengaruhi oleh temperament Kan’an yang mengikuti jalur genetika ibunya yang tidak beriman.
Konstruksi epistemologi pendidikan anak ini menggambarkan sumber pendidikan dan cara mendidikannya. Berdasarkan uraian di muka, konstruksi epistemologi pendidikan anak dalam Al-Qur’an digolongkan dalam dua tipe, yaitu: intuitif-normatif (Luqman) dan intuitif-dialogis dengan perincian dialogis-rasional (Nuh), dialogis-demokratis (Ibrahim), dialogis-psikis (Ya’qub) dan dialogis-idiologis (Maryam).
Pengetahuan pendidikan diperoleh para pendidik (Luqman, Nuh, Ibrahim, Ya’qub, Maryam) dari sumber pertama yaitu Allah melalui jalan intuisi/wahyu. Allah sebagai pendidik alam (rabb al-‘alamin) secara langsung telah menentukan aturan kehidupan melalui kitab suci yang diajarkan dengan cara intuisi/wahyu. Proses intuisi/wahyu itu sendiri ada yang bersifat normatif (tanpa penawaran/dialog), sehingga mengharuskan penerimanya untuk menerima informasi pendidikan apa adanya. Ada pula bersifat dialogis, yakni terjadi proses dialog imajiner dalam rangka penerimaan pengetahuan pendidikan antara penerima wahyu dengan Allah sehingga memungkinkan terjadinya interfensi pengetahuan.
Intuitif-normatif menggambarkan proses terbentuknya pengetahuan pendidikan dari otoritas tuhan diperuntukkan bagi manusia. Pengetahuan pendidikan yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya mencakup aspek iman dan shari’ah. Konsep iman dan shari’ah secara langsung diajarkan oleh Allah kepada manusia melalui para rasul. Hal ini terjadi karena Allah berkepentingan untuk menjaga harmoni kehidupan melalui aturan agama yang mana esensinya adalah iman ('aqidah) dan shari’ah (al-Islam ‘aqidah wa al-Shari’ah).
Kebenaran konsep iman dan shari’ah ada pada wilayah otoritas Allah yang mana manusia tidak mungkin untuk memformulasikan berdasarkan kekuatan rasionalnya. Konsep iman bukan pada tatara empirik yang dapat dikonstruksikan dengan akal. Akan tetapi lebih merupakan persoalan supra rasional yang berada di luar wilayah pengalaman indrawi manusia, sehingga tidak diperlukan pendekatan ilmiah, karena hanya bertumpu pada bukti empirik. Pendekatan yang diperlukan adalah pedekatan emosi (rasa/hati) yang mana ada potensi untuk menerima keimanan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tektualisasi konsep iman dalam wahyu ilahi tidak menerima interfensi dari manusia (alam).
Jika tektualitas konsep iman tersebut mutlak dari Allah, maka tidak demikian dengan tektualitas shari’ah yang justru mempertimbangkan kontek. Relefansinya, ada interfensi kontek sosial (asbab al-Nuzul) dan kondisi sosial (sha’n al-Nuzul) serta kontribusi akal dalam pembentukan shari’ah. Interaksi kontek dan kondisi sosial secara alami menjadi latar belakang munculnya tektualitas shari’ah. Sedangkan kontribusi akal dalam interaksi pembentukan shari’ah ini terlihat dari dialektika wahyu yang menggambarkan interfensi akal (jadali) terhadap pengetahuan tuhan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh proses dialogis yang ditujukan langsung kepada Allah sebagai pembuat teks (seperti kasus Nuh membela anakknya dihadapn Allah) ataupun secara tidak langgsung ditujukan kepada Allah, namun melalui malaikat (kasus Maryam akan mengandung Isa).
Pada tahap berikutnya, interfensi akal dalam penentuan shari’ah terjadi pada proses sosialisasi pengetahuan pendidikan yang diperoleh para penerima intuisi/wahyu kepada anak didik. Reaksi interaktif-dialogis tidak ditujukan kepada Allah sebagai pembuat shari’at ataupun Malaikan sebagai pembawa pesan teks, akan tetapi terhadap anak didik sebagai obyek penerima shari’ah (teks). Interaksi dialogis ini menggambarkan proses demokratisasi dalam rangka sosialisasi pengetahuan dengan mempertimbangkan kejiwaan anak didik (kasus Ibrahim meminta pendapat Isma’il dan Ya’qub membimbing Yusuf).
IV. Kritik dan Usulan
a. Metodelogi
Pendidikan anak dalam Al-Qur’an ini menggadaikan temuan epistemologi pada aspek sumber pengetahuan pendidikan, cara memperoleh dan mendidikkannya. Buku hanya memfokuskan pada pelaku sejarah yang memiliki interaksi pendidikan terhadap anak. Interaksi tersebut baik secara pasip maupun aktif, monolog (searah) maupun dialogis, yang mengandung unsur komunikasi pendidik terhadap anak didik. Intinya, menganalisa interaksi pendidikan orang tua kepada anaknya yang dilakukan Luqman, Nuh, Ibrahim, Ya’qub dan Maryam. Hasil temuan epistemologi ini menjelaskan dari mana pengetahuan pendidikan diperoleh, bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana cara mendidikkannya.
Buku ini hanya mengungkap sebagian fenomena historis yang dideskripsikan Al-Qur’an melalui pendekatan epistemologi. Keterbatasan penulis tidak memungkinkan untuk meneliti persoalan ini secara komprehensif, misalnya dengan perspektif ontologi dan aksiologi. Aspek epistemologi yang merupakan wilayah otoritatif filsafat ilmu itu pun masih belum semuanya dibahas.
Buku ini juga hanya mengambil kontek mikro pendidikan dengan fokus anak. Dalam konteks yang lebih luas, penelitian pendidikan dapat dikembangkan kearah makro, baik formal maupun non formal. Demikian halnya, dengan menggunakan sumber, perspektif dan pendekatan yang lebih luas. Eksplorasi penelitian lebih lanjut juga dapat diarahkan kepada tektualitas pada ayat lain ataupun hadith dan dokumentasi kitab klasik pendidikan Islam yang memiliki relevansi dengan pendidikan anak.
b. Materi
1. Peran Ayah dalam Mendidik Anak
Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana proses pendidikan yang dilakukan oleh Adam, Nuh, Ibrahim. Zakariya, Luqman Hakim, dan Ya’qub yang notabene-nya berstatus sosial sebagai seorang ayah. Penulis buku tersebut menganalisis hasil penelitiannya dan disimpulkan bukan hanya dalam dataran teotitis namun juga dalam dataran praktis sehingga terdapat muatan praktis pada buku yang cenderung berisi muatan teorotis tersebut. Muatan praktis tersebut antara lain :
a) Kompetensi ayah sebagai seorang pendidik
Menjadi ayah pada generasi sekarang tidak mudah. Selain mencari nafkah, ayah juga diharapkan dapat mengusahakan kebutuhan keluarga dan menciptakan kebersamaan dalam keluarga. Pada generasi sebelumnya pengasuhan anak cenderung dilimpahkan pada ibu saja. Namun saat ini terjadi pergeseran konsep, dari pengasuhan motherhood menjadi parenthood. Konsep parenthood menitik beratkan pada peran kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu. Disinilah terbuka peluang bagi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.
Kompetensi ayah sebagai seorang pendidik antara lain :
1. Keteladanan
Keteladanan merupakan sarana pendidikan yang paling penting. Hal ini terjadi secara naluriah, dalam diri anak ada potensi untuk meniru hal-hal yang ada di sekitarnya. Pada usia dini keteladanan ayah sangat berpengaruh terhadap keptibadian anak. Segala yang dilakukan oleh ayah dianggap selalu benar dan paling baik, maka secara otomatis anak akan mudah menirunya. Proses ini mengalami perkembangan yang luar biasa ketika anak berusia 5 atau 6 tahun.
2. Kasih sayang dan cinta
Para ahli pendidikan sepakat bahwa cinta kasih, kelembutan dan kehangatan yang tulus merupakan dasar yang penting dalam mendidik anak. Anak-anak pada usia dini meskipun belum berfungsi daya nalarnya, mereka bisa menangkap getaran lembut kasih sayang orang tuanya.
3. Adil
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap adil terhadap anak-anaknya. Hal ini dilakukan untuk menghapus rasa iri dendam di antara anak-anak mereka.
4. Pergaulan
Anak-anak pada usia 8 tahun cenderung untuk duduk dan berbincang-bincang dengan orang tuanya, termasuk dengan ayahnya. Masa-masa komunikasi yang penting antara ayah dan anak adalah pada usia 6 tahun ke bawah. Pada masa inilah ayah meletakkan dasar pendidikan keislaman kepada anak untuk kehidupan di masa yang akan datang.
5. Bijaksana dalam membimbing
Syariat Islam berjuang untuk memberi kemudahan kepada umatnya, tidak memberatkan dan tidak menyulitkan. Oleh karena itu, dalam mendidik dan mengarahkan anak, metode yang paling bijak adalah tidak memberi kemudahan seluas-luasnya kepada anak tetapi juga tidak mengekang anak.
b) Peran ayah dalam membangun karakter anak
Selain figur ibu, anak juga memerlukan figur ayah bagi pengembangan karakternya. Hal ini dikarenakan ada peran ayah yang khas yang sulit tergantikan oleh perempuan, meskipun perempuan tersebut adala single parent yang berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Peran ayah ini diperlukan baik bagi anak laki-laki maupun perempuan.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh ayah untuk mengasuh anak dalam mengembangkan karakternya, antara lain :
a. Selalu menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan anak walaupun hanya sebentar. Keterlibatan ayah ini dapat dilakukan melalui permainan, pemberian pujian, dukungan, dan menyanyakan kejadian-kejadian yang dialami anak pada hari itu.
b. Menghindari tingkah laku menghina, meremehkan, memarahi, dan memerintah anak karena hal ini akan menimbulkan perilaku agresif dan tidak kooperatif pada anak.
c. Mengusahakan ikut terlibat secara aktif dalam mentransfer nilai-nilai yang baik saat bersama anak.
d. Mengupayakan diri sebagai figur idola bagi anak-anaknya. Misalnya dengan memberikan kasih sayang kasih sayang, perhatian, sikap tulus, teladan perilaku, dukungan, kehangatan sekaligus kewibawaan.
Bagi anak laki-laki, ayah dapat menjadi contoh yang baik baginya untuk belajar bagaimana berkata, bersikap, berperilaku, dan berpikir sebagai seorang laki-laki. Melalui ayahnya, anak laki-laki dapat belajar tentang cara memperlakkukan perempuan, cara menyelesaikan masalah, dan cara mempertahankan pendapat. Bagi anak perempuan, ayah merupakan tempat ia belajar tentang hal-hal yang biasanya dominan pada laki-laki, seperti kekuatan, ketegaran, keruntutan berpikir, pengendalian emosi, kepemimpinan, dan lain-lain. Berdasarkan penelitian, dilihat dari sejarah kedekatan ayah dengan anak, anak perempuan yang dekat dengan ayahnya kelak memiliki keinginan prestasi tinggi dan berani bersaing.
2. Implementasi Metode Pembelajaran Model Nabi dalam Konteks Kekinian
Buku ini mengungkap sebagian fenomena historis yang dideskripsikan Al-Qur’an melalui pendekatan epistemology. Menurut hemat saya buku ini akan lebih menarik lagi jika penulis mampu menstransfer fenomena historis tersebut dalam konteks kekinian. Misalnya dengan merekonstruksi metode mauizah yang ditawarkan oleh Luqman Hakim.
Metode mauizah merupakan metode pembelajaran yang ditawarkan oleh Al-Qur’an melalui lisan Luqman al-Hakim (ketika sedang memberi dan menyampaikan pesan kepada anaknya). Al-Qur’an mengungkapkan kisah Luqman al-Hakim yang mengindikasikan signifikansi mendidik anak dengan cara menyampaikan pesan-pesan moral untuk mempersiapkan mereka menjadi orang yang berkualitas dan sempurna, baik iman (akidah), akhlak, jiwa dan rasa kepekaan sosialnya.
Tahapan-tahapan dalam penyampaian metode mauizah yang disampaikan oleh Lukman al-Hakim antara lain :
1. Menyampaikan pesan-pesan agar senantiasa memiliki perasaan takut terhadap Allah SWT.
2. Mengajak melakukan kebajikan dengan disertai peringatan.
3. Memberikan mauizah hasanah.
4. Memberikan motivasi dengan nasehat.
5. Menyampaikan anjuran untuk mengikuti jalan yang benar.
6. Memberikan dorongan agar senang melakukan kebajikan.
7. Menyampaikan janji dan ancaman (dengan agak keras) seperti yang terdapat dalam al-Qur’an.
Metode mauizah secara empiris telah terbukti memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan anak dalam menangkap esensi dan hakikat sesuatu, perubahan sikap ke arah yang lebih baik serta perhatian dan pemeliharaan terhadap nilai-nilai ajaran Islam.
V. Penutup
Pada akhirnya buku epistemologi pendidikan anak dalam Al-Qur’an ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
a. Pendidikan anak dalam Al-Qur’an bertujuan untuk pemberdayaan spiritual anak didik melalui akidah dan syari’ah serta pemberdayaan moralitas personal dan sosial melalui pendidikan akhlak.
b. Materi pendidikan anak meliputi aspek akidah (iman kepada Allah, kitab suci, rasul), syari’ah (shalat, kurban, zakat) dan akhlak (akhlak personal meliputi berbakti kepada kedua orang tua, dan akhlak sosial meliputi berbuat baik kepada sesama manusia dalam bentuk prilaku dan tutur kata).
c. Interaksi pendidikan anak terjadi secara searah secara dogmatis melalui metode maw’izah (nasehat) dan secara interaktif dengan menggunakan metode dialogis sehingga lebih terkesan demokratis karena mempertimbangkan rasional dan emosional anak didik.
d. Pendidik anak memiliki kompetensi dasar bijak, sabar, demokratis, memahami kejiwaan anak, dan intuitif (mendapat bimbingan ilahi).
e. Sifat patuh, komunikatif dan kritis anak didik mendukung keberhasilan pendidikan. Sebaliknya kegagalan pendidikan diantaranya disebabkan oleh sikap menentang anak didik dan pengaruh lingkungan pergaulan.
f. Konstruksi epistemologi pendidikan anak dalam Al-Qur’an dipetakan pada sumber pendidikan dan cara memperolehnya dan mengajarakannya. Allah sebagai sumber pendidikan mengajarkan pengetahuan pendidikan melalui dialektika intuisi atau wahyu secara dogmatis kepada orang shaleh (Luqman) dan secara dialogis kepada para rasul (Nuh, Ibrahim, Ya’qub dan Isa). Dialektika intuitif-dogmatis berimplikasi pada pembentukan pengetahuan pendidikan secara otoritatif karena merupakan pengetahuan yang teranugrahkan. Sedangkan dialektika intuitif-dialogis berimplikasi pada pembentukan pengetahuan pendidikan dipengaruhi oleh faktor sosial (asbab nuzul) dan kontek sosial (sya’n nuzul).
VI. Referensi

Arismantoro. 2008. Character Buliding. Yogyakarta:Tiara Wacana.
Baharits, Adnan Hasan Shalih. 2007. Mendidik Anak Laki-Laki. Jakarta:GemaInsani.
Huda, Miftahul. 2008. Interaksi Pendidikan : 10 Cara Qur’an Mendidik Anak. Malang:UIN Malang Press
Muhyidin, Muhammad. 2006. Buku Pintar Mendidik Anak. Terjemah. Jogjakarta:Diva Press.
VII. Lampiran-lampiran
TABEL 1
MATERI DAN TUJUAN PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN
No Subyek pendidikan Materi pendidikan Tujuan pendidikan
1. Nabi Adam, Qabil, Habil a. ‘aqidah
iman kepada Allah Transendensi
b. Shari’ah
berkorban Taqwa kepada Allah
c. Akhlaq
qana’ah, ikhlas Humanisasi
2. Nabi Nuh dan Kan’an a. 'aqidah:
iman kepada Allah Transendensi

b. Aklak:
bergaul dengan orang saleh Humanisasi
3. Nabi Ibrahim as dan Isma‘il as a. 'aqidah:
iman kepada Allah Transendensi

b. Shari’ah: berkurban Taqwa kepada Allah
c. Akhlaq:
berbakti kepada orang tua Humanisasi
4. Nabi Ya'kub as dan Yusuf as. a. 'aqidah:
iman kepada Allah Transendensi

b. Akhlaq:
interaksi kekeluargaan Humanisasi
5. Nabi Ya'kub as dan saudara-saudara Yusuf as. a. ‘aqidah
iman kepada Allah Transendensi
b. Shari’ah
bertaubat Taqwa kepada Allah
c. Akhlaq
berbakti kepada orang tua, bertanggung jawab, jujur, amanat, loyal, sabar Humanisasi
6. Ayarkha, Asiyah, Yusuf as a. Jasmani
mengasuh Pertumbuhan Jasmaniah
b. ruhani
perlindungan Keselamatan Jiwa
c. akhlaq
pergaulan Humanisasi
7. Luqman Hakim dan anaknya a. 'aqidah:
iman kepada Allah Transendensi
b. Shari’ah :
salat Taqwa kepada Allah
c. Akhlaq:
berbakti pada orang tua, dakwah, sabar, tidak sombong, tutur kata yang baik. Kesalehan sosial
8. Hannah, Zakariya, dan Maryam a. Prenatal
doa dan nazar Anak soleh
b. post natal
memberi nama, doa selamat Anak soleh
9. Zakariya dan Yahya a. Prenatal
doa Anak soleh
b. post natal
mengasuh, merawat Anak soleh
10.. Maryam dan Isa as. a. 'aqidah:
iman kepada Allah, al-kitab dan rasul Kesalehan personal

b. Shari‘ah : zakat dan salat Taqwa kepada Allah
c. akhlaq: berbakti pada orang tua dan berbuat baik pada sesama Kesalehan sosial

TABEL 2
METODE PENDIDIKAN
No. Subyek pendidikan Metode pendidikan Interaksi Peran pendidik Peran anak didik
1. Nabi Adam, Qabil, Habil Problem solving Interaktif Aktif Aktif
2. Nabi Nuh as. dan Kan’an Dialogis-rasionalis Interaktif Aktif Aktif
3. Nabi Ibrahim as dan Isma‘il as. Dialogis-teologis Interaktif Aktif Aktif
4. Nabi Ya'kub as dan Yusuf as. Dialogis-psikologis Interaktif Aktif Aktif
5. Nabi Ya'kub as dan saudara-saudara Yusuf as. Problem solving Interaktif Aktif Aktif
6. Ayarkha, Asiyah, dan Musa Prenatal-Postnatal Searah-interaktif Aktif Pasif-Aktif
7. Luqman dan anaknya Nasehat (mauizah) Searah Aktif Pasif
8. Hannah, Zakariya, dan Maryam Prenatal-Postnatal Searah-interaktif Aktif Pasif-Aktif
9. Zakariya dan Yahya Prenatal Searah Aktif Pasif
10. Maryam dan Isa as. Dialogis-intuitif Interatif Aktif Aktif

TABEL 3
KOMPETENSI PENDIDIK DAN ETIKA ANAK DIDIK
No Subyek pendidikan Karakter pendidik Etika anak didik
1. Adam as, Qabil, Habil Teguh pendirian Aktif-distruktif
2. Nabi Nuh as. dan Kan’an Sabar Tidak patuh, aktif
3. Nabi Ibrahim as dan Isma‘il as. Demokratis Patuh, aktif
4. Nabi Yakub as dan Yusuf as. Psikologis Patuh, aktif
5. Nabi Yakub as dan saudara-saudara Yusuf as. Akomodatif, logis, dialogis Agresif-distruktif
6. Ayarkha, Asiyah, dan Musa Keibuan, melindungi, iman Agresif-emosional
7. Lukman Hakim dan Anaknya Bijaksana Patuh, Pasif
8. Hannah, Zakariya, dan Maryam Iman, Taqwa Patuh, beribadah
9. Zakariya dan Yahya Iman, Taqwa Iman, Taqwa
10. Maryam dan Isa Intuitif Patuh, aktif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar