Sabtu, 04 Desember 2010

Mengikis Praktek Poligami

Poligami adalah ancaman kehidupan perempuan dan rumah tangga. Poligami mempunyai implikasi negatif yaitu secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila melihat suaminya berpoligami karena didorong oleh rasa cinta setianya yang dalam kepada suaminya bahkan tidak menutup kemungkinan anak juga akan merasakan implikasi negatif dari praktek poligami.
Adanya praktek poligami akan mengakibatkan :
1. Kesengsaraan perempuan
Perempuan akan sengsara hidupnya, pihak istri pertama merasa diambil suaminya, disakiti hatinya, dan disaingi keberadaannya dalam rumah tangganya sendiri. Istri yang kedua bagaimana pun juga pada umumnya ditanggapi negatif oleh masyarakat dan kehidupan rumah tangganya belum tentu akan bahagia seperti yang dijanjikan oleh suaminya sebelum diperistri.
Hidup itu panjang dan hidup semakin hari semakin kompleks masalahnya, berjuanglah bersama untuk melawan poligami karena poligami menyengsarakan perempuan dan menguntungkan kaum laki-laki. Kalau demikian halnya maka diharapkan perempuan di Indonesia tidak mengijinkan suaminya berpoligami atau tidak menempuh hidup berpoligami. Janganlah berdalih agama bagi yang mengijinkan, sebab Nabi Muhammad SAW saja tidak mengizinkan menantunya untuk berpoligami karena beliau yakin tiada seorang pun yang dapat membagi kasih dan cintanya secara adil, barangkali materi bisa dibagi secara adil tetapi perasaan belum tentu bisa diberikan secara adil. Maka hindarilah berbuat dosa kepada sesama dan agama.
2. Menyengsarakan keluarga
Hidup ini tidak hanya untuk istri, suami, dan istri-istri tetapi juga di antaranya ada anak-anak yang masih kecil atau dewasa yang melihat ketidakbijaksanaan orang tuanya terutama ayah yang ingin kawin lagi (hidup berpoligami) merupakan pengalaman hidup yang pahit bagi anak itu sendiri, mereka akan berpendapat mengapa seorang ayah yang begitu dihormati selaku kepala keluarga mempunyai pikiran yang merendahkan martabat seorang ibu yang dipujanya, mereka akan berpikir mengapa ayah tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya untuk hidup bersama lagi dengan perempuan lain yang lebih muda, bahkan ada istri kedua yang lebih kecil umurnya dari anaknya. Betulkah ada rasa cinta disana? Tidakkah perkawinan Poligami itu dilandasi oleh faktor-faktor yang lain, misalnya : materi, popularitas atau status sosial, nafsu seks, gengsi, merasa hebat, merasa muda kembali, dan lain-lain. Seandainya perkawinan itu dilandasi oleh faktor-faktor di atas, bagaimanakah kelangsungan hidup keluarga tersebut kelak apabila sudah tidak ada faktor-faktor pendukung di atas?. Hal ini tidak bisa dipungkiri lagi akan mengakibatkan:
a. suatu keretakan dalam rumah tangga, karena salah satu akan merasa dikhianati, disakiti, dan juga merasa disia-siakan;
b. juga akan memicu adanya kekerasan dalam rumah tangga bahkan adanya tindak pidana penganiayaan bahkan mungkin pembunuhan;
c. serta dapat mengakibatkan kehidupan anak menjadi frustasi (broken home).
Kalau terjadi hal tersebut baik bagi istri pertama, istri kedua dan seterusnya anak-anak mereka dan bahkan suami sendiri sebagai pemicu poligami akan merasakan betapa hidup ini bagaikan di neraka.

Pernikahan bukan layaknya transaksi “Showroom Motor” sehingga boleh ‘bongkar-pasang’ sesuka hati, setelah diperiksa bodi-fisik, mesinnya setelah cocok kemudian dibeli. Namun setelah “bosan” memakainya dengan mudah bisa ditukarkan. Pernikahan dalam Islam tidak hanya mencari kepuasan fisik semata tetapi memiliki tujuan yang suci dan mulia yakni terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan wa rahmah.
Data survei Lembaga Survei Indoensia (LSI) dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah menunjukkan pada bulan Maret 2006 mendapatkan data bahwa hampir 60% masyarakat Indonesia tidak menyetujui poligami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar