Sabtu, 04 Desember 2010

Poligami Memarjinalkan Kedudukan Perempuan

Beragamnya alasan mengapa laki-laki berpoligami dan mengapa perempuan dipoligami dan mau dipoligami telah memperlihatkan kepada kita betapa perempuan telah dipinggirkan dan selalu berada dalam posisi yang terpojok. Hampir dapat dipastikan bahwa kebanyakan perempuan sulit menawar atau bahkan tidak punya kemampuan menolak keinginan laki-laki untuk berpoligami. Poligami dengan demikian jelas merupakan perwujudan ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi bahkan diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut menjadikan posisi perempuan dimarjinalkan. Poligami merupakan isu yang sangat terkait dengan perempuan. Kaum hawalah yang banyak merasakan ketidak-adilan poligami. Karenanya, isu ini banyak dikumandangkan dan mendapat sorotan penting dari penggiat hak-hak kaum perempuan, termasuk kaum feminis Islam.
Dr. Andree Feillard, seorang peneliti dari Perancis, meneliti tentang pandangan perempuan Islam Indonesia terhadap poligami pada bulan Oktober dan November 1995. Informannya termasuk tokoh perempuan Muslimat (Nahdlatul Ulama), perempuan 'Aisyiyah dan perempuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat. Katanya, 22 dari 23 informannya menentang poligami. Tidak ada alasan yang diberikan oleh informannya yang berdasarkan agama. Alasan menolaknya poligami termasuk penderitaan ibu, laki-laki tidak bisa adil, dan tidak sesuai dengan zaman.
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami antara lain :
Pertama, timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
Kedua, ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
Ketiga, hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Keempat, selain itu dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
Kelima, yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Masalah Poligami bukan masalah agama saja, tetapi masalah sosial, ekonomi dan politik bangsa Indonesia, khususnya masalah HAM perempuan. Masalah poligami tidak pantas dicoret dari agenda sosial politik nasional karena menyangkut hak azasi perempuan. Alasan masih banyak masalah lain yang lebih penting dan belum terselesaikan di Indonesia dan keterpurukan Indonesia sekarang, tidak dapat diterima untuk menyetop diskusi pro dan kontra poligami di Indonesia karena salah satu sebab keterpurukan Indonesia adalah diskriminasi kelompok marjinal di daerah miskin dan di dalamnya termasuk kaum perempuan. Bagaimana Indonesia bisa berhasil dalam pembangunan fisik dan spiritual kalau separuh warganya sebagai jenis kelamin perempuan tidak mempunyai hak yang sama seperti warga lainnya.

Dari segi kesehatan saja poligami tidak memberikan keadilan. Kalau seorang isteri sakit kelamin maka isteri lainnya juga dipaksa untuk mengidap penyakit yang sama. Belum lagi masalah kesehatan jiwa isteri yang cemburu dalam hal ekonomi, sosial dan sex. Kalau diperpanjang lagi dalam masalah Keluarga Berencana, poligami sangatlah kontradiktif karena kalau seorang lelaki mempunyai isteri 4 orang, pasti masing-masing mereka minta 2 anak dan kadang malah lebih kalau belum mendapat jenis kelamin anak yang diinginkan. Dengan demikian tidak jarang kalau si lelaki poligamis ini akan mengurusi lebih dari 10 anak. Lalu apakah bisa dikategorikan sehat kalau seorang ayah harus membagi kasihnya kepada 10 anak, dari sudut pendidikan anak, psikologi dan mental anak-anak itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar