Sabtu, 04 Desember 2010

Poligami Nabi Muhammad SAW

Banyak orang yang keliru memahami praktek poligami Nabi Muhammad SAW, termasuk umat muslim sendiri. Ada semacam asumsi bahwa praktek poligami merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Jika demikian, mengapa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan poligami sejak awal berumah tangga? Bukankah pada masyarakat Arab jahiliyah ketika itu merupakan tradisi yang sudah berurat berakar? Dalam prakteknya, Nabi Muhammad SAW lebih lama bermonogami kurang lebih 28 tahun sementara beliau berpoligami hanya sekitar 7 tahun. Nabi ternyata memilih monogami di tengah-tengah masyarakat yang memandang poligami sebagai hal yang lumrah. Sebaliknya, segelintir umat Islam justru mempraktekkan poligami di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas mempraktekkan monogami.
Ada lagi asumsi bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan pengikutnya, yaitu untuk memenuhi tuntutan biologis atau hanya untuk memuaskan hasrat seksual. Asumsi tersebut muncul berdasarkan realitas di masyarakat bahwa pada umumnya poligami dilakukan untuk tujuan-tujuan biologis semata. Asumsi-asumsi yang keliru tersebut perlu diluruskan karena merusak citra Islam yang sesungguhnya.
Untuk dapat memahami praktek poligami Nabi Muhammad SAW secara benar dan proporsional dan juga untuk memahami QS An-Nisa ayat 3 sebagai landasan normatif berpoligami, seseorang terlebih dahulu harus mengerti aspek historis dari ajaran Islam. Historisitas merupakan realitas sosial pemeluk agama. Historisitas juga merupakan refleksi dari normativitas, dan sebaliknya normativitas dibangun dari pengalaman historisitas, atau pengalaman historis akan menjadi bahan untuk reformulasi normativitas. Artinya, selalu ada proses dialogis antara semangat normativitas dengan historisitas. Proses itu selalu dinamis dan tidak akan berhenti pada satu titik selama gerak manusia itu ada. Hal itu berarti perlu ada pemahaman upaya dialogis untuk mendialektikakan antara normativitas dengan historisitas sehingga teks (ayat) mampu merespon realitas masyarakat.
Menurut Fazlur Rahman, Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam harus diinterpretasikan secara sistematis dengan menggunakan the systematic interpretation method. Metode ini terdiri atas tiga langkah, yaitu : pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks Al-Qur’an dalam bentangan karir dan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Kedua, membedakan antara ketetapan legal dan sasaran serta tujuan Al-Qur’an. Ketiga, memahami dan menetapkan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan secara penuh latar belakang sosiologisnya.
Poligami merupakan salah satu realitas masyarakat yang tidak lepas dari doktrin teologis (normatif, teks), untuk memahaminya secara otentik dan kekinian maka perlu ada pembacaan terhadap realitas sejarah, dalan hal ini adalah sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW (sirah nabawiyah).
Nabi Muhammad SAW memiliki 11 istri, diantaranya 6 perempuan dari golongan Quraisy, 4 perempuan dari golongan Arab, dan 1 perempuan dari Bani Isra’il. Dari golongan Quraisy antara lain Khadijah binti Khuwailid, yang selama beliau beristri dengannya, beliau tidak menikah dengan yang lainnya, kecuali setelah ia meninggal dunia; Aisyah binti Abu Bakar; Hafshah binti Umar ibn Khatab; Ummu Habibah binti Abu Shafyan; Ummu Salamah atau Hindun binti Abu Umayyah; dan Saudah binti Zam’ah. Dari golongan Arab antara lain Zainab binti Jahsy; Maimunah binti Harist, Zainab binti Khuzaimah, dan Juwairah binti Harist. Sedangkan dari Bani Isra’il yaitu Shafiyyah binti Huyay.
Nabi Muhammad SAW menikah pertama kali dengan Khadijah binti Khuwailid. Ketika itu usia beliau 25 tahun, sementara Khadijah berumur 40 tahun. Data-data historis mencatat betapa bahagianya perkawinan Nabi itu. Pasangan bahagia tersebut dianugerahi 6 orang anak, 4 perempuan dan 2 laki-laki namun kedua anak laki-lakinya meninggal ketika masih kanak-kanak. Sampai Khadijah wafat, Nabi Muhammad SAW tidak menikah dengan perempuan lain.
Berbeda dengan perlakuan kebanyakan suami terhadap istrinya, Nabi Muhammad SAW tidak pernah menunjukkan sikap otoriter (berkuasa mutlak) dan dominan (paling menentukan). Nabi Muhammad SAW memperlakukan Khadijah bukan sebagai objek atau bawahan, sebagaimana umumnya dilakukan suami terhadap istrinya. Nabi Muhammad SAW memposisikan Khadijah sebagai mitra dialog dan sahabat terkasih tempat mencurahkan segala problem, kegalauan, dan keresahan hati, terutama di saat-saat beliau memulai tugas risalahnya sebagai Nabi dan Rosul Allah SWT.
Pada diri Khadijah yang penuh wibawa dan cinta kasih itu, Nabi Muhammad SAW menemukan tempat berteduh dan mengadu, tempat berbagi suka maupun duka. Khadijah merupakan figur perempuan yang berakhlak mulia, aktif, dan penuh semangat serta memiliki kepedulian sosial yang amat tinggi. Khadijah tercatat sebagai perempuan pertama yang mendukung kebenaran risalah Islam. Oleh karena itu, ketika Khadijah wafat, Nabi Muhammad SAW merasakan duka kehilangan yang teramat dalam. Nabi Muhammad SAW bukan hanya kehilangan seorang istri yang sangat dicintai, melainkan juga mitra dialog dan sahabat seperjuangan.
Nabi Muhammad SAW sungguh-sungguh merupakan uswah hasanah bagi kaum laki-laki yang paling baik dalam hal kemampuan menjaga hasrat biologis agar tidak diumbar kecuali terhadap istrinya. Bahkan kesalehan Nabi Muhammad SAW dalam urusan yang satu ini telah dikenal jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rosul, padahal masyarakat di masa itu menganut pola perkawinan poligami tak terbatas dan bahkan memandang wajar serta biasa saja segala bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan.
Di mata masyarakat Arab ketika itu Nabi Muhammad SAW sangat wajar jika menikah lagi, terutama karena beliau adalah keturunan tokoh Quraisy terkemuka dan memiliki wajah yang rupawan, terlebih lagi karena Khadijah tidak memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa, keadaan tersebut sering kali dijadikan sebagai alasan pembenaran seorang suami untuk berpoligami. Pendek kata, walau Nabi Muhammad SAW memiliki banyak pesona dan alasan untuk berpoligami, tetapi nyatanya Nabi Muhammad SAW lebih memilih monogami, bukan poligami. Umat Islam hendaknya menyadari bahwa perkawinan Nabi Muhammad SAW yang monogami dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun, 17 tahun dijalani di masa sebelum kerasulan (qabla bi’tsah), dan 11 tahun sesudah masa kerasulan (ba’da bi’tsah).
Dua tahun setelah Khadijah wafat, barulah Nabi Muhammad SAW menikah lagi, yaitu dengan Saudah binti Zam’ah. Saudah merupakan perempuan pertama yang dinikahi Nabi Muhammad SAW setelah Khadijah wafat dan ketika itu usia Saudah sudah agak lanjut, dan sebagian riwayat menyebutkan ia sudah menopause.
Tiada berapa lama setelah menikahi Saudah, Nabi Muhammad SAW menikah lagi dengan Aisyah binti Abu Bakar di tahun kedua hijrah, pada saat itu pula puteri Nabi Muhammad SAW, Ruqayyah meninggal dunia. Ketika menikah, Aisyah baru berumur 9 tahun. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW lebih dahulu mengikat perkawinan dengan Aisyah baru kemudian dengan Saudah, tetapi karena umur Aisyah yang masih kecil, Nabi Muhammad SAW menunda sampai Aisyah tumbuh dewasa. Di waktu inilah Nabi Muhammad SAW memulai kehidupan poligaminya. Sejarah mencatat, Nabi Muhammad SAW melakukan poligami setelah usianya lewat 54 tahun, suatu usia di mana kemampuan seksual laki-laki biasanya sudah mulai menurun.
Setelah Aisyah, Nabi Muhammad SAW berturut-turut menikah dengan Hafshah binti Umar ibn Khatab, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Ummu Habibah binti Abu Shafyan, Zainab binti Jahsy, Juwairiyah binti Harist, Shafiyyah binti Huyay, dan terakhir Maimunah binti Harist.
Hafshah dinikahi Nabi Muhammad SAW sesudah suaminya meninggal dunia karena luka-luka tubuhnya yang dialami dalam perang Badar. Zainab dinikahi Nabi Muhammad SAW sesudah suaminya meninggal dunia ketika terbunuh dalam perang Uhud. Pada zaman jahiliyah Zainab dinamai Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) karena kasih sayang dan kebaikannya kepada orang-orang miskin zaman itu. Dalam tahun ke empat hijrah Zainab meninggal, dan pada tahun itu Nabi Muhammad SAW menikah dengan Ummu Salamah binti Abu Umayyah.
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW meminang Zainab binti Jahsy untuk dikawinkan dengan Zaid bin Haritsah. Tetapi ia dan keluarganya menolaknya. Maka turunlah ayat :”Apabila Allah dan RasulNya menentukan tentang suatu urusan, maka tidak boleh bagi orang mukmin laki-laki maupun perempuan berbuat menurutnya kemampuannya sendiri, dan barang siapa durhaka kepada Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah sesat dengan sesat yang nyata”. Setelah turun ayat tersebut, ia dan keluarganya lalu menerimanya. Kemudian jadilah Zainab menikah dengan Zaid. Tetapi Zainab lalu bangga atas keturunannya yang mulia itu dan Zaid pun berkeluh kesah terhadap Nabi Muhammad SAW tentang kesombongan istrinya. Maka beliau menyuruh Zaid agar berteguh hati dan sabar atas perbuatan istrinya. Bersabarlah Zaid namun Zainab tidak merubah sikapnya. Kemudian Zaid memberitahukan kepada Nabi Muhammad bahwa dia akan menceraikannya. Tetapi kemudian Allah menyuruh kepada Nabi Muhammad SAW agar menikahi Zainab setelah diceraikan oleh Zaid untuk menjaga kemuliaannya, untuk menghindari pertengkaran dan permusuhan, serta untuk membatalkan kebiasaan mengambil anak yang akhirnya diaku sebagai anak kandungnya sendiri hingga mengesampingkan nasab keturunannya sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab. Kemudian diharamkan atas orang-orang Islam mengangkat anak dengan menganggap sebagai anak kandungnya sendiri hingga mengenyampingkan nasab ayahnya karena ini sangat berbahaya. Sejak saat itu nama Zaid ialah Zaid bin Haritsah bukan Zaid bin Muhammad.
Dalam tahun kelima hijrah terjadilah perang Dumatul Jandal tetapi tidak sampai terjadi pertempuran. Kemudian terjadi perang Banu Musthaliq. Golongan mereka 10 orang terbunuh sedangkan yang lainnya ditawan. Di antara tawanan itu terdapat seorang perempuan yang bernama Juwairiyah, anak kepala suku dari Bani Musthaliq tersebut. Oleh Nabi Muhammad SAW ia dinikahi. Pernikahan itu kemudian menyebabkan kaum Bani Musthaliq masuk Islam.
Di tahun ketujuh hijrah terjadi perang Wadil Qura, dan sahabat Muhajirin yang dahulu hijrah ke Habsyi kembali. Dalam tahun itu pula Nabi Muhammad SAW pergi ke Mekah dengan beberapa sahabatnya untuk umrah menurut perjanjian Hudaibiyah. Tiba-tiba orang Quraisy Mekah semua keluar dari negerinya karena tidak suka melihat Nabi Muhammad SAW berthawaf di Baitul Haram. Tiga hari sesudah di Mekah, Nabi Muhammad SAW kembali ke Madinah. Dalam waktu itu pula beliau menikah dengan Shafiyyah.
Pada tahun ketujuh hijrah, saat Nabi Muhammad SAW berada di Mekah sesudah penakhlukkan Khaibar, beliau menikah dengan Maimunah binti Harist, yaitu bekas istri pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib dan dia adalah istri beliau yang terakhir. Tetapi beliau tidak berkumpul dengan dia kecuali sesudah keluar dari Mekah.
Perkawinan Nabi Muhammad SAW terjadi dalam rentang waktu yang relatif pendek (antara tahun kedua sampai tahun ketujuh hijrah. Jarak antara satu perkawinan dengan perkawinan lainnya sangat pendek. Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 Masehi atau tahun kesepuluh hijrah, tiga tahun setelah perkawinannya yang terakhir. Artinya, Nabi Muhammad SAW tidak menikah lagi dalam tiga tahun terakhir dari kehidupannya.
Menarik untuk diperhatikan, bahwa meskipun Nabi Muhammad SAW melakukan praktek poligami, namun tidak satu pun dari mereka yang beliau ceraikan. Pernah ada gosip bahwa Nabi Muhammad SAW menceraikan istrinya, yaitu Hafshah. Tetapi setelah diklarifikasi oleh Umar bin Khatab ternyata gosip tersebut tidak benar. Nabi Muhammad SAW memperlakukan semua istrinya dengan adil dan bijaksana. Jika salah seorang di antara mereka akan diikutsertakan dalam suatu perjalanan atau peperangan, maka Nabi Muhammad SAW mengundi mereka sehingga tidak menimbulkan rasa cemburu dan iri hati di antara mereka.
Data-data historis di atas menjelaskan secara gamblang bahwa Nabi Muhammad SAW menjalani perkawinan monogami dengan Khadijah selama 28 tahun dalam suasana yang diliputi kebahagiaan. Setelah dua tahun Khadijah wafat barulah Nabi Muhammad SAW memasuki kehidupan poligaminya. Kehidupan yang dipenuhi dengan aktivitas perjuangan dan pembinaan masyarakat dalam rangka menancapkan fondasi keimanan masyarakat Islam di Madinah sekaligus mengembangkan syiar Islam ke seluruh wilayah jazirah Arab.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa motif perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan istri-istrinya adalah motif dakwah dan poligami Nabi Muhammad SAW adalah media untuk menyelesaikan persoalaan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk memberi solusi. Misalnya perkawinan Nabi Muhammad SAW yang kedua dengan Saudah binti Zam’ah yang dilakukan semata-mata untuk melindungi perempuan tua itu dari keterlantaran dan tekanan keluarganya yang masih musyrik. Suami Saudah yaitu Sakran ibn Amar adalah sahabat yang menyertai Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan hijrah ke Abessinia. Dalam suatu riwayat dijelaskan karena usia Saudah yang sudah lanjut, ia tidak mempunyai hasrat lagi kepada laki-laki. Saudah menerima lamaran Nabi Muhammad SAW karena berharap akan dibangkitkan di surga nanti bersama-sama istrinya yang lain. Itulah sebabnya ia rela memberikan “gilirannya” kepada Aisyah. Demikian pula motif perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan istri-istrinya yang lain.
Kemudian dari segi fisik biologis, satu-satunya istri Nabi Muhammad SAW yang perawan dan berusia muda hanya Aisyah, istri Nabi Muhammad yang lain rata-rata telah berumur, punya anak, dan janda dari para sahabat yang gugur dalam berjihad. Data-data historis tersebut dengan jelas telah menjelaskan bahwa alasan Nabi Muhammad SAW berpoligami sangat jauh dari tuntutan pemenuhan kepuasan biologis sebagaimana yang dipersepsikan orang terhadapnya.

Lalu bagaimanakah dengan praktek poligami yang dilakukan oleh masyarakat?
Apakah alasan masyarakat berpoligami?
Apakah praktek poligami mereka sudah sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar