Sabtu, 04 Desember 2010

Poligami di Zaman Jahiliyah

Kedudukan Perempuan di Zaman Jahiliyah

Dalam berbagai tradisi, sejarah perempuan menyisakan tragedi yang buram dan memprihatinkan. Bangsa Yunani dan Romawi pada zaman dahulu menganggap kaum perempuan sebagai budak yang tidak memiliki hak apa pun atas dirinya. Filosof sekaliber Aristoteles pun mengatakan bahwa posisi perempuan di hadapan laki-laki menyerupai posisi hamba di hadapan tuannya, pekerja di hadapan ilmuwan dan derajat laki-laki jauh lebih unggul atas perempuan.
Di zaman Jahiliyah, kondisi dan kedudukan perempuan sumbernya bervariasi. Ada yang menyatakan bahwa di kalangan bangsa Arab terdapat beberapa kepala suku perempuan, seperti Ummu Aufah, Kindah, dan sebagainya yang berdiam di Mekah, Madinah, Yaman, dan sebagainya. Mereka berperan menentukan kebijakan sukunya, namun jumlah mereka tidaklah banyak.
Kebanyakan perempuan tidak ada harganya di mata masyarakat. Mereka dianggap tidak lebih dari barang yang diperjual-belikan di pasar. Masyarakat sebelum Islam atau yang kemudian disebut jahiliyah (abad kebodohan) berstruktur kesukuan serta dibangun atas perbudakan. Ibnu Habib mengatakan bahwa dalam masyarakat jahiliyah para laki-laki mengambil keuntungan dari dua belah paha budak-budak perempuan, di antara mereka ada yang memasang bendera putih di pasar untuk menarik perhatian orang-orang yang akan berzina. Ibnu Abbas menggambarkan bahwa pada zaman jahiliyah mereka biasa memaksa budak-budak perempuan mereka untuk melakukan perzinaan lalu mengantongi harga yang dibayarkan oleh laki-laki.
Perempuan juga tidak mewarisi harta peninggalan suami atau orang tua mereka tetapi justru mereka diwariskan kepada anak-anak mereka untuk dinikahi. Laki-laki dengan semaunya bisa menikah dengan banyak perempuan. Terdapat juga dalam beberapa suku, ibu tiri menikah dengan anak tirinya, saudara kandung menikah dengan sesama saudaranya.
Beberapa suku juga melakukan pembunuhan terhadap anak-anak perempuan, yaitu pada Bani Tamim dan Bani Asad. Hal tersebut dikarenakan mereka mempunyai keyakinan bahwa anak perempuan merupakan penyebab kemiskinan dan keluarga menjadi malu. Kaitannya dengan faktor kependudukan, ada dua alasan mengapa terjadi pembunuhan terhadap anak-anak khususnya anak perempuan, antara lain :
1. hancurnya bendungan Ma’arib di Yaman yang menyebabkan rakyat berbondong-bondong pindah ke Mekah, Madinah, Damaskus dan sebagainya. Urbanisasi besar-besaran tersebut mempengaruhi perekonomian dengan serius akhirnya semakin banyak anggota keluarga kesulitan mendapatkan makanan sehingga karena faktor kemiskinan akhirnya mereka membunuh anak;
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa besar.”
(QS Al-Isra : 31)
2. karena perempuan dianggap membawa aib, bila di kalangan mereka kalah perang maka istri dan anak perempuan mereka diperkosa ramai-ramai oleh suku yang menang sehingga lebih baik bagi perempuan untuk dibunuh terlebih dahulu. Dalam beberapa suku Arab, seorang wanita boleh disetubuhi dengan paksa bila seorang laki-laki dapat mengalahkan perlawanan yang dilakukan oleh laki-laki lain dari sukunya. Pemerkosaan biasa terjadi selama perang atau dengan serangan mendadak. Penyair Hatim Al-Tai menggambarkan praktek ini dengan sebaris kalimat :
“Kita tidak mengawini anak-anak gadis mereka dengan izin mereka, tapi merebutnya dengan pedang kita”


Model Poligami di Zaman Jahiliyah

Sebelum Islam datang, masyarakat Arab jahiliyah mengenal aneka bentuk perkawinan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a, istri Nabi Muhammad SAW, bahwa pada zaman jahiliyah terdapat enam macam perkawinan, antara lain :
1. Perkawinan istibdha’
Yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan setelah menikah suami memerintahkan istrinya berhubungan badan dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat karena kebangsawanannya dengan maksud mendapatkan anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan. Kemudian setelah hamil suami mengambil istrinya kembali dan bergaul dengannya sebagaimana layaknya suami-istri.
Aisyah menggambarkan perkawinan ini sebagai berikut : seorang perempuan bila telah selesai dari masa menstruasinya dan dengan demikian ia suci kemudian ia meminta kepada suaminya untuk mengirimkan “si anu” (nama seorang laki-laki) lalu tidur dengannya. Suaminya akan menjauh darinya sampai ada tanda-tanda sebagai bukti yang menunjukkan bahwa ia hamil dengan laki-laki yang tidur dengannya itu. Biasanya yang dipilih adalah laki-laki dari salah satu tokoh penting masyarakat, tujuannya adalah untuk mendapatkan anak yang akan mewarisi sifat-sifat besarnya. Bila bukti kehamilannya tidak diragukan lagi, si suami kemudian akan mengulangi hubungan seks dengan istrinya. Setelah si anak lahir, ia dianggap sebagai buah dari ayah yang resmi dan bukan dari “orang besar” yang pernah tidur dengan istrinya.
Istibdha’ adalah salah satu bentuk hubungan poliandri di antara orang-orang Arab dan masih dipraktekkan dalam beberapa masyarakat bilamana seorang wanita yang steril boleh melakukan hubungan perkawinan tambahan supaya bisa hamil.
Perkawinan yang dijalankan menurut praktek istibdha’ baik dengan cara bersetubuh dengan orang selain suaminya ataupun dengan menggunakan sepotong kain yang dibasahi sperma, kedua-duanya adalah cara yang mirip dengan gagasan tentang inseminasi buatan yang intinya adalah menggantikan sperma bapak dengan sperma laki-laki lain.
2. Perkawinan al-maqthu
Yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan ibu tirinya. Perkawinan tersebut merupakan tradisi Arab jahiliyah, bahwa anak laki-laki mewarisi secara paksa istri-istri ayahnya. Jika anak laki-laki yang mewarisi itu masih kecil, keluarganya dapat menahan istri itu sampai anak tersebut dewasa.
3. Perkawinan al-rathum
Yaitu perkawinan poliandri, perkawinan seorang perempuan dengan beberapa laki-laki (kebalikannya poligami). Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua laki-laki yang pernah menggaulinya lalu menentukan siapa ayah dari bayinya dan laki-laki yang ditunjuknya itu harus menerima dan mengakui bayi itu sebagai anak kandungnya.
Bentuk perkawinan seperti ini juga disebut zawaj al-musyarakah atau perkawinan bersama. Perempuan tidak boleh memiliki lebih dari sepuluh suami dan bila ia melangkahi batas ini, maka masyarakat akan mencapnya sebagai pelacur. Bila si perempuan hamil, ia akan menyuruh mereka datang dan tidak seorang pun boleh menolaknya. Setelah mereka berkumpul kemudian si perempuan menyebut nama laki-laki yang ia inginkan sebagai ayah dan penjaga anak-anaknya. Laki-laki yang disebut juga tidak boleh menolaknya.
4. Perkawinan khadan
Yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah (kumpul kebo). Masyarakat Arab saat itu menganggap perkawinan tersebut bukan kejahatan selama dilakukan secara rahasia.
5. Perkawinan badal
Yaitu perkawinan dimana dua orang suami bersepakat tukar menukar istri tanpa melalui talak. Tujuannya tentu saja hanya untuk memuaskan hasrat seksual mereka.
6. Perkawinan al-syigar
Yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya (tukar-menukar anak atau saudara perempuan).
Selain itu menurut uraian Imam Zuhri yang dikutip oleh Montgomery Watt, bahwa pada zaman jahiliyah terdapat empat macam perkawinan yang populer, antara lain :
Pertama, laki-laki yang menikah dengan istrinya dengan membayar mahar yang diterima mertua laki-laki bukan sang istri sendiri.
Kedua, suami dan istri bermusyawarah untuk mendapatkan anak yang cerdas dan cakap, maka setelah istrinya memasuki masa-masa subur, diantar oleh sang suami kepada orang yang terkemuka untuk dikawinkan, setelah ada tanda-tanda kehamilan barulah sang istri dijemput oleh suaminya.
Ketiga, seorang perempuan memiliki suami kurang dari sepuluh orang, setelah mempunyai anak, yang menentukan ayahnya adalah si ibu.
Keempat, seorang perempuan yang mempunyai suami lebih dari sepuluh, setelah mereka memiliki anak, maka yang menentukan siapa ayahnya adalah ahli nujum.
Praktek poligami seperti di atas bukan hanya dilakukan oleh bangsa Arab di zaman jahiliyah saja, tapi juga dilakukan oleh bangsa-bangsa dan umat-umat terdahulu. Cukup banyak fakta sejarah yang membuktikan kebenaran tesis tersebut. Musthafa al-Siba’i mengatakan :
“Poligami itu sudah ada di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba,...pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Assyiria, Mesir, dan lain-lain”
Dan ditambahkannya :
“Poligami di kalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami, malahan salah seorang raja Cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 orang”

Di dalam agama samawi yang lain seperti Yahudi dan Kristen juga tak ada larangan berpoligami. Bahkan dalam agama Yahudi, sebagaimana dikutip oleh al-Siba’i, kebolehan berpoligami tanpa batas. Nabi-nabi yang namanya tersebut di dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Sedang dalam agama Kristen tidak ada keterangan yang tegas melarang poligami. Al-Siba‘i menjumpai di dalam surat-surat Paulus yang menegaskan berpoligami. Wester Mark, spesialis sejarah perkawinan mengatakan :
“Sebenarnya poligami dengan pengakuan gereja berlaku sampai abad ke 17. Poligami itu berulang kali terjadi dalam suasana yang tidak diperhitungkan oleh gereja dan negara”
Dalam hal ini Mark menunjukkan sebuah bukti, yakni Daiyar Macedat, raja Irlandia mempunyai dua istri yang merdeka dan dua istri budak. Di kalangan agama animisme pun ditemukan praktek poligami seperti terdapat di Afrika.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa poligami selain dilakukan oleh bangsa Arab zaman jahiliyah juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain dan umat yang beragama Samawi, seperti Yahudi dan Nasrani, maupun bagi yang beragama Animisme. Jadi tidaklah benar jika ada asumsi yang menyatakan bahwa sistem poligami adalah dipelopori oleh Islam bahkan dikatakan bahwa Muhammadlah yang mempelopori praktek poligami, seperti yang ditulis oleh Will Durran di dalam bukunya The Story of Civilization, sebagaimana dikutip oleh Muththahari bahwa para teolog di abad-abad pertengahan berpendapat bahwa Muhammadlah yang memprakarsai poligami.
Jelas sekali pendapat di atas tidak didasarkan pada fakta sejarah yang valid. Disyari’atkannya poligami oleh Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW hidup tentu bukan sekedar ikut-ikutan terhadap syari’at umat terdahulu tetapi ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi kehidupan umat manusia di muka bumi. Hal tersebut terejawantahkan melalui motif-motif Nabi Muhammad SAW dalam praktek poligami yang dilakukan beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar