Tidak ada yang salah dengan QS An Nisa ayat 3 tentang poligami. Yang salah adalah prakteknya, yang merupakan pengejawantahan dari suatu penafsiran. Fakta sudah banyak membuktikan bahwa dalam praktek poligami, suami tidak pernah berbuat adil. Banyak laki-laki mempraktekkan poligami tanpa kesadaran dasar tentang konsekuensi dari poligami, yaitu berbuat adil. Dan keadilan itu hanya bisa dicapai jika mempunyai satu patner (suami-istri). Artinya tidak ada pengistimewaan kepada salah satu istri dibanding istri yang lain.
Persoalan poligami sebenarnya rumit, yaitu antara landasan teologis, konsep kesetaraan gender dan berbuat adil di dalamnya. Kita tidak bisa melihatnya hanya dari satu sisi, misalnya landasan teologis saja, kesetaraan gender saja atau keadilan saja dalam praktek poligami karena semuanya saling berhubungan. Ketidakadilan terhadap perempuan dikarenakan adanya implementasi yang salah dari suatu ajaran agama yang disebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkhi di dalam masyarakat sehingga menimbulkan sikap dan perilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketidakadilan tersebut.
Titik tekan poligami itu ada pada aspek keadilan, bukan pada perkawinannya itu sendiri. Sementara yang terjadi saat ini tampaknya kesalahkaprahan penafsiran banyak orang terhadap QS An-Nisa ayat 3 yang dianggap lebih menitikberatkan aspek bolehnya perkawinan lebih dari satu istri itu, bukan pada aspek keadilannya. Kesalahkaprahan tersebut semakin parah ketika terjadi pen-sakralan terhadap penafsiran itu.
Orang-orang yang membela poligami tidak mengaitkan antara ayat yang mendukungnya di QS An-Nisa ayat 3 dengan ayat-ayat lain yang seakan-akan justru menafikan ayat itu. Di akhir ayat itu sendiri misalnya sudah dikatakan bahwa ”Bila engkau kuatir tidak dapat berlaku adil, maka satu orang istri sajalah!”. Bahkan dalam QS An-Nisa ayat 129 dikatakan bahwa laki-laki sudah dikodratkan oleh Allah SWT untuk tidak mungkin bisa berbuat adil terhadap banyak istri.
Firman Allah SWT :
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS An Nisa : 129)
Lebih dari itu, dalam konteks perkawinan zaman Nabi Muhammad SAW, pembolehan poligami sangat terkait dengan fakta banyaknya perempuan-perempuan janda, anak yatim dan budak-budak yang menjadi beban sosial. Sekarang konteks poligami sudah jauh berbeda, tidak lagi berada dalam konteks peperangan. Dalam faktanya saat ini, sebagian besar laki-laki yang berpoligami, istri barunya jauh lebih cantik, lebih muda, lebih menarik dan sangat jarang peminat poligami yang memilih orang-orang yang paling patut ditopang secara sosial-ekonomi
Jika dilacak lagi melalui Hadits, akan ditemukan indikasi ketidaksetujuan Nabi Muhammad SAW atas poligami. Ada sebuah Hadis yang menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib ingin menikah dengan perempuan lain (selain istrinya: Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW). Lantas Nabi Muhammad SAW mengungkapkan keberatannya. Dan Nabi Muhammad SAW mengulang kalimat “aku tidak akan mengizinkannya” sampai tiga kali. Lantas, pada akhir komentarnya, beliau mengatakan bahwa sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari dirinya. Barang siapa membahagiakannya, berarti ia membahagiakan Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, barang siapa menyakitinya, berarti ia menyakiti Nabi Muhammad SAW.
Dari sini jelas terlihat indikasi ketidaksetujuan Nabi Muhammad SAW pada praktek poligami. Adapun praktek poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW harus dilihat dalam konteks keinginan menciptakan suatu hukum baru dalam Islam. Misalnya, dilihat dalam kasus pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya (Zaid bin Utsamah). Dalam kasus ini terkandung sebuah ketetapan hukum. Nabi Muhammad SAW ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa anak angkat dengan anak kandung itu berbeda (pembatalan asumsi hukum sedarahnya anak hasil adopsi,). Tradisi Arab kala itu tidak demikian. Jadi, benang merah yang dapat ditarik dari sini, kesimpulan hukum bahwa tidak ada pertalian darah antara orang tua dengan anak angkatnya. Jadi ada maksud-maksud tertentu perilaku Nabi Muhammad SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar