Kehidupan sosial kemasyarakatan patriarkhi yang didominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan sudah menjadi akar sejarah yang sangat panjang. Bahkan sistem patriarkhi akhirnya menjadi salah satu aspek budaya yang dogmatik. Dalam tatanan patriarkhi tersebut perempuan ditempatkan sebagai the second human being yang berada di bawah superioritas laki-laki dan membawa implikasi yang luas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Akibatnya perempuan hanya di tempatkan di ranah domestik saja, sedangkan laki-laki berada di ranah publik. Salah satu contohnya adalah persepsi bahwa perempuan hanya dan harus berkutat di sumur, dapur dan kasur, yang oleh masyarakat kita sering disingkat dengan “3 R”.
Karena berbagai fested interest, persepsi tersebut pun dianggap benar dan memiliki kesakralan tersendiri sehingga timbullah berbagai bentuk tindak kekerasan, penindasan, pelecehan seksual, dan sebagainya terhadap kaum perempuan.
Pelanggaran atas hak-hak kaum perempuan, eksploitasi terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di masa lalu saja, sekarang pun terjadi pelanggaran-pelanggaran demikian. Hanya bedanya pelanggaran di masa sekarang bersembunyi di balik konsep kemanusiaan (humanity concept). Hal ini terjadi karena salah satu faktornya adalah pemahaman umat terhadap teks (ayat) yang diinterpretasikan secara tekstual. Salah satunya adalah penafsiran secara tekstual terhadap QS An-Nisa ayat 3 tentang landasan normatif praktek poligami. Padahal turunnya ayat dan hadist Nabi Muhammad SAW tidaklah berada dalam ruang dan waktu yang hampa.
Suatu ayat turun (asbabun nuzul) dan suatu hadist dikeluarkan Nabi Muhammad SAW (asbawul wurud) karena adanya suatu peristiwa sosial tertentu yang berkaitan dengan kondisi masyarakat dan juga berkait dengan situasi latar belakang sosial, politik, keagamaan, budaya, dan ekonomi tertentu. Oleh karena itu, ayat dan hadist harus dipahami secara kontekstual (tersirat) bukannya tekstual (tersurat/apa adanya). QS An-Nisa ayat 3 turun setelah perang Uhud, dimana banyak sekali pejuang Muslim yang gugur dan mengakibatkan banyak pula anak yatim yang harus mendapatkan pengawasan dari orang tua yang bertanggung jawab menjaganya. Perkawinan adalah satu-satunya jalan untuk memecahkan persoalan tersebut. Ketika turun ayat ini, Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan semua laki-laki yang memiliki lebih dari empat istri agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita.
Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa Yunani, yakni apolus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Kata lain yang mirip dengan itu adalah poligini yang juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gene yang berarti perempuan.
Secara terminologi, poligami adalah ikatan perkawinan dimana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang mempraktekkan perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligam. Selain itu dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang sama. Bila dibandingkan dengan poligami, poliandri tidak banyak dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku tertentu, seperti suku Tuda dan suku-suku di Tibet.
Perbincangan tentang poligami hampir tak menemukan alinea terakhir. Selalu saja menjadi berita hangat yang dipermasalahkan. Ada sekian orang yang anti setengah mati, ada pula yang menyokong konsep ini secara totalitas. Mereka berargumen dengan kecenderungannya masing-masing, baik itu berdasarkan disiplin ilmu yang dikuasai maupun berlandaskan perasaan dan pengalaman pribadi. Yang jelas poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender.
Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Di sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.
Bagi kalangan umat Islam yang pro-poligami (yang dipresentasikan kaum santri tradisional) dan Islam fundamentalis, menganggap poligami merupakan sunnah sebagaimana ditegaskan di dalam QS Surat An-Nisa ayat 3 serta dilihat dari fakta historis bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan praktek poligami, sehingga bagi mereka poligami diperbolehkan (disunnahkan) sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kini poligami nampaknya telah menjadi sebuah trend yang fenomenal. Poligami bukan hanya dipraktekkan oleh public figure masyarakat seperti tokoh agama (kyai), tokoh masyarakat, dan para pejabat saja, tapi poligami juga sudah dipraktekkan oleh masyarakat awan dari kalangan menengah ke bawah.
Sejak reformasi, arus poligami mulai menyusun kekuatan dan muncul ke atas mendesak arus utama. Di mulai oleh para pejabat yang terang-terangan sudah berpoligami sejak awal, seperti mantan Wapres Hamzah Haz dan termasuk mantan Menteri Yusril Ihza Mahendra yang tetap menduduki jabatannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa, maka para pengusaha pun ikut-ikutan.
