Fakta dan Fenomena
Ketika jam perkuliahan akan dimulai dan matahari semakin merangkak menuju ke ufuk barat, di tengah panasnya suasana perkulihanan, bayangkanlah lima mahasiswi yang sedang berdiskusi ilmiah tentang jilbab di depan kelasnya:
Kata wanita pertama,”Lihat si Asmiranda itu. Apa dia nggak malu pake jilbab jika kelakuannya seperti itu? Uh, bercandanya kelewatan. Tawanya keras sekali. Tidak sopan! Harusnya dia malu sebagai seorang wanita yang memakai jilbab jika dia tidak bisa menjaga etika dan sopan santunnya. Mana sering mojok dengan pacarnya lagi, bergandengan...uh cap cay deh melihatnya! Lalu buat apa Asmiranda pake jilbab? Mendingan aku yang nggak pake jilbab. Huh, lebih baik nggak perlu pake jilbab tetapi bisa menjaga diri daripada memakai jilbab tetapi bersikap dan berpenampilan seperti dia!”.
Bandingkan dengan wanita kedua yang berkata, “Maafkan aku mba’ sebab aku belum berani memakai jilbab. Aku ingin sekali memakainya tapi...ah ada sesuatu yang membuatku merasa berat untuk memakainya sekarang. Mungkin Allah belum memberi petunjuk untukku sehingga aku masih merasa berat memakainya. Doakan saja suatu saat nanti aku akan memakai jilbab seperti mba’. Kalau aku sekarang memaksakan diri untuk memakainya, aku takut tidak bisa menjaga diri sebagai seorang wanita muslimah yang berjilbab. Sekarang biarkan aku seperti ini dulu dan doakan agar aku bisa menjaga diri.
Wanita yang ketiga berkata,”Aku pikir seorang wanita yang berjilbab atau tidak berjilbab itu tidak berbeda. Satu-satunya hal yang membedakan adalah jilbab mereka itu sendiri. Selebihnya mereka adalah sama-sama wanita dengan sifat-sifat kewanitaannya. Silahkan jika anda memakai jilbab, tetapi jangan memaksa saya untuk memakainya seperti anda, sebab Tuhan tidak menanyakan apakah seorang wanita itu berjilbab atau tidak. Yang dilihat Tuhan itu bukan perkara luar, tetapi perkara hati. Seorang wanita yang berjilbab belum tentu mempunyai hati yang suci dan bersih. Sebaliknya, seorang wanita yang tidak berjilbab bisa jadi memiliki kedekatan dengan Tuhan melebihi wanita yang berjilbab tadi. Jadi jangan anda memandang wanita yang tak berjilbab seperti anda itu wanita yang rendah, sebab siapa tahu dia memiliki kualitas hati dan jiwa yang lebih baik dan mulia dari pada anda.”
Wanita yang keempat berkata,”Seorang muslimah yang berjilbab, dia akan lebih kelihatan cantik secara fisik. Apalagi jika jilbabnya tersebut mampu mencerminkan kecerdasan jiwanya, maka dia tidak hanya cantik di luar saja tapi juga cantik di dalam.
Wanita kelima berkata,”Di kampus kita ini kebanyakan teman-teman memakai jilbab, jadi kita harus memakai jilbab dong! Agar kita tampak cantik dengan berjilbab, maka pakailah jilbab yang diproduksi oleh Rabbani, Az-Zahra, ataupun Raihan. Jilbab produk mereka fashionable banget gitu lho...!
Lalu bagaimana dengan anda, apa yang menjadikan anda berhasrat untuk berjilbab? Sebenarnya bagaimanakah jilbab dalam pandangan Islam?
Definisi Jilbab
Kata jilbab, jamaknya jalabib yang termaktub dalam QS Al-Ahzab ayat 59. Secara lughawi, jilbab berati pakaian (baju kurung yang longgar). Dari pengertian lughowi ini kemudian Quraish Shihab mengartikan jilbab sebagai baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala. Sedang menurut Abu Hayyan, jilbab ialah pakaian yang menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata pemakainya terlihat namun tetap menutup dada dan bagian mukanya. Jika melihat definisi jilbab menurut Quraish Shihab maka bisa dikatakan jika wanita yang memakai celana jeans model pensil yang teramat nyetrit sejatinya wanita tersebut belumlah memakai jilbab. Definisi yang kedua lebih ekstrim lagi, baginya berjilbab akan lebih sempurna jika yang terlihat hanya matanya (kita sering menyebutnya jilbab ala ninja). Nampaknya kita harus memutar otak kita lebih kencang lagi untuk menanggapi fenomena berjilbab di masyarakat kita. Apakah jilbab yang dipakai sudah sesuai dengan pandangan Islam? Tentu jawabannya sangat interpretable dan akan menjadi sebuah diskursus yang debatable. Namun pertanyaan yang menarik adalah “Apakah berjilbab merupakan suatu kewajiban?”
Landasan Normatif Berjilbab
Allah SWT berfirman :
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak wanitamu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS Al-Ahzab : 59).
Inilah ayat yang digunakan sebagai hujjah (argumen) untuk mengatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi setiap wanita muslimah. Akan menjadi menarik sekali jika kewajiban berjilbab tersebut kita hadapkan dengan kondisi kultur-sosial kita. Hal ini dikarenakan jilbab yang telah menjadi identitas asli wanita Arab tidak bisa dipaksakan pemakaiannya pada kalangan lain seperti kalangan wanita muslimah di tanah air kita.
Terhadap pemaksaan kewajiban berjilbab seperti wanita Arab, alhasil kita sering menemukan ada wanita yang memakai jilbab ketika dia keluar rumah atau menghadiri kegiatan-kegiatan tertentu dan ada juga wanita yang berjilbab karena mereka sekolah di sekolah Islam atau karena mereka bekerja di Bank Muamalah ataupun toko-toko yang mewajibkan karyawannya untuk berjilbab. Intinya, mereka hanya berjilbab jika keluar rumah saja, misalkan ketika dia kuliah atau pun ketika dia ada kegiatan di luar rumah serta ketika dia sedang bekerja. Sedang ketika mereka di dalam rumah atau dalam kebiasaan sehari-hari, mereka melepaskan jilbabnya. Diakui ataupun tidak, fenomena ini terjadi di masyarakat kita. Fenomena tersebut sangat paradox dengan perintah kewajiban berjilbab dalam QS Al-Ahzab ayat 3, untuk itu penulis memandang perlu adanya penafsiran secara kontekstual terhadap ayat tersebut.
Moral-Idea QS Al-Ahzab ayat 3
Perintah berjilbab dalam QS Al-Ahzab ayat 3 tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi. Kaum wanita itu diminta untuk memakai jilbab manakala mereka diganngu oleh orang-orang usil yang selalu mengincar wanita-wanita murahan yang tidak berjilbab. Hal ini sesuai dengan peristiwa ketika ayat tersebut turun. Menurut riwayat:
“Para wanita muslimat pada malam hari pergi keluar rumah untuk buang hajat. Di tengah perjalanan, mereka diganggu oleh orang-orang munafik (orang jahat) karena penjahat itu tidak dapat membedakan antara wanita merdeka (terhormat) dengan yang budak (sebab model pakaian yang mereka pakai sama); sehingga bila mereka melihat seorang wanita memakai tutup kepala (jilbab/kerudung), maka mereka berkata,”ini perempuan merdeka”, lalu mereka biarkan berlalu tanpa diganggu. Sebaliknya, jika mereka melihat wanita tanpa tutup kepala lantas mereka berkata,”ini seorang budak perempuan”, lalu mereka membuntuti (dengan tujuan melakukan pelecehan seksual)”
Dalam peristiwa itu tampak dengan jelas bahwa ayat ini turun bukan khusus berkenaan dengan konteks menutup aurat saja tapi lebih dari itu, yakni agar mereka tidak diganggu oleh pria-pria nakal dan usil. Dengan demikian kita dapat berkata bahwa di mana pun di dunia ini, baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kriterianya dengan yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, maka hukumnya adalah sama, sesuai dengan kaidah ushul fiqh :”hukum-hukum syara’ didasarkan pada ‘illat (penyebabnya)”.
Berdasarkan sebab turunnya ayat dan kaidah ushul fiqh tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban berjilbab menurut ayat ini bersifat kondisional, bukan kewajiban mutlak. Artinya, apabila di suatu masa atau pada suatu tempat di mana orang melihat wanita berpakaian mini yang memperlihatkan bentuk lekuk tubuhnya dan wanita bercelana jeans yang “nyetrit” yang memperlihatkan lekuk tubuhnya pula sehingga dapat membangkitkan nafsu seks kaum laki-laki sehingga memotivasinya untuk menggoda wanita itu, maka dalam kondisi begini si wanita itu wajib berjilbab supaya dia tidak diganggu sehingga dapat berjalan bebas dan beraktivitas dengan bebas pula.
Berkaca dari ide moral dalam QS Al-Ahzab ayat 6 ini, lalu bagaimanakah dengan pakaian serta jilbab yang dikenakan oleh masyarakat kita? Apakah jilbab yang mereka kenakan sudah mencerminkan ide moral ayat tersebut? Semoga artikel sederhana ini mampu menjadi inspirasi konstruktif yang positif bagi kaum hawa di Indonesia dalam berjilbab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar