Sabtu, 04 Desember 2010

Poligami Menciutkan Mental Anak

Seorang suami yang berniat melakukan poligami harus memenuhi syarat fisik dan psikis. Dalam dua kebutuhan itu, seorang laki-laki dituntut untuk berlaku adil, dan ini lah yang paling sulit, bahkan Allah SWT sendiripun menegaskan dalam QS An-Nisa ayat 3. Persiapan psikis sangat penting, terutama jika di dalam di dalam pernikahan poligami sang suami sebelumnya terdapat anak-anak. Anak-anak dapat merasakan setelah pernikahan kedua terjadi, apakah ibunya dapat dengan besar hati menerima orang baru masuk ke dalam kehidupan mereka. Jangan sampai keputusan yang diambil menyimpan bara dalam sekam, ujungnya yang terjadi adalah ketidak bahagiaan bagi istri dan korban utama yang paling menderita adalah anak. Seorang ibu merupakan pendidik utama bagi anak. Bagaimana mungkin seorang ibu yang tidak bahagia (unhappy mother) bisa memberikan kebahagiaan bagi anak-anaknya yang akhirnya hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi keutuhan perkembangan jiwa anak.
Apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan memilih dilahirkan di keluarga yang harmonis, hangat, dan penuh kasih sayang. Keluarga yang demikian adalah dambaan dari setiap anak di dunia. Tapi sayangnya, anak tidak dapat memilih siapa yang akan menjadi orangtuanya. Saat mereka lahir, mereka harus menerima siapapun yang menjadi orangtua mereka. Termasuk saat mereka memiliki orangtua yang melakukan praktek poligami.
Poligami yang dipraktekkan hanya karena kepentingan laki-laki semata akan menciptakan hubungan yang tidak sehat dalam keluarga. Hal tersebut akan menjadi faktor rusaknya keluarga (broken home) dan menghancurkan mental anak yang tidak berdosa, sebab poligami akan merampas perlindungan dan ketentraman anak. Anak dalam keluarga yang berada dalam situasi konflik akan berkembang menjadi pribadi yang mendapat gangguan psikologis sehingga berpengaruh pada perilakunya. Dalam keadaan lebih buruk, keadaan konflik dapat mengakibatkan kehancuran keluarga.
Pengaruh yang paling besar adalah pengaruh terhadap perkembangan anak dan masa depannya. Dalam suasana yang tidak harmonis akan sulit terjadi proses pendidikan yang baik dan efektif, anak yang dibesarkan dalam suasana seperti itu tidak akan memperoleh pendidikan yang baik sehingga perkembangan kepribadian anak mengarah kepada wujud pribadi yang kurang baik. Akibat negatifnya sudah dapat diperkirakan yaitu anak tidak betah dirumah, hilangnya tokoh idola, kehilangan kepercayaan diri, berkembangnya sikap agresif dan permusuhan serta bentuk-bentuk kelainan lainnya. Keadaan itu akan makin diperparah apabila anak masuk dalam lingkungan yang kurang menunjang. Besar kemungkinan pada gilirannya akan merembes ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi.
Betapa bahagia dan indahnya apabila semua orang tua bisa mendidik anaknya dengan baik serta membentuknya menjadi pribadi yang shaleh, tentunya pertama kali yang mesti mereka terapkan adalah memperbaiki perilakunya sendiri dalam keluarganya. Jadi, jika seorang ayah tidak dapat menjamin akan dapat berlaku adil maka ia harus mengubur niatnya untuk berpoligami dan mulai memikirkan cara untuk memperbaiki keadaan keluarga dan perkembangan psikologi anak yang tak berdosa yang bisa menjadi korban dari kerusakan atau penyelewengan moral akibat tatanan keluarga yang tak utuh. Keadaan keluarga sangat mempengaruhi perjalanan hidup dan masa depan anak karena lingkungan keluarga merupakan arena dimana anak-anak mendapatkan pendidikan pertama, baik rohani maupun jasmani.

Sudah menjadi keharusan bagi orang tua untuk membimbing dan mendidik anak-anaknya, karena anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan dan pendidikan yang wajar dari orang tuanya akan menimbulkan kelemahan pada diri anak dalam perkembangan dan pertumbuhan psikologisnya.
Kalau hal ini diasumsikan ke dalam keluarga yang berpoligami, maka sudah dapat dibayangkan bagaimana hubungan antara anak dengan ayahnya. Seorang ayah yang berpoligami berarti ia harus menghadapi lebih dari satu keluarga yang harus diurus dan dipimpinnya. Dengan memimpin dua rumah tangga atau lebih, berarti ayah tidak selamanya berada dan menetap pada satu rumah tangga isterinya. Akan tetapi senantiasa berpindah-pindah dari rumah isteri yang satu ke rumah isteri yang lain dan seterusnya. Dengan keadaan seperti demikian itu, maka kesempatan seorang ayah untuk bertemu dengan dan bergaul dengan anak-anaknya sangatlah terbatas. Hal itu berarti terbatas pula waktu untuk bertemu dan bergaul dengan anak-anaknya secara continu. Kondisi rumah tangga dalam bentuk demikian menyebabkan banyak di antara anak-anak yang ayahnya berpoligami itu terlantar pendidikannya. Dan selanjutnya mempengaruhi perkembangannya, misalnya anak menjadi pemalas dan kehilangan semangat dan kemampuan belajarnya. Di samping itu tidak jarang menimbulkan terjadinya kenakalan-kenakalan dan traumatik bagi anak hingga mereka berkeluarga. Terjadinya tindakan-tindakan atau kasus-kasus tersebut merupakan akibat negatif dari keluarga yang berpoligami yang disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:
Pertama, anak merasa kurang disayang. Salah satu dampak terjadinya poligami adalah anak kurang mendapatkan perhatian dan pegangan hidup dari orang tuanya, dalam arti mereka tidak mempunyai tempat dan perhatian sebagaimana layaknya anak-anak yang lain yang orang tuanya selalu kompak. Adanya keadaan demikian disebabkan karena ayahnya yang berpoligami, sehingga kurangnya waktu untuk bertemu antara ayah dan anak, maka anak merasa kurang dekat dengan ayahnya dan kurang mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Kurangnya kasih sayang ayah kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan psikisnya yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan pengawasan dari ayah kepada anak-anaknya akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami dekadensi moral karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang terpengaruh kepada hal-hal yang kurang wajar.
Kedua, tertanamnya kebencian pada diri anak. Pada dasarnya tidak ada anak yang benci kepada orang tuanya, begitu pula orang tua terhadap anaknya. Akan tetapi perubahan sifat tersebut mulai muncul ketika anak merasa dirinya dan ibunya ”ternodai” karena ayahnya berpoligami. Walaupun mereka sangat memahami bahwa poligami dibolehkan (sebagaimana dalam QS An-Nisa ayat 3) tapi mereka tidak mau menerima hal tersebut karena sangat menyakitkan. Apalagi ditambah dengan orang tua yang akhirnya tidak adil, maka lengkaplah kebencian anak kepada ayahnya.
Kekecewaan seorang anak karena merasa dikhianati akan cintanya dengan ibunya oleh sang ayah akan menyebabkan anak tidak simpati dan tidak menghormati ayah kandungnya.
Ketiga, tumbuhnya ketidakpercayaan pada diri anak. Persoalan yang kemudian muncul sebagai dampak dari poligami adalah adanya krisis kepercayaan dari keluarga, anak, dan isteri. Apalagi bila poligami tersebut dilakukan secara sembunyi dari keluarga yang ada, tentu ibarat memendam bom waktu, suatu saat lebih dahsyat reaksi yang ada. Sesungguhnya poligami bukan sesuatu yang harus dirahasiakan tapi sesuatu yang sejatinya harus didiskusikan, jadi jangan ada dusta di antara suami, istri, dan anak. Komunikasi dan diskusi tersebut tidak dilakukan oleh suami karena seorang suami ingin melakukan poligami dikarenakan alasan seks semata.
Keempat, timbulnya traumatik bagi anak. Dengan adanya tindakan poligami seorang ayah maka akan memicu ketidak harmonisan dalam keluarga dan membuat keluarga berantakan. Walaupun tidak sampai cerai tetapi kemudian akan timbul efek negatif, yaitu anak-anak menjadi agak trauma terhadap perkawinan dengan laki-laki. Berikut kesaksian anak dari keluarga poligami :

Kesaksian Anak dari Keluarga Poligami

Seorang anak yang bapaknya berpoligami menceritakan pengalamannya dalam Kompas (6 Oktober 2003). Penulis ini mempunyai kenangan indah dengan bapaknya waktu masih kecil. Akan tetapi saat bapaknya menikah lagi, dia dan delapan saudaranya merasa tidak diperhatikan lagi. Menurut penulis ini, bapaknya tidak berlaku adil. Misalnya, kedua istrinya melahirkan anak perempuan dengan selisih hanya beberapa minggu. Untuk anak dari istri mudanya dilaksanakan kenduri, sedangkan untuk anak dari istri tuanya tidak diadakannya upacara apa-apa. Menurut penulis, adik bungsunya ini menjadi pemberontak karena dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari bapaknya. Penulis mengasihani bapaknya karena dia sudah tua tetapi masih harus bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Ceritanya diakhiri dengan kalimat ini: “Begitupun poligami, itu sesuatu yang halal, tetapi aku benci poligami.”
Pada sisi lain, ada pendukung poligami di antara anak-anak dari keluarga poligami, termasuk Syarif. Menurut Syarif, semua anggota keluarganya bahagia, termasuk bapak, istri-istri dan anak-anaknya. Walaupun ekonomi keluarganya pas-pasan, Syarif dan adik-adiknya berpendidikan bahkan Syarif sendiri menjadi calon doktor.
Sementara itu salah satu anak Ustadz Muhammad Umar, pelaku poligami dengan empat istri, tampaknya senang dengan keluarganya. Anak yang berumur delapan tahun ini mengatakan, saya senang jadi punya banyak umi, dan banyak saudara.

1 komentar:

  1. saya berbicara sebagai seorang anak dari seorang ayah yang poligami.
    kehidupan rumah tangga yang jauh dari keadilan. terlebih lagi kekerasan rumah tangga yang saya saksikan bersama ketiga saudara saya sejak saya kecil.
    kami berempat dilibatkan dalam pertengkaran. ujung-ujungnya kami berempat selalu di tanya, kamu mau ikut siapa? ayah atau ibu? sontak semua menangis. ayah adalah tipe orang yang sangat tempramen, jika kedua orang tua saya berduaan di kamar, tidak lama akan terdengar suara ibu yang di pukul, di tampar, di jedukin ke tembok, di jambak, ibu yang teriak kesakitan lalu suara bapa yang membentak-bentak. kami di luar menangis dan menggedor-gedor pintu pa sudah pa.. perlakuan kasar ayah pun sering kami lihat dengan mata kepala kami sendiri, di depan kami ibu di jedukin ke tembok, diludahi, ditendang, di pukul, kami lalu melerainya, menahan bapak untuk tidak memukul ibu. perlakuan ayah seperti itu sudah berlangsung selama pernikahannya sekitar 25 tahun, ibu selalu saja berusaha mempertahankannya. aku dan saudaraku kerap kali bilang pada ibu, cerai saja. pernikahan yang awet tapi mengenaskan. sungguh naas masa kecilku.
    saat ini saya berusia 22 tahun, betul sekali kutipan dari tulisan anda "anak-anak menjadi agak trauma terhadap perkawinan dengan laki-laki". trauma itu sangat membekas, terlebih saya menjadi tidak percaya pada laki-laki. dari kecil saya tidak mengenal sosok ayah, tidak merasakan kasih sayang seorang ayah, perhatian juga kasih sayang dari sosok ayah tidak saya dapatkan. entahlah, trauma itu membuat saya membenci sosok ayah.
    dengan trauma saya itu, membekas dalam benak bahwa "seorang ayah tempramen yang hanya memuaskan nafsu birahi nya saja, tanpa memperdulikan anak"
    bagi laki-laki yang berniat poligami. coba pikirkan kembali. posisikan diri anda jika terlahir dari seorang ayah yang poligami. seperti saya. pikirkan anak, pendidikannya, perkembangannya yang perlu kita didik agar menjadi anak yang soleh dan solehah.

    BalasHapus