Pengusaha restoran ayam bakar "Wong Solo" yang beristeri empat dan bisa berfoto dengan keempat isterinya sekaligus berani memberikan "Polygami Award". Para artis tidak ketinggalan (termasuk Mandra, Basuki, Mamik Srimulat), dan akhirnya seakan-akan diamini oleh para ulama, seperti Zainuddin MZ, dan yang paling mutakhir Aa "Jagalah Hati" Gym yang selama ini menjadi favoritnya umat (termasuk yang non-muslim) juga melakukan praktek poligami. Maka sempurnalah kesan bahwa poligami memang sedang naik daun di dalam arus budaya Indonesia. Bukti naik daun yang paling nyata adalah demo pro-poligami yang menandingi demo anti-poligami di Bunderan HI di akhir tahun 2006, yang terjadi di tempat yang sama dan di hari yang sama. Alhasil Aa Gym pun ditinggalkan penggemarnya, pesantrennya tidak dikunjungi bus-bus lagi, ceramah-ceramah dibatalkan, bahkan ada ibu-ibu yang tidak mau lagi mendengar lagu "Jagalah Hati". Perilaku tokoh agama yang dihormati ini dikhawatirkan akan diteladani oleh para suami. Kasus Aa Gym ini memicu perdebatan luas dalam masyarakat Indonesia tentang pro dan kontra poligami serta ajaran agama Islam. Seringkali ada berita dalam televisi, surat kabar dan majalah tentang poligami. Pada tanggal 21 Februari 2007 misalnya, sebanyak lima artikel tentang poligami diterbitkan dalam Jawa Pos.
Begitu maraknya kini praktek poligami, fenomena poligami untuk jangka panjangnya bisa mengubah struktur masyarakat Indonesia di masa yang akan datang karena praktek poligami bukan hanya berkaitan dengan agama saja tapi berkaitan dengan status sosial, politik dan ekonomi masyarakat.
Kebalikan dari poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Suami hanya mempunyai satu istri. Perkawinan monogami inilah yang dalam realitas sosial masyarakat banyak dipraktekkan karena dirasa paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling menjanjikan rumah tangga yang mawaddah dan rahmah.
Dalam al-Qur’an, istilah perkawinan biasa disebut dengan nikah dan mitsaq atau perjanjian (QS An-Nisa ayat 21). Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan pemakaian perkataan “nikah” di dalam al-Qur’an dan Hadits-Hadits, maka “nikah” dengan arti “perjanjian perikatan” lebih tepat dan banyak dipakai dari pada “nikah” dengan arti “setubuh”.
Pernikahan (perkawinan) dalam agama Islam merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Perkawinan merupakan sebuah perjanjian suci, sakral, yang harus dijaga sebaik-baiknya oleh suami dan istri. Oleh karena sebelum melangsungkan pernikahan, Islam mengajarkan kepada kita untuk selektif di dalam memilih pasangan, serta diharapkan calon mempelai berdua untuk mempelajari pernik-pernik di dalam kehidupan samudra rumah tangga yang akan mereka jalankan supaya tidak jatuh dalam jurang kehancuran.
Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Ketentuan ini didasarkan QS An-Nisa ayat 3 “maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinilah seorang istri saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Sedangkan asas monogami dalam hukum perkawinan di Indonesia didasarkan pada ayat 3 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang pada asasnya bahwa dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri. Sementara larangan berpoliandri bagi seorang wanita, juga didasarkan pada ayat 3 Undang-Undang tersebut yang menyatakan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, meskipun menganut asas monogami, tetapi membuka kemungkinan bagi seorang suami untuk berpoligami dengan syarat harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dengan disertai alasan-alasan: Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Kedua, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Keempat, ada izin dari istri pertama. Kelima, ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup pada istri dan anak-anaknya.
Namun pada kenyataannya sering dijumpai seorang suami yang melakukan praktek poligami tanpa izin dari pengadilan dimana hal tersebut sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nani Ilka di Pengadilan Agama Padang, diperoleh informasi sebagai berikut :
1. Faktor-faktor penyebab suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Faktor seorang suami ingin agar praktek poligaminya tidak diketahui orang lain.
b. Faktor tuntutan profesi.
c. Faktor tidak cukup syarat pengadilan.
d. Faktor malu.
e. Faktor malas atau tidak mau mengurusi berbagai persyaratan untuk berpoligami.
2. Akibat hukum yang terdapat pada perkawinan poligami yang dilangsungkan tanpa izin pengadilan antara lain :
a. Perkawinan poligami yang dilakukan menjadi tidak sah.
b. Istri yang tidak sah, tidak mendapatkan harta milik bersama (harta gono-gini).
c. Karena status pernikahan tidak sah, maka status anak juga tidak sah dan tidak tercatat dalam catatan sipil.
Arus utama (mainstream) budaya Indonesia, memang bukan budaya poligami. Budaya arus utama Indonesia adalah monogami. Lain dengan di Arab Saudi yang arus utama budayanya memang poligami, dan hampir semua laki-laki beristeri lebih dari satu. Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Isrti-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan. Lalu bagaimana dengan praktek poligami di Indonesia sendiri?
“Apakah praktek poligami di Indonesia sesuai dengan tabiat manusia, khususnya perempuan?”
“Apakah praktek poligami di Indonesia menjanjikan rumah tangga yang mawaddah dan rahmah?”
“Lalu bagaimanakah Islam mengkritisi Poligami?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar