A. Latar Belakang Masalah
Plakkk! Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi Rio (bukan nama sebenarnya), bocah berumur 9 tahun itupun meringis kesakitan. Iapun menangis tersedu-sedu hingga tubuh mungilnya terguncang-guncang. Batinnya berguncang mempertanyakan apa yang salah pada dirinya, sehingga harus diperlakukan seperti itu. Perlakuan itu ia dapatkan hanya karena ia tidak dapat mengerjakan tugas matematika yang diberikan oleh gurunya. Begitulah nasib si Rio dan mungkin ribuan anak di Indonesia yang masih mendapatkan perlakuan yang sama.
Kekerasan dalam dunia pendidikan anak di Indonesia memang marak terjadi. Ia menjadi satu problem dari sekian probelamatika yang melilit dunia pendidikan kita. Posisi anak didik dalam sekolah belum mendapatkan porsi yang proporsional. Ia masih diibaratkan obyek yang pantas diperlakukan sekehendak guru. Dengan dalih mencerdaskan, guru berhak untuk memaksa, menghardik, bahkan kalau perlu menyakiti dengan tindakan kekerasan.
Gambaran di atas bukanlah satu-satunya kasus kekerasan yang dialami anak di Indonesia. Ada sederet kasus serupa yang kerap kali mewarnai dunia pendidikan mereka. Dalam catatan KNPAI (Komite Nasional Perlindungan Anak Indonesia) ada sekitar 221 kekerasan fisik yang dilakukan guru terhadap muridnya di berbagai tempat di Indonesia, belum lagi kekerasan psikis dan seksual..
Dalam konsep pendidikan Islam, kekerasan juga telah menjadi tema yang menarik diperbincangkan. Di satu sisi, memang terdapat hadis nabi tentang pendidikan yang jika pahami secara tekstual menimbulkan persepsi diharuskannya kekerasan dalam pendidikan. Hadis itu berbunyi :
Memberikan kabar kepada kami Ibnu Isa, yakni Ibnu Toha, memberikan kabar kepada kami Ibrahim Ibn Said dari Abdul Malik Ibn Rabi’ Ibn Sabrah dari bapaknya, dari kekeknya, berkata : Rasululloh SAW bersabda “Perintahkanlah olehmu kepada anak-anakmu untuk mengerjakan solat apabila telah sampai (umurnya) 7 tahun. Dan apabila sampai 10 tahun maka pukullah dia agar mau mengerjakan solat.”
Memberikan kabar kepada kami Muhammad Ibn Hisyam, yakni Yasykuri, memberi kabar kepada kami Ismail dari Sawar Ibn Hamzah. Berkata Abu Daud : Dan dia itu Sawar Ibn Daud Ibn Hamzah al Muzanni al Shoyrofi, dari Amr Ibn Daud Abu Hamzah Muzani al Shoyrofi. Dari Amru Ibn Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya berkata : “Telah bersabda Rasululloh SAW “Perintahkanlah olehmu sekalian anak-anakmu untuk mengerjakan solat yaitu mereka anak-anak yang berusia 7 tahun, dan pukullah olehmu anak-anakmu yang usianya 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka olehmu.”
Mengabarkan kepada kami Ali Ibn Hujri, memberi kabar kepada kami Harmalah Ibn Abdul Aziz Ibn Robi’ Ibn Sabrah al Juhani dari pamannya Abdul Malik Ibn Robi Ibn Sabrah dari kakeknya berkata : Rasululloh SAW bersabda “Ajarilah olehmu anak-anakmu untuk mengerjakan solat yaitu anak yang berumur 7 tahun, dan pukullah olehmu untuk mengerjakan solat anak yang berumur 10 tahun.”
Hadis-hadis tersebut seakan menjadi justifikasi keyakinan masyarakat awam dalam mendidik anaknya. Karena itulah harus ada perubahan paradigma dengan cara membongkar dan melakukan reinterpretasi terhadap hadis tersebut.
B. Pembahasan Masalah
1. Penyebab Kekerasan dalam Pendidikan
Kekerasan pada anak tidaklah terjadi begitu saja, ada beberapa faktor yang melatar belakanginya. Di antara faktor-faktor tersebut antara lain adalah akibat orang tua yang dibesarkan dalam kekerasan sehingga mereka cenderung meniru pola asuh yang telah mereka dapatkan sebelumnya, stres dan kemiskinan, isolasi sosial, lingkungan yang mengalami krisis ekonomi, tidak bekerja (pengangguran), kurangnya pengetahuan tentang pendidikan anak, serta minimnya pengetahuan agama orang tua.
Penyebab seseorang melakukan kekerasan memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun, ketika kekerasan dilakukan oleh orang yang terpelajar, seperti guru terhadap siswa, antar siswa dan mahasiswa pelaksanaan pendidikan yang kita lakukan patut dikritisi dan diintrospeksi. Hal itu bisa dilihat dari tiga lembaga pendidikan yang amat penting, yaitu lembaga formal (sekolah), informal (keluarga), dan nonformal (masyarakat).
Di sekolah misalnya, kekerasan bisa terjadi secara terstruktur dan mengkultur, atau warisan dari pendidikan yang pernah diterima seorang guru dari gurunya pada masa lalu, atau bisa terjadi karena senioritas yang sudah bisa terjadi di sekolah tersebut. Kekerasan ini akan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai bentuk pelampiasan dan balas dendam.
Selain itu, kekerasan di sekolah sadar atau tanpa sadar bisa tertanam dalam kepribadian peserta didik ketika proses pembelajaran. Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru, baik secara fisik maupun melalui kata-kata yang kasar lagi menyakitkan, jelas akan mempengaruhi perkembangan kepribadian siswa. Siswa yang biasa dimarahi cenderung bersifat pendendam, mudah memberontak, dan bersifat emosional. Meskipun ia tidak melawan dan diam ketika menerima kekerasan di lingkungan sekolahnya, tetapi dalam hatinya akan memendam rasa tidak senang. Dalam kondisi tertentu dengan peluang yang ada, rasa dendam dan tidak senang itu bisa mereka lampiaskan dengan tindakan-tindakan kekerasan dalam bentuk yang beragam.
Dalam keluarga, kasus kekerasan juga sering terjadi yang biasanya dikenal dengan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Ketika ayah dan ibu bertengkar secara psikologis mental anak-anaknya jelas akan terganggu. Apalagi dalam pertengkaran itu akan keluar kata-kata yang kasar, bahkan kekerasan fisik, niscaya akan membuat anak berkepribadian keras dan sulit mendengarkan nasehat. Begitu juga dalam lingkungan masyarakat, ketika supremasi hukum tidak tegak, tindakan kriminal semakin marak, hingga kepada tayangan kekerasan yang relatif ramai di televisi, semuanya secara tidak langsung akan mengajarkan anak yang sedang mencari identitas dirinya cenderung bertindak serupa. Dengan demikian, persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat semakin kompleks dan dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian setiap orang.
Namun, keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama memiliki peranan penting untuk mengawal perkembangan kepribadian seseorang. Begitu pula sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal tidak hanya sekedar memindahkan suatu ilmu dari guru ke siswa (transfer of knowledge), akan tetapi yang tidak kalah penting adalah menanamkan nilai (internalization of values) kepada peserta didik sehingga mereka memiliki kepribadian yang baik sesuai dengan fitrah aslinya.
2. Kekerasan Terhadap Anak dalam Pandangan Hukum Konvensional
Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak (KHA) PBB dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990. Tetapi, mulai diberlakukan di Indonesia tanggal 5 Oktober 1990. Pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia telah membuat UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Pengertian kekerasan dalam Pasal 3 UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak adalah meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran.
3. Kekerasan Terhadap Anak dalam Pandangan Islam
Hadis yang penulis tulis di latar belakang masalah pada makalah ini merupakan hadis yang cukup populer yang mengesankan bahwa pendidikan Islam itu mendukung kekerasan. Hadis tersebut mesti dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual dan perlu dilakukan reinterpretasi kembali terhadap hadis tersebut.
a. Penafsiran hadis secara tekstual
Asy Syafi’i dalam al Mukhtashar berpendapat bahwa sudah lazim atas ibu-bapak mendidik anak-anaknya dan memberikan pelajaran yang berkenaan dengan thaharah dan solat. Bahkan wajib mendera mereka jika enggan menuruti bila mereka telah mumayyiz (10 tahun).
Menurut An Nawawi orang yang tidak dibebani kewajiban solat, tidak diwajibkan bagi kita untuk menyuruhnya mengerjakan solat baik yang dasarnya wajib maupun yang dasarnya sunah kecuali terhadap anak kecil laki-laki dan perempuan. Anak kecil yang telah mencapai umur 7 tahun disuruh mengerjakan solat atas dasar sunah. Dan jika telah berumur 10 tahun wajiblah diperintahkan kepada mereka mengerjakan solat, dan dipukul jika mereka enggan mengerjakan solat. Pukulan itu harus dengan tangan, jangan dengan kayu.
Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik di sini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja), pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan), tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh, tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada, tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali, tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).
Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak.
Ada juga yang berpendapat bahwa hadis di atas memang boleh dipahami dengan memukul fisik anak/peserta didik, tetapi pada bagian tubuh tertentu, harus dilakukan dengan penuh kasih sayang, bukan bercampur kemarahan dan kebencian. Sebab hal itu akan membuat psikologis anak semakin memberontak. Itu pun dilakukan sebagai alternatif terakhir setelah berbagai upaya dilakukan. Ini disebut dengan pukulan yang bersifat educatif.
Hukuman fisik berupa memukul baru bisa dikenakan pada anak ketika ia memasuki usia 10 tahun, alasan pemberian hukuman ini pada hadis tersebut adalah karena anak tidak melakukan solat dan pukulan itu adalah sebagai hukuman. Ini bukanlah suatu tindakan yang kejam (kekerasan fisik). Jumhur ulama berpendapat bahwa pemukulan itu dilakukan dengan tidak membawa penderitaan pada tubuh anak. Dan dihindari pemukulan yang diikuti oleh pukulan berikutnya.
Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan tentang metode influentif terhadap pendidikan anak yang terdapat dalam lima tahapan, antara lain :
1. pendidikan dengan keteladanan;
2. pendidikan dengan adat kebiasaan;
3. pendidikan dengan nasihat;
4. pendidikan dengan memberikan perhatian;
5. pendidikan dengan memberikan hukuman.
Artinya pemberian hukuman hanya akan diberikan setelah melewati satu persatu metode di atasnya yang dimulai dengan keteladanan, adat kebiasaan, nasihat, dan memberikan perhatian, baru yang terakhir adalah pemberian hukuman.
Panduan fiqh klasik ini sering disalahartikan oleh beberapa pendidik sebagai sebuah legitimasi untuk mendidik anak dengan cara kekerasan. Seakan sudah menjadi kewajiban bagi seorang guru apabila melihat anak yang nakal, maka tangan sang guru sebagai pelajarannya. Karenanya, tidak jarang para pendidik yang lebih menekankan hasil dari proses yang dijalankan. Asal anak bisa paham cara apapun bisa dilakukan meskipun dengan ancaman, intimidasi bahkan sampai tindakan kekerasan.
b. Penafsiran hadis secara kontekstual
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan wadhribuu (dan pukulah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.
Titik tekan dari pemukulan yang dianjurkan seperti dalam hadis tersebut adalah pada sisi mendidiknya, bukan memukulnya. Memukul bukan suatu cara paten yang dianjurkan oleh Islam. Dengan kata lain, hadis tersebut mengandung pengertian betapa pentingnya mendidik anak sebagai tanggung jawab orang tua.
Kata wadhribuuu (dan pukullah) tidak harus dipahami memukul fisik si anak secara kasar dan keras lalu menyakitinya. Akan tetapi kata memukul bisa dipahami dengan memberikan sesuatu yang berbekas kepada anak sehingga ia berubah dari tidak shalat menjadi shalat, dari perilaku yang buruk menjadi baik. Misalnya, dengan memberikan nasehat yang tulus secara khusus. Atau memberikan sesatu yang mengejutkan mentalnya sebagai sockterapy tetapi dengan sikap penuh kasih sayang. Seorang ibu, misalnya, menesehati anaknya dengan linangan air mata dan mengajaknya berdialog dari hati ke hati. Hal itu bisa membuat hati si anak berbekas sehingga ia meninggalkan kebiasaan buruknya.
Sedangkan menurut penulis titik tekan murru (perintahkanlah) adalah perintah untuk mendidik, sedangkan pada kata wadhribuu (dan pukullah) penekanannya adalah sebuah bentuk hukuman dalam proses pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah pada masa sekarang ini pemukulan sebagai sebuah bentuk hukuman ini masih relevan dan efektif digunakan dalam mendidik anak? Tentu saja karakter anak-anak pada masa Nabi Muhammad hidup dengan anak-anak sekarang berbeda, sehingga menurut penulis hukuman dengan memukul ini sudah tidak relevan dan efektif lagi. Hal tersebut dikarenakan anak pada masa sekarang ketika berumur 10 tahun sudah bisa berpikir logis atau nalar.
Walaupun demikian, hukuman dalam proses pendidikan harus tetap ada dan hukuman yang diberikan bukan berupa pemukulan tetapi harus hukuman yang bernuansa educatif.
C. Kesimpulan dan Penutup
Pendidikan awal anak sangat menentukan bagi perkembangan mental dan jiwa di masa yang akan datang. Setiap orang harus mengetahui bahwa anak memiliki hak yang sama sehingga bisa menjadi dasar perubahan untuk kehidupan yang lebih baik.
Cita-cita di atas dapat terlaksana dengan merubah paradigma para pendidik kita. Merubah dari pendidikan berbasis kekerasan menuju pendidikan berbasis kasih sayang. Perlu disosialisasikan secara transformatif dan menyeluruh tentang hadis-hadis maupun ayat-ayat yang masih mempunyai peluang mempunyai arti melegitamasi tindak kekerasan dalam pendidikan, termasuk hadist yang telah penulis bahas melalui makalah ini.
Daftar Pustaka
Abu Daud Sulaiman Ibn al-As’af al-Sijistani al-Azdi, Juz 1 (Kairo : Dar al Hadist : 1999), hlm. 242.
At Tirmidzi, Juz 3, (Kairo : Dar al-Hadist, 2005), hlm. 20.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2, (Jakarta : Karya Unipress, 2002), hlm. 37.
Herlini Amran, Antara Hukuman Pemukulan dan Kekerasan Fisik pada Anak, disampaikan pada Seminar Online Kharisma Woman & Education Ke-3, 13-19 September 20
Kompas/26/02/2007
http://cfssyogya.wordpress.com/2007/03/15/mendidik-anak-tanpa-kekerasan/
http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=4&id=480
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/03/20/kekerasan-terhadap-anak/
http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=4&id=480
UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